Pengrauh kebijakan subsidi beras miskin dan bantuan langsung tunai terhadap pengeluaran telekomunikasi dan rokok rumah tangga miskin di pulau Jawa

(1)

MISKIN DI PULAU JAWA

R.A. LEISA TRIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

R.A. Leisa Triana


(3)

R.A. LEISA TRIANA. The Influence of Rice for the Poor and Unconditional Direct Cash Transfer Subsidies to Telecommunication and Tobacco Expenditure of Poor Household in Java. Under direction of SRI HARTOYO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Consumption pattern is one of social welfare indicator. Advances in information and telecommunication technology may influence consumption behavior of household including poor household. Tobacco expenditure was the bigger one commodity of poor consumption. The objective of this paper was to analyze consumption behavior of telecommunication and tobacco of poor household in Java during 2008-2010 and the influence of rice for the poor and unconditional direct cash transfer subsidies for poor consumption. National Socio-Economic Survey Panel 2008-2010 data of BPS-Statistic Indonesia were used in this study. A descriptive analysis was applied to describe expenditure structure and an econometric analysis of Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) was applied to identify telecommunication and tobacco demand. The study result were: (1) expenditure of telecommunication and tobacco was rising in rural and urban; (2) expenditure of telecommunication and tobacco was indifferent object to education of head of household; (3) demand response of telecommunication was elastic both toward income/expenditure and price changes; (4) demand response of tobacco was inelastic toward price changes but elastic toward income/expenditure changes; (5) in general, demand response of telecommunication and tobacco toward price changes was more elastic in rural households compared to those of urban household; (6) telecommunication and tobacco has substitution relation with the other food group and the other non food group commodity. Considering that telecommunication and tobacco consumption response was much stronger towards income and prices changes, subsidy is more effective if distributed in kind rather than cash.


(4)

RINGKASAN

Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat adalah pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga menggambarkan alokasi pengeluaran untuk pangan dan non pangan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

Komoditi pangan mendominasi pengeluaran rumah tangga miskin namun komoditi rokok juga memiliki persentase yang cukup besar dalam pola konsumsi rumah tangga miskin. Berdasarkan data Susenas 2006, 63 persen rumah tangga atau sekitar 35 juta rumah tangga mengkonsumsi rokok. Hal ini menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu orang perokok dalam sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Menurut data WHO, pada tahun 2008, 65 juta penduduk Indonesia atau sekitar 28 persen penduduk mengkonsumsi rokok sebanyak 225 miliar batang. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-3 negara di dunia dengan konsumsi rokok tertinggi.

Kemajuan teknologi informasi diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat namun mempengaruhi pola konsumsi. Pada tahun 2008 lebih dari separuh jumlah rumah tangga di Indonesia (51,99 persen) memiliki telepon seluler. Peningkatan rumah tangga yang memiliki telepon seluler di pedesaan meningkat lima kali lipat sedangkan di perkotaan dua kali lipat selama kurun waktu 2005 – 2008 (BPS 2009). Peningkatan kebutuhan komunikasi sebagai kebutuhan primer diduga akan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga, tidak terkecuali rumah tangga miskin (RTM). Penelitian mengenai perubahan pola konsumsi RTM terkait kebutuhan telekomunikasi dan rokok akan difokuskan pada Pulau Jawa mengingat sebagian besar penduduk Indonesia ada di Pulau Jawa.

Adanya subsidi pemerintah dalam bentuk beras miskin dan subsidi langsung tunai diduga mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Perubahan permintaan rumah tangga miskin akan diteliti melalui simulasi yang melibatkan subsidi pemerintah dan perubahan harga.

Data yang digunakan adalah data pengeluaran/konsumsi RTM di Pulau Jawa yang sampelnya berjumlah 10.848 RTM yang bersumber dari BPS yang diolah dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010. Metode ekonometrika yang digunakan adalah model LA/AIDS yang mengacu pada model Deaton dan Muellbauer (1980a, 1980b) dengan melibatkan beberapa karakteristik sosial demografi. Cakupan komoditi yang dikonsumsi terdiri dari kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk, rokok dan makanan lainnya) dan kelompok bukan makanan (telekomunikasi, pendidikan dan non makanan lainnya). Pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel, SPSS 17.0, StataIC 10 dan SAS 9.0.

Hasil analisis model fungsi permintaan didapatkan elastisitas harga untuk komoditi telekomunikasi bersifat elastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan besaran yang lebih elastis di perdesaan (-1,87) dibandingkan di perkotaan (-1,55) dan trennya cenderung menurun. Elastisitas harga silang komoditi telekomunikasi menyatakan hubungan komplementer antara telekomunikasi dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, rokok dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya.


(5)

Elastisitas harga untuk komoditi rokok bersifat inelastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan besaran yang hampir sama antara perkotaan (-0,97) dan perdesaan (-0,96) dan trennya cenderung meningkat. Elastisitas harga silang komoditi rokok menyatakan hubungan komplementer antara rokok dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, telekomunikasi dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya. Berdasarkan elastisitas pengeluaran maka komoditi rokok termasuk barang mewah. Elastisitas pengeluaran untuk komoditi rokok lebih tinggi di perdesaan (2,18) dibandingkan perkotaan (2,05).

Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan harga telekomunikasi, peningkatan harga rokok dan pemberian subsidi raskin meningkatkan permintaan komoditi pangan, rokok dan telekomunikasi namun menurunkan permintaan komoditi non pangan. Penurunan harga telekomunikasi, peningkatan harga rokok dan pemberian subsidi BLT meningkatkan permintaan untuk semua komoditi. Persentase perubahan permintaan terbesar adalah komoditi rokok dan telekomunikasi.

Berdasarkan hasil simulasi maka penulis menyarankan kepada pemerintah dalam menerapkan kebijakan subsidi kepada rumah tangga miskin sebaiknya tidak dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk barang. Hal ini mengingat preferensi rumah tangga miskin yang lebih mengutamakan rokok dan telekomunikasi dibandingkan makanan pokok bila ada tambahan proporsi pengeluaran.

Kata kunci: telekomunikasi, rokok, rumah tangga miskin, konsumsi, LA/AIDS


(6)

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2 Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PENGELUARAN TELEKOMUNIKASI DAN ROKOK

RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

R.A. LEISA TRIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Judul Tesis : Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai Terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa

Nama : R.A. Leisa Triana

NIM : H151090134

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Sri Hartoyo Ketua

Lukytawati Anggraeni, Ph.D. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir.Nunung Nuryartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah MSc. Agr.


(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai terhadap Pengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa” berhasil diselesaikan.Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sri Hartoyo dan Lukytawati Anggraeni, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mohammad Dokhi, Ph.D selaku penguji luar komisi dan Tanti Novianti, MSi. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi serta kepada seluruh dosen pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik, Kepala BPS Propinsi Jawa Barat serta Kepala BPS Kabupaten Bogor yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ida Fariana S.ST, rekan staf BPS Kabupaten Bogor dan teman-teman tugas belajar Program Studi Ilmu Ekonomi BPS Batch dua yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan pengolahan data. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Ibunda Hanidah dan Ibunda Kusmiyati dan suami tercinta, Kuntarto Purnomo, serta kedua buah hati tersayang, Mayang dan Ahsan, atas semua dukungan, doa, semangat dan kasih sayangnya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu, kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang dapat membalas segala kebaikan semua pihak. Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 April 1976 dari pasangan Rd. Inuni Pasha Ayub Bachtiar dan Hanidah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Curug 1 pada tahun 1988, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Cimanggis pada tahun 1991, Sekolah Menengah Atas Negeri 39 Cijantung pada tahun 1994, Akademi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun 1997, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun 2001, dan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009. Penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor semenjak tahun 1998 sampai sekarang. Pada tahun 2010 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.


