Pengarang menggambarkan karakter tokoh yang bisa menempatkan diri dan tidak gentlemen dalam menghadapi kehidupan ini. Pengarang, membuat batin tokoh
menjadi bimbang dalam menyelesaikan masalah hidupnya. Satu sisi tokoh ini membalas dendam tetapi satu sisi cintanya kepada Atik yang dalam membuat tokoh
tidak yakin untuk membalas dendam.
4.4.2 Metode Tidak Langsung showing
4.4.2.1 Karakterisasi Melalui Dialog 1. Apa yang Dikatakan Penutur
Pertama-tama pembaca harus memperhatikan subtansi dari suatu dialog. Apakah dialog tersebut sesuatu yang terlalu penting sehingga dapat mengembangkan
peristiwa-peristiwa dalam suatu alur atau sebaliknya. Penggambaran karakter tokoh Setadewa diungkapkan oleh ibu Atik Bu
Antana yang menilai Setadewa seorang anak yang baik hati, cerdas dan jujur, seperti dalam kutipan berikut.
88 “Itu anak lelaki yang baik hati,” kata ibunya. “Cerdas di sekolah, hampir selalu
nomor satu dan jujur .” Mangunwijaya, 2010: hlm 27.
Tokoh lain Oom Bas mengatakan Teto benar-benar anak kalong karena sikap Teto yang aktif.
89 Memang dasar anak kolong, kata Oom Bas sambil tertawa Mangunwijaya, 2010: hlm 28.
Terjadi dialog antar Setadewa dengan ayahnya yang merencanakan suatu hal, berikut kutipan:
90 “Kau sudah besar. Mau membantu Papi?” berdebar-debar aku mengganguk. “Papi
tidak takut tertangkap Jepang nanti?” Papi tersenyum. “Perwira tidak boleh takut. Ora
ng takut, kebanyakan karena bodoh. Kau piker Papimu bodoh?” Keras kugeleng-
gelangkan kepala. “Nah, dengar sekarang. Radio ini harus kau sembunyikan di dalam gudang Mayor Kanagashe tetangga kita ini. “Saya?
Bagaimana?” “Pelan. Tetapi sebelumnya Papi minta, agar kebencianmu kepada Tante Paulin kau kurangi.” “Sundal itu?” “Hei hei, jangan terlalu keji pada
perempuan malang itu” Mangunwijaya, 2010: hlm 34.
Dialog Setadewa dengan ayahnya tampak serius sedang merencanakan suatu hal yang tujuannya supaya dapat mendengarkan percakapan Mayor Kanagashe. Pada
bab ini, Jepang sudah menduduki Indonesia, maka ayah Setadewa ingin membuat supaya kekuasaan direbut lagi oleh Belanda. Karakter tokoh Setadewa digambarkan
oleh pengarang melalui percapakan seperti kutipan di atas, Setadewa termasuk tipe orang yang dalam berbicara frontal. Maksudnya si tokoh menyebut kata “sundal”
tanpa rasa bersalah bahwa kata “sundal” itu kasar. Namun, pada akhirnya ayah dan ibunya Setadewa tertangkap oleh Jepang.
Sejak saat itu, Setadewa hidup sendiri. Setadewa pun ikut bergabung menjadi anggota KNIL. Sejak menjadi anggota KNIL, Setadewa tidak pernah bertemu dengan orang
tuanya. Pernah suatu ketika, Setadewa berbincang-bincang dengan Verburggen mantan pacar ibunya dan atasan Setadewa, berikut kutipannya
91 “Biarkan aku. Aku mau melihat… biarkan aku. Kutembak kau” Verburggen
mendesisi. “Gila kau. Malu tidak kau didengar orang-orang di sekokan itu.” Aku lunglai merebahkan diri di ranjang. “Leo, kita akan bersama-sama menengok
ibumu. Tetapi dengan hati yang tabah dan siaga. Tidak seperti anak puber begitu. Sekali lagi, jangan mengira kesediahanmu lebih besar dari kesedihanku.
Penderitaan anak bisa dalam. Tetapi penderitaan kekasih bisa lebih dalam. Maka itu jangan berlagak. Itu kalau kau lelaki dan bukan seorang banci sentimental yang
cuma bisa meong- meong kayak kucing.” Mangunwijaya, 2010: hlm 163.
Melalui percakapan Setadewa dengan Verburggen, dapat dilihat karakter Setadewa yang masih labi seperti anak puber, dan sikapnya yang berlagak. Selain itu,
Setadewa pun memiliki karakter pemberani dalam setiap pilihannya, seperti kutipan berikut,
92 “Tetapi, Mas Teto. Ini berarti kau akan dipecat” “Aku tahu”. Erat-erat tanganku
diremas- remasnya. “Teto Teetoo Kau sunggu Teto, kau singa” “Singan yang
sudah divonis dan menunggu ditembak.” “Ya, itulah konsekuensinya. Dan kau sanggup mati?” “Aku tidak akan mati. Hanya harus berganti kehidupan. Dari
manusia lama menjadi manusia baru. “Teto Sungguh jantan kau.” Mangunwijaya, 2010: hlm 299.
Setadewa berani menerima resiko ketika dia melakukan pembongkaran yang terjadi dalam perhitungan komputer.
