Efisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali

Rp. 241.205,32. Hasil rata-rata penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani kakao per hektar antara kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi dengan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi di Kabupaten Tabanan, Bali tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Rata-rata Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Kakao per Hektar antara Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi dengan yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 No Uraian Fermentasi Tidak Fermentasi Jumlah Harga Total Jumlah Harga Total I. Produksi kg 301,13 23.000,00 6.925.947,30 325,55 20.500,00 6.673.814,16 II. Biaya Variabel 1. Tenaga Kerja HOK 26,60 40.000,00 1.064.182,38 26,48 40.000,00 1.059.246,68 2. Pupuk N kg 117,74 2.000,00 235.478,82 118,59 2.000,00 237.176,79 3. Pupuk P kg 61,41 2.400,00 147.373,40 62,19 2.400,00 149.257,08 4. Pupuk K kg 60,61 2.100,00 127.273,84 60,76 2.100,00 127.596,09 5. Pestisida kg 4,47 25.000,00 111.667,30 8,18 25.000,00 204.522,96 Total Biaya Variabel 1.685.975,75 1.777.799,60 III. Biaya Tetap 1. Cangkul buah 1,41 27.194,44 38.504,78 1,53 28.708,33 42.752,63 2. Gunting Pangkas buah 0,88 22.694,44 20.491,02 1,16 20.083,33 23.945,31 3. Gergaji Pangkas buah 0,94 24.958,33 23.564,47 1,51 22.125,00 34.908,23 4. Sprayer buah 0,62 41.666,67 25.586,74 0,91 40.000,00 36.290,78 5. Sabit buah 1,48 29.916,67 44.038,81 2,32 26.625,00 60.390,41 6. Karung Fermentasi buah 8,82 2.000,00 17.639,98 - - - 7. Ember buah 0,75 15.000,00 11.280,20 0,94 15.000,00 14.039,13 8. Karung Kemasan buah 6,28 2.000,00 12.559,93 6,79 2.000,00 13.580,49 9. Mesin Pemotong Rumput buah 0,21 83.583,33 31.428,18 0,12 44.375,00 15.298,34 Total Biaya Tetap 225.094,11 241.205,32 IV. Total Biaya Produksi 1.911.069,86 2.019.004,92 V. Pendapatan 5.014.877,44 4.654.809,24 VI. Total Biayakg 6.592,54 6.443,95 VII Pendapatankg 16.407,46 14.056,05 VIII. BC Ratio 2,61 2,36 Berdasarkan hasil rata-rata pendapatan per hektar per tahun yang diperoleh pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar Rp. 5.014.877,44 lebih besar dibandingkan dengan rata-rata pendapatan per hektar per tahun pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar Rp. 4.654.809,24. Hal ini disebabkan karena rata-rata penerimaan per hektar per tahun yang dihasilkan pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan rata-rata penerimaan per hektar per tahun yang dihasilkan pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi. Selain itu, besarnya rata-rata pendapatan per hektar per tahun yang dihasilkan kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi dibandingkan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi karena rata-rata biaya per hektar per tahun yang dikeluarkan pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi lebih kecil dibandingkan rata-rata biaya per hektar per tahun yang dikeluarkan pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi. Sedangkan jika dilihat dari rata-rata nilai BC ratio pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi diperoleh nilai sebesar 2,61 yang lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata BC ratio pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi diperoleh sebesar 2,36. Berdasarkan nilai rata-rata BC ratio pada kedua kelompok tersebut, maka kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi dan kelompok petani yang tidak menarapkan teknologi fermentasi sama-sama layak untuk diusahakan. Hal ini berarti setiap Rp. 1.000 yang dikeluarkan dalam usahatani kakao pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi memperoleh pendapatan sebesar Rp. 2.610. Begitu pula setiap Rp. 1.000 yang dikeluarkan dalam usahatani kakao pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi memperoleh pendapatan sebesar Rp. 2.360. Jika dilihat berdasarkan total biaya per kilogram biji kakao yang dihasilkan pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 6.592,54 yang lebih besar