(12)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………... xi

DAFTAR LAMPIRAN ………. xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ……….………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 5

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Manfaat Penelitian ………. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan ……….………. 9

2.2. Pola Konsumsi Rumah Tangga ………. 11

2.3. Variabel Sosial Demografi ………. 12

2.4. Pengeluaran Telekomunikasi………. 13

2.5. Subsidi ………..………. 15

2.6. Tinjauan Teoritis ……….………. 15

2.6.1. Fungsi Permintaan Konsumen ………. 15

2.6.2. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan ………. 18

2.6.3. LA-AIDS Model ……….………. 19

2.6.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS …… 21

2.7. Penelitian Terdahulu ……….………. 22

2.8. Kerangka Pemikiran ……….………. 24

2.9. Hipotesis ………..……….………. 27

III. METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup, Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 29

3.2. Jenis dan Sumber Data ………. 29

3.3. Pemilihan Variabel dan Komoditi ………. 30

3.4. Metode Analisis ……….………….….………. 32


(13)

viii

3.4.4. Simulasi Respon Perubahan Variabel ………. 36

3.5. Konsep dan definisi ………..…..…….………. 38

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA 4.1. Pangsa Pengeluaran Total Rumah Tangga Miskin …………... 43

4.2. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Miskin …………... 45

4.3. Pangsa Pengeluaran Bukan Pangan Rumah Tangga Miskin …… 46

4.4. Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin …………... 48

4.5. Pangsa Pengeluaran Telekomunikasi Rumah Tangga Miskin … 50 4.6. Pangsa Pengeluaran Rokok Rumah Tangga Miskin ………….… 51

4.7. Pendidikan Kepala Rumah Tangga ………..… 53

V. PENGARUH KEBIJAKAN SUBSIDI BERAS MISKIN DAN BANTUAN LANGSUNG TUNAI TERHADAP PENGELUARAN TELEKOMUNIKASI DAN ROKOK RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA 5.1. Pendugaan Parameter Model Sistem Permintaan ………... 57

5.2. Elastisitas Harga ……….……... 60

5.2.1. Elastisitas Harga Sendiri ……….………. 60

5.2.2. Elastisitas Harga Silang ………..……….…. 64

5.2.3. Elastisitas Pengeluaran ………..……….…. 67

5.4. Elastisitas Ukuran Rumah Tangga ……….……... 70

5.5. Simulasi Dampak Perubahan Harga Terhadap Permintaan Komoditi ………... 71

V. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……….………... 75

6.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ………... 77

DAFTAR PUSTAKA ……….. 79


(14)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman 1.1. Jumlah Pelanggan Tetap Nirkabel dan Telepon Seluler,

Produksi Pulsa,PDB dan Laju pertumbuhan PDB

tahun 2006 – 2008 ……….. 4

1.2. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki/Menguasai Telepon Seluler Menurut Klasifikasi Desa/Kelurahan Tahun 2005 – 2008 ………. 6 2.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah

Tahun 2004 – 2010 ………. 11

4.1. Garis Kemiskinan Menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 2008, 2009 dan 2010 (Rupiah) ... 43 4.2. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan

Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah di Pulau Jawa

Tahun 2008-2010. ……….. 44

4.3. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Propinsi di Pulau Jawa

Tahun 2008-2010 ………. 45

4.4. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin

untuk Kelompok Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010 ……..… 46

4.5. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Bukan Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010 ……..… 47 4.6. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Miskin Sebulan

untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah

di Pulau Jawa, 2008-2010 ………..… 48

4.7. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Barang Perumahan dan Fasilitas Perumahan di

Pulau Jawa, 2008-2010 ……… 50

4.8. Persentase Pengeluaran per Kapita Rumah Tangga Miskin

untuk Komoditi Telekomunikasi Menurut Tipe Wilayah dan Propinsi

di Pulau Jawa. 2008-2010 ………. 51

4.9. Persentase Pengeluaran Perkapita Sebulan untuk Rokok, Tembakau dan Sirih Menurut Tipe Wilayah and Propinsi

di Pulau Jawa Tahun 2008-2010. ………. 52

4.10. Persentase Kepala Rumah Tangga Miskin Menurut Pendidikan dan kemampuan Membaca dan Menulis Menurut Wilayah

dan Propinsi di Pulau Jawa, 2008-2010 ……….. 54


(15)

x

5.3. Elastisitas Harga Sendiri Beberapa Komoditi pada Rumah tangga Miskin Berdasarkan Pendidikan KRT di Perkotaan dan Perdesaan

di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 63 5.4. Elastisitas Harga Silang Beberapa Komoditi Pada Rumah Tangga

Miskin berdasarkan tipe wilayah di Pulau Jawa

Tahun 2008-2010 ... 66 5.5. Elastisitas Pengeluaran Beberapa Komoditi Pada Rumah Tangga

Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 67 5.6. Tren Elastisitas Pengeluaran Beberapa Komoditi pada Rumah

tangga Miskin Berdasarkan Pendidikan KRT di Perkotaan dan

Perdesaan di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 69 5.7. Elastisitas Ukuran Rumah tangga Beberapa Komoditi Pada

Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 70 5.8. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga

Telekomunikasi terhadap Perubahan Permintaan Komoditi

Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 72 5.9. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga

Rokok terhadap Perubahan Permintaan Komoditi

Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 73 5.10. Hasil Simulasi Subsisdi Raskin, BLT dan Perubahan Harga

Telekomunikasi dan Rokok terhadap Perubahan Permintaan Komoditi Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ... 73


(16)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan dari Penurunan Harga


(17)

xii

1 Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin Menurut Kelompok Barang dan Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2008-2010 ………..……….…… 83

2 Persentase Pengeluaran Rata-rata per kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin Menurut Kelompok Barang Perkotaan dan

Perdesaan di Pulau Jawa Tahun 2008-2010 ………... 84

3 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM Berdasarkan Lokasi Tempat

Tinggal ………...……… 85

4 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM menurut Pendidikan KRT di

Perdesaan ………..……….. 86 5 Uji t Rata-rata Pengeluaran RTM menurut Pendidikan KRT di

Perkotaan ………..……….. 87 6 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tipe Wilayah ………... 88 7 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Pendidikan KRT ……….………... 89 8 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tipe Wilayah dan Pendidikan KRT ………... 90 9 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tahun ……….……….………... 91 10 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tipe Wilayah dan Tahun ……….………... 92 11 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Pendidikan KRT dan Tahun ………... 94 12 Elastisitas Harga, Harga Silang dan Pengeluaran Berdasarkan

Tipe Wilayah, Pendidikan KRT dan Tahun ………... 96

13 Hasil Running Program SAS .…………... 99


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Penurunan tingkat kemiskinan menjadi 8-10 persen pada tahun 2014 merupakan sasaran pembangunan ekonomi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Strategi pembangunan yang diprioritaskan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan dilakukan baik dari sisi peningkatan pendapatan penduduk miskin (PNPM Mandiri dan Kredit Usaha untuk Rakyat miskin) maupun dari sisi konsumsi penduduk yaitu subsidi untuk rumah tangga miskin dalam bentuk raskin, jamkesmas, dana BOS. Adanya kemajuan teknologi informasi dan arus globalisasi diharapkan juga mampu menurunkan tingkat kemiskinan sehingga dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat melalui berbagai indikator kesejahteraan rumah tangga. Salah satu indikatornya adalah pola konsumsi individu atau rumah tangga. Pola konsumsi dapat menggambarkan taraf hidup masyarakat. Pola konsumsi juga menggambarkan perilaku yang berhubungan dengan kondisi sosial budaya dan lingkungan. Budaya lokal dan faktor-faktor non ekonomi dapat mempengaruhi pola konsumsi penduduk sehingga analisis mengenai pola konsumsi dapat memberikan gambaran tingkat kesejahteraan penduduk yang berkaitan dengan keadaan sumber daya manusia yang merupakan modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi negara (BPS 2008a). Data pola konsumsi juga dapat diekplorasi untuk mengukur ukuran kesejahteraan lainnya seperti status gizi, status kesehatan penduduk dan status kemiskinan penduduk.

Kemiskinan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar baik pangan dan non pangan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan (Nicholson 1995). Rumah tangga yang memiliki proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga tersebut adalah rumah tangga miskin (Seale et al. 2003). Rumah tangga miskin dapat dikatakan rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah. Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli juga rendah sehingga rumah tangga miskin melakukan


(19)

pilihan dalam membelanjakan pendapatannya bahkan mungkin harus meniadakan beberapa kebutuhan dasar lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu. Rendahnya pendapatan membuat pola konsumsi rumah tangga miskin cenderung tak berubah (Sengul & Tuncer 2005).

Pola konsumsi dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Pola konsumsi rumah tangga miskin sangat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu adanya perubahan harga dan pendapatan. Menurut teorema Engel, proporsi pengeluaran untuk makanan akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan. Pendapatan yang meningkat berarti daya beli juga meningkat sehingga mempengaruhi perubahan pola konsumsi baik konsumsi pangan maupun bukan pangan. Peningkatan pendapatan memberikan kesempatan besar untuk asupan makanan yang lebih banyak dan kualitas makanan yang lebih baik. Hasil penelitian pada 114 negara di dunia didapatkan bahwa negara miskin menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan seperti makanan, minuman dan tembakau serta lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dan harga. Penyesuaian besar terhadap pola konsumsi pangan dilakukan ketika terjadi perubahan pendapatan dan harga. (Seale et al. 2003; Sengul & Tuncer 2005; Haq et al. 2008).

