Cocoa Production Efficiency of Small-scale Cocoa Farmers in Bali: Stochastic Frontier Approach

(1)

EFISIENSI PRODUKSI KAKAO

PADA PERKEBUNAN RAKYAT DI BALI:

PENDEKATAN

STOCHASTIC FRONTIER

JEMMY RINALDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

EFISIENSI PRODUKSI KAKAO

PADA PERKEBUNAN RAKYAT DI BALI:

PENDEKATAN

STOCHASTIC FRONTIER

JEMMY RINALDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

EFISIENSI PRODUKSI KAKAO

PADA PERKEBUNAN RAKYAT DI BALI:

PENDEKATAN

STOCHASTIC FRONTIER

JEMMY RINALDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali: Pendekatan Stochastic Frontier adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Jemmy Rinaldi NRP. H451100271


(4)

(5)

ABSTRACT

JEMMY RINALDI. Cocoa Production Efficiency of Small-scale Cocoa Farmers in Bali: Stochastic Frontier Approach. Under Direction of ANNA FARIYANTI and SITI JAHROH.

The total cocoa planting area has increased sharply in the last decade. However, it was not followed by the sharp increase in production. Small-scale cocoa farmers still have a relative low productivity and quality. Low quality of cocoa beans was mainly due to the non fermented process. As a result, the cocoa beans produced by small-scale farmers were bought at a cheap price. Tabanan District is a cocoa production center in Bali which is dominated by small-scale farmers who have low productivity. Farmers in this area had implemented the fermentation process of cocoa beans in order to increase their income, however, this technology had been left by farmers. The objectives of this study are: (1) to analyze the factors affecting the production of cocoa beans in Bali, and (2) to analyze the production efficiency of cocoa farmers in Bali and (3) to analyze cocoa farm income in Bali who implemented the fermentation technology. A questionnaire survey was conducted to 100 cocoa farmers whereas 60 farmers implemented fermentation technology and 40 farmers did not. Frontier 4.1. was employed in order to estimate the stochastic frontier production. The results showed that labor, pesticides and land area had the positive correlation in increasing cocoa production. In contrast, plant age had the negative correlation. Small-scale cocoa farmers were efficient in general. However, the farmers who implemented the fermentation technology seemed to be less efficient compared to farmers who did not implement the fermentation technology. In terms of farm income, due to higher price of fermented cocoa beans the farmers who implemented fermentation technology were able to earn higher income.


(6)

(7)

RINGKASAN

JEMMY RINALDI. Efisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali: PendekatanStochastic Frontier. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI DAN SITI JAHROH.

Perkembangan areal tanam kakao dalam kurun waktu 10 tahun terakhir meningkat cukup pesat, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi. Sebagian besar areal tanam kakao diusahakan oleh perkebunan rakyat. Produksi yang dihasilkan di tingkat perkebunan rakyat relatif mempunyai tingkat produktivitas dan kualitas mutu biji kakao yang rendah. Rendahnya mutu biji kakao di tingkat perkebunan rakyat karena tidak dilakukan proses fermentasi pada biji kakao. Akibatnya biji kakao yang dihasilkan perkebunan rakyat dibeli dengan harga yang murah. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi biji kakao di Bali, (2) menganalisis efisiensi produksi biji kakao yang dihasilkan petani di Bali dengan menerapkan teknologi fermentasi, dan (3) menganalisis pendapatan usahatani kakao dengan menerapkan teknologi fermentasi pada perkebunan rakyat di Bali. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tabanan dengan pertimbangan bahwa kabupaten tersebut merupakan sentra produksi kakao di Bali dan merupakan salah satu kabupaten yang menerapkan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh dengan metode survei menggunakan kuesioner. Responden dalam penelitian ini sebanyak 100 orang petani kakao yang terbagi menjadi 40 orang petani kakao yang tidak menerapkan teknologi fermentasi dan 60 orang yang menerapkan teknologi fermentasi. Untuk menjawab tujuan penelitian ini digunakan pendekatan stochastic frontier menggunakan alat analisis Frontier 4.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao dianalisis dengan model fungsi produksistochastic frontier, dimana variabel input produksi yang diamati yaitu: tenaga kerja, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pestisida, luas lahan dan umur tanaman. Sedangkan model pada inefisiensi produksi yang diamati adalah variabel karakteristik atau sosial ekonomi petani yaitu: umur, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani kakao, jumlah persil yang diusahakan, dummy status kepemilikan lahan, dan dummy teknologi fermentasi. Sedangkan untuk menjawab efisiensi produksi kakao dianalisis dengan menurunkan hasil model fungsi produksi stochastic frontier yang didapat. Efisiensi yang dianalisis dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu: efisiensi teknis (produksi), efisensi alokatif (harga) dan efisiensi ekonomis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi kakao adalah tenaga kerja dengan nilai koefisien sebesar 0,85. Kemudian pestisida dan luas lahan berpengaruh positif dengan nilai koefisien masing-masing sebesar 0,05 dan 0,07. Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif adalah umur tanaman dengan nilai koefisien -0,22. Faktor yang berpengaruh terhadap inefisiensi produksi kakao adalah jumlah persil dan dummy teknologi fermentasi. Semakin banyak jumlah persil yang diusahakan maka inefisiensi semakin meningkat. Begitu pula dengan dummy teknologi fermentasi, maka akan meningkatkan inefisiensi produksi.


(8)

iv

Efisiensi produksi kakao di tingkat perkebunan rakyat telah efisien dilakukan dengan nilai efisiensi rata-rata sebesar 0,912. Proses pengolahan biji kakao dengan menerapkan teknologi fermentasi memiliki tingkat efisiensi sebesar 0,890 yang lebih kecil dibandingkan dengan proses pengolahan biji kakao dengan tidak menerapkan teknologi fermentasi yang memiliki tingkat efisiensi sebesar 0,945. Sedangkan hasil analisis efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis usahatani kakao yang dilakukan di Kabupaten Tabanan, belum efisien dilakukan. Efisiensi secara alokatif pada usahatani kakao pada petani yang menerapkan teknologi fermentasi maupun tidak menerapkan teknologi fermentasi masing-masing diperoleh hasil rata-rata sebesar 0,201 dan 0,209. Begitu pula dengan efisiensi secara ekonomis pada petani yang menerapkan teknologi fermentasi maupun tidak menerapkan teknologi fermentasi tidak ekonomis diusahakan dengan masing-masing diperoleh rata-rata efisiensi sebesar 0,171 dan 0,198.

Hasil analisis pendapatan usahatani kakao per hektar per tahun pada petani yang menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao diperoleh tingkat pendapatan yang lebih besar yaitu sebesar Rp. 5.014.877,44 dibandingkan dengan tingkat pendapatan petani per hektar per tahun yang tidak menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao sebesar Rp. 4.654.809,24. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao dapat meningkatkan pendapatan petani.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi kakao, maka petani disarankan meningkatkan curahan tenaga kerja dalam pemeliharaan tanaman kakao seperti melakukan pemangkasan. Sedangkan untuk meningkatkan pendapatan usahatani kakao, petani disarankan agar menerapkan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao.


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

EFISIENSI PRODUKSI KAKAO

PADA PERKEBUNAN RAKYAT DI BALI:

PENDEKATAN

STOCHASTIC FRONTIER

JEMMY RINALDI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

(13)

Judul : Efisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali: PendekatanStochastic Frontier

Nama : Jemmy Rinaldi

NIM : H451100271

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si. Siti Jahroh, Ph.D.

Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Agribisnis Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ratna Winandi, MS. Penguji Program Studi : Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS.


(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya, Tesis yang berjudul “Efisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali: Pendekatan Stochastic Frontier” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Siti Jahroh, Ph.D selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.

3. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Dosen Penguji perwakilan Program Studi pada ujian tesis.

4. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr. Ir. Suharno, M.Adev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

5. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis.

6. Ir. A.A.N.B. Kamandalu, M.Si selaku Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan Ir. I G.A.K. Sudaratmaja, MS selaku mantan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Agribisnis Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

7. Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

8. Karyawan/Karyawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan.

9. Teman-teman seperjuangan Angkatan I pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana IPB atas diskusi, masukan dan keceriaan selama mengikuti pendidikan.

10. Secara khusus dengan penuh rasa cinta dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Ayahanda Baihaki Tanjung dan Ibunda Kamilaini serta Bapak mertua Achmad Arba dan Ibu mertua Djaimah yang selalu mendoakan untuk keberhasilan penulis.


(16)

xii

11. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga khusus disampaikan kepada istriku tercinta Rizmanda Fitriah Arba dan anakku tersayang Raissa Ramadhani yang telah memberikan dukungan penuh dan pengorbanannya selama penulis mengikuti pendidikan.

12. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, namun telah banyak turut memberikan sumbangan saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.

Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Februari 2013 Jemmy Rinaldi


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 19 Mei 1981 dari Ayah Baihaki Tanjung dan Ibu Kamilaini. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Pendidikan formal penulis diawali di SD Negeri Rawa Tembaga I Bekasi dari tahun 1987-1993. Kemudian penulis melanjutkan studi di SLTP Negeri 4 Bekasi dan lulus tahun 1996. Pada tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 76 Jakarta. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana dan lulus pada tahun 2004. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi Magister Sains Agribisnis pada tahun 2010 melalui beasiswa Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Sejak tahun 2008, penulis mulai diberikan tugas sebagai peneliti bidang Sistem Usahatani pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dibawah Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Penulis menikah dengan Rizmanda Fitriah Arba pada 8 Juli 2007 dan baru dikaruniai satu orang anak Raissa Ramadhani, yang lahir pada tanggal 10 September 2008.