2. Jatidiri Penutur Jatidiri penutur di sini adalah ucapan yang disampaikan oleh seorang protagonis
tokoh sentral yang seyogyanya dianggap lebih penting daripada apa yang diucapkan oleh tokoh bawahan tokoh minor, walaupun percakapan tokoh bawahan kerapkali
memberikan informasi krusial yang tersembunyi mengenai watak tokoh lainnya. Setadewa adalah anak kolong yang memiliki keturunan Jawa dari ayahnya dan
Belanda dari ibunya. Tetapi dari segi karakter, Setadewa lebih dominan mengikuti karakter ayah, sedangkan secara fisik lebih dominan ke ibunya yang Indo.
93 … Mengikuti Papi dan Mami ke istana betul-betul siksaan bagiku. Aku di sebut
Raden Mas Sinyo di situ. Sebutan yang sangat menertawakan dan omong kosong. Tetapi memang muka dan kulitku mendekati mami punya. Hanya dalam kejiwaan
barangkali aku ikut Papi, Si b lo’on gembala sapi Mangunwijaya, 2010: hlm 7.
Semasa kecil kehidupan Setadewa bahagia, tetapi sejak Jepang datang, kehidupan Setadewa mulai berubah. Setadewa pun ikut bergabung menjadi anggota
KNIL. Sejak menjadi anggota KNIL, Setadewa jarang bertemu dengan Atik gadis yang dia sayangi. Suatu ketika, Setadewa pun bertemu dengan Atik, tetapi sayang
ternyata Atik tidak berpihak pada KNIL, melainkan Republik dan itu sangat memukul Setadewa.
94 Aku butuh Atikku agar aku hidup terus. Tetapi gadis itu ada dipihak musuhku dan harus kuhitung sebagai musuh. Dan semakin menjadi-jadi benciku kepada orang-
orang Republik itu, yang merenggut satu-satunya harapan dan tumpuan jiwaku yang merana ini Mangunwijaya, 2010: hlm 91.
Setadewa merasa pilihannya yang paling benar, yaitu membela KNIL dan berharap Belanda menang. Seiring berjalannya waktu, KNIL pun kalah. Setadewa
melanjutkan studi. Dalam suatu peristiwa, Setadewa bertemu dengan Atik, Janakatamsi dan Bu Antana.
95 “Jalan lain … jalan lain?” tetapi bergejolak lagi, karakter Larasati dalam dirinya:
“Teto. Mengapa kau kok dapat kuat seperti itu? kau kuat, Teto, kau sangat kuat. Dan aku selalu kagum pada lelaki yang kuat.” “Suamimu lebih kuat.” “Mas Jana?
Ooh… dia baik, tetapi lemah. Akulah yang selalu memimpin.” “Apa kau kira orang ya
ng dipimpin itu selalu lebih lemah?” Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: “Jana tidak dipimpin. Dialah yang memimpin, Atik. Hanya
kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanit terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga.” Mangunwijaya, 2010: hlm 312.
Dari kutipan di atas, menceritakan watak tokoh Janakatamsi, suami Atik. Menurut penilaian tokoh sentral Setadewa, Jana seorang yang lebih kuat dari
dirinya. Di sini tokoh sentral, dalam menilai tokoh lain melihat dirinya terlebih dahulu.
4.4.2.2 Lokasi dan Situasi Percakapan 1. Lokasi
96 Sebab menjelang senja itu, di bawah pohon mangga kebun belakang rumah Bu Antana, untuk pertama kali dalam segala tahun yang masih kuingat jelas, aku, anak
KNIL yang telah ditempa dengan hati dari tembaga peluru tangsi, yang terbiasa untuk bertahan, toh menangis Mangunwijaya, 2010: hlm40.
97 … Tetapi petang itu memang lebih dari biasanya. Diciumilah batu kepalaku.
Disusul sekedar minum the dan kue-kue basa-basi di kebun, di bawah pohon mangga, di mana aku dan Atik sering main dan saling berdebat serta bercanda
saling meledek Mangunwijaya, 2010: hlm 41.
Kutipan di atas, menunjukan l okasi “di kebun, di bawah pohon mangga” yang
memberikan suasana yang berbeda ketika berbicara di dalam ruangan. Lokasi seperti “di kebun, di bawah pohon mangga” menjadi tepat yang nyaman ketika ingin
membicarakan masalah tertentu. Pengarang memberi lokasi yang sesuai dengan pembicaraan. Kutipan di atas menceritakan, keberadaan ibu Setadewa yang dijadikan
gundik oleh tentara jepang. Maka dari itu, Bu Antana mengambil lokasi yang tepat untuk menceritakan masalah tersebut.
98 … Sungguh mati, aku tidak dapat menerka sedikit pun, mengapa ia memilih tempat
yang aneh ini. Tetapi ia langsung masuk rumah dan aku diajak masuk. “Saya ingin
bicara dengan kau. Sayang ilhamku hanya tahu tempat ini, yang kuanggap paling enak untuk bicara privat dan tidak perlu berputar-putar jalan. Rokok?
Mangunwijaya, 2010: hlm 161.
Kutipan di atas menjadi pengantar cerita keberadaan ibu Setadewa yang sudah Hilang ingatan. Mayor Verburggen lah yang menceritakan hal itu kepada Setadewa.
Verburggen adalah mantan pacar ibu Setadewa sekaligus yang menjadi pimpinan
Setadewa selama di KNIL. Memilih “rumah” sebagai lokasi cerita karena dianggap aman, sehingga tidak ada orang lain yang tahu.
2. Situasi Percakapan
99 “Tapi bagaimana Si Dora? Dia sudah terima itu cincin?” “Udah Tapi kan betul
yang kubilang dulu. Semua cewek itu anak wewe. “Dia gembira menerima hadiah?” “Bah Terlalu amat kelewat gembira.” “Betul?” “Sampai ia tunjukan
suