PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
tugas-tugas akademik. Selanjutnya, Tiwari 2004 mengemukakan bahwa kematangan emosi memungkinkan individu untuk menahan tekanan sehingga
individu yang emosinya matang dapat bertahan terhadap situasi frustrasi dalam mengatasi tuntutan atau tekanan dalam kehidupan. Artinya, mahasiswa
yang memiliki kemampuan bertahan terhadap situasi frustrasi yang menuntut dan menekan tidak akan terjebak dalam perilaku menunda atau prokrastinasi,
terutama dalam hal akademik. Selain itu, mahasiswa yang mandiri akan mengerjakan tugas tanpa tergantung pada orang lain. Mahasiswa tersebut
tidak mudah menyerah saat menghadapi tugas yang sukar ataupun tugas dengan tenggat waktu pengerjaan yang terbatas. Pada akhirnya, berbagai jenis
tugas akademik yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kristiani 2013
yang mengindikasikan adanya korelasi negatif antara kemandirian dengan prokrastinasi pada mahasiswa.
Aspek yang menempati urutan koefisien korelasi tertinggi kedua dengan prokrastinasi akademik adalah aspek tidak impulsif, yakni -0,451.
Steel 2007 menyatakan bahwa kecenderungan menanggalkan pekerjaan dengan tenggat waktu yang sudah dekat biasa dilakukan oleh orang impulsif
yang dapat dengan mudah merasa bosan. Ursia, Siaputra, dan Sutanto 2013 menyatakan hal yang serupa, yakni kecenderungan mahasiswa untuk bersikap
impulsif selaras dengan kecenderungan mahasiswa untuk menunda pengerjaan tugas.
Blatt Quinn dalam Steel, 2007 menyatakan bahwa individu yang impulsif lebih cenderung melakukan prokrastinasi,
sebagaimana mereka cenderung dilanda dengan keinginan saat ini dan fokus perhatian pada keinginan tersebut. Oleh karena itu, ketika menghadapi tugas
akademik, mahasiswa yang tidak impulsif akan sukar teralihkan pada hal lain yang bersifat sesaat sehingga mampu memfokuskan perhatian pada tugas
yang seharusnya dikerjakan. Urutan ketiga dengan koefisien korelasi sebesar -0,383 yaitu aspek
sabar, penuh pengertian, dan memiliki toleransi yang baik dengan prokrastinasi akademik. Terkait dengan prokrastinasi akademik, individu
yang sabar akan mengerjakan tugas-tugas akademiknya dengan tekun meskipun tugas tersebut dinilai sukar untuk dikerjakan ataupun tidak
disukainya. Urutan selanjutnya yang mempunyai koefisien korelasi sebesar -0,326
adalah aspek mengontrol emosi dan ekspresi emosi dengan baik dengan prokrastinasi akademik. Kemampuan untuk mengendalikan emosi dan
ekspresi emosi dapat memperkecil kesenjangan antara kehendak dengan tindakan. Artinya, mahasiswa yang mampu mengendalikan emosi cenderung
untuk melakukan tindakan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan sebelumnya meskipun banyak tawaran kegiatan lain yang lebih
menyenangkan untuk dilakukan. Urutan terakhir mempunyai koefisien korelasi sebesar -0,290 yakni
aspek menerima keadaan diri maupun orang lain apa adanya dengan prokrastinasi akademik. Mahasiswa yang menerima keadaan diri secara apa
adanya, baik kelebihan maupun kekurangan akan lebih peka untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Kaitannya dengan prokrastinasi akademik adalah mahasiswa mampu menyesuaikan kemampuan diri sendiri
dengan tugas-tugas yang didapatkan. Ketika individu tersebut menyadari bahwa tugas yang dimiliki banyak dan waktu pengumpulannya terbatas maka
tugas tersebut akan segera dikerjakannya. Koefisien determinasi r
2
yang diperoleh dari hasil kuadrat koefisien korelasi melalui perhitungan uji regresi adalah 0,237. Hasil tersebut berarti
variabel kematangan emosi memberikan pengaruh sebesar 23,7 terhadap variabel prokrastinasi akademik mahasiswa, baik dalam hal menerima
keadaan diri sendiri dan orang lain apa adanya, tidak impulsif, mengontrol emosi dan ekspresi emosi dengan baik, sabar penuh pengertian dan memiliki
toleransi yang baik, serta mempunyai tanggung jawab, dapat berdiri sendiri, dan tidak mudah frustrasi.