(18)

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xvii

DAFTAR GAMBAR ……….. xx

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xxi

I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 7

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 9

1.4. Kegunaan Penelitian ………... 10

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ………. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 11

2.1. Mutu Biji Kakao di Indonesia ………... 11

2.2. Faktor Produksi pada Usahatani Kakao ……… 12

2.3. Efisiensi Produksi Tanaman Perkebunan …….…………... 14

III. KERANGKA PEMIKIRAN ……… 17

3.1. Teori Produksi ………... 17

3.2. Efisiensi Produksi ..………... 24

3.3. Kerangka Pemikiran Konseptual ..………... 29

IV. METODE PENELITIAN ……… 33

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 33

4.2. Jenis dan Sumber Data ………... 33

4.3. Metode Pengambilan Sampel ……… 34

4.4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ……… 35

4.5. Metode Analisis Data ……… 36

4.5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kakao 36 4.5.2. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi …… 38

4.5.3. Analisis Pendapatan Usahatani Kakao ……….. 40

4.5.4. Uji Beda Nyata Antar Variabel ……….. 41

4.6. Definisi Operasional ………... 42

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……….. 45

5.1. Letak Administrasi dan Keadaan Geografis ………... 45

5.2. Keadaan Penduduk ……… 46

5.3. Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan ………... 47

5.4. Karakteristik Responden ………... 49

5.5. Peran Kelembagaan Agribisnis Kakao ………. 55

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 61

6.1. Deskripsi Statistik Input Output ……… 61

6.2. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali ... 70 6.3. Inefisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali ... 73

6.4. Efisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali …. 76 6.5. Analisis Pendapatan Usahatani Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali ………..………. 84


(20)

xvi

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ……… 91

7.1. Simpulan ………... 91

7.2. Saran ………... 91

DAFTAR PUSTAKA ………... 93


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Nilai Ekspor Hasil Perkebunan di Indonesia Tahun 2000-2009 ….. 1 2. Volume dan Nilai Ekspor serta Impor Biji Kakao di Indonesia

Tahun 2000-2009 ………. 3

3. Luas Areal dan Produksi Kakao di Indonesia Tahun 2000-2010 … 4 4. Produktivitas Kakao di Indonesia menurut Pengelolaannya Tahun

2000-2010 ……… 5

5. Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Kakao di Kabupaten

Tabanan, Bali menurut Kecamatan Tahun 2010 ………. 33 6. Penggunaan Lahan di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg

Barat, Kabupaten Tabanan Tahun 2011 ……….. 45 7. Komposisi Penduduk Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg

Barat, Kabupaten Tabanan berdasarkan Klasifikasi Umur Tahun

2011 ….……… 46

8. Komposisi Penduduk Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan berdasarkan Mata Pencaharian Tahun

2011 ………. 47

9. Komposisi Penduduk Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun

2011 ……….. 48

10. Sebaran Responden berdasarkan Klasifikasi Umur di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan

Tahun 2012 ………..………… 49

11. Sebaran Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten

Tabanan Tahun 2012 ………... 50

12. Sebaran Responden berdasarkan Lamanya Pengalaman Berusahatani Kakao di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan

Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Tahun 2012 ……… 51 13. Sebaran Responden berdasarkan Luas Lahan Garapan yang

Diusahakan untuk Tanaman Kakao di Desa Mundeh Kauh,

Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Tahun 2012 …. 52 14. Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Persil yang Diusahakan

untuk Tanaman Kakao di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan

Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Tahun 2012………. 53 15. Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Tanaman Kakao yang

Diusahakan di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat,

Kabupaten Tabanan Tahun 2012 …..………... 54 16. Inventarisasi Lembaga/institusi Agribisnis Berbasis Kakao di

Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten


(22)

xviii

17. Keberadaan dan Peran Kelembagaan Agribisnis Berbasis Kakao di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten

Tabanan Tahun 2012 ………... 56

18. Penggunaan Input Produksi dan Produksi Kakao pada Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten Tabanan,

Bali Tahun 2012 ……….. 61

19. Penggunaan Input Produksi dan Produksi Kakao pada Kelompok yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten

Tabanan, Bali Tahun 2012 ……….. 63

20. Uji Beda Penggunaan Input Produksi dan Produksi Kakao per Hektar antara Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi dengan Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten

Tabanan, Bali Tahun 2012 ………... 64

21. Faktor Inefisiensi Produksi Kakao pada Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten Tabanan, Bali

Tahun 2012 ……….. 67

22. Faktor Inefisiensi Produksi Kakao pada Kelompok yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten Tabanan, Bali

Tahun 2012 ……….. 68

23. Uji Beda Faktor Inefisiensi Produksi Kakao antara Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi dengan Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten Tabanan, Bali

Tahun 2012 ……….. 69

24. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Kakao dengan Metode MLE

pada Perkebunan Rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 71 25. Hasil Pendugaan Fungsi Inefisiensi Teknis dengan Frontier pada

Perkebunan Rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 …… 75 26. Sebaran Petani menurut Tingkat Efisiensi Usahatani Kakao

Berdasarkan Jumlah Persil yang Diusahakan di Kabupaten

Tabanan, Bali Tahun 2012 ………... 77

27. Sebaran Petani menurut Tingkat Efisiensi Usahatani Kakao Berdasarkan Status Pengolahan Biji Kakao di Kabupaten

Tabanan, Bali Tahun 2012 …….……….. 78

28. Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Usahatani Kakao pada Perkebunan Rakyat yang Menerapkan Teknologi Fermentasi pada Proses Pengolahan Biji Kakao di Kabupaten

Tabanan, Bali Tahun 2012 ………... 80 29. Sebaran Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Usahatani

Kakao pada Perkebunan Rakyat yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi pada Proses Pengolahan Biji Kakao di

Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 ……… 81 30. Uji Beda Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis antara

Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi dengan yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten Tabanan,


(23)

31. Rata-rata Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Kakao per Hektar antara Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi dengan yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di

Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 ……… 85 32. Uji Beda Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Kakao per

Hektar antara Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi dengan yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di


(24)

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Luas Areal Tanaman Perkebunan di Indonesia Tahun 2000-2010 .. 2 2. Produksi Frontier dan Efisiensi Teknis ………..….. 18 3. Kurva Produk Total, Produk Rata-Rata dan Produk Marginal …… 20 4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier ……… 22 5. Efisiensi Teknis dan Alokatif ……….. 26 6. Skema Kerangka Pemikiran Konseptual ………. 30 7. Diagram Venn Kelembagaan Agribisnis Kakao di Desa Mundeh


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Perkembangan Produktivitas Kakao di Indonesia menurut

Pengelolaannya Tahun 2000-2010 ……….. 100 2. Luas Tanaman Menghasilkan (TM), Produksi dan Produktivitas

Kakao Perkebunan Rakyat di Indonesia menurut Provinsi Tahun

2010 ………. 101

3. Hasil Analisis Data Fungsi Produksi Usahatani Kakao di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Periode Juni 2011 sampai dengan Mei 2012 dengan Menggunakan

Aplikasi Program Frontier Versi 4.1c ……….. 102 4. Hasil Uji Beda Produksi dan Input Produksi Kakao pe Hektar di

Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Periode Juni 2011 sampai dengan Mei 2012 dengan

Menggunakan Aplikasi Program SPSS 16.0 ……….. 109 5. Hasil Uji Beda Faktor Inefisiensi Produksi Kakao di Desa

Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Periode Juni 2011 sampai dengan Mei 2012 dengan Menggunakan

Aplikasi Program SPSS 16.0 ….……….. 111 6. Hasil Uji Beda Efisiensi Teknis, Efisiensi Alokatif dan Efisiensi

Ekonomis Usahatani Kakao di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Periode Juni 2011 sampai dengan Mei 2012 dengan Menggunakan Aplikasi Program SPSS

16.0 ……….. 113

7. Hasil Uji Beda Penerimaan, Biaya dan Pendapatan per Hektar Usahatani Kakao di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan Periode Juni 2011 sampai dengan Mei

2012 dengan Menggunakan Aplikasi Program SPSS 16.0 ……… 115 8. Tingkat Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis pada Kelompok

Petani yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi …………... 117 9. Tingkat Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis pada Kelompok

Petani yang Menerapkan Teknologi Fermentasi ………. 119 10. Total Penerimaan, Biaya, Pendapatan dan Kelayakan Usahatani

Kakao per Hektar per Tahun pada Kelompok Petani yang Tidak

Menerapkan Teknologi Fermentasi ………. 121 11. Total Penerimaan, Biaya, Pendapatan dan Kelayakan Usahatani

Kakao per Hektar per Tahun pada Kelompok Petani yang


(26)

(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Komoditas perkebunan yang merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia seperti kelapa sawit, karet, kakao, kopi dan lada sebagian besar masih diekspor dalam bentuk komoditas primer (Suprihatiet al,. 2004; Pusdatin, 2010). Kakao adalah salah satu komoditas ekspor dari subsektor perkebunan yang merupakan komoditas unggulan nasional, dimana pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 komoditas ini memberikan sumbangan devisa keempat setelah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Namun pada tahun 2008 komoditas kakao berada pada peringkat ketiga setelah kelapa sawit dan karet yaitu sebesar US$ 1,413 milyar. Nilai ekspor hasil perkebunan di Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Ekspor Hasil Perkebunan di Indonesia dari Tahun 2000 - 2009

Tahun Nilai Ekspor (US$ 000)

Kelapa Sawit Karet Kakao Kopi Kelapa Mete

2000 1.326.398 888.623 341.860 326.256 888.623 31.502 2001 1.227.165 786.197 389.262 188.493 786.197 28.929 2002 2.348.638 1.037.562 701.034 223.916 1.037.562 34.810 2003 2.719.304 1.494.811 621.022 258.795 1.494.811 43.534 2004 3.944.457 2.180.029 546.560 294.113 2.180.029 58.187 2005 4.344.303 2.582.875 664.338 503.836 2.582.875 68.972 2006 4.139.286 4.321.525 852.778 586.877 4.321.525 56.584 2007 8.866.445 4.868.700 924.157 636.319 4.868.700 82.833 2008 14.110.229 6.023.296 1.268.914 991.458 900.498 77.755 2009 11.605.431 3.241.534 1.413.535 824.015 494.532 82.650

Sumber : Ditjenbun, 2010

Kakao mempunyai peranan yang penting sebagai salah satu komoditas perkebunan yang menunjang perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai perolehan devisa, penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan bagi petani maupun pelaku ekonomi lainnya yang terlibat dalam budidaya, pengolahan maupun dalam mata rantai pemasaran. Disamping itu, kakao juga


(28)

2

berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.

