Deskripsi Statistik Input Output

kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu 2,00 persil. Kedua variabel tersebut yaitu pengalaman berusahatani kakao dan jumlah persil yang diusahakan masing-masing memiliki nilai t-hitung sebesar 0,013 dan -0,297 yang lebih kecil dibandingkan nilai t-tabel pada taraf α sebesar 10 persen yaitu sebesar 1,661. Hal ini berarti rata-rata pengalaman berusahatani kakao dan rata- rata jumlah persil yang diusahakan antara kelompok petani yang menerapkan teknologi fermentasi dan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi memiliki nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata.

6.2. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kakao pada Perkebunan

Rakyat di Bali Produksi kakao ditentukan oleh penggunaan input-inputnya baik lahan, bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan umur tanaman. Analisis fungsi produksi menggambarkan hubungan produksi dengan input-inputnya dimana dalam penelitian ini menggunakan fungsi produksi model stochastic frontier Cobb Douglas. Analisis fungsi produksi dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di lokasi penelitian. Variabel yang diamati dalam penelitian ini sebanyak tujuh variabel yaitu, tenaga kerja, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pestisida, luas lahan, dan umur tanaman. Penelitian ini menggunakan model stochastic frontier yang dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode Ordinary Least Square OLS untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi, dan tahap kedua menggunakan metode Maximum Likelihood Estimate MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi, intersep dan varians dari kedua komponen kesalahan vi dan ui. Hasil pendugaan dengan menggunakan OLS menunjukkan bahwa variabel-variabel tenaga kerja, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pestisida dan luas lahan bernilai positif. Sedangkan variabel umur tanaman bernilai negatif. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja, pupuk N, pestisida dan umur tanaman berpengaruh nyata terhadap produksi kakao Artinya, produksi masih bisa ditingkatkan dengan menambah variabel-variabel tersebut kecuali umur tanaman karena bernilai negatif Lampiran 3. Hasil pendugaan dengan metode maksimum likelihood estimate MLE menggambarkan bahwa seluruh variabel menghasilkan koefisien positif kecuali umur tanaman. Dari tujuh variabel yang diduga relevan, variabel-variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi batas frontier petani responden adalah : tenaga kerja, pestisida, luas lahan dan umur tanaman. Variabel tenaga kerja dan umur tanaman berpengaruh nyata pada taraf α sebesar 1 persen. Variabel tenaga kerja berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi, sedangkan variabel umur tanaman berpengaruh negatif terhadap produksi. Variabel penggunaan pestisida berpengaruh nyata pada taraf α sebesar 5 persen dan berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi. Sedangkan variabel luas lahan berpengaruh positif pada peningkatan produksi dengan taraf α sebesar 10 persen. Variabel pupuk N, pupuk P dan pupuk K tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kakao. Pendugaan fungsi produksi kakao dengan metode MLE pada perkebunan rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Kakao dengan Metode MLE pada Perkebunan Rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 Variabel Koefisien Standard-error t-ratio Konstanta 2,96625 0,30302 9,78896 Tenaga kerja 0,85147 0,06642 12,81937 Pupuk N 0,17529 0,12008 1,45981 Pupuk P 0,08620 0,19187 0,44929 Pupuk K 0,14209 0,21110 0,67312 Pestisida 0,05420 0,02542 2,13234 Luas lahan 0,07129 0,04081 1,74707 Umur tanaman -0,22138 0,07028 -3,14990 Keterangan: = berpengaruh nyata pada taraf α 10 = berpengaruh nyata pada taraf α 5 = berpengaruh nyata pada taraf α 1 Hasil pendugaan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa tenaga kerja diperoleh nilai koefisien sebesar 0,85. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan sebesar 1 persen tenaga kerja dimana input lainnya tetap, masih dapat meningkatkan produksi kakao dengan tambahan produksi sebesar 0,85 persen. Variabel tenaga kerja paling responsif dibandingkan variabel lainnya karena memiliki koefisien yang paling besar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa input tenaga kerja berpengaruh terhadap produksi kakao Bafadal, 2000; Slameto, 2003; Tumanggor, 2009. Implikasinya adalah jika petani kakao ingin meningkatkan produksi kakao, maka curahan tenaga kerja terutama pemeliharaan tanaman seperti pemangkasan cabang tanaman yang tidak produktif perlu ditingkatkan dan dilakukan secara intensif agar tingkat kelembaban udara tidak terlalu tinggi serta masuknya sinar matahari pada lahan kebun kakao, sebab keadaan tanaman kakao saat ini banyak terserang hama dan penyakit yang diduga karena tingkat kelembaban udara yang tinggi. Umur tanaman diperoleh nilai koefisien sebesar -0,22. Angka ini menunjukkan bahwa setiap penambahan sebesar 1 persen umur tanaman, maka akan mengurangi produksi kakao sebesar 0,22 persen. Artinya, jika petani bertahan dengan tanaman kakao yang saat ini diusahakan, maka produksi kakao akan semakin berkurang dan pendapatan petani dari komoditas kakao akan semakin kecil. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa umur tanaman berpengaruh positif terhadap produksi kakao Slameto, 2003; Tumanggor, 2009. Hal ini disebabkan karena umur tanaman kakao di Kabupaten Tabanan sudah tua dengan rata-rata umur tanaman 22 tahun, yaitu berada diatas usia tanaman kakao paling produktif adalah 13-19 tahun Wahyudi et al., 2009. Implikasinya adalah, jika petani ingin meningkatkan produksi kakao maka perlu dilakukan peremajaan tanaman yang dimiliki atau merehabilitasi tanaman kakao. Penggunaan pestisida diperoleh nilai koefisien sebesar 0,05 yang artinya, setiap penambahan 1 persen penggunaan pestisida, maka akan meningkatkan produksi kakao sebesar 0,05 persen. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan pestisida bepengaruh terhadap produksi kakao Bafadal, 2000; Slameto, 2003; Tumanggor, 2009. Hal ini berarti sejalan dengan keadaan dilapang yang menunjukkan bahwa penggunaan pestisida memang perlu dilakukan dan ditingkatkan penggunaanya karena tingginya tingkat serangan hama dan penyakit tanaman kakao. Hal ini sejalan dengan variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi kakao seperti curahan tenaga kerja. Artinya ketika peningkatan penggunaan pestisida maka akan meningkatkan curahan tenaga kerja dalam pemeliharaan kakao yaitu penyemprotan tanaman. Luas lahan diperoleh nilai koefisien sebesar 0,07 yang artinya penambahan sebesar 1 persen lahan dimana input lain tetap, maka dapat meningkatkan produksi sebesar 0,07 persen. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa luas lahan berpengaruh positif terhadap produksi kakao Slameto, 2003; Tumanggor, 2009. Implikasinya adalah jika petani ingin meningkatkan produksi kakao, maka luas lahan yang diusahakan petani harus ditingkatkan atau melakukan usahatani kakao pada satu areal tanam dengan pola monokultur. Fakta yang terjadi di lapangan petani kakao selain mengusahakan komoditas kakao sebagai komoditas utama, juga mengusahakan komoditas perkebunan lain dengan pola tumpangsari. Hal ini diduga bahwa produksi kakao yang selama ini menurun disebabkan karena padatnya jumlah tanaman yang diusahakan dalam satu areal lahan. Selain itu kepadatan tanaman dalam satu areal lahan diduga juga menyebabkan tanaman kakao terserang hama dan penyakit seperti penggerek buah kakao PBK dan busuk buah kakao BBK karena tingginya kelembaban udara. Sedangkan ketiga variabel lain yaitu penggunaan input pupuk N, pupuk P dan pupuk K masing-masing diperoleh nilai koefisien masing-masing positif, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kakao. Hal ini berarti penggunaan pupuk N, pupuk P dan pupuk K diduga dosis yang digunakan setiap petani hampir sama yang menyebabkan tidak berpengaruh terhadap poduksi kakao.