Penelitian Haq et al. (2008) di Pakistan menemukan perubahan harga pangan global telah meningkatkan kemiskinan dan memberikan dampak yang besar terhadap rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin akan mengalokasikan pendapatannya lebih besar untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan melakukan substitusi kapasitas rumah tangga. Kenaikan harga BBM juga sangat mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Kenaikan harga BBM memicu inflasi yang menyebabkan nilai uang dari pendapatan rumah tangga miskin menjadi berkurang sehingga mengurangi daya beli rumah tangga miskin. Rumah tangga akan mengurangi pengeluaran untuk konsumsi makanannya bila terjadi kenaikan harga (Nssah et al. 2007; Amin 1998). Diversifikasi makanan sangat diperlukan untuk mengganti kebutuhan makanan pokok yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup kalori dan gizinya, misalnya dengan mengkonsumsi makanan penghasil karbohidrat seperti jagung atau tepung terigu. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia, konsumsi terigu


(20)

3

per kapita di Indonesia periode 2005-2007 meningkat sebanyak 2,1 persen dari 15 persen menjadi 17,1 persen, kemudian menurun pada tahun 2008 karena adanya peningkatan harga gandum dan terigu internasional. Pada tahun 2009 volume konsumsi terigu mencapai 3,97 juta ton dan naik menjadi 4,39 juta ton pada 20101.

Selain komoditi pangan yang mendominasi pengeluaran rumah tangga miskin, komoditi rokok juga memiliki persentase yang cukup besar dalam pola konsumsi rumah tangga miskin. Berdasarkan data Susenas 2006, 63 persen rumah tangga atau sekitar 35 juta rumah tangga mengkonsumsi rokok. Hal ini menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu orang perokok dalam sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Menurut data WHO, pada tahun 2008, 65 juta penduduk Indonesia atau sekitar 28 persen penduduk mengkonsumsi rokok sebanyak 225 miliar batang. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-3 negara di dunia dengan konsumsi rokok tertinggi. Produksi rokok di Indonesia meningkat pada periode 2004-2008 dari 194 miliar batang pada tahun 2004 menjadi 230 miliar batang pada tahun 2008 atau naik sebesar 18,6 persen. Berbagai penelitian mengenai permintaan rokok telah dilakukan baik yang berhubungan dengan cukai rokok dan dampaknya terhadap total penerimaan negara serta yang berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi rumah tangga. Hasil penelitian Ahsan et al. (2010) menunjukkan bahwa elastisitas harga rokok untuk rumah tangga berpendapatan rendah sangat elastis yaitu -1,696 sementara untuk rumah tangga yang berpendapatan tinggi elastisitasnya bersifat inelastis sebesar -0.409 yang berarti bahwa rumah tangga yang berpendapatan rendah lebih sensitif terhadap perubahan harga rokok. Hasil penelitian Adioetomo et al. (2003) menemukan bahwa perubahan harga rokok mempengaruhi konsumsi rokok dimana peningkatan harga rokok 4,9 persen menurunkan permintaan rokok sebesar 3 persen. Kenaikan cukai rokok akan meningkatkan harga rokok, menurunkan konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan pajak.

Pola konsumsi rumah tangga miskin juga dipengaruhi oleh faktor eksternal antara lain adalah adanya arus informasi, perkembangan telekomunikasi dan perbaikan transportasi. Hal ini mendorong perkembangan permintaan jenis barang

1Bisnis Indonesia, “Pertumbuhan Konsumsi Terigu Diprediksi εelambat”


(21)

yang dikonsumsi oleh masyarakat baik itu golongan berpendapatan tinggi maupun berpendapatan rendah. Kemudahan menggunakan dan memiliki telepon seluler karena adanya persaingan usaha di bidang telekomunikasi membuat rumah tangga miskin pun mampu memiliki dan menikmati fasilitas komunikasi ini, sehingga hal ini turut mempengaruhi perubahan pola konsumsi. Hasil penelitian Aker (2008) menunjukkan bahwa perkembangan telekomunikasi di negara miskin Nigeria khususnya ponsel telah meningkatkan kesejahteraan konsumen dan pedagang. Beberapa tahun terakhir juga telah terjadi peningkatan jumlah produksi pulsa, jumlah pelanggan tetap lokal dan telepon seluler yang mendorong peningkatan PDB Indonesia untuk sektor komunikasi.

Tabel 1.1. Jumlah Pelanggan Tetap Nirkabel dan Telepon Seluler, Produksi Pulsa, PDB dan Laju pertumbuhan PDB tahun 2006 – 2008

Uraian 2006 2007 2008

Pelanggan Telepon Tetap Nirkabel (SST) (000)

6.014

10.811

21.703

Pelanggan Telepon Seluler (SST) (000)

63.803 93.386 140.584

PDB (miliar rupiah)

54.012,9 69.535,6 91.312,1

Laju Pertumbuhan PDB (persen)

26,03 28,74 31,32 Sumber: Ditjen Postel Kementrian Kominfo, PT Telkom, BPS, Statistik Indonesia 2009

Pola konsumsi rumah tangga yang tinggal di daerah pedesaan berbeda dengan daerah perkotaan (Yuliana 2008, Syafwil 2002). Ini terjadi karena konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan. Tingkat pendapatan rumah tangga di pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Pendapatan yang rendah di pedesaan disebabkan oleh sedikitnya kesempatan kerja dan tidak adanya aksesibilitas terhadap pusat-pusat kegiatan ekonomi sehingga jumlah penduduk miskin lebih banyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Penelitian Geda et al.

(2005) di Kenya menemukan bahwa kemiskinan pada umumnya terkonsentrasi di daerah pedesaan dan di sektor pertanian pada khususnya. Selain pendapatan yang rendah yang membedakan pola konsumsi di pedesaan dan perkotaan, kemudahan mengakses berbagai fasilitas kebutuhan hidup di daerah perkotaan cenderung membentuk pola konsumsi yang bervariasi dan tinggi. Terbatasnya fasilitas di daerah pedesaan menyebabkan pola konsumsi di perdesaan cenderung seragam.


(22)

5

Arus informasi yang sampai ke desa dan pengaruh advertensi terhadap konsumsi juga mempengaruhi perbedaan pola konsumsi di pedesaan dan perkotaan. Selain faktor-faktor tersebut diatas, perbedaan pola konsumsi juga dapat disebabkan oleh jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan dan lain-lain.

Penelitian mengenai pola konsumsi rumah tangga miskin telah banyak dilakukan seperti penelitian pola konsumsi pangan di negara berpendapatan rendah (Seale et al. 2003), pola konsumsi pangan terhadap rumah tangga miskin (Sengul & Tuncer 2005), pola konsumsi rumah tangga miskin pada komoditi yang disubsidi pemerintah (Suryaningsih 2010). Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penelitian ini menitikberatkan analisis pola konsumsi rumah tangga miskin baik pangan dan non pangan serta pengaruh pengeluaran konsumsi telekomunikasi dan rokok pola konsumsi rumah tangga miskin. Diharapkan melalui pola konsumsi rumah tangga miskin dapat memberikan gambaran mengenai alokasi komoditi makanan dan non makanan yang dipilih rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan seberapa besar ketergantungan rumah tangga miskin terhadap komoditi tersebut baik di pedesaan maupun di perkotaan sehingga pemerintah dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam mengentaskan kemiskinan.

1.2. Perumusan Masalah

Pola konsumsi rumah tangga miskin menggambarkan alokasi pengeluaran untuk pangan dan non pangan pada rumah tangga miskin. Konsumsi pangan di rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan dengan konsumsi non pangan. Kebutuhan akan konsumsi non pangan kadang terpinggirkan guna memenuhi konsumsi pangan. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan untuk rumah tangga miskin menjadi prioritas pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan. Namun dari penelitian terdahulu alokasi pengeluaran rumah tangga miskin untuk konsumsi rokok yang berbahaya bagi kesehatan pada rumah tangga miskin cukup tinggi. Selain itu adanya perkembangan arus informasi dan semakin murahnya pengeluaran untuk komunikasi, hampir membuat kebutuhan ini menjadi kebutuhan primer sehingga dirasakan perlu diketahui pola konsumsi rumah tangga miskin dan perubahannya.


(23)

Selama beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah pelanggan telepon tetap nirkabel dan seluler sebanyak lebih dari dua kali lipat. Pesatnya pertumbuhan telepon seluler tercermin pula dengan banyaknya rumah tangga yang memiliki/menguasai telepon seluler. Pada tahun 2008 lebih dari separuh jumlah rumah tangga di Indonesia (51,99%) memiliki/menguasai telepon seluler dan apabila dibandingkan dengan tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 32,11 persen.