Berdasarkan luas areal tanam, kakao merupakan komoditas perkebunan tertinggi ke empat setelah kelapa sawit, kelapa dan karet. Luas areal tanam kakao meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2005 luas areal tanam kakao di Indonesia berada pada posisi kelima setelah kelapa sawit, kelapa, karet dan kopi dengan luas areal tanam kakao sebesar 1.167.046 hektar, sedangkan luas areal tanam kopi sebesar 1.255.272 hektar. Kemudian pada tahun 2006 luas areal tanam kakao berada pada peringkat keempat diatas tanaman kopi. Peningkatan luas areal tanam kakao di Indonesia terus meningkat hingga tahun 2010 yaitu sebesar 1.651.539 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa kakao merupakan komoditas perkebunan yang banyak diminati. Perkembangan luas areal tanaman perkebunan di Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Ditjenbun, 2010

Gambar 1. Luas Areal Tanaman Perkebunan di Indonesia Tahun 2000 - 2010

0.00 1,000,000.00 2,000,000.00 3,000,000.00 4,000,000.00 5,000,000.00 6,000,000.00 7,000,000.00 8,000,000.00 9,000,000.00 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 H a Tahun


(29)

Peningkatan luas areal tanam perkebunan kakao di Indonesia berpengaruh pada meningkatnya volume ekspor biji kakao. Disisi lain, peningkatan volume ekspor ternyata diikuti dengan meningkatnya volume impor. Hal ini disebabkan karena sulitnya industri cokelat dalam negeri mendapatkan biji kakao yang memiliki citarasa yang baik pada produksi dalam negeri. Pada periode tahun 2000 sampai dengan 2010, volume ekspor meningkat dari 424.089 ton menjadi 552.880 ton atau terjadi peningkatan sebesar 30,37 persen. Sedangkan volume impor meningkat dari 18.252 ton menjadi 47.453 ton atau meningkat sebesar 159,99 persen. Meningkatnya volume impor tersebut disebabkan rendahnya mutu biji kakao yang dihasilkan terutama dari perkebunan rakyat. Rendahnya mutu biji kakao, terutama disebabkan oleh cara pengolahan yang kurang baik, seperti biji kakao tidak difermentasi atau proses fermentasi yang kurang baik. Volume dan nilai ekspor serta impor biji kakao di Indonesia tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor serta Impor Biji Kakao di Indonesia Tahun 2000 – 2010

Tahun

Ekspor Impor

Volume (Ton) (%)

Nilai

(000 US$) (%)

Volume

(Ton) (%)

Nilai

(000 US$) (%) 2000 424.089 0 341.860 0 18.252 0 18.953 0 2001 392.072 -7,55 389.262 13,87 11.841 35,12 15.699 -17,17 2002 465.622 9,79 701.034 105,06 36.603 100,59 64.001 237,68 2003 355.726 -16,12 621.022 81,66 39.226 114,59 76.205 302,07 2004 366.855 -13,50 546.560 59,88 46.974 157,36 77.023 306,39 2005 463.632 9,32 664.338 94,33 52.353 186,83 82.326 334,37 2006 609.035 43,61 852.778 149,45 47.939 162,65 74.185 291,42 2007 503.522 18,73 924.157 170,33 43.528 138,48 82.786 336,80 2008 515.523 21,56 1.268.914 271,18 53.331 192,19 113.381 498,22 2009 535.236 26,21 1.413.535 313,48 46.356 153,98 119.321 529,56 2010 552.880 30,37 1.643.726 380,82 47.453 159,99 164.607 768,50

Sumber : Ditjenbun, 2010; Ditjenbun 2011

Pengembangan kakao di Indonesia tidak lepas dari berbagai masalah yang dihadapi dari sektor hulu hingga hilir. Beberapa masalah di sektor hulu antara lain produktivitas tanaman yang masih rendah, serta adanya serangan hama dan penyakit. Sedangkan permasalahan di sektor hilir sebagian besar disebabkan


(30)

4

karena tingginya kandungan biji kakao yang tidak difermentasi sehingga biji kakao Indonesia dikenakan automatic detention untuk pasar Amerika. Besarnya potongan harga akibat masalah tersebut pada tahun 2005 mencapai US$ 250/ton (Askindo, 2005). Dominasi rendahnya mutu kakao, juga menyebabkan banyak industri cokelat dalam negeri kesulitan mendapatkan biji kakao yang memiliki citarasa baik. Industri cokelat di Indonesia harus mengimpor biji kakao dari luar, bahkan dari Afrika yang menyebabkan biaya produksi meningkat serta daya saing produk menurun. Sehingga pada tahun 2010, Indonesia mengimpor biji kakao sebanyak 47.453 ton biji kakao fermentasi dengan nilai sebesar US$ 164.607.000. Rendahnya mutu biji kakao di Indonesia yang menyebabkan tingginya volume impor disebabkan oleh tidak difermentasinya biji kakao yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat.

Berdasarkan jenis perkebunan kakao yang diusahakan di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis pengelolaan yang terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Berdasarkan pengelolaannya, luas areal dan produksi kakao di Indonesia tahun 2000-2010 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Kakao di Indonesia Tahun 2000 - 2010

Tahun

Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah

2000 641.133 52.690 56.094 749.917 363.628 34.790 22.724 421.142

2001 710.044 55.291 56.114 821.449 476.924 33.905 25.975 536.804

2002 798.628 54.815 60.608 914.051 511.379 34.083 25.693 571.155

2003 861.099 49.913 53.211 964.223 634.877 32.075 31.864 698.816

2004 1.003.252 38.668 49.040 1.090.960 636.783 25.830 29.091 691.704

2005 1.081.102 38.295 47.649 1.167.046 693.701 25.494 29.633 748.828

2006 1.219.633 48.930 52.257 1.320.820 702.207 33.795 33.384 769.386

2007 1.272.781 57.343 49.155 1.379.279 671.370 34.643 33.993 740.006

2008 1.326.784 50.584 47.848 1.425.216 740.681 31.130 31.783 803.594

2009 1.491.808 49.489 45.839 1.587.136 741.981 34.604 32.998 809.583

2010 1.555.596 50.104 45.839 1.651.539 773.707 36.844 34.075 844.626

Sumber : Ditjenbun, 2010 Keterangan :

PR = Perkebunan Rakyat

PBN = Perkebunan Besar Negara


(31)

Ketiga jenis pengelolaan usaha kakao tersebut yang paling banyak menguasai areal perkebunan kakao adalah perkebunan rakyat. Hal ini dapat terlihat bahwa pada tahun 2010 total areal perkebunan di Indonesia mencapai 1.651.539 hektar yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan rakyat yaitu sebesar 1.555.596 hektar atau berkontribusi sebesar 94,19 persen. Sedangkan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 50.104 hektar (3,03%) dan 45.839 hektar (2,78%).

Perkembangan luas areal kakao di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan Hal ini ditunjukkan bahwa pada tahun 2000 luas areal tanam perkebunan kakao di Indonesia sebesar 749.917 hektar kemudian meningkat menjadi 1.651.539 hektar. Begitu juga dengan produksi kakao yang dihasilkan terjadi peningkatan dari tahun 2000 sebesar 421.142 ton menjadi 844.626 ton pada tahun 2010. Peningkatan produksi pada periode tersebut mencapai 100,56 persen. Peningkatan produksi kakao di Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan luas areal tanam kakao. Hal ini disebabkan karena produktivitas kakao di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8,93 persen (Tabel 4).

Tabel 4. Produktivitas Kakao di Indonesia menurut Pengelolaannya Tahun 2000 -2010

Tahun Produktivitas (Kg/Ha)

PR (%) PBN (%) PBS (%) Total (%) 2000 567,16 0,00 660,28 0,00 405,11 0,00 561,58 0,00 2001 671,68 18,43 613,21 -7,13 462,90 14,27 653,48 16,36 2002 640,32 12,90 621,78 -5,83 423,92 4,64 624,86 11,27 2003 737,29 30,00 642,62 -2,67 598,82 47,82 724,75 29,05 2004 634,72 11,91 667,99 1,17 593,21 46,43 634,03 12,90 2005 641,66 13,13 665,73 0,83 621,90 53,52 641,64 14,26 2006 575,75 1,51 690,68 4,60 638,84 57,70 582,51 3,73 2007 527,48 -7,00 604,14 -8,50 691,55 70,71 536,52 -4,46 2008 558,25 -1,57 615,41 -6,79 664,25 63,97 563,84 0,40 2009 497,37 -12,31 699,23 5,90 719,87 77,70 510,09 -9,17 2010 497,37 -12,31 735,35 11,37 743,36 83,50 511,42 -8,93

Sumber : Ditjenbun, 2010 Keterangan :

PR = Perkebunan Rakyat

PBN = Perkebunan Besar Negara


(32)

6

Berdasarkan luas areal tanam kakao sebagian besar dikelola oleh perkebunan rakyat, maka rendahnya produksi kakao secara nasional disebabkan oleh rendahnya produktivitas kakao yang dikelola oleh perkebunan rakyat. Produktivitas kakao di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2000 sebesar 561,58 kilogram per hektar menjadi 511,42 kilogram per hektar di tahun 2010. Hal ini disebabkan karena penurunan produktivitas kakao yang dikelola oleh perkebunan rakyat mengalami penurunan sebesar 12,31 persen. Sedangkan perkebunan kakao lain yang dikelola oleh perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta mengalami peningkatan produktivitas yaitu masing-masing sebesar 11,37 persen dan 83,50 persen.

Perkembangan produktivitas kakao di Indonesia mengalami penurunan terutama terjadi terjadi pada perkebunan yang dikelola oleh perkebunan rakyat. Produktivitas yang dihasilkan perkebunan rakyat pada tahun 2000 mencapai 567,16 kilogram per hektar yaitu peringkat kedua setelah perkebunan besar negara sebesar 660,28 kilogram per hektar. Sedangkan perkebunan besar swasta produktivitas yang dihasilkan hanya mencapai 405,11 kilogram per hektar. Namun pada tahun 2010 produktivitas kakao pada perkebunan rakyat mengalami penurunan sebesar 497,37 kilogram per hektar (12,31%). Hal ini berbeda dengan perkembangan produktivitas kakao pada perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta yang mengalami peningkatan sebesar 735,35 kilogram per hektar dan 743,36 kilogram per hektar (Ditjenbun, 2011).