dibandingkan dengan rata-rata total biaya yang dikeluarkan per kilogram biji kakao pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar Rp. 6.443,95. Hal ini disebakan pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi, produksi biji kakao yang dihasilkan per hektar per tahun lebih kecil dibandingkan dengan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi. Sedangkan jika dilihat dari pendapatan per kilogram biji kakao yang dihasilkan pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi menghasilkan sebesar Rp. 16.407,46 yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan per kilogram biji kakao yang dihasilkan pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu menghasilkan sebesar Rp. 14.056,05. Hal ini disebabkan karena harga per kilogram biji kakao yang dihasilkan pada kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi lebih besar dibandingkan harga per kilogram biji kakao yang dihasilkan pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi. Artinya peningkatan pendapatan per kilogram yang dihasilkan petani yang menerapkan teknologi fermentasi dipengaruhi oleh harga biji kakao yang dijual. Kondisi ini yang menyebabkan petani bertahan dalam menerapkan teknologi fermentasi, karena adanya kontrak dengan pihak swasta yang memungkinkan harga biji kakao fermentasi lebih mahal dibandingkan harga biji kakao tidak fermentasi. Ketika harga biji kakao fermentasi tidak jauh berbeda bahkan sama dengan harga biji kakao tidak fermentasi, maka dengan menerapkan teknologi fermentasi pendapatan petani akan lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan petani dengan tidak menerapkan teknologi fermentasi. Artinya perbedaan harga biji kakao fermentasi yang lebih besar dibandingkan harga biji kakao tidak fermentasi sangat diperlukan untuk keberlanjutan petani dalam menerapkan teknologi fermentasi agar mutu biji kakao menjadi baik. Jika dilihat dari hasil penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani kakao per hektar antara kelompok yang menerapkan teknologi fermentasi dengan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi, maka akan terlihat berbeda hasilnya. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis uji beda antara kedua kelompok tersebut untuk mengetahui apakah dengan menerapkan teknologi fermentasi dapat meningkatkan pendapatan petani. Hasil uji beda penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani kakao per hektar antara kelompok yang menerapkan teknologi fermentasi dengan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 dapat dilhat pada Tabel 32. Tabel 32. Uji Beda Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Kakao per Hektar antara Kelompok yang Menerapkan Teknologi Fermentasi dengan yang Tidak Menerapkan Teknologi Fermentasi di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 No. Uraian Rata-rata t-test Fermentasi Tidak Fermentasi 1. Penerimaan Rp 6.925.947,30 6.673.814,16 0,651 2. Total Biaya Rp 1.911.069,86 2.019.004,92 -1,086 3. Pendapatan Rp 5.014.877,44 4.654.809,24 1,135 4. BC Ratio 2,61 2,36 1,934 5. Biayakg Rp 6.592,50 6.443,95 0,448 6. Pendapatankg Rp 16.407,46 14.056,05 7,084 Keterangan: = berbeda nyata pada taraf α 10 = berbeda nyata pada taraf α 5 = berbeda nyata pada taraf α 1 Berdasarkan Tabel 32, rata-rata penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani kakao per hektar antara kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi dan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi terlihat berbeda. Rata-rata penerimaan per hektar dari kelompok petani kakao yang menerapkan teknologi fermentasi diperoleh hasil sebesar Rp. 6.925.947,30 yang lebih besar dibandingkan dengan rata-rata penerimaan per hektar pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar Rp. 6.673.814,16. Begitu pula dengan rata-rata total biaya per hektar yang dihasilkan kelompok petani kakao yang menerapkan teknologi fermentasi dihasilkan sebesar Rp. 1.911.069,86 yang lebih kecil dengan rata-rata total biaya per hektar yang dihasilkan kelompok petani