Tabel 1.2. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki/Menguasai Telepon Seluler Menurut Klasifikasi Desa/Kelurahan Tahun 2005 – 2008

Tahun Klasifikasi Perkotaan + Perdesaan

Perkotaan Perdesaan

2005 35,36 8,21 19,88

2006 41,96 12,27 24,60

2007 55,03 24,33 37,59

2008 66,61 38,15 51,99

Sumber : BPS, Survei Sosial Ekonomi Nasional

Jika dilihat berdasarkan klasifikasi daerah, peningkatan di daerah perdesaaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan, dimana di daerah perkotaan persentase rumah tangga tangga yang memiliki/menguasai telpon seluler selama kurun waktu 2005 – 2008 hanya naik hampir dua kali lipat saja sedangkan daerah perdesaan naik hampir lima kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa daerah perdesaan lebih banyak terpengaruh pesatnya pertumbuhan telepon seluler dibanding daerah perkotaan. Pengeluaran untuk konsumsi telekomunikasi pada rumah tangga miskin tentu mempengaruhi besarnya pengeluaran kebutuhan pangan dan non pangan pada rumah tangga miskin. Hal ini menarik untuk diteliti sampai sejauh mana pengeluaran telekomunikasi mempengaruhi perubahan pola konsumsi khususnya rumah tangga miskin di pedesaan dan perkotaan.

Perubahan pola konsumsi rumah tangga miskin sebagai akibat dari adanya perubahan harga khususnya komoditi rokok dan telekomunikasi, memungkinkan terjadi pergeseran alokasi pengeluaran rumah tangga miskin. Pergeseran tersebut bisa saja berbentuk pengurangan konsumsi komoditi tersebut atau pengurangan konsumsi komoditi yang lain. Oleh karena itu besarnya pergeseran alokasi konsumsi akibat perubahan harga menarik untuk diteliti.


(24)

7

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa banyak faktor yang memengaruhi konsumsi selain pendapatan dan kekayaan. Misalnya jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan beberapa faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut memengaruhi konsumsi pada rumah tangga pada umumnya, sehingga penelitian tentang pengaruh faktor-faktor tersebut pada rumah tangga miskin sangat menarik untuk diteliti.

Selain faktor-faktor tersebut di atas, kebijakan pemerintah juga diduga mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin. Kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap rumah tangga miskin. Kebijakan tersebut dapat berupa penetapan harga maupun pemberian subsidi. Pemerintah berupaya keras meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya terutama menurunkan tingkan kemiskinan. Berbagai program dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin seperti program subsidi beras miskin, di bidang pendidikan dalam bentuk bantuan operasional sekolah dan di bidang kesehatan dalam bentuk jaminan kesehatan masyarakat. Bentuk subsidi lainnya adalah pemberian bantuan langsung tunai dalam rangka membantu rumah tangga miskin mempertahankan daya belinya pada saat pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM. Besarnya pengaruh subsidi pemerintah terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin menarik untuk diteliti. Simulasi dilakukan guna melihat pengaruh perubahan harga dan pendapatan akibat adanya subsidi pemerintah terhadap pola konsumsi komoditi pada rumah tangga miskin.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika pola konsumsi rumah tangga miskin di perkotaan dan pedesaan Indonesia?

2. Apakah karakteristik sosial demografi mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin?

3. Apakah perkembangan pengeluaran konsumsi telekomunikasi dan rokok mempengaruhi pola pengeluaran/konsumsi rumah tangga miskin?


(25)

4. Seberapa besar respon perubahan konsumsi komoditi pangan atau bukan pangan rumah tangga miskin dengan adanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:

1. Menganalisis dinamika pengeluaran rumah tangga miskin pedesaan dan perkotaan di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh karakteristik sosial demografi terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin di perkotaan dan pedesaan.

3. Menganalisis pengaruh pengeluaran telekomunikasi dan rokok pada pola konsumsi rumah tangga miskin.

4. Menganalisis perubahan konsumsi rumah tangga miskin dengan adanya subsidi beras miskin (Raskin) dan bantuan langsung tunai (BLT) terhadap pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga miskin.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain;

1. bagi pemerintah, para ekonom dan para penentu kebijakan lainnya dapat dijadikan bahan untuk evaluasi sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang lebih terarah dan menyeluruh dalam mengentaskan kemiskinan

2. bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan, wawasan dan memberikan pemahaman yang semakin mendalam tentang kemiskinan dan pola konsumsi rumah tangga miskin

3. bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan atau acuan untuk penelitian selanjutnya.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Kemiskinan mengandung banyak pengertian, berbeda antara satu lokasi/daerah dengan daerah yang lain pada setiap waktu. Definisi kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, adalah kondisi yang membuat seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. BPS mendefinisikan kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut Chamber (1995) kemiskinan mengacu pada kekurangan akan kebutuhan fisik, aset dan pendapatan untuk dapat hidup sejahtera. Kemiskinan mencakup dimensi fisik, sosial, ekonomi, politik, psikologis/spiritual, termasuk kelemahan fisik, keterisolasian, kerentanan, kemiskinan musiman, kurangnya penghargaan dan ketidakberdayaan. Secara umum kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya baik pangan dan non pangan serta kebutuhan sosialnya.

Tingkat kemiskinan diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Seseorang dikatakan miskin apabila ukuran standar hidupnya berada di bawah standar hidup minimum yang disebut dengan garis kemiskinan. Penentuan garis kemiskinan dihitung melalui dua pendekatan yaitu pendekatan relatif dan absolut. Menurut Ravallion (1992) kemiskinan relatif mengacu pada posisi tingkat pendapatan seseorang atau rumah tangga dibandingkan dengan pendapatan rata-rata di negara tersebut. Menurut BPS (2008b) kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk

“termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total


(27)

Kemiskinan absolut mengacu pada posisi tingkat pendapatan seseorang atau rumah tangga dalam hubungannya terhadap garis kemiskinan yang didasarkan pada nilai riil yang tetap antar waktu (Ravallion 1992). Todaro dan Smith (2006) menyatakan kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, antara lain pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai orang yang pendapatannya di bawah USD $1/hari. Definisi kemiskinan absolut menurut BPS adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Ketidakmampuan ini dibatasi oleh suatu standar tertentu yang disebut dengan garis kemiskinan dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kkalori per kapita sehari dan kebutuhan dasar minimum untuk non makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan yang totalnya kurang dari garis kemiskinan.

Penghitungan garis kemiskinan yang dihitung BPS dibedakan untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penghitungan tersebut didasarkan dari pengeluaran rumah tangga berdasarkan data Susenas. Garis kemiskinan per provinsi berbeda-beda. Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun non makanan yang dianggap

„dasar‟. Berdasarkan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan (1) biaya untuk memperoleh minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita per hari, dan (2) biaya untuk memperoleh kebutuhan minimum non makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan.

Tabel 2.1. menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2004 adalah 36,10 juta orang (11,40 juta orang di perkotaan dan 24,80 juta orang di perdesaan). Adanya berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah maka pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin


(28)

11

menjadi sebesar 31,02 juta orang (11,10 juta orang di perkotaan dan 19,93 juta orang di perdesaan).

Tabel 2.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 2004-2010

Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66

2005 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97

2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75

2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58

2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42

2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15

2010 11,10 19,93 31,02 9,87 16,56 13,33

Sumber : Berita Resmi Statistik 2010

2.2. Pola Konsumsi Rumah tangga

Rumah tangga didefinisikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga umumnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumah tangga biasa. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga (BPS 2009b).

Setiap anggota rumah tangga membutuhkan pangan setiap hari. Setiap anggota rumah tangga juga membutuhkan dan menggunakan berbagai jenis barang lainnya selain pangan atau dengan kata lain setiap anggota rumah tangga mengkonsumsi berbagai jenis barang dan jasa agar tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini mendorong terjadinya permintaan dan penawaran akan suatu barang sehingga tercipta aktivitas ekonomi.

Besarnya permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi atau membeli barang/jasa tersebut. Kemampuan tersebut sangat ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini menjadi kendala bagi rumah


(29)

tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda-beda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga.

Pada negara berkembang pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi prioritas utama. Pada kurun waktu dari tahun 2002-2010 di Indonesia, rata-rata pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama (BPS 2010).

2.3. Variabel Sosial Demografi

Pola konsumsi dapat dilihat dari perilaku dan karakteristik kosumen. Karakteristik konsumen dapat dikelompokkan berdasarkan usia, lokasi tempat tinggal, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, status pekerjaan kepala rumah tangga dan lain-lain. Pengelompokan konsumen berdasarkan karakteristiknya dapat mencirikan perbedaan perilaku konsumen antarkelompok. Perbedaan perilaku konsumen menyebabkan pola konsumsi rumah tangga juga berbeda. Pada Howard and Sheth model dalam Sumarwan (2002), perilaku konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli atau mengkonsumsi barang dan jasa dipengaruhi oleh adanya kegiatan pemasaran yang dilakukan produsen, faktor perbedaan individu dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini terdiri dari: (1) budaya, (2) karakteristik sosial ekonomi, (3) keluarga dan rumah tangga, (4) kelompok acuan, dan (5) situasi konsumen.