Berdasarkan data statistik perkebunan, provinsi Bali memiliki luas areal tanaman mengahasilkan sebesar 9.179 hektar dengan produksi yang dihasilkan pada tahun 2010 sebesar 7.092 ton (Ditjenbun, 2010). Sebagian besar perkebunan kakao di Bali dimiliki oleh perkebunan rakyat yang dikelola oleh petani. Luas areal tanam kakao di Bali mengalami peningkatan, namun produktivitas yang dihasilkan mengalami penurunan. Hal ini diduga karena penggunaan input produksi untuk menghasilkan produksi belum sesuai anjuran bahkan masih banyak petani yang mengusahakan tanaman kakao dengan cara tradisional. Peningkatan produksi untuk meningkatkan pendapatan petani dengan meningkatkan luas areal tanaman kakao di Bali sudah tidak mampu lagi karena luas pulau yang kecil. Peningkatan pendapatan dari komoditas kakao dapat


(33)

dilakukan dengan menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao untuk memperoleh harga kakao yang lebih baik.

1.2. Perumusan Masalah

Luas areal tanam kakao dan produksi kakao yang dihasilkan di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas. Penyebab rendahnya produktivitas kakao banyak diusahakan pada perkebunan rakyat. Sebagian besar perkebunan rakyat dikelola oleh petani dengan cara tradisional. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas yang dihasilkan perkebunan rakyat karena penggunaan input produksi dalam mengusahakan tanaman kakao yang masih belum sesuai anjuran, bahkan masih ada petani yang tidak memberikan pupuk terhadap tanaman kakao. Disamping itu tanaman kakao banyak terserang hama dan penyakit, karena kurang intensifnya petani dalam memelihara tanaman.

Pemasaran biji kakao di Indonesia telah mencapai pasar internasional. Sebagian besar biji kakao Indonesia diekspor ke luar negeri, walaupun sudah ada beberapa industri pengolahan biji kakao menjadi produk setengah jadi. Perkembangan ekspor biji kakao dari Indonesia relatif menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan peluang untuk meningkatkan devisa dari komoditas kakao. Menurut Rifin (2012) Secara umum daya saing biji kakao Indonesia cukup lemah, khususnya di pasar Belanda, Amerika, Jerman, Malaysia, Singapura, Brazil, Kanada, Jepang, China dan Meksiko. Biji kakao Indonesia tidak memiliki potensi daya saing di negara manapun. Berbeda dengan Indonesia, Pantai Gading dan Ghana memiliki daya saing yang tinggi untuk ekspor biji kakao. Hal ini dikarenakan negara-negara tersebut mengekspor biji kakao yang telah difermentasi.

Faktor penentu utama tingkat harga di pasar internasional adalah mutu biji kakao. Permasalahannya, produk biji kakao khususnya kakao rakyat umumnya masih rendah, karena tingginya kandungan biji yang tidak difermentasi. Upaya untuk mendorong petani melakukan fermentasi biji menghadapi berbagai permasalahan yang mendasar antara lain tidak adanya insentif harga yang memadai. Disamping itu, secara teknis petani merasa tidak mudah melakukan


(34)

8

fermentasi pada biji kakao karena prosesnya yang cukup lama yaitu selama lima hari.

Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp dan mematikan biji, namun juga untuk memperbaiki citarasa, mengurangi rasa sepat dan pahit pada biji sehingga enak dan menyenangkan konsumen (Widyotomo dan Mulato, 2008). Teknologi fermentasi pada biji kakao dilakukan untuk meningkatkan mutu biji kakao, hal ini dilakukan agar biji kakao mampu berdaya saing serta mampu meningkatkan harga jual biji kakao di pasar internasional. Sejalan dengan peningkatan produksi dan peningkatan harga biji kakao yang disebabkan mutu biji kakao yang baik, maka peningkatan pendapatan petani kakao akan diperoleh.

Perkebunan kakao di Bali sebagian besar diusahakan oleh perkebunanan rakyat yang dikelola oleh petani. Produktivitas tanaman kakao di Bali masih dibawah rata-rata produktivitas tanaman kakao secara nasional. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas yang dihasilkan petani di Bali karena penggunaan input produksi dalam mengusahakan tanaman kakao yang masih belum sesuai anjuran. Hal ini diduga pengelolaan tanaman kakao di Bali masih dilakukan secara tradisional. Kabupaten Tabanan merupakan sentra produksi kakao terbesar di Bali yang seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Luas areal kakao di kabupaten Tabanan mencapai 5.064 hektar (terluas di Bali) dengan produksi 2.469 ton, namun produktivitasnya hanya 720 kilogram per hektar, dibawah rata-rata untuk Bali yaitu sebesar 773 kilogram per hektar (Ditjenbun, 2010). Hal ini menyebabkan petani kakao banyak beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti kopi dan cengkeh. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani dari komoditas kakao, salah satunya dengan menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao yang dihasilkan petani agar dapat menghasilkan harga yang lebih baik. Penerapan teknologi fermentasi tersebut dilakukan bersama-sama di tingkat kelompok tani agar petani mampu mendapatkan harga yang lebih baik pada saat memasarkan biji kakao yang dihasilkan. Namun, teknologi fermentasi pada biji kakao tersebut hanya bertahan dilakukan selama tiga tahun pada kelompok tani. Penerapan teknologi


(35)

fermentasi tersebut hanya dilakukan oleh masing-masing petani dan semakin berkurang peminatnya.

Sulitnya petani menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao diduga karena bertambahnya proses fermentasi pada pengolahan biji kakao yang menyebabkan meningkatnya curahan tenaga kerja. Selain itu diduga karena adanya kehilangan hasil yang diperoleh pada biji kakao kering lebih besar dibandingkan jika petani tidak menerapkan teknologi fermentasi. Disamping itu harga perolehan dari biji kakao kering yang dihasilkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara biji kakao fermentasi dan tidak fermentasi. Selisih perbedaan harga biji kakao fermentasi lebih besar Rp. 2.000 – Rp. 3.000 per kilogram. Selisih harga tersebut dianggap petani hanya mampu mengganti kehilangan hasil yang diperoleh dari biji kakao dari proses fermentasi dan mengganti curahan tenaga kerja yang bertambah.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 1. Mengapa produktivitas biji kakao di Bali relatif rendah? Faktor-faktor apakah

yang mempengaruhi produksi kakao di Bali?

2. Mengapa petani kakao di Bali tidak banyak yang menerapkan teknologi fermentasi biji kakao? Apakah teknologi fermentasi mempengaruhi inefisiensi produksi kakao di Bali?

3. Apakah dengan menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao dapat meningkatkan pendapatan petani?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi biji kakao di Bali. 2. Menganalisis efisiensi produksi biji kakao yang dihasilkan petani di Bali

dengan menerapkan teknologi fermentasi.

3. Menganalisis pendapatan usahatani kakao dengan menerapkan teknologi fermentasi pada perkebunan rakyat di Bali.


(36)

10

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih nyata dan efektif, yaitu :

1. Sebagai alternatif solusi dalam meningkatkan produksi kakao.

2. Sebagai bahan masukan untuk menyusun strategi diseminasi teknologi khususnya teknologi fermentasi untuk meningkatkan mutu biji kakao.

3. Sebagai bahan dan informasi dalam memberikan wawasan bagi mahasiswa terutama tentang kondisi empiris kakao.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya menganalisis kegiatan produksi pada komoditas kakao yang diusahakan oleh petani, tetapi tidak menganalisis komoditas lain yang diusahakan petani. Model ekonometri yang diamati hanya untuk kegiatan produksi, tetapi tidak mengamati model untuk pendapatan. Oleh karena itu, penelitian ini hanya mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao dan efisiensi produksi kakao yang dihasilkan petani dengan menerapkan teknologi fermentasi dalam rangka meningkatkan mutu biji kakao.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mutu Biji Kakao di Indonesia

Produksi biji kakao Indonesia, khususnya kakao rakyat umumnya bermutu rendah. Rendahnya mutu kakao rakyat disebabkan oleh dua indikator, yaitu (1) tingginya kandungan biji yang tidak difermentasi, (2) kandungan non kakao (kotoran). Mutu kakao di tingkat petani dan pedagang perantara terdiri dari 52,5 persen yang tidak difermentasi, 24,3 persen yang difermentasi sebagian, dan 23,3 persen biji kakao yang difermentasi (Wahyudi dan Misnawi, 2007). Menurut Rifin, (2012) Produk kakao Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar. Negara yang memiliki komposisi produk yang positif merupakan negara yang memiliki kontribusi cukup tinggi pada ekspor kakao dalam bentuk produk-produk hilir (pasta kakao, kakao butter, bubuk kakao dan cokelat). Oleh karena itu ekspor produk biji kakao Indonesia harus dialihkan ke produk bernilai tambah seperti biji kakao terfermentasi, dan selanjutnya mengkhususkan pada ekspor produk setengah jadi seperti pasta kakao dan kakao butter.

Kakao termasuk dalam kelompok makanan dan minuman penyegar, sehingga aspek citarasa merupakan penentu utama mutu kakao. Salah satu tahap proses pengolahan biji kakao yang akan menentukan mutu akhir adalah fermentasi. Fermentasi bertujuan untuk membentuk citarasa khas cokelat dan mengurangi rasa pahit serta sepat yang ada di dalam biji kakao (Rohan, 1963; Wahyudi, 1988; Clapperton, 1994; Widyotomo et al., 2001). Menurut Chat (1953), pada awal sejarahnya fermentasi hanya digunakan untuk membebaskan biji dari lapisan lendir, mencegah pertumbuhan atau perkecambahan biji, dan memperbaiki kenampakan. Menurut hasil penelitian Widyotomo et al. (2001); Misnawi (2005); Wahyudi dan Misnawi (2007), biji kakao tanpa fermentasi selain tidak menghasilkan aroma dan rasa khas cokelat, juga memiliki rasa sepat serta pahit yang berlebihan. Biji semacam ini hanya dapat dikelompokkan menjadi mutu terendah, yaitu mutu 3 menurut SNI Biji Kakao (SNI 01-2323-2002).