6.3. Inefisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali

Nilai log likelihood dengan metode maksimum likelihood estimate MLE sebesar 92,248 adalah lebih besar dari nilai log likelihood dengan metode OLS yaitu sebesar 77,464 yang berarti fungsi produksi dengan metode MLE ini adalah baik dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Nilai sigma-square inefisensi sebesar 0,033 adalah cukup kecil, sehingga error term terdistribusi secara normal. Nilai gamma yang mendekati 1 yaitu sebesar 0,88 menunjukkan bahwa error term hanya berasal dari akibat inefisiensi dan bukan berasal dari noise seperti cuaca, hama dan sebagainya. Fungsi inefisiensi teknis dalam penelitian ini digunakan 6 variabel yang diduga mempengaruhi inefisiensi produksi kakao. Dari keenam variabel inefisiensi teknis yang diamati, hanya dua variabel yang berpengaruh nyata yaitu jumlah persil dan dummy teknologi fermentasi yang berpengaruh nyata pada taraf α sebesar 10 persen. Variabel lain seperti umur responden, pendidikan responden, pengalaman dalam berusahatani kakao serta status kepemilikan lahan yang diusahakan tidak berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis. Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien karena menghasilkan nilai yang lebih besar dari 0,70 sebagai batas efisiensi Coelli, 1998. Hal ini dikarenakan Kabupaten Tabanan merupakan sentra produksi kakao di Provinsi Bali sehingga menghasilkan efisiensi rata-rata sebesar 91,20 persen. Selain itu usahatani kakao di Kabupaten Tabanan sudah efisien dan mendekati frontiernya karena berbagai upaya dan program pemerintah banyak dilakukan di daerah ini seperti salah satunya teknologi pengolah biji kakao dengan proses fermentasi. Jumlah persil berpengaruh nyata dalam inefisiensi pada taraf α sebesar 10 persen. Nilai koefisien bertanda positif yaitu sebesar 0,23 menyatakan bahwa semakin banyak jumlah persil lahan kakao yang diusahakan, maka inefisiensi semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin banyak jumlah yang diusahakan petani, maka petani akan sulit mengelola dan memelihara tanaman kakao karena jarak persil yang berjauhan dan topografi lahan yang miring dan berada di daerah pegunungan. Sementara itu hasil penelitian Bafadal 2000 yang menunjukkan bahwa keadaan topografi dengan keberadaan lahan datar maupun lahan miring, tidak ada perbedaan tingkat produksi yang dihasilkan. Berdasarkan status pengolahan biji kakao, maka variabel dummy teknologi fermentasi berpengaruh nyata dengan koefisien positif sebesar 0,35 yang artinya jika petani melakukan proses pengolahan biji kakao dengan menerapkan teknologi fermentasi, maka akan meningkatkan inefisiensi usahatani kakao. Begitu juga sebaliknya jika petani melakukan proses pengolahan biji kakao dengan tidak menerapkan teknologi fermentasi, maka akan mengurangi inefisiensi usahatani kakao. Hal ini disebabkan karena ketika biji kakao dilakukan proses fermentasi maka kehilangan hasil pada saat biji kakao kering lebih besar dibandingkan tidak difermentasi. Pendugaan fungsi inefisiensi teknis dengan frontier pada perkebunan rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Hasil Pendugaan Fungsi Inefisiensi Teknis dengan Frontier pada Perkebunan Rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 Variabel Koefisien Standard- error t-ratio Konstanta 2,96625 0,30302 9,78896 Umur responden -0,00690 0,00955 -0,72226 Pendidikan responden -0,03185 -0,02108 -1,51066 Pengalaman usaha -0,01107 0,01455 -0,76081 Jumlah persil 0,22582 0,11807 1,91260 Dummy status kepemilikan lahan -0,12735 0,14998 -0,84911 Dummy teknologi fermentasi 0,34822 0,19735 1,76442 sigma-square 0,03313 0,01620 2,04545 Gamma 0,88326 0,08395 10,05208 Log Likelihood function 92,24777 LR test of the one-side error 29,56750 mean efficiency 0,91202 Keterangan: = berpengaruh nyata pada taraf α 10 = berpengaruh nyata pada taraf α 5 = berpengaruh nyata pada taraf α 1 Umur petani responden menghasilkan nilai koefisien sebesar -0,007 yang berarti semakin tua umur petani, maka inefisiensi produksi kakao semakin kecil. Sedangkan variabel tingkat pendidikan petani responden menghasilkan nilai koefisien sebesar -0,032 yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka inefisiensi produksi kakao semakin kecil. Tetapi jika dilihat dari nilai t-hitung dari kedua variabel tersebut, masing-masing menghasilkan nilai t- hitung sebesar -0,722 untuk umur petani responden dan -1,511 untuk tingkat pendidikan responden lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel pada taraf α sebesar 10 persen yaitu sebesar -1,661. Hal ini berarti variabel umur petani responden dan tingkat pendidikan petani responden tidak berpengaruh nyata terhadap inefisiensi produksi kakao. Berbeda dengan hasil penelitian Nchare 2007 menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis kopi arabika di Kamerun sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani. Petani yang tingkat pendidikannya lebih rendah, maka inefisiensi produksinya akan lebih tinggi. Sebaliknya, petani yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka inefisiensi produksi yang dihasilkan akan lebih rendah. Pengalaman petani dalam berusahatani kakao menghasilkan nilai koefisien seesar -0,011 yang berarti semakin lama pengalaman petani dalam berusahatani kakao, maka inefisiensi produksi kakao semakin kecil. Jika dilihat dari nilai t-hitung yang dihasilkan dari variabel pengalaman berusahatani kakao sebesar -0,761 yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai t-tabel pada taraf α sebesar 10 persen. Hal ini berarti pengalaman petani dalam berusahatani kakao tidak berpengaruh nyata terhadap inefisiensi produksi kakao. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bafadal 2000 diperoleh bahwa petani berpengalaman dengan petani yang belum berpengalaman tidak memiliki perbedaan tingkat produksi kakao yang dihasilkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengalaman berusahatani tidak mempengaruhi inefisiensi produksi kakao. Sedangkan status kepemilikan lahan menghasilkan nilai koefisien sebesar -0,127 yang berarti petani yang mengusahakan lahan dengan status milik sendiri mempunyai inefisiensi produksi kakao lebih kecil dibandingkan dengan petani yang mengusahakan lahan dengan status kepemilikan lahan sebagai penggarap. Akan tetapi hasil analisis menunjukkan bahwa status kepemilikan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap inefisiensi produksi kakao.