Lokasi tempat tinggal konsumen akan mempengaruhi pola konsumsinya (Yuliana 2008, Syafwil 2002, Kahar 2010). Rumah tangga yang tinggal di perdesaan memiliki akses terbatas pada berbagai produk barang dan jasa. Sebaliknya, rumah tangga yang tinggal di perkotaan lebih mudah memperoleh semua barang dan jasa yang dibutuhkan. Pada umumnya penduduk perkotaan


(30)

13

membelanjakan sebagian besar pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan, sedangkan sebaliknya penduduk perdesaan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan. Secara nasional, penduduk perkotaan membelanjakan 45,69 persen pengeluarannya untuk makanan, sedangkan penduduk perdesaan mencapai 58,57 persen (BPS 2009b). Keadaan ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan jauh lebih baik dibandingkan penduduk di perdesaan.

Ukuran rumah tangga berbeda pengaruhnya terhadap permintaan makanan dimana ukuran rumah tangga berpengaruh positif terhadap permintaan makanan pokok tetapi berpengaruh negatif terhadap permintaan makanan lainnya (Teklu & Johnson 1987, Nurfarma 2005). Peningkatan jumlah anggota rumah tangga biasanya akan meningkatkan permintaan komoditi pangan dibandingkan komoditi non pangan. Apabila rumah tangga memiliki pendapatan yang sama maka peningkatan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan kemampuan rumah tangga untuk membeli makanan yang bergizi yang akan dikonsumsi oleh anggota rumah tangga.

Terkait dengan pendidikan, hasil penelitian Suryaningsih (2010) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan istri berpengaruh negatif terhadap permintaan sembako rumah tangga miskin. Kahar (2010) menunjukkan pendidikan kepala rumah tangga yang rendah berpengaruh negatif terhadap konsumsi pendidikan di daerah perkotaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap jumlah permintaan terhadap komoditi ikan/daging/telur/susu di daerah perkotaan.

2.4. Pengeluaran Telekomunikasi

Penelitian Jiwanta (1982) dalam Suprapto (2009) menunjukkan bawa komunikasi merupakan kebutuhan utama dalam melakukan interaksi sosial dimana 90 persen dari kehidupan manusia sehari-hari merupakan komunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media. Beberapa teori komunikasi telah dikemukakan oleh para ahli salah satunya


(31)

adalah Harold D. Lasswell yang menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk

menerangkan kegiatan komunikasi adalah menjawab pertanyaan “Who Says What

In Which Channel To Whom With What Effect?” (Effendy 1986). Pertanyaan ini dikenal dengan rumusan Lasswell yang menerangkan unsur-unsur yang membangun komunikasi yaitu :

- Who? (Siapakah komunikatornya?)

- Says What? (Pesan apa yang dinyatakan?)

- In Which Channel? (Media apa yang digunakan?)

- To Whom? (Siapa komunikannya?)

- With What Effect? (Efek apa yang diharapkan?)

Komunikasi dilakukan dengan cara bertatap muka langsung maupun dengan media. Komunikasi melalui media pada umumnya digunakan untuk komunikasi informatif misalnya dengan menggunakan media surat kabar, televisi, radio, film, pameran, poster, pamflet, telepon, internet dan lain sebagainya. Komunikasi melalui media dilakukan karena ada jarak antara komunikator dan komunikan atau disebut juga telekomunikasi. Selain itu, komunikasi melalui media juga dilakukan karena banyaknya jumlah komunikan yang akan diberikan pesan.

Kemajuan teknologi telah mempermudah arus informasi diakses dari dalam rumah sehingga informasi dunia dapat dengan cepat diketahui. Informasi yang diakses oleh rumah tangga dapat memberikan efek langsung dalam perubahan tingkah laku rumah tangga misalnya perubahan pola konsumsi rumah tangga sebagai respon dari intensitas iklan yang dilakukan media televisi atau internet.

Kebutuhan akan informasi dan komunikasi yang semakin mudah didapatkan juga mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam mengalokasikan pendapatan guna memenuhi kebutuhan ini. Pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi telekomunikasi menurut BPS mencakup pengeluaran untuk telepon rumah, pulsa HP, nomor perdana, telepon umum/wartel, benda pos, warnet, internet dan lainnya.

2.5. Subsidi

Secara umum pengertian subsidi adalah penetapan harga beli di bawah harga umum. Subsidi merupakan pembayaran yang mengurangi harga pembeli


(32)

15

dibawah harga penjual dan dapat disebut sebagai pajak negatif (Pindyck & Rubinfeld, 2005). Pemberian subsidi menimbulkan efek yang positif dan negatif. Efek positif subsidi adalah peningkatan daya beli masyarakat yang mendorong peningkatan output, sedangkan efek negatif subsidi adalah terjadinya distorsi perekonomian yaitu alokasi sumber daya yang tidak efisien. Hal ini tercermin adanya kecenderungan masyarakat mengkonsumsi barang yang disubsidi secara berlebihan. Penyelenggaraan subsidi berkaitan dengan APBN karena bila terjadi selisih antara harga jual dengan harga jual sebenarnya maka itu menjadi tanggungan pemerintah yang ditetapkan dalam APBN.

Pada tahun 2005 pemerintah mengambil kebijakan menaikan harga BBM guna mengurangi beban APBN. Subsidi pemerintah untuk BBM dialihkan dalam bentuk santunan langsung tunai yang diberikan secara langsung kepada rumah tangga miskin. Program tersebut berlanjut menjadi program keluarga harapan yang memberikan subsidi langsung tunai bersyarat kepada rumah tangga miskin. Subsidi pemerintah yang lain berupa subsidi beras miskin dimana rumah tangga miskin dapat membeli beras dengan harga yang lebih murah dari harga pasar karena pemerintah telah membayar sebagian harga jual beras tersebut.

2.6. Tinjauan teoritis

2.6.1. Fungsi Permintaan Konsumen

Berawal dari asumsi konsumen bersifat rasional dan mempunyai tujuan memaksimumkan kepuasannya dengan cara memilih berbagai kombinasi sejumlah n barang yang akan menghasilkan dayaguna yang maksimum dengan jumlah pendapatan atau anggaran belanja yang tersedia. Fungsi dayaguna konsumen dituliskan dengan rumus

U = f (q1,q2, …qn) ………(2.1)

dan kendala anggaran konsumen dituliskan dengan rumus :

………(2.2)

y adalah pendapatan (tetap), pi adalah harga barang ke-i. Maka tujuan konsumen


(33)

fungsi Lagrangian yaitu fungsi dayaguna yang sudah disesuaikan dengan kendala terbatasnya anggaran.

………(2.3) λ adalah dayaguna marjinal dari pendapatan.

Guna mendapatkan jumlah barang yang diminta maksimum maka dibutuhkan dua syarat. Syarat pertama sebagai syarat perlu yaitu karena q merupakan nilai ekstrim maka fungsi turunan pertama dari fungsi lagrangian terhadap qi dan λ harus sama dengan nol. Syarat yang kedua adalah nilai ekstrim

merupakan nilai maksimum bila turunan kedua dari fungsi tersebut adalah negatif yang disebut sebagai syarat cukup.

Fungsi permintaan ini dikembangkan dari fungsi permintaan sederhana/baku (Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Dua kesimpulan penting dari fungsi permintaan ini adalah : (1) permintaan terhadap komoditas apapun adalah fungsi single-value dari harga-harga dan pendapatan, dan (2) fungsi permintaan adalah homogen derajat nol dalam harga dan pendapatan dimana bila semua harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama maka jumlah barang yang diminta tetap, tidak akan berubah (Henderson and Quandt, 1980). Kesimpulan pertama merupakan nilai maksimum dari turunan pertama fungsi dayaguna yang ditunjukkan dengan nilai Rate of Commodity Subtitution (CRS) sama dengan rasio harga. Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus terpenuhi. Dalam permintaan n barang turunan kedua menghasilkan penurunan RCS antara tiap pasang komoditi.

Dalam model permintaan untuk n komoditi maka elastisitas yang dihasilkan harus memenuhi kondisi:

a. Homogeneity

Syarat homogeneity atau disebut Slutsky-schultz condition adalah hasil penjumlahan seluruh elastisitas baik itu elastisitas harga sendiri, elastisitas harga


(34)

17

silang dan elastisitas pendapatan untuk komoditi i sama dengan nol (Tewari dan Singh 1996), dirumuskan :

………(2.4) dimana ii adalah elastisitas harga sendiri, ij adalah elatisitasharga silang dan

adalah elastisitas pendapatan. b. Agregasi Cournot

Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang sebuah komoditi dengan penimbang rata-rata pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut. Dinotasikan dengan rumus :

……(2.5)

adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadap total pengeluaran, adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran, adalah elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang.