Petani kakao Indonesia umumnya melakukan proses fermentasi dengan sarana dan metode yang beragam. Sebagian petani di Indonesia melakukan


(38)

12

fermentasi selama 1-3 hari didalam karung plastik dan pembalikan dilakukan setiap hari dengan cara menggulingkan karung (Amin, 2005). Biji kakao yang dihasilkan dengan proses fermentasi secara singkat (kurang dari 3 hari) akan berwarna ungu keabu-abuan. Sedangkan biji kakao yang difermentasi selama 5 hari mempunyai belahan coklat agak tua dan tekstur berongga (Yusianto dan Sumartono, 1995).

Berdasarkan Standar Operasional Prosedur penanganan biji kakao untuk tingkat petani, pedagang pengumpul dan eksportir disebutkan bahwa fermentasi harus dilaksanakan dengan benar, cukup waktu, dan jumlah biji yang difermentasikan, serta terhindar dari kontaminasi kotoran dan serangga. Jumlah minimum biji kakao basah adalah 40 kg dengan lama fermentasi 5 hari (Wahyudi, 2003; Ditjen PPHP, 2006). Hal ini sesuai dengan laporan Duncanet al. (1989) dan Mulato et al. (1997) bahwa waktu untuk fermentasi biji kakao dengan kondisi lingkungan di Indonesia adalah 5 hari. Metode fermentasi yang dapat dilakukan oleh petani kakao adalah fermentasi tumpukan (head fermentation), dan fermentasi dalam kotak atau peti kayu (box fermentation). Perbedaan dari kedua metode tersebut hanya pada wadah atau tempat yang digunakan.

2.2. Faktor Produksi pada Usahatani Kakao

Hasil penelitian mengenai faktor produksi lebih banyak dilakukan pada komoditas tanaman pagan. Sedangkan tanaman perkebunan masih relatif terbatas. Beberapa peneliti melakukan penelitian pada tanaman perkebunan khususnya tanaman kakao. Penelitian mengenai faktor produksi kakao banyak dilakukan di wilayah Sulawesi karena merupakan sentra produksi kakao di Indonesia. Hasil penelitian mengenai faktor produksi diperoleh bahwa produksi dipengaruhi oleh luas lahan yang diusahakan (Slameto, 2003; Tumanggor, 2009; Saharun, 2001; Fatma, 2011). Hal ini berarti peningkatan luas lahan yang diusahakan dapat meningkatkan produksi kakao. Saharun (2001) menyatakan bahwa peningkatan luas lahan juga dipengaruhi oleh harga kakao, harga pupuk, dan upah tenaga kerja. Artinya bahwa peningkatan produksi dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan luas lahan dengan pertimbangan bahwa harga input pupuk dan upah tenaga kerja tidak memberatkan petani dalam berusahatani kakao. Sedangkan jika


(39)

dilihat dari sisi harga kakao itu sendiri maka peningkatan harga kakao dapat mempengaruhi peningkatan luas lahan tanam kakao.

Selain luas lahan, faktor yang mempengaruhi produksi kakao yaitu input tenaga kerja (Bafadal, 2000; Tumanggor, 2009; Slameto, 2003; Yantu, 2011; Fatma, 2011). Menurut mereka semakin banyak input tenaga kerja dalam berusahatani, maka dapat meningkatkan produksi kakao. Input tenaga kerja yang dapat ditingkatkan dengan cara pemeliharaan tanaman kakao yaitu dengan pemangkasan. Pemangkasan berhubungan erat dengan fotosintesis yang merupakan modal dasar dalam pembentukan buah. Selain itu pemangkasan bertujuan untuk menjaga kelembaban sehingga terhindar dari serangan hama dan penyakit. Pemangkasan terbagi menjadi empat jenis berdasarkan tujuan yaitu pemangkasan bentuk, pemeliharaan, produksi dan peremajaan (Hasan et al., 2012).

Pencapaian produksi kakao hingga saat ini masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan banyaknya tanaman kakao yang terserang hama dan penyakit seperti penggerek buah kakao (PBK). Pengendalian PBK hingga saat ini masih mengandalkan penggunaan pestisida. Cara tersebut dipilih karena pestisida mudah didapat dan praktis dalam penggunaannya. Hasil penelitian Bafadal (2000); Slameto (2003); Tumanggor (2009); Yantu (2011) menyatakan bahwa penggunaan pestisida berpengaruh positif terhadap produksi kakao. Artinya penggunaan pestisida masih menjadi input yang sangat membantu petani dalam meningkatkan produksi kakao terutama dalam penanganan hama dan penyakit. Tetapi disisi lain penggunaan pestisida yang berlebihan secara terus menerus dan tidak terkontrol dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, menyebabkan kekebalan, ledakan hama, terbunuhnya musuh alami yang bukan sasaran (Oka, 1995).

Pupuk sangat dibutuhkan oleh semua jenis tanaman untuk menghasilkan buah. Begitu juga dengan tanaman kakao, input pupuk dibutuhkan selain untuk menghasilkan buah juga membantu perkembangan tumbuh tanaman. Jenis pupuk terbagi menjadi dua yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk terutama pupuk urea (pupuk anorganik tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kakao (Bafadal, 2000;


(40)

14

Tumanggor, 2009). Berbeda dengan hasil penelitian Slameto (2003) menyatakan bahwa pupuk kandang (pupuk organik) berpengaruh nyata terhadap produksi kakao.

Jumlah tanaman dalam satu hektar lahan sangat mempengaruhi produktivitas kakao yang diusahakan petani terutama pada perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat banyak dikelola oleh petani yang biasanya penanaman kakao dilakukan dengan pola tumpangsari. Penanaman kakao dengan pola monokultur banyak dilakukan oleh perusahaan besar negara ataupun swasta. Hasil penelitian Slameto (2003) menyatakan bahwa jumlah tanaman kakao berpengaruh nyata terhadap produksi kakao. Begitu pula dengan umur tanaman kakao yang diusahakan berpengaruh nyata terhadap produksi kakao (Slameto, 2003; Tumanggor, 2009; Fatma 2011). Slameto (2003) juga mengatakan selain jumlah dan umur tanaman, produksi kakao juga dipengaruhi oleh klon unggul tanaman kakao yang diusahakan petani. Dengan demikian, penggunaan klon unggul, umur tanaman serta jumlah tanaman yang diusahakan pada lahan perkebunan sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi kakao.

2.3. Efisiensi Produksi Tanaman Perkebunan

Studi mengenai tingkat efisiensi usahatani telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, salah satunya adalah mengetahui tingkat efisiensi teknis. Efek inefisiensi teknis biasaya ditetapkan menjadi fungsi dari variabel sosial ekonomi. Beberapa penelitian mengenai efisiensi banyak dilakukan dengan membandingkan variabel sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, akses terhadap kredit, pola tanam, topografi lahan, ketinggian lahan, pengalaman usahatani, populasi tanaman dan sistem upah.

Pengembangan suatu komoditas tidak lepas dari peran teknologi serta informasi yang didapat. Tingkat pendidikan petani dalam melakukan usahatani sangat dibutuhkan pada saat memutuskan menerima teknologi atau menolak teknologi. Berdasarkan hasil penelitian Nchare (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis kopi arabika di Kamerun sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani. Petani yang tingkat pendidikannya lebih rendah, maka inefisiensi produksinya akan lebih tinggi atau efisiensi


(41)

produksi yang dihasilkan akan lebih rendah. Sebaliknya, petani yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka inefisiensi produksi yang dihasilkan akan lebih rendah. Selain tingkat pendidikan, pengalaman usahatani sangat berperan terhadap keberlanjutan usahatani kakao. Hasil penelitian Bafadal (2000) diperoleh bahwa petani berpengalaman dengan petani yang belum berpengalaman tidak memiliki perbedaan tingkat produksi kakao yang dihasilkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengalaman berusahatani tidak mempengaruhi tingkat efisiensi produksi kakao.

Sedangkan pola tanam, menurut Cardenas et al. (2004) pola tanam tumpangsari kopi dengan jagung menghasilkan efisiensi produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan pola tanam kopi dengan cara monokultur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola tanam tanaman perkebunan dengan cara tumpangsari mempengaruhi tingkat inefisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam dengan cara monokultur. Bafadal (2000) juga menyatakan bahwa populasi tanaman kakao yang tinggi dengan populasi tanaman kakao yang rendah tidak ada perbedaan tingkat produksi yang dihasilkan. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan tanaman yang diusahakan dalam satu areal lahan tidak berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan. Dengan demikian tingkat kepadatan tanaman yang lebih rendah dengan pola tanam monokultur akan lebih efisien jika dilakukan.

Sedangkan jika dilihat dari keberadaan lahan datar maupun lahan miring, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat produksi yang dihasilkan (Bafadal, 2000). Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan lahan untuk tanaman kakao menghasilkan efisiensi produksi yang sama. Cardenas et al. (2004) ketinggian lahan pada tanaman kopi sangat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi produksi dan berhubungan dengan produksi kopi berkualitas tinggi. Hal ini berarti lahan yang berada di dataran tinggi menghasilkan efisiensi produksi yang lebih tinggi dibandingkan lahan yang berada di dataran rendah.

Bafadal (2000) juga menyatakan bahwa menerapkan sistem upah pada tenaga kerja memiliki tingkat produksi kakao yang lebih tinggi dibandingkan dengan tidak menerapkan sistem upah pada tenaga kerja. Berdasarkan hasil


(42)

16

tersebut, dapat dinyatakan bahwa dengan menerapkan sistem upah pada tenaga kerja diperoleh tingkat efisiensi produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tidak menerapkan sistem upah pada tenaga kerja. Sedangkan Cardenas et al. (2004) menyatakan bahwa kepadatan penduduk yang lebih tinggi menghasilkan efisiensi produksi kopi yang lebih tinggi. Artinya dengan padatnya penduduk, maka dalam mengelola tanaman kopi akan lebih mudah mencari tenaga kerja. Dengan demikian mudahnya mendapatkan tenaga kerja dengan sistem upah menghasilkan efisiensi produksi yang lebih tinggi.

