tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang
berbeda-beda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga.
Pada negara berkembang pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat
pendapatan yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi prioritas utama. Pada kurun waktu dari tahun 2002-2010 di Indonesia, rata-rata
pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi
makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama
BPS 2010.
2.3. Variabel Sosial Demografi
Pola konsumsi dapat dilihat dari perilaku dan karakteristik kosumen. Karakteristik konsumen dapat dikelompokkan berdasarkan usia, lokasi tempat
tinggal, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, status pekerjaan kepala rumah tangga dan lain-lain. Pengelompokan konsumen
berdasarkan karakteristiknya dapat mencirikan perbedaan perilaku konsumen antarkelompok. Perbedaan perilaku konsumen menyebabkan pola konsumsi
rumah tangga juga berbeda. Pada Howard and Sheth model dalam Sumarwan 2002, perilaku konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli atau
mengkonsumsi barang dan jasa dipengaruhi oleh adanya kegiatan pemasaran yang dilakukan produsen, faktor perbedaan individu dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan ini terdiri dari: 1 budaya, 2 karakteristik sosial ekonomi, 3 keluarga dan rumah tangga, 4 kelompok acuan, dan 5 situasi konsumen.
Lokasi tempat tinggal konsumen akan mempengaruhi pola konsumsinya Yuliana 2008, Syafwil 2002, Kahar 2010. Rumah tangga yang tinggal di
perdesaan memiliki akses terbatas pada berbagai produk barang dan jasa. Sebaliknya, rumah tangga yang tinggal di perkotaan lebih mudah memperoleh
semua barang dan jasa yang dibutuhkan. Pada umumnya penduduk perkotaan
membelanjakan sebagian besar pengeluarannya untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan, sedangkan sebaliknya penduduk perdesaan mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan. Secara nasional, penduduk perkotaan membelanjakan 45,69 persen pengeluarannya untuk makanan,
sedangkan penduduk perdesaan mencapai 58,57 persen BPS 2009b. Keadaan ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk perkotaan jauh lebih baik
dibandingkan penduduk di perdesaan. Ukuran rumah tangga berbeda pengaruhnya terhadap permintaan makanan
dimana ukuran rumah tangga berpengaruh positif terhadap permintaan makanan pokok tetapi berpengaruh negatif terhadap permintaan makanan lainnya Teklu
Johnson 1987, Nurfarma 2005. Peningkatan jumlah anggota rumah tangga biasanya akan meningkatkan permintaan komoditi pangan dibandingkan komoditi
non pangan. Apabila rumah tangga memiliki pendapatan yang sama maka peningkatan jumlah anggota rumah tangga akan menurunkan kemampuan rumah
tangga untuk membeli makanan yang bergizi yang akan dikonsumsi oleh anggota rumah tangga.
Terkait dengan pendidikan, hasil penelitian Suryaningsih 2010 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan istri berpengaruh negatif terhadap
permintaan sembako rumah tangga miskin. Kahar 2010 menunjukkan pendidikan kepala rumah tangga yang rendah berpengaruh negatif terhadap
konsumsi pendidikan di daerah perkotaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap jumlah permintaan terhadap
komoditi ikandagingtelursusu di daerah perkotaan.
2.4. Pengeluaran Telekomunikasi