Untuk fungsi permintaan terkompensasi maka aggregasi Cournot harus sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus :

……(2.6) adalah elatisitas harga terkompensasi.

c. Aggregasi Engel

Aggregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan dengan berbagai komoditi yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas pendapatan tertimbang semua komoditi yang dibelanjakan konsumen sama dengan satu. Dinotasikan dengan rumus :


(35)

adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran dan adalah elastisitas pendapatan (Henderson and Quandt 1980).

2.6.2. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan

Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga dibedakan menjadi dua yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi (X1→B) dalam penelitian ini adalah efek substitusi/penggantian jumlah konsumsi komoditi telekomunikasi dengan komoditi rokok akibat adanya perubahan harga telekomunikasi dan utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen.

Gambar 1. Efek Substitusi dan Efek Pendapatan dari Penurunan Harga Telekomunikasi

Efek pendapatan (B →X2

) pada penelitian ini adalah perubahan konsumsi kedua jenis barang yaitu telekomunikasi dan rokok akibat adanya perubahan pendapatan (prinsip maksimisasi utilitas) dengan harga barang tetap. Penjumlahan dari kedua efek ini disebut efek total perubahan permintaan suatu barang karena terjadi perubahan harga. Perbedaan efek substitusi dan efek pendapatan dapat digunakan untuk menentukan jenis barang. Barang normal mempunyai efek

Rokok

E2 Y1

U2 E1

Y2

T

B1 U1

B X2

X1 Telekomunikasi

O X2

Efek pendapatan Efek

substitusi Efek total Sumber: Nicholson (1995)


(36)

19

pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Bila efek pendapatan positif lebih besar dari nilai absolut, efek substitusi barang ini tergolong superior, bila efek pendapatan negatif lebih besar daripada nilai absolut, efek substitusi menimbulkan efek substitusi yang negatif pula maka barang ini disebut barang giffen (Sudarsono 1995).

Dua barang dikatakan bersubstitusi jika kedua barang tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang sama, dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satunya meningkat, kuantitas barang lainnya yang diminta akan meningkat. Dua barang dikatakan komplemen jika kedua barang bersama-sama dikonsumsi untuk memenuhi satu kebutuhan atau dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan barang lain akan menurun (asumsi ceteris paribus). Apakah dua jenis barang bersubstitusi atau berkomplemen sangat tergantung dari kurva indiferen.

2.6.3. LA-AIDS Model

Salah satu model untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial ekonomi adalah model Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA-AIDS). Model LA-AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Working (1943) dalam Deaton (1980a) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut:

wi = αi + i log x………...2.8)

Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton dan Muellbauer (1980a) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan:


(37)

c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor harga. Pada persamaan 2.9 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara nol dan satu sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah nol.

Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah satu. Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan 2.9 dapat ditulis:

∑ ∑ ∑ ∏ …(2.10)

α, , dan γ adalah parameter.

Derivasi parsial dilakukan terhadap harga ∂ log c(u, p) / ∂ log pi = qi dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan ⁄ , maka

⁄ , sehingga persamaan 2.10 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi :

∑ ∏ ………(2.11) Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c(u, p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk:

∑ { } ……(2.12) Persamaan 2.12 dikenal sebagai model LA-AIDS Deaton & Muellbauer (1980a). P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional :

∑ ∑ ……(2.13) Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan

Stone’s Price indeks:

……(2.14)


(38)

21

∑ ∑ ……(2.15) Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang

restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah:

Adding Up : ∑ ∑ ∑

Homogeneity : ∑ untuk setiap i

Symmetry : γij= γji

Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi permintaan persamaan 2.12 merupakan first order approximation dari perilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Apabila maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa kelebihan model LA-AIDS, di antaranya:

1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan.

2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia, sehingga estimasi permintaan dapat dilakukan tanpa data kuantitas. 3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik.

4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya.

2.6.4. SUR (Seemingly Unrelated Regression) dan GLS (Generalized Least Squares)

Estimasi model LA-AIDS dilakukan dengan menggunakan metode statistik SUR dengan prosedur GLS. Metode SUR atau Seemingly Unrelated Regression


(39)

(seolah-olah kelihatannya tidak berkaitan) terdiri dari sekumpulan persamaan yang berkaitan karena ada korelasi antar sisaan persamaan (Juanda 2009). SUR diartikan sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut. Suatu ketidakefisienan terjadi karena metode seperti 2SLS dan peubah instrumental tidak mempertimbangkan korelasi antar sisaan dari persamaan-persamaan yang dibentuk. SUR terdiri atas sekumpulan persamaan yang masing-masing variabel endogen saling berhubungan satu sama lain karena adanya korelasi antar sisaan untuk setiap kelompok persamaan. Metode SUR menggunakan prosedur GLS dan dapat meningkatkan efiensi dugaan dengan cara mempertimbangkan secara eksplisit bahwa terdapat korelasi sisaan. Metode SUR ini pertama kali diperkenalkan oleh Zellner pada tahun 1962, yang pada intinya melakukan iterasi dua tahap. Prosedur GLS (Generalized Least Square) digunakan dalam kasus bahwa asumsi klasik OLS seperti homoskedasticity (ragam konstan) dan non-autokorelasi (sisaan tidak berkorelasi) tidak terpenuhi. Substitusi antar barang menunjukkan permintaan setiap komoditi memiliki hubungan satu sama lain sehingga estimasi parameter lebih efisien menggunakan GLS.

2.7. Penelitian Terdahulu

Deaton & Muellbauer (1980a) menggunakan model LA-AIDS untuk mengestimasi 8 kelompok komoditi yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di Inggris dengan data tahun 1954-1974. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditi makanan dan perumahan.

Sengul dan Tuncer (2005) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang fungsi permintaan makanan pada rumah tangga miskin di Turki. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa respon permintaan antar kelompok makanan bervariasi antara rumah tangga miskin dan sangat miskin. Pengeluaran untuk komoditi roti, padi-padian dan gula sangat tinggi dan pengeluaran untuk ikan, daging dan lemak sangat rendah pada rumah tangga sangat miskin. Ketersediaan pangan pada rumah tangga sangat miskin sangat responsif terhadap


(40)

23

perubahan harga dan pendapatan dibandingkan rumah tangga miskin. Seale et al.

(2003) menggunakan model LA-AIDS meneliti pola konsumsi makanan di 114 negara meliputi negara berpendapatan rendah, sedang dan tinggi. Hasil penelitiannya adalah negara berpendapatan rendah lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan. Negara-negara berpenghasilan rendah/miskin menghabiskan sebagian besar anggarannya pada kebutuhan makanan terutama makanan pokok (sereal).

Ariningsih (2004) menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani sangat rendah tetapi sangat tinggi untuk pangan sumber protein nabati. Pola pengeluaran rumah tangga untuk komoditi telur, daging, ikan pada daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan.

Busch et al. (2004) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti pengeluaran tembakau terhadap pola konsumsi rumah tangga di Amerika Serikat. Hasil penelitian didapatkan kecilnya pengeluaran untuk perumahan bagi rumah tangga perokok. Peningkatan harga rokok berpengaruh positif terhadap permintaan makanan pada rumah tangga, untuk beberapa amatan berpengaruh negatif pada pengeluaran untuk pakaian dan perumahan. Penelitian Suryaningsih (2010) khusus pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian adalah elastisitas pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin di pulau Jawa cikup tinggi atau sangat elastis. Kajian deskriptif yang dilakukan Irawan (2005) di Indonesia, meneliti hubungan konsumsi rokok dan kemiskinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk termiskin (golongan pendapatan 20% terbawah), belanja tembakau mencapai sekitar 3 kali lipat dibandingkan dengan biaya pendidikan, dan 4,3 kali lipat dibandingkan untuk biaya kesehatan. Penelitian yang sama dilakukan oleh Liu et al. (2006) di China dengan menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran medis akibat merokok dan belanja rokok meningkatkan kemiskinan baik di pedesaan maupun di perkotaan.


(41)

Kahar (2010) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti pola konsumsi daerah perkotaan dan pedesaan dan keterkaitannya dengan karakteristik sosial ekonomi di propinsi Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada rumah tangga berpendapatan rendah, peningkatan jumlah anggota keluarga menyebabkan permintaan di sektor pendidikan di wilayah perkotaan rendah. Peningkatan jumlah anak yang sekolah menyebabkan permintaan atau partisipasi untuk sektor pendidikan di wilayah perkotaan juga rendah.

Aker et al. (2008) menggunakan model pencarian sekuensial meneliti hubungan perkembangan ponsel dengan dispersi harga di Nigeria dan didapatkan hasil bahwa dengan ponsel mampu mengurangi dispersi harga pasar untuk gandum membuat harga gandum yang diterima konsumen lebih rendah sehingga meningkatkan kuantitas permintaan gandum oleh rumah tangga.