Hasil penelitian Nchare (2007) menyatakan bahwa petani yang berusahatani dengan mengakses terhadap kredit memperoleh efisiensi teknis yang lebih tingi dibandingkan dengan petani yang berusahatani dengan tidak mengakses kredit. Artinya bahwa petani yang berusahatani dengan mengakses terhadap kredit menghasilkan inefisiensi produksi yang lebih rendah atau menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Dengan demikian, kemudahan petani dalam memperoleh modal usahatani sangat berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan.


(43)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Teori Produksi

Istilah produksi berlaku untuk barang maupun jasa, karena istilah komoditi memang mengacu pada barang dan jasa. Keduanya sama-sama menghasilkan produksi dengan mengerahkan modal dan tenaga kerja. Produksi merupakan konsep arus (flow concept), maksudnya adalah produksi merupakan kegiatan yang diukur sebagai tingkat-tingkat output per unit periode/waktu. Salvatore (1997) mendefinisikan fungsi produksi untuk setiap komoditi adalah suatu persamaan, tabel atau grafik yang menunjukkan jumlah komoditi yang dapat diproduksi per unit waktu setiap kombinasi input alternatif bila menggunakan teknik produksi terbaik yang tersedia.

Menurut Beattie dan Taylor (1985) produksi merupakan kombinasi dan koordinasi beberapa material dan beberapa kekuatan (berupa input, faktor, sumber daya atau jasa produksi) untuk menciptakan suatu barang atau jasa (output atau produk). Sedangkan fungsi produksi adalah merupakan gambaran secara matematis dari berbagai kemungkinan produksi segara teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Sedangkan Debertin (1986) mendiskripsikan fungsi produksi sebagai hubungan teknik yang menggambarkan perubahan dari input atau sumberdaya, menjadi output atau komoditi. Beattie dan Taylor (1985) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan teknis antara variabel faktor produksi dengan output. Bentuk umum fungsi produksi secara matematik dinotasikan sebagai:

y = f(x)……… (3.1) y = f (x1, x2, x3,…,xn) ………..…………...……….. (3.2) Terdapat berbagai macam fungsi produksi seperti linier, kuadratik, eksponensial (Cobb Douglas), translog, transedental dan CES. Dalam memilih bentuk fungsi produksi sebaiknya secara teoritis model tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dapat diduga dengan baik dan mudah dan analisisnya memiliki implikasi ekonomi. Perkembangan atau pertambahan produksi dalam kegiatan ekonomi tidak lepas dalam peranan faktor-faktor produksi atau input.


(44)

18

Untuk menaikkan jumlah output yang diproduksi dalam perekonomian dengan faktor-faktor produksi, para ahli pertumbuhan neoklasik menggunakan konsep produksi. Soedarsono (1998); Coelli et al. (2005), fungsi produksi adalah hubungan teknis yang menghubungkan antara faktor produksi (input) dan hasil produksi (output). Disebut faktor produksi karena bersifat mutlak, supaya produksi dapat dijalankan untuk menghasilkan produk (Gambar 2).

Sumber: Coelliet al.,2005

Gambar 2. Produksi Frontier dan Efisiensi Teknis

Suatu fungsi produksi yang efisien secara teknis dalam arti menggunakan kuantitas bahan mentah, tenaga kerja, dan barang-barang modal lain. Secara matematik, bentuk persamaan fungsi produksi adalah sebagai berikut:

= ( , )………..……… (3.3)

Dimana A adalah teknologi atau indeks perubahan teknik, K adalah input kapasitas atau modal, dan L adalah input tenaga kerja (Dornbusch dan Fischer,


(45)

1997). Karakteristik dari fungsi produksi tersebut menurut Dernberg (1992) adalah sebagai berikut:

a. Produksi mengikuti pendapatan pada skala yang konstan (Constant Return to Scale), artinya apabila input ditambahkan maka output akan meningkat. b. Produksi marginal, dari masing-masing input atau faktor produksi bersifat

positif tetapi menurun dengan ditambahkannya satu faktor produksi pada faktor lainnya yang tetap atau dengan kata lain tunduk pada hukum hasil yang menurun (The Law of Deminishing Return).

Fungsi produksi klasik menunjukkan tiga daerah produksi yang berbeda. Daerah-daerah tersebut dibedakan berdasarkan elastisitas produksi, yaitu perubahan produk yang dihasilkan karena perubahan faktor produksi yang digunakan (Doll dan Orazem, 1984). Daerah-daerah tersebut ditunjukkan oleh daerah I, daerah II, dan daerah III.

Daerah produksi I memiliki nilai elastisitas lebih dari satu, artinya bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar satu satuan, akan menyebabkan pertambahan produksi yang lebih besar dari satu satuan. Pada kondisi ini, keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat diperbesar dengan mengunakan faktor produksi yang lebih banyak. Daerah produksi I disebut juga daerah irasional.

Daerah produksi II memiliki nilai elastisitas produksi antara nol dan satu, artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Daerah ini menunjukkan tingkat produksi tercapainya keuntungan maksimum. Daerah ini juga dicirikan dengan penambahan hasil produksi yang semakin menurun (diminishing return). Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor-faktor produksi di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum. Hal ini menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi telah optimal sehingga daerah ini disebut daerah rasional (rational region atau rational stage of production).

Daerah produksi III adalah daerah dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol. Pada daerah ini produksi total mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh produk marginal yang bernilai negatif yang berarti setiap penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan.


(46)

20

Penggunaan faktor produksi pada daerah ini sudah tidak efisien sehingga disebut daerah irasional (Irrational region atau irrational stage of production). Kurva produk total, produk rata-rata dan produk marginal dapat dilhat pada Gambar 3.

Sumber: Doll dan Orazem, 1984; Debertin, 1986; Coelliet al.,2005


(47)

Coelli et al. (2005) menjelaskan bahwa model produksi frontier memungkinkan untuk menduga atau memperkirakan efisiensi relatif usahatani tertentu yang didapatkan dari hubungan antara produksi dan potensi produksi yang dapat dicapai. Karakteristik model produksifrontieruntuk menduga efisiensi teknis adalah adanya pemisahan dampak dari goncangan peubah eksogen terhadap keluaran melalui kontribusi ragam yang menggambarkan efisiensi teknis. Dengan kata lain, penggunaan metode ini dimungkinkan untuk menduga ketidakefisienan suatu proses produksi tanpa mengabaikanerror term(galat) dari modelnya.

Production frontier memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan fungsi produksi dan umumnya banyak digunakan saat menjelaskan konsep pengukuran efesiensi, frontier digunakan untuk menekankan kepada kondisi output maksimum yang dapat dihasilkan (Coelli et al., 1998). Konsep produksi batas (frontier production function) menggambarkan output maksimal yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi. Fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi yang paling praktis atau menggambarkan produksi maksimal yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan teknologi tertentu (Doll dan Orazem, 1984). Fungsi produksi frontier diturunkan dengan menghubungkan titik-titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Jadi fungsi tersebut mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien. Pengukuran fungsi produksi frontier secara umum dibedakan atas 4 cara yaitu: (1) deterministic nonparametric frontier, (2) deterministic parametric frontier, (3) deterministic statistical frontier, dan (4) stochastic statistical frontier (stochastic frontier).

Model stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effects) di dalam batas produksi. Stochastic frontier disebut juga composed error model karena error term terdiri dari dua unsur, dimana ε

i = vi – ui dan i = 1, 2, .. N.

Variabelεiadalah spesifikerror termdari observasi ke-i. Variabel acakviberguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor yang tidak diduga seperti cuaca, pemogokan, serangan hama dan sebagainya di dalam nilai variabel output, bersama-sama dengan efek gabungan dari variabel input yang tidak terdefinisi di dalam fungsi produksi. Variabel acak v


(48)

22

secara identik terdistribusi normal dengan rataan (μ

i) bernilai 0 dan variansnya

konstan atau N(0,σ

v 2

), simetris serta bebas dari u

i. Variabel acak ui merupakan

variabel non negatif dan diasumsikan terdistribusi secara bebas. Variabel ui disebut one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi. Struktur dasar modelstochastic frontierdijabarkan pada Gambar 4.

Sumber : Coelliet al.,1998

Gambar 4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Gambar 4 merupakan ilustrasi dua dimensi dari model stochastic frontier dimana input direpresentasikan oleh sumbu x dan output direpresentasikan oleh sumbu y. Komponen deterministik dari modelfrontier, y = exp(xβ) digambarkan sesuai dengan asumsi diminishing return to scale. Penjelasan Gambar 4 diinterpretasikan oleh dua perusahaan, perusahaan i dan j. Perusahaan i menggunakan level input, xi, untuk menghasilkan output, yi. Nilai dari input output ditandai dengan tanda silang (x) di atas nilai xi. Nilai output stochastic frontier, yi* = exp(xiβ + vi) yang ditandai dengan tanda Θ di atas fungsi produksi


(49)

karena random error, vi, bernilai positif. Sama halnya dengan perusahaan j yang menggunakan level input, xj untuk menghasilkan output, yj. Akan tetapi, output frontieryj* = exp(xjβ + vj) yang berada di bawah fungsi produksi karena random error, vj, bernilai negatif. Hal ini mengakibatkan output stochastic frontier, yi* dan yj*, tidak diamati karena randomerrors, vi dan vj tidak dapat teramati. Oleh karena itu apabila outputstochastic frontier dapat diamati, maka harus berada di sepanjang kurva fungsi produksi stochastic frontier. Bagaimanapun juga, bagian deterministik dari model stochastic frontier dapat terlihat diantara output stochastic frontier. Output yang diamati mungkin lebih besar daripada bagian deterministik frontier jika random errors lebih besar daripada efek inefisiensi (i.e., yi > exp (xiβ) jika vi > ui).