6.4. Efisiensi Produksi Kakao pada Perkebunan Rakyat di Bali

Semakin banyak jumlah persil yang diusahakan petani dalam berusahatani kakao, maka produksi kakao yang dihasilkan semakin tidak efisien atau efisiensi produksinya akan semakin kecil. Hal ini dibuktikan bahwa petani yang hanya memiliki jumlah persil sebanyak 1 persil untuk usahatani kakao memiliki nilai rata-rata efisiensi terbesar yaitu sebesar 94,2 persen. Sedangkan petani kakao yang memiliki jumlah persil sebanyak 2 persil dan 3 persil, masing-masing nilai rata- rata efisiensi sebesar 93,0 persen dan 86,1 persen Tabel 26. Artinya semakin banyak jumlah persil yang diusahakan petani, maka usahatani kakao yang dilakukan petani di Kabupaten Tabanan semakin tidak efisien. Hal ini tidak sejalan dengan hipotesis penelitian yang menganggap semakin banyak jumlah persil yang diusahakan petani kakao maka inefisiensi produksi akan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena pengelolaan menjadi lebih sulit dalam pemeliharaan dan pengawasan tanaman karena jarak persil yang berjauhan serta keadaan topografi wilayah yang miring karena berada dalam wilayah pegunungan. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi usahatani kakao berdasarkan jumlah persil yang diusahakan pada perkebunan rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Sebaran Petani menurut Tingkat Efisiensi Usahatani Kakao Berdasarkan Jumlah Persil yang Diusahakan pada Perkebunan Rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 No. Tingkat Efisiensi Jumlah Persil 1 persil 2 persil 3 persil 1. 0,50 0,00 0,00 0,00 2. 0,50 - 0,69 0,00 0,00 4 12,50 3. 0,70 - 0,90 3 8,57 5 15,15 12 37,50 4. 0,90 32 91,43 28 84,85 16 50,00 Total 35 100,00 33 100,00 32 100,00 Efisiensi rata-rata 0,942 0,930 0,861 Kepemilikan jumlah persil lahan yang diusahakan untuk tanaman kakao sebanyak 1 persil dan 2 persil, masing-masing tidak terdapat petani yang tidak efisien dalam melakukan usahatani kakao. Sedangkan pada petani yang memiliki 3 persil, terdapat 4 petani 12,50 yang tidak efisien dalam mengusahakan kakao. Jika dilihat dari jumlah persil lahan yang diusahakan untuk tanaman kakao sebanyak 1 persil keseluruhan petani berada pada posisi tingkat efisiensi produksi yang efisien. Sebaran tingkat efisiensi pada kepemilikan 1 persil terdiri dari 3 petani 8,57 dalam kisaran tingkat efisiensi 0,70-0,90 dan 32 petani 91,43 berada pada kisaran tingkat efisiensi lebih besar dari 0,90. Begitu pula dengan jumlah persil lahan yang diusahakan untuk tanaman kakao sebanyak 2 persil keseluruhan petani berada pada posisi tingkat efisiensi produksi yang efisien. Sebaran tingkat efisiensi pada kepemilikan 2 persil terdiri dari 5 petani 15,15 dalam kisaran tingkat efisiensi 0,70-0,90 dan 28 petani 84,85 berada pada tingkat efisiensi lebih besar dari 0,90. Sedangkan pada jumlah persil lahan yang diusahakan untuk tanaman kakao sebanyak 3 persil tidak seluruhnya petani berada pada posisi tingkat efisiensi produksi yang efisien. Sebaran tingkat efisiensi pada kepemilikan 3 persil ada 4 petani 12,50 dalam kisaran tingkat efisiensi 0,50-0,69 yang artinya produksi kakao yang dihasilkan petani tidak efisien. Sedangkan petani lainnya sebanyak 28 petani 87,50 berada pada posisi tingkat efisiensi produksi yang efisien yang terdiri dari 12 petani 37,50 berada pada kisaran tingkat efisiensi 0,70-0,90 dan 16 petani 50,00 berada pada tingkat efisiensi lebih besar dari 0,90. Jika petani melakukan proses pengolahan biji kakao dengan menerapkan teknologi