Penelitian mengenai pola konsumsi dan fungsi permintan telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik itu dalam lingkup lokal maupun internasional. Banyak peneliti memfokuskan penelitian pada analisis permintaan pangan termasuk di Indonesia. Penelitian pola konsumsi rumah tangga miskin yang dihubungkan dengan konsumsi rokok dengan menggunakan pendekatan LA-AIDS seperti penelitian yang dilakukan di China dan Amerika belum dilakukan di Indonesia. Hal yang sama untuk konsumsi telekomunikasi, belum adanya penelitian terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin yang dihubungkan dengan konsumsi telekomunikasi di Indonesia, oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada pengaruh konsumsi telekomunikasi pada rumah tangga miskin di pulau Jawa didasari oleh perkembangan pelanggan selular yang mencapai 180 juta pelanggan di tahun 2010 atau sekitar 80 persen populasi penduduk Indonesia dan masih terpusatnya perkembangan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia bagian barat.

2.8. Kerangka Pemikiran

Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Pemenuhan kebutuhan ini dibatasi oleh tingkat pendapatan. Rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya pada komoditi pangan dan non pangan. Rumah tangga dengan pendapatan rendah


(42)

25

cenderung mengalokasikan pengeluarannya pada komoditi pangan lebih besar dibandingkan dengan komoditi non pangan.

Komoditi non pangan yang menjadi kebutuhan dasar untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari seharusnya menjadi prioritas dalam mengalokasikan pendapatan rumah tangga. Namun keterbatasan pendapatan pada rumah tangga miskin membuat rumah tangga tidak mampu mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan dasar ini. Selain itu tingkat harga pada kebutuhan dasar non pangan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat harga pada kebutuhan pangan.

Berdasarkan kebutuhan pangan dan non pangan dapat dikemukakan bahwa permintaan terhadap kebutuhan tersebut tidak lain untuk memaksimumkan utilitas yang diinginkan oleh rumah tangga. Namun demikian, tujuan pemaksimuman utilitas ini harus memperhatikan kendala pendapatan, sehingga masalahnya adalah bagaimana memaksimumkan utilitas yang diderivasi dari konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga dengan kendala pendapatan tertentu. Di samping itu, perilaku permintaan konsumsi rumah tangga miskin diharapkan tidak hanya merefleksikan pendapatan dan biaya tetapi termasuk karakteristik demografi dan sosial tempat rumah tangga berada karena hal-hal ini dapat memengaruhi fungsi utilitas rumah tangga miskin tersebut.

Penentuan kelompok komoditi di samping berdasarkan literatur, juga didasarkan kepada fakta bahwa antar komoditi makanan tersebut memang diduga berkaitan satu sama lain, misalnya di saat pendapatan naik maka dimungkinkan suatu rumah tangga mengkonsumsi non makanan lebih banyak dari biasanya dibandingkan kebutuhan untuk membeli makanan pokok (padi-padian). Hal yang sama juga dapat terjadi pada kelompok non makanan, dimana jika terjadi peningkatan pendapatan atau adanya konsumsi baru terhadap telekomunikasi, maka komposisi konsumsi akan berubah sesuai prinsip substitusi, kurva indiferen, dan maksimisasi utilitas.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka fungsi permintaan rumah tangga miskin yang akan dibentuk meliputi:

- lokasi tempat tinggal yaitu daerah perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan hasil penelitian tingkat konsumsi komoditi khususnya makanan seperti konsumsi


(1)

A B C D E F

A 1.00000 -0.14622 -0.12862 -0.52426 -0.11582 -0.05738 B -0.14622 1.00000 -0.18147 -0.20211 -0.01511 -0.06635 C -0.12862 -0.18147 1.00000 -0.51439 -0.03020 0.00334 D -0.52426 -0.20211 -0.51439 1.00000 -0.01586 -0.05981 E -0.11582 -0.01511 -0.03020 -0.01586 1.00000 -0.02358 F -0.05738 -0.06635 0.00334 -0.05981 -0.02358 1.00000

Cross Model Inverse Correlation

A B C D E F

A 3.76941 1.89245 2.83020 3.85893 0.62549 0.57797 B 1.89245 2.14182 1.88968 2.42649 0.35649 0.39793 C 2.83020 1.88968 3.67343 3.79461 0.53963 0.51520 D 3.85893 2.42649 3.79461 5.51938 0.70265 0.71645 E 0.62549 0.35649 0.53963 0.70265 1.10824 0.12590 F 0.57797 0.39793 0.51520 0.71645 0.12590 1.10367

Cross Model Inverse Covariance

A B C D E F

A 0.84651 0.64213 1.05334 0.75360 0.8909 0.38304 B 0.64213 1.09807 1.06263 0.71597 0.7672 0.39847 C 1.05334 1.06263 2.26578 1.22811 1.2738 0.56586 D 0.75360 0.71597 1.22811 0.93731 0.8703 0.41290 E 0.89088 0.76718 1.27377 0.87028 10.0111 0.52918 F 0.38304 0.39847 0.56586 0.41290 0.5292 2.15855

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

System Weighted MSE 1.1271 Degrees of freedom 65031 System Weighted R-Square 0.5413

Model A Dependent Variable W1 Label W1

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.186060 0.009158 20.32 <.0001 Intercept LP1 1 0.017473 0.001931 9.05 <.0001 LP1 LP2 1 -0.00523 0.000943 -5.55 <.0001 LP2 LP3 1 -0.00675 0.000457 -14.77 <.0001 LP3 LP4 1 0.003156 0.001107 2.85 0.0044 LP4 LP5 1 -0.00070 0.000464 -1.52 0.1290 LP5 LP6 1 -0.00093 0.000291 -3.20 0.0014 LP6 LP7 1 -0.00701 0.000995 -7.05 <.0001 LP7 LPY 1 0.008347 0.001449 5.76 <.0001 LPY LJART 1 0.018893 0.002249 8.40 <.0001 LJART DUMMYPDD 1 -0.03367 0.001862 -18.09 <.0001 DUMMYPDD d 1 -0.03748 0.001299 -28.85 <.0001

t 1 -0.00613 0.000750 -8.17 <.0001


(2)

Label W2

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.044969 0.005653 7.95 <.0001 Intercept LP1 1 -0.00523 0.000943 -5.55 <.0001 LP1 LP2 1 0.013264 0.000841 15.77 <.0001 LP2 LP3 1 -0.00434 0.000305 -14.23 <.0001 LP3 LP4 1 0.003811 0.000672 5.67 <.0001 LP4 LP5 1 -0.00108 0.000210 -5.12 <.0001 LP5 LP6 1 -0.00182 0.000195 -9.33 <.0001 LP6 LP7 1 -0.00461 0.000584 -7.90 <.0001 LP7

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

LPY 1 0.006039 0.000924 6.54 <.0001 LPY LJART 1 0.002500 0.001394 1.79 0.0729 LJART DUMMYPDD 1 0.002203 0.001232 1.79 0.0737 DUMMYPDD d 1 -0.00178 0.000859 -2.08 0.0380

t 1 0.003228 0.000495 6.51 <.0001

Model C Dependent Variable W3 Label W3

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.24009 0.004544 -52.84 <.0001 Intercept LP1 1 -0.00675 0.000457 -14.77 <.0001 LP1 LP2 1 -0.00434 0.000305 -14.23 <.0001 LP2 LP3 1 0.003613 0.000292 12.36 <.0001 LP3 LP4 1 0.007986 0.000453 17.65 <.0001 LP4 LP5 1 -0.00027 0.000082 -3.34 0.0008 LP5 LP6 1 -0.00178 0.000127 -14.01 <.0001 LP6 LP7 1 0.001540 0.000284 5.43 <.0001 LP7 LPY 1 0.047964 0.000798 60.07 <.0001 LPY LJART 1 -0.01286 0.001134 -11.34 <.0001 LJART DUMMYPDD 1 0.001366 0.001121 1.22 0.2230 DUMMYPDD d 1 0.006378 0.000776 8.22 <.0001

t 1 0.002996 0.000451 6.64 <.0001

Model D Dependent Variable W4 Label W4

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation


(3)

