Uji Hipotesis HASIL PENELITIAN
kategori sedang, 28 subjek 28 tergolong kategori tinggi, dan 4 subjek 4 termasuk kategori sangat tinggi.
Tingginya tingkat kematangan emosi subjek penelitian ini dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni usia dan pengalaman Hurlock, 1994.
Faktor usia memang tidak menjamin kematangan emosi seseorang, tetapi dengan bertambahnya usia, seseorang akan menjadi lebih matang secara
emosi. Pertambahan usia memungkinkan pertambahan kemampuan seseorang dalam menerima berbagai hal yang mungkin menimbulkan perasaan marah,
takut, cemas, dan sebagainya. Sebagaimana yang diungkapkan Jogsan 2013 bahwa kematangan emosi pada individu dapat terus berkembang sampai usia
sekitar 35 tahun. Kaitan tingginya kematangan emosi mahasiswa dengan rendahnya tingkat prokrastinasi akademik mahasiswa adalah ketika mahasiswa
yang mempunyai kematangan emosi tinggi dihadapkan pada kewajiban menyelesaikan berbagai tugas akademik yang menantang, ia dapat
memfokuskan diri dan energinya untuk mencari solusi menyelesaikan kewajibannya, alih-alih melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan
untuk sesaat seperti menonton TV atau tidur. Hal tersebut dapat terjadi karena kematangan emosi dapat diartikan
secara khusus sebagai kemampuan individu untuk mengendalikan diri Andrieş, 2009; Yusuf, 2011; Arumugam, 2014. Artinya, mahasiswa yang
matang emosinya tidak akan mudah terganggu atau teralihkan oleh rangsang- rangsang yang bersifat emosional sesaat, baik yang berasal dari dalam
maupun luar dirinya. Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki kematangan
emosi yang rendah dapat dengan mudah menghindar dari tugas tersebut dengan melakukan prokrastinasi atau menundanya tanpa perlu. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Patrzek, Grunschel, dan Fries 2012 bahwa salah satu faktor internal yang menjadi
anteseden prokrastinasi adalah kompetensi, yaitu kurangnya regulasi diri. Lebih lanjut, hasil penelitian yang telah ditemukan oleh Ferrari dan Emmons
1995 menekankan bahwa kontrol diri merupakan prediktor tunggal terbaik untuk setiap metode prokrastinasi decisional, behavioral, dan dysfunctional.
Berdasarkan hasil uji hipotesis aspek-aspek kematangan emosi dapat membuktikan bahwa kelima aspek, yakni a menerima keadaan diri sendiri
dan orang lain apa adanya, b tidak impulsif, c mengontrol emosi dan ekspresi emosi dengan baik, d bersifat sabar penuh pengertian dan memiliki
toleransi yang baik, serta e mempunyai tanggung jawab, dapat berdiri sendiri, dan tidak mudah frustrasi berkorelasi negatif dengan tipe-tipe
prokrastinasi akademik, yaitu kehendak untuk menunda memulai maupun menyelesaikan tugas yang sedang dihadapi, perilaku menunda memulai
maupun menyelesaikan tugas yang sedang dihadapi, kesenjangan antara kehendak dan tindakan, serta melakukan aktivitas lain.
Hasil uji hipotesis aspek kematangan emosi dengan prokrastinasi akademik yang memiliki koefisien korelasi tertinggi -0,482 adalah aspek
bertanggung jawab, dapat berdiri sendiri, dan tidak mudah frustrasi. Mahasiswa yang mampu bertanggung jawab akan menyelesaikan dengan baik
segala sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya yang dalam hal ini berarti
tugas-tugas akademik. Selanjutnya, Tiwari 2004 mengemukakan bahwa kematangan emosi memungkinkan individu untuk menahan tekanan sehingga
individu yang emosinya matang dapat bertahan terhadap situasi frustrasi dalam mengatasi tuntutan atau tekanan dalam kehidupan. Artinya, mahasiswa
yang memiliki kemampuan bertahan terhadap situasi frustrasi yang menuntut dan menekan tidak akan terjebak dalam perilaku menunda atau prokrastinasi,
terutama dalam hal akademik. Selain itu, mahasiswa yang mandiri akan mengerjakan tugas tanpa tergantung pada orang lain. Mahasiswa tersebut
tidak mudah menyerah saat menghadapi tugas yang sukar ataupun tugas dengan tenggat waktu pengerjaan yang terbatas. Pada akhirnya, berbagai jenis
tugas akademik yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kristiani 2013
yang mengindikasikan adanya korelasi negatif antara kemandirian dengan prokrastinasi pada mahasiswa.
Aspek yang menempati urutan koefisien korelasi tertinggi kedua dengan prokrastinasi akademik adalah aspek tidak impulsif, yakni -0,451.
Steel 2007 menyatakan bahwa kecenderungan menanggalkan pekerjaan dengan tenggat waktu yang sudah dekat biasa dilakukan oleh orang impulsif
yang dapat dengan mudah merasa bosan. Ursia, Siaputra, dan Sutanto 2013 menyatakan hal yang serupa, yakni kecenderungan mahasiswa untuk bersikap
impulsif selaras dengan kecenderungan mahasiswa untuk menunda pengerjaan tugas.
Blatt Quinn dalam Steel, 2007 menyatakan bahwa individu yang impulsif lebih cenderung melakukan prokrastinasi,