Sebagaimana disajikan oleh Coelli et al. (1998), persamaan fungsi produksistochastic frontiersecara ringkas adalah:

lny

it= βxit+ (vit– uit), i = 1,2,3,...n ... (3.4)

dimana: y

it = produksi yang dihasilkan petani-i pada waktu-t

xit = vektor masukan yang digunakan petani-i pada waktu-t βi = vektor parameter yang akan diestimasi

vit = variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama) sebarannya simetris dan menyebar normal (v

it~N(0,σv 2

)).

uit = variabel acak non negatif, dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor-faktor internal dan sebarannya bersifat setengah normal (u

it~ | N(0,σv 2

|)

Komponen galat (error) yang sifatnya internal (dapat dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas managerial petani dalam mengelola usahataninya direfleksikan olehui. Komponen ini sebarannya asimetris (one side) yakni ui> 0. Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimalnya berarti ui= 0. Sebaliknya jika ui > 0 berarti berada di bawah potensi maksimumnya. Distribusi menyebar


(50)

24

setengah normal (u

it~ |N(0,σv 2

|) dan menggunakan metode pendugaan Maximum Likelihood.

Metode pendugaan Maximum Likelihood Estimation (MLE) pada model stochastic frontier dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input produksi (β

m). Tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga

keseluruhan parameter faktor produksi (β

m), intersep (β0) dan varians dari kedua

komponen kesalahanvidanuiv2danσu2).

3.2. Efisiensi Produksi

Suatu metode produksi dapat dikatakan lebih efisien dari metode lainnya jika metode tersebut menghasilkan output yang lebih besar pada tingkat korbanan yang sama. Suatu metode produksi yang menggunakan korbanan yang paling kecil, juga dikatakan lebih efisien dari metode produksi lainnya, jika menghasilkan nilai output yang sama besarnya.

Tujuan produsen untuk mengelola usahataninya adalah untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Asumsi dasar dari efisiensi adalah untuk mencapai keuntungan maksimum dengan biaya minimum. Kedua tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi produsen dalam pengambilan keputusan untuk usahataninya. Dalam pengambilan keputusan usahatani, seorang petani yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu proses produksi.

Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi pendekatan yaitu dari sisi alokasi penggunaan input dan dari sisi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input yang dikemukakan Farrell (1957), membutuhkan ketersediaan informasi harga input dan sebuah kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Pendekatan dari sisi output merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat sejauh mana


(51)

jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa mengubah jumlah input yang digunakan.

Menurut Lau dan Yotopoulos (1971) konsep efisiensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) efisiensi teknis (technical efficiency), (2) efisiensi harga (price efficiency), dan (3) efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi teknis mengukur tingkat produksi yang dicapai pada tingkat penggunaan input tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan petani lain, apabila dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang sama, diperoleh output fisik yang lebih tinggi. Efisiensi harga atau efisiensi alokatif mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marginal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marginalnya atau menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menggunaan input dengan proporsi yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki. Efisiensi ekonomis adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi harga.

Menurut Sugianto (1982), efisiensi ekonomis dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum (profit maximization) dan kriteria biaya minimum (cost minimization). Efisiensi ekonomi akan tercapai bila kenaikan hasil sama dengan nilai penambahan faktor produksi atau nilai marginal (NPM) dari faktor-faktor produksi sama dengan biaya korbanan marginalnya (BKM). Dengan kata lain, menurut Bravo et al. (1993), rasio produk marginal untuk tiap pasangan input sama dengan rasio harganya.

Efisiensi teknis dianggap sebagai kemampuan untuk berproduksi pada isoquant batas, sedangkan alokatif mengacu pada kemampuan untuk berproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan rasio input pada biaya yang minimum. Sebaliknya, inefisiensi teknis mengacu pada penyimpangan dari isoquant frontier, sedangkan inefisiensi alokatif mengacu pada penyimpangan dari rasio input pada biaya minimum. Konsep efisiensi dari sisi input diilustrasikan oleh Farrell (1957). Konsep efisiensi ini diasumsikan pada kondisi Constant Return to Scale.

Pada Gambar 5, kurvaisoquant frontier SS’menunjukkan kombinasi input per output (x1/y dan x2/y) yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output


(52)

26

Y0= 1. Titik P dan Q menggambarkan dua kondisi suatu perusahaan dalam berproduksi menggunakan kombinasi input dengan proporsi input x1/y dan x2/y yang sama. Keduanya berada pada garis yang sama dari titik O untuk memproduksi satu unit Y0. TitikP berada di atas kurva isoquant, sedangkan titik Q menunjukkan perusahaan beroperasi pada kondisi secara teknis efisien (karena beroperasi pada kurva isoquant frontier). Titik Q mengimplikasikan bahwa perusahaan memproduksi sejumlah output yang sama dengan perusahaan di titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi, rasioOP/OQmenunjukkan efisiensi teknis (TE) perusahaanP, yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan, rasio input per output (x1/y : x2/y) konstan, sedangkan output tetap (Gambar 5).

Sumber: Farrell, 1957; Coelliat al.,2005; Greene, 2008

Gambar 5. Efisiensi Teknis dan Alokatif

Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan. Garis isocost (AA’) digambarkan menyinggung isquant SS’ di titik Q’ dan memotong garis OP di titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang


(53)

meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karenaslope isoquant sama denganslopegarisisocost. TitikQsecara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi daripada di titikQ’. JarakOR-OQ menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di titik Q’ (secara alokatif dan teknis efisien), sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di titik P adalah rasio OR/OQ. Oleh Farrell (1957), efisiensi alokatif ini juga disebut sebagai efisiensi harga (price efficiency).

Menurut Kumbakhar dan Lovell (2000), produsen dikatakan efisien secara teknis jika dan hanya jika tidak mungkin lagi memproduksi lebih banyak output dari yang telah ada tanpa mengurangi sejumlah output lainnya atau dengan menambah sejumlah input tertentu. Menurut Bakhshoodeh dan Thomson (2001), petani yang efisien secara teknis adalah petani yang menggunakan lebih sedikit input dari petani lainnya untuk memproduksi sejumlah ouput pada tingkat tertentu atau petani yang dapat menghasilkan output yang lebih besar dari petani lainnya dengan menggunakan sejumlah input tertentu.

Berdasarkan definisi di atas, efisiensi teknis dapat diukur dengan pendekatan dari sisi output dan sisi input. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi output (indeks efisiensi Timmer) merupakan rasio dari output observasi terhadap output batas. Indeks efisiensi ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis di dalam analisis stochastic frontier. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi input merupakan rasio dari input atau biaya batas (frontier) terhadap input atau biaya observasi. Bentuk umum dari ukuran efisiensi teknis yang dicapai oleh observasi ke-ipada waktu ke-tdidefinisikan sebagai berikut (Coelli, 1996):

= ( | , )

( ∗| , )= [ (− ) / ]………..……… (3.5)

dimana nilaiTEiantara 0 dan 1 atau 0 <TEi< 1.

Pada saat produsen telah menggunakan sumberdayanya pada tingkat produksi yang masih mungkin ditingkatkan, berarti efisiensi teknis tidak tercapai karena adanya faktor-faktor penghambat. Tetapi banyak faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya efisiensi teknis dalam fungsi produksi. Penentuan sumber dari inefisiensi teknis ini tidak hanya memberikan informasi


(54)

28

tentang sumber potensial dari inefisiensi, tetapi juga saran bagi kebijakan yang harus diterapkan atau dihilangkan untuk mencapai tingkat efisiensi total.

Ada beberapa efek model efisiensi teknis yang sering digunakan dalam penelitian empiris menggunakan analisis stochastic frontier. Coelli et al. (1998) membuat model efek inefisiensi teknis diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan variabel acak yang tidak negatif. Untuk usahatani ke-i pada tahun ke-t, efek inefisiensi teknis u

itdiperoleh dengan pemotongan terhadap

distribusiN(μ

it,σ|), dengan rumus:

μ

it= δ0+ Zitδ + wit... (3.6)

dimanaZitadalah variabel penjelas yang merupakan vektor dengan ukuran (1xM) yang nilainya konstan, δ adalah parameter skala yang dicari nilainya dengan ukuran (Mx1) danw

itadalah variabel acak.

Sebuah usahatani dalam mencapai keuntungannya harus mengalokasikan biaya secara minimum dari input yang ada, atau berarti sebuah usahatani berhasil mencapai efisiensi alokatif. Dengan demikian, akhirnya akan diperoleh fungsi biayafrontier dualyang bentuk persamaannya sebagai berikut:

C = C(y

i,pi,βi) + ui... (3.7)

dimana:

C= biaya produksi y

i= jumlah output

p

i= harga input

β

i= koefisien parameter

u

i=error term(efek inefisiensi biaya)

Efisiensi ekonomi (economic efficiency) didefinisikan sebagai rasio total biaya produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan total biaya produksi aktual (C) (Ogundari dan Ojo, 2006).

= ∗= ((| , , )

| , , ) = [ . ( / ]………...(3.8) dimana EE bernilai 0 < EE < 1.

Efisensi ekonomis ini merupakan gabungan dari efisiensi teknis dan alokatif. Pengukuran efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut secara terintegrasi, membutuhkan sebuah fungsi


(55)

produksi yang bersifat homogen. Fungsi produksi yang memenuhi kriteria homogenitas adalah fungsi produksiCobb-Douglas.

3.3. Kerangka Pemikiran Konseptual

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani kakao, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal berasal dari lingkungan petani kakao antara lain tingkat harga input variabel, tingkat harga input tetap, jumlah produksi, kualitas produksi kakao serta perilaku petani dalam mengalokasikan input-input maupun penanganan pascapanen. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi pendapatan usahatani kakao adalah tingkat harga yang diterima petani, jumlah pembelian hasil oleh pasar dan kebijakan pemerintah. Disisi lain, usahatani kakao adalah kegiatan untuk memproduksi yang pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan pendapatan usahatani kakao rakyat yang diperlukan adalah bagaimana mengalokasikan faktor-faktor produksi usahatani agar lebih efisien. Tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi biji kakao berpengaruh pada output dan pendapatan petani kakao.

Berdasarkan skema kerangka pemikiran konseptual, dapat dijelaskan bahwa produksi biji kakao kering ditentukan oleh produksi biji kakao basah yang dihasilkan usahatani kakao rakyat dalam bentuk biji kakao difermentasi maupun biji kakao yang tidak difermentasi. Sedangkan nilai produksi ditentukan secara bersama-sama oleh dua faktor yaitu faktor input produksi dan faktor inefisensi produksi. Faktor input produksi terdiri dari jumlah tenaga kerja, jumlah pupuk N, jumlah pupuk P, jumlah pupuk K, jumlah pestisida, luas lahan yang diusahakan serta umur tanaman kakao. Sedangkan faktor inefisiensi produksi terdiri dari umur petani, tingkat pendidikan petani, pengalaman petani dalam berusahatani kakao, jumlah persil yang diusahakan untuk tanaman kakao, status lahan yang diusahakan untuk tanaman kakao serta status penerapan teknologi fermentasi. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.


(1)

No. Efisiensi Teknis (TE)

Efisiensi Alokatif (AE)

Efisiensi Ekonomis (EE)

39. 0.8409059 0.025366 0.021331


(2)

Lampiran 9. Tingkat Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomis Usahatani Kakao pada Kelompok Petani yang Menerapkan Teknologi Fermentasi No. Efisiensi Teknis

(TE)

Efisiensi Alokatif (AE)

Efisiensi Ekonomis (EE)

1. 0.8262372 0.413808 0.341903

2. 0.8824631 0.236569 0.208763

3. 0.9161094 0.277652 0.25436

4. 0.950132 0.079076 0.075133

5. 0.8001385 0.182666 0.146158

6. 0.9111511 0.031835 0.029006

7. 0.8776004 0.172492 0.151379

8. 0.7490358 0.017707 0.013263

9. 0.9679228 0.072856 0.070519

10. 0.9088845 0.302311 0.274766

11. 0.9540571 0.087168 0.083164

12. 0.8714861 0.08319 0.072499

13. 0.9455615 0.082981 0.078463

14. 0.946373 0.058897 0.055738

15. 0.7599258 0.477166 0.362611

16. 0.9649414 0.352981 0.340606

17. 0.6449083 0.611407 0.394302

18. 0.770965 0.446332 0.344107

19. 0.6555456 0.358995 0.235337

20. 0.9012891 0.340967 0.30731

21. 0.9258026 0.068202 0.063141

22. 0.9413301 0.241936 0.227741

23. 0.8911121 0.258091 0.229988

24. 0.9115523 0.263733 0.240407

25. 0.9191035 0.231124 0.212427

26. 0.6623251 0.432617 0.286533

27. 0.9409768 0.3287 0.309299

28. 0.8405687 0.546329 0.459227

29. 0.8095373 0.436812 0.353615

30. 0.9157203 0.345303 0.316201

31. 0.8825874 0.127915 0.112896

32. 0.9399621 0.32403 0.304576

33. 0.9259163 0.185961 0.172184

34. 0.9573343 0.068477 0.065555

35. 0.9222934 0.080894 0.074608

36. 0.957838 0.095407 0.091385

37. 0.9219319 0.083368 0.07686

38. 0.9379571 0.187605 0.175966


(3)

No. Efisiensi Teknis (TE)

Efisiensi Alokatif (AE)

Efisiensi Ekonomis (EE)

40. 0.94906 0.082675 0.078463

41. 0.7051137 0.163683 0.115415

42. 0.7838143 0.013697 0.010736

43. 0.7813367 0.522495 0.408245

44. 0.9350747 0.068971 0.064493

45. 0.9516378 0.086711 0.082518

46. 0.9692012 0.111769 0.108327

47. 0.9784061 0.156491 0.153112

48. 0.9503152 0.121201 0.115179

49. 0.9686649 0.145203 0.140653

50. 0.9706921 0.118878 0.115394

51. 0.683942 0.473567 0.323892

52. 0.9561353 0.086979 0.083164

53. 0.9295392 0.047157 0.043834

54. 0.910188 0.276078 0.251283

55. 0.9456738 0.088632 0.083817

56. 0.9309437 0.068521 0.063789

57. 0.9682108 0.111324 0.107785

58. 0.8797718 0.036057 0.031722

59. 0.9528711 0.04941 0.047081


(4)

Lampiran 10. Total Penerimaan, Biaya, Pendapatan dan B/C Ratio Usahatani Kakao per Hektar per Tahun pada Kelompok Petani yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi

No. Total Penerimaan (Rp) Total Biaya (Rp) Total Pendapatan (Rp) B/C Ratio 1. 5.125.000,00 2.307.638,89 2.817.361,11 1,22 2. 7.301.369,86 3.043.150,68 4.258.219,18 1,40 3. 6.436.046,51 2.141.860,47 4.294.186,05 2,00 4. 5.050.724,64 2.460.144,93 2.590.579,71 1,05 5. 11.714.285,71 3.827.619,05 7.886.666,67 2,06 6. 7.995.000,00 2.069.333,33 5.925.666,67 2,86 7. 10.809.090,91 3.549.090,91 7.260.000,00 2,05 8. 10.183.585,31 2.303.527,72 7.880.057,60 3,42 9. 7.321.428,57 1.923.511,90 5.397.916,67 2,81 10. 7.143.939,39 1.978.181,82 5.165.757,58 2,61 11. 5.466.666,67 1.844.000,00 3.622.666,67 1,96 12. 2.975.806,45 879.193,55 2.096.612,90 2,38 13. 6.150.000,00 2.132.000,00 4.018.000,00 1,88 14. 5.466.666,67 1.870.666,67 3.596.000,00 1,92 15. 5.193.333,33 1.971.777,78 3.221.555,56 1,63 16. 10.477.777,78 2.589.333,33 7.888.444,44 3,05 17. 5.913.461,54 2.039.679,49 3.873.782,05 1,90 18. 7.619.469,03 1.628.289,09 5.991.179,94 3,68 19. 5.913.461,54 1.690.224,36 4.223.237,18 2,50 20. 6.752.941,18 1.911.019,61 4.841.921,57 2,53 21. 6.327.160,49 1.601.337,45 4.725.823,05 2,95 22. 7.304.038,00 1.548.198,73 5.755.839,27 3,72 23. 3.437.125,75 1.122.954,09 2.314.171,66 2,06 24. 7.427.536,23 2.023.349,44 5.404.186,80 2,67 25. 7.402.777,78 2.235.740,74 5.167.037,04 2,31 26. 3.489.361,70 1.818.794,33 1.670.567,38 0,92 27. 7.253.846,15 1.789.538,46 5.464.307,69 3,05 28. 6.150.000,00 2.086.666,67 4.063.333,33 1,95 29. 6.972.789,12 1.755.668,93 5.217.120,18 2,97 30. 6.945.970,70 1.706.471,31 5.239.499,39 3,07 31. 6.684.782,61 1.813.768,12 4.871.014,49 2,69 32. 8.200.000,00 3.386.666,67 4.813.333,33 1,42 33. 7.391.826,92 1.937.900,64 5.453.926,28 2,81 34. 6.679.775,28 1.642.696,63 5.037.078,65 3,07 35. 7.345.276,87 1.928.555,92 5.416.720,96 2,81 36. 7.561.475,41 1.826.229,51 5.735.245,90 3,14 37. 2.795.454,55 1.399.696,97 1.395.757,58 1,00


(5)

No.

Total Penerimaan

(Rp)

Total Biaya (Rp)

Total Pendapatan

(Rp)

B/C Ratio 38. 7.409.638,55 2.014.457,83 5.395.180,72 2,68 39. 3.469.230,77 1.518.205,13 1.951.025,64 1,29 40. 5.694.444,44 1.443.055,56 4.251.388,89 2,95


(6)

Lampiran 11. Total Penerimaan, Biaya, Pendapatan dan B/C Ratio Usahatani Kakao per Hektar per Tahun pada Kelompok Petani yang Menerapkan Teknologi Fermentasi

No.

Total Penerimaan

(Rp)

Total Biaya (Rp)

Total Pendapatan

(Rp)

B/C Ratio 1. 6.969.696,97 1.781.601,73 5.188.095,24 2,91 2. 12.119.760,48 3.324.151,70 8.795.608,78 2,65 3. 9.542.553,19 2.387.659,57 7.154.893,62 3,00 4. 6.516.666,67 1.954.027,78 4.562.638,89 2,33 5. 8.020.512,82 2.351.538,46 5.668.974,36 2,41 6. 3.740.963,86 1.355.220,88 2.385.742,97 1,76 7. 6.931.506,85 1.900.532,72 5.030.974,12 2,65 8. 2.981.481,48 2.093.055,56 888.425,93 0,42 9. 7.759.036,14 2.148.192,77 5.610.843,37 2,61 10. 6.171.465,97 1.486.125,65 4.685.340,31 3,15 11. 6.192.307,69 1.679.358,97 4.512.948,72 2,69 12. 3.004.081,63 942.653,06 2.061.428,57 2,19 13. 7.666.666,67 2.101.143,79 5.565.522,88 2,65 14. 7.762.500,00 2.398.958,33 5.363.541,67 2,24 15. 7.592.233,01 2.184.563,11 5.407.669,90 2,48 16. 10.285.211,27 2.419.600,94 7.865.610,33 3,25 17. 6.900.000,00 2.085.846,15 4.814.153,85 2,31 18. 8.334.117,65 2.306.666,67 6.027.450,98 2,61 19. 6.812.796,21 2.242.654,03 4.570.142,18 2,04 20. 6.745.192,31 1.704.407,05 5.040.785,26 2,96 21. 2.808.755,76 876.958,53 1.931.797,24 2,20 22. 7.906.250,00 1.951.562,50 5.954.687,50 3,05 23. 7.263.157,89 1.811.578,95 5.451.578,95 3,01 24. 5.914.285,71 1.421.571,43 4.492.714,29 3,16 25. 7.490.421,46 1.909.578,54 5.580.842,91 2,92 26. 5.967.353,95 1.942.268,04 4.025.085,91 2,07 27. 7.721.428,57 1.848.857,14 5.872.571,43 3,18 28. 7.544.326,24 1.882.446,81 5.661.879,43 3,01 29. 6.144.404,33 1.603.068,59 4.541.335,74 2,83 30. 6.504.524,89 1.614.705,88 4.889.819,00 3,03 31. 6.668.639,05 1.905.325,44 4.763.313,61 2,50 32. 8.126.182,97 1.918.927,44 6.207.255,52 3,23 33. 8.172.588,83 2.133.925,55 6.038.663,28 2,83 34. 5.803.738,32 1.709.968,85 4.093.769,47 2,39 35. 6.019.531,25 1.834.505,21 4.185.026,04 2,28