kakao yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar Rp. 2.019.004,92. Sedangkan rata-rata pendapatan per hektar pada kelompok petani kakao yang menerapkan teknologi fermentasi dihasilkan sebesar Rp. 5.014.877,44 yang lebih besar dibandingkan dengan rata-rata pendapatan per hektar pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar Rp. 4.654.809,24. Berdasarkan hasil uji beda terhadap rata-rata penerimaan, total biaya dan pendapatan ternyata tidak berbeda secara nyata. Artinya jika dilihat dari total pendapatan petani kakao per hektar, maka teknologi fermentasi mampu meningkatkan pendapatan petani walaupun secara nyata tidak berbeda. Sedangkan jika dilihat dari rata-rata nilai BC ratio pada usahatani kakao per hektar pada kelompok petani kakao yang menerapkan teknologi fermentasi diperoleh nilai sebesar 2,61 yang lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata BC ratio pada kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar 2,36. Hasil rata-rata BC ratio antara kedua kelompok tersebut berbeda secara nyata pada taraf α sebesar 10 persen. Artinya dengan menerapkan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao menghasilkan tingkat kelayakan usaha yang lebih baik dibandingkan dengan tidak menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan harga biji kakao yang dihasilkan pada kelompok yang menerapkan teknologi fermentasi. Jika dilihat dari rata-rata biaya per kilogram biji kakao yang dihasilkan pada kelompok petani kakao yang menerapkan teknologi fermentasi diperoleh nilai rata-rata biaya per kilogram biji kakao sebesar Rp. 6.592,50 yang lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata biaya per kilogram biji kakao pada kelompok petani kakao yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar Rp. 6.443,95. Hasil uji beda dari rata-rata biaya per kilogram biji kakao antara kedua kelompok petani kakao tersebut tidak berbeda nyata antar kedua kelompok tersebut. Artinya biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu kilogram biji kakao dianggap sama. Berbeda dengan rata-rata pendapatan per kilogram biji kakao yang dihasilkan pada kelompok petani kakao yang menerapkan teknologi fermentasi diperoleh nilai sebesar Rp 16.407,46 yang lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata pendapatan per kilogram biji kakao yang dihasilkan pada kelompok petani kakao yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar Rp. 14.056,05. Hasil dari rata-rata pendapatan per kilogram biji kakao kedua kelompok petani kakao tersebut berbeda nyata pada taraf α sebesar 1 persen. Artinya jika petani kakao menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao yang dihasilkan, maka akan memperoleh pendapatan per kilogram yang lebih besar dibandingkan dengan tidak menerapkan teknologi fermentasi. Hal ini dapat dikatakan bahwa teknologi fermentasi lebih menguntungkan dan mampu meningkatkan pendapatan petani.

VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor yang mempengaruhi produksi kakao adalah tenaga kerja, pestisida, luas lahan dan umur tanaman. Variabel yang paling responsif adalah tenaga kerja. Artinya masih ada peluang untuk meningkatkan produksi kakao dengan upaya meningkatkan curahan tenaga kerja untuk pemeliharaan tanaman kakao. 2. Faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi yaitu jumlah persil dan dummy teknologi fermentasi. Tingkat efisiensi rata-rata untuk petani yang menerapkan teknologi fermentasi lebih kecil dibandingkan dengan tingkat efisiensi rata-rata petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi. Namun petani yang menerapkan maupun tidak menerapkan teknologi fermentasi dapat dikatakan efisien secara teknis dalam berusahatani kakao. 3. Pendapatan usahatani kakao per hektar pada petani yang menerapkan teknologi fermentasi lebih besar dibandingkan tingkat pendapatan petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi. Hal ini berarti proses pengolah biji kakao dengan menerapkan teknologi fermentasi mampu meningkatkan pendapatan petani.