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.034963 0.008969 3.90 <.0001 Intercept LP1 1 0.003156 0.001107 2.85 0.0044 LP1 LP2 1 0.003811 0.000672 5.67 <.0001 LP2 LP3 1 0.007986 0.000453 17.65 <.0001 LP3 LP4 1 0.011558 0.001232 9.38 <.0001 LP4 LP5 1 0.000790 0.000195 4.05 <.0001 LP5 LP6 1 -0.00271 0.000263 -10.33 <.0001 LP6 LP7 1 -0.02459 0.000605 -40.62 <.0001 LP7 LPY 1 0.069597 0.001568 44.37 <.0001 LPY LJART 1 -0.05601 0.002200 -25.45 <.0001 LJART DUMMYPDD 1 0.021776 0.002135 10.20 <.0001 DUMMYPDD d 1 0.016950 0.001478 11.47 <.0001

t 1 -0.00072 0.000859 -0.84 0.4014

Model E Dependent Variable W5 Label W5

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.01360 0.001703 -7.98 <.0001 Intercept LP1 1 -0.00070 0.000464 -1.52 0.1290 LP1 LP2 1 -0.00108 0.000210 -5.12 <.0001 LP2 LP3 1 -0.00027 0.000082 -3.34 0.0008 LP3 LP4 1 0.000790 0.000195 4.05 <.0001 LP4 LP5 1 -0.00296 0.000588 -5.03 <.0001 LP5 LP6 1 -0.00011 0.000053 -2.10 0.0355 LP6 LP7 1 0.004336 0.000268 16.19 <.0001 LP7 LPY 1 0.000281 0.000263 1.07 0.2866 LPY LJART 1 0.000208 0.000469 0.44 0.6571 LJART DUMMYPDD 1 0.002218 0.000295 7.53 <.0001 DUMMYPDD d 1 0.000281 0.000215 1.31 0.1915

t 1 0.001542 0.000134 11.49 <.0001

Model F Dependent Variable W6 Label W6

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.085136 0.002623 32.46 <.0001 Intercept LP1 1 -0.00093 0.000291 -3.20 0.0014 LP1 LP2 1 -0.00182 0.000195 -9.33 <.0001 LP2 LP3 1 -0.00178 0.000127 -14.01 <.0001 LP3 LP4 1 -0.00271 0.000263 -10.33 <.0001 LP4 LP5 1 -0.00011 0.000053 -2.10 0.0355 LP5 LP6 1 0.013274 0.000112 118.69 <.0001 LP6 LP7 1 -0.00593 0.000180 -32.89 <.0001 LP7 LPY 1 -0.00805 0.000451 -17.84 <.0001 LPY LJART 1 0.004753 0.000663 7.17 <.0001 LJART DUMMYPDD 1 0.000352 0.000630 0.56 0.5761 DUMMYPDD d 1 0.001979 0.000435 4.55 <.0001


(4)

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

RESTRICT -1 13005.95 545.7691 23.83 <.0001 RESTRICT -1 30010.52 849.2298 35.34 <.0001 RESTRICT -1 73450.32 1220.642 60.17 <.0001 RESTRICT -1 40084.06 679.2163 59.02 <.0001 RESTRICT -1 195.8244 266.7565 0.73 0.4629 RESTRICT -1 -4414.18 1664.428 -2.65 0.0080 RESTRICT -1 22933.42 874.6236 26.22 <.0001 RESTRICT -1 60630.20 1241.562 48.83 <.0001 RESTRICT -1 37732.26 646.0249 58.41 <.0001 RESTRICT -1 -12042.3 532.0671 -22.63 <.0001 RESTRICT -1 -6074.48 1838.143 -3.30 0.0009 RESTRICT -1 21830.37 1830.029 11.93 <.0001 RESTRICT -1 23453.08 1068.272 21.95 <.0001 RESTRICT -1 -30000.9 836.0852 -35.88 <.0001 RESTRICT -1 -15907.8 2609.290 -6.10 <.0001 RESTRICT -1 16768.00 1538.983 10.90 <.0001 RESTRICT -1 -73277.2 1207.773 -60.67 <.0001 RESTRICT -1 -67964.5 4619.394 -14.71 <.0001 RESTRICT -1 -40300.3 668.2363 -60.31 <.0001 RESTRICT -1 -20058.0 2680.194 -7.48 <.0001 RESTRICT -1 -4375.62 1662.293 -2.63 0.0085

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

Obs _TYPE_ _FREQ_ W1 W2 W3

1 0 10848 0.2248 0.0870 0.0425

Obs W4 W5 W6 W7

1 0.2903 0.0042 0.0285 0.3227

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

Obs d _TYPE_ _FREQ_ W1 W2 W3

1 0 0 7029 0.2398 0.0875 0.0406 2 1 0 3819 0.2001 0.0862 0.0456

Obs W4 W5 W6 W7

1 0.2874 0.0034 0.0263 0.3151 2 0.2950 0.0054 0.0323 0.3354

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

Obs DUMMYPDD _TYPE_ _FREQ_ W1 W2 W3

1 0 0 9381 0.2301 0.0869 0.0427 2 1 0 1467 0.1894 0.0879 0.0410

Obs W4 W5 W6 W7

1 0.2894 0.0037 0.0269 0.3204 2 0.2961 0.0072 0.0394 0.3389

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

Obs t _TYPE_ _FREQ_ W1 W2 W3

1 0 0 3955 0.2333 0.0832 0.0395 2 1 0 3580 0.2190 0.0878 0.0440 3 2 0 3313 0.2210 0.0906 0.0444


(5)

Obs W4 W5 W6 W7

1 0.2927 0.0024 0.0247 0.3242 2 0.2880 0.0043 0.0299 0.3269 3 0.2898 0.0061 0.0317 0.3164

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011 D

U

M _ _ M T F Y Y R O P P E

b D E Q W W W s d D _ _ 1 2 3

1 0 0 0 6428 0.2417 0.0874 0.0410 2 0 1 0 601 0.2173 0.0879 0.0364 3 1 0 0 2953 0.2076 0.0858 0.0460 4 1 1 0 866 0.1717 0.0879 0.0440

O

b W W W W s 4 5 6 7

1 0.2869 0.0032 0.0253 0.3145 2 0.2930 0.0059 0.0378 0.3216 3 0.2942 0.0047 0.0302 0.3315 4 0.2981 0.0081 0.0404 0.3499

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

Obs t d _TYPE_ _FREQ_ W1 W2 W3

1 0 0 0 2594 0.2475 0.0840 0.0368 2 0 1 0 1361 0.2065 0.0817 0.0445 3 1 0 0 2292 0.2338 0.0879 0.0423 4 1 1 0 1288 0.1932 0.0877 0.0469 5 2 0 0 2143 0.2366 0.0917 0.0436 6 2 1 0 1170 0.2003 0.0892 0.0454

Obs W4 W5 W6 W7

1 0.2918 0.0018 0.0226 0.3155 2 0.2945 0.0034 0.0286 0.3408 3 0.2843 0.0036 0.0283 0.3198 4 0.2945 0.0055 0.0328 0.3394 5 0.2850 0.0053 0.0289 0.3089 6 0.2961 0.0073 0.0353 0.3263

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011 D

U

M _ _ M T F Y Y R O P P E

b D E Q W W W s t D _ _ 1 2 3

1 0 0 0 3407 0.2390 0.0831 0.0398 2 0 1 0 548 0.1955 0.0841 0.0374 3 1 0 0 3088 0.2242 0.0878 0.0442


(6)

5 2 0 0 2886 0.2259 0.0904 0.0444 6 2 1 0 427 0.1877 0.0920 0.0439

O

b W W W W s 4 5 6 7

1 0.2919 0.0020 0.0232 0.3211 2 0.2986 0.0050 0.0344 0.3450 3 0.2874 0.0038 0.0281 0.3246 4 0.2923 0.0078 0.0421 0.3428 5 0.2887 0.0057 0.0301 0.3148 6 0.2974 0.0093 0.0424 0.3274

The SAS System 10:30 Tuesday, July 6, 2011

D U

M _ _ M T F Y Y R O P P E

b D E Q W W W s t d D _ _ 1 2 3

1 0 0 0 0 2367 0.2499 0.0838 0.0374 2 0 0 1 0 227 0.2210 0.0857 0.0306 3 0 1 0 0 1040 0.2147 0.0814 0.0452 4 0 1 1 0 321 0.1773 0.0830 0.0422 5 1 0 0 0 2095 0.2355 0.0879 0.0426 6 1 0 1 0 197 0.2137 0.0888 0.0390 7 1 1 0 0 993 0.2009 0.0875 0.0475 8 1 1 1 0 295 0.1651 0.0881 0.0446 9 2 0 0 0 1966 0.2383 0.0918 0.0438 10 2 0 1 0 177 0.2162 0.0899 0.0415 11 2 1 0 0 920 0.2070 0.0883 0.0454 12 2 1 1 0 250 0.1726 0.0930 0.0452

O

b W W W W s 4 5 6 7

1 0.2913 0.0017 0.0217 0.3142 2 0.2970 0.0036 0.0322 0.3298 3 0.2930 0.0026 0.0266 0.3366 4 0.2998 0.0061 0.0360 0.3558 5 0.2842 0.0034 0.0273 0.3192 6 0.2859 0.0066 0.0398 0.3262 7 0.2939 0.0047 0.0299 0.3355 8 0.2964 0.0085 0.0436 0.3536 9 0.2841 0.0050 0.0276 0.3093 10 0.2963 0.0084 0.0436 0.3041 11 0.2956 0.0067 0.0338 0.3231 12 0.2980 0.0097 0.0418 0.3397