fermentasi, maka produksi kakao yang dihasilkan petani tidak efisien atau efisiensi produksi kakao lebih kecil dibandingkan dengan tidak menerapkan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao. Hal ini disebabkan karena kehilangan hasil pada saat biji kakao kering lebih besar dibandingkan dengan kehilangan hasil jika tidak menerapkan teknologi fermentasi. Hal ini dibuktikan bahwa efisiensi rata-rata pada petani yang menerapkan teknologi fermentasi sebesar 0,890 yang lebih kecil dibandingkan dengan efisiensi rata-rata pada petani yang tidak menerapkan teknologi fermentasi yaitu sebesar 0,945. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi usahatani kakao berdasarkan status pengolahan biji kakao yang diusahakan pada perkebunan rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Sebaran Petani menurut Tingkat Efisiensi Usahatani Kakao Berdasarkan Status Pengolahan Biji Kakao yang Diusahakan pada Perkebunan Rakyat di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2012 No. Tingkat Efisiensi Status Pengolahan Biji Kakao Fermentasi Tidak Fermentasi 1. 0,50 0,00 0,00 2. 0,50 - 0,69 4 6,67 0,00 3. 0,70 - 0,90 16 26,67 4 10,00 4. 0,90 40 66,67 36 90,00 Total 60 100,00 40 100,00 Efisiensi rata-rata 0,890 0,945 Berdasarkan Tabel 27, yang menunjukkan bahwa petani yang melakukan proses pengolah biji kakao dengan difermentasi terdapat petani yang tidak efisien dalam mengusahakan kakao yaitu sebanyak 4 petani 6,67. Berbeda dengan petani yang melakukan proses pengolahan biji kakao dengan tidak difermentasi seluruhnya efisien dalam mengelola usahatani kakao dengan nilai efisiensi lebih besar dari 0,70. Selain itu, jika dilihat dari sebaran tingkat efisiensi terhadap status pengolahan biji kakao dengan tidak difermentasi banyak terdapat pada nilai efisiensi lebih besar dari 0,90 yaitu sebanyak 36 petani 90,00 dan lainnya tingkat efisiensi berada pada kisaran 0,70-0,90 yaitu sebanyak 4 petani 10,00. Sedangkan jika dilihat dari sebaran tingkat efisiensi terhadap status pengolahan biji kakao dengan difermentasi banyak terdapat pada tingkat efisiensi lebih besar dari 0,90 yaitu sebanyak 40 petani 66,67 dan yang lainnya berada pada kisaran tingkat efisiensi 0,70-0,90 yaitu sebanyak 16 petani 26,67. Artinya proses pengolahan biji kakao yang dilakukan dengan menerapkan teknologi fermentasi tingkat inefisiensi produksinya akan lebih besar jika dibandingkan dengan proses pengolahan biji kakao dengan tidak menerapkan teknologi fermentasi. Hal ini disebabkan karena terdapat kehilangan hasil dari proses pengolahan biji kakao dengan difermentasi lebih besar dibandingkan dengan kehilangan hasil yang diperoleh dari proses pengolahan biji kakao dengan tidak difermentasi. Efisiensi Alokatif dan ekonomis diperoleh melalui analisis dengan memperhitungkan rasio harga input dengan harga output. Usahatani kakao rakyat dengan menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao yang dihasilkan memiliki nilai rata-rata efisiensi alokatif sebesar 0,201. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi alokatif usahatani kakao rakyat dengan menerapkan teknologi fermentasi pada bjii kakao masih rendah. Peningkatan efisiensi alokatif yang harus diupayakan masih tinggi yaitu sebesar 67,10 persen {1-0,2010,611}. Sebaran efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis usahatani kakao pada perkebunan rakyat yang menerapkan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao di Kabupaten Tabanan, Bali tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 28.