7.2. Saran

Peningkatkan produksi dan pendapatan dari usahatani kakao di Kabupaten Tabanan dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan yaitu: 1. Petani meningkatkan curahan tenaga kerja dalam pemeliharaan tanaman kakao seperti melakukan pemangkasan agar dapat meningkatkan produksi kakao yang diusahakan. 2. Petani agar menerapkan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao agar dapat meningkatkan pendapatan. 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan memfasilitasi petani dalam usaha rehabilitasi dan peremajaan kakao seperti dengan menyiapkan tenaga pendamping, bibit, dan sarana lain yang dibutuhkan serta mendiseminasikan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao agar pendapatan petani meningkat. 4. Pada penelitian selanjutnya, disarankan mengenai aspek pengembangan kakao pada industri hilir kakao yang menghasilkan pasta cokelat, lemak cokelat dan bubuk cokelat agar kedepan khususnya Indonesia tidak lagi mengekspor kakao dalam bentuk biji serta posisi tawar kakao Indonesia semakin tinggi. DAFTAR PUSTAKA Amin, S. 2005. Permasalahan Kakao Sulawesi di Pasaran Amerika Serikat. Teknologi Pascapanen Kakao untuk Masyarakat Perkakaoan Indonesia. BPPT Press. Jakarta. [Askindo] Asosiasi Kakao Indonesia. 2005. Prospek Agroindustri Kakao Indonesia di Pasaran Dunia Sampai Dengan 2010. Temu Teknis Agroindustri Kakao, Jember 27 September 2005. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tabanan dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan. Tabanan. Bafadal, A. 2000. Analisis Produksi dan Respon Penawaran Kakao Rakyat di Sulawesi Tenggara. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bakhshoodeh, M. and K. J. Thomson. 2001. Input and Output Technical Efficiencies of Wheat Production in Kerman, Iran. Journal of Agricultural Economics, 24 3 : 307-313. Battese, G. E. 1992. Frontier Production Function and Technical Effeciency: A Survey of Empirical Applications in Agricultural Economics. Journal of Agricultural Economics, 7 1 : 185-208. Beattie, B. R. and C. R. Taylor. 1985. The Economics Production. Montana State University. John Wiley Sons. Inc. Montana. Bravo-Ureta, B. E. and A. E. Pinheiro. 1993. Efficiency Analysis of Developing Country Agriculture: A Review of the Frontier Function Literature. Agricultural and Resource Economics Review, 22 1 : 88-101. Cardenas, G., G. Vedenov dan J. Houston. 2004. Analisys of Production Efficiency of Mexican Coffee-Producing Districts. Journal of Agriculture Economics, 471:37-49. Clapperton, J.F. 1994. A Review of Research to Identify The Origins of Cocoa Flavor Characteristics. Cocoa Grower’s Bull., 48, 7-16. Coelli, T. 1996. A Guide to FRONTIER Version 4.1: A Computer Program for Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. Centre for Efficiency and Productivity Analysis, University of New England, Armidale. Coelli, T., D. S. P. Rao and G. E. Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishers, Boston. Coelli, T. J., D S.P. Rao, C.J. O’Donnell and G.E. Battese. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second Edition. Springer. New York. Debertin D. L. 1986. Agricultural Production Economics. Mcmillan Publishing Company. New York. Denberg, T.F. 1992. Konsep Teori dan Kebijakan Makroekonomi. Erlangga. Jakarta. Desa Mundeh Kauh. 2011. Monografi Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Barat. Kabupaten Tabanan. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011, Kakao. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012, Kakao. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian. Jakarta. [Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2006. Panduan Umum Pasca Panen Perkebunan yang Baik dan Benar. Direktorat Penanganan Pasca Panen, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Doll PJ, Orazem F. 1984. Production Economics Theory with Applications Second Edition. Canada: John Wiley and Sons, Inc. Dornbusch, Rudiger dan S, Fischer. 1997. Makroekonomi. Erlangga. Jakarta. Duncan, R.J., E.G. Godfrey, T.N. Yap, G.L. Pettipher dan T. Tharumarajah. 1989. Improvement of Malaysian Cocoa Bean Flavor by Modification of Harvesting, Fermentation and Drying Methods. The Sime-Cadbury Process. The Planters, 65, 157-173. Fatma, Z. 2011. Analisis Fungsi Produksi dan Efisiensi Usahatani Kopi Rakyat di Aceh Tengah. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Farrell, M. J. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of Royal Statistic Society, Series A : 253-81. Greene, W. H. 2008. The Econometric Approach to Efficiency Analysis. The Measurement of Productive Efficiency and Productivity Growth. Oxford University Press. New York. Hadi, S. 1998. Metode Statistika Dasar. PT. Rineka Cipta. Jakarta.