Peran kematangan emosi terhadap prokrastinasi akademik cukup kecil untuk subjek mahasiswa. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena tidak
semua mahasiswa dengan tingkat kematangan emosi tinggi mempunyai prokrastinasi akademik yang rendah. Artinya, kematangan emosi tidak serta
merta mencegah mahasiswa melakukan prokrastinasi akademik. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa mahasiswa
tingkat lanjut graduate students melakukan prokrastinasi akademik, bahkan dengan tingkat prokrastinasi yang lebih tinggi Onwuegbuzie, 2004.
Mengingat bahwa rentang usia mahasiswa tingkat lanjut 21-51 tahun termasuk dalam kategori dewasa, seharusnya mereka sudah mencapai tingkat
kematangan emosi yang tinggi. Seperti yang diungkapkan Jogsan 2013 bahwa kematangan emosi pada individu normal akan tercapai pada usia 21
tahun sampai awal 30. Sebaliknya, tidak semua mahasiswa dengan tingkat kematangan emosi rendah mempunyai tingkat prokrastinasi akademik yang
tinggi. Hal tersebut dapat terjadi jika lingkungan tempat tinggal mahasiswa tersebut tidak mendukungnya untuk melakukan prokrastinasi akademik,
disebabkan jadwal belajar yang teratur serta intensitas pengawasan yang ketat layaknya kondisi dalam asrama. Namun, diperlukan penelitian lanjutan untuk
membuktikan asumsi tersebut dengan melakukan kajian mengenai prokrastinasi akademik dan kematangan emosi pada berbagai jenis
lingkungan tempat tinggal yang berbeda indekos, asrama, atau rumah orang tua.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada variabel lain yang cukup dominan 76,3 di luar kematangan emosi yang
mempengaruhi prokrastinasi
akademik. Variabel-variabel
lain itu
kemungkinan adalah kelelahan fisik Strongman Burt dalam Steel, 2007, harga diri Beswick, dkk dalam Patrzek, Grunschel, Fries, 2012, dan
karakteristik tugas Steel, 2007. Selain hasil penelitian, penulis akan memaparkan keterbatasan
penelitian dari proses persiapan penelitian sampai dengan penyusunan laporan penelitian. Penulis merasa kesulitan dalam proses mencari teori
mengenai kematangan emosi karena adanya overlapping antara konstruk kematangan emosi dengan kecerdasan emosi dalam berbagai literatur yang
berhasil ditemukan oleh penulis. Selain itu, alat ukur yang dibuat penulis masih perlu diperbaiki karena banyaknya aitem yang gugur yang
kemungkinan terjadi karena aitem-aitem tersebut kurang dapat membedakan respon subjek yang sesungguhnya. Penulis merasa kesulitan dalam membuat
aitem yang terlepas dari pengaruh social desirability sehingga dimungkinkan banyak terjadi faking good pada saat uji coba alat ukur penelitian yang
sekaligus digunakan sebagai data penelitian. Contohnya, ada 6 aitem skala kematangan emosi yaitu nomor 3, 4, 10, 24, 31, dan 51 serta 3 aitem skala
prokrastinasi akademik yaitu nomor 11, 30, dan 51 yang tidak mendapatkan respon jawaban dengan skor 1. Artinya, tidak ada respon jawaban Sangat
Tidak Setuju STS pada aitem favorable dan begitu pula tidak ada respon jawaban Sangat Setuju SS pada aitem unfavorable. Hal ini secara tidak
langsung mengindikasikan adanya kecenderungan faking good dari subjek penelitian. Penelitian ini menggunakan tryout terpakai karena keterbatasan
waktu yang dimiliki penulis dalam menyebarkan skala penelitian yang bertepatan dengan Ujian Akhir Semester UAS yang tengah dijalani subjek.
Mengenai jumlah subjek uji coba, penulis sendiri merasa kurang dalam mencari subjek karena menurut Azwar 1995 subjek penelitian hendaknya
berkisar antara 6-10 kali jumlah aitem yang akan diukur. Sementara itu, dimungkinkan penyebab banyaknya aitem yang gugur adalah karena jumlah
subjek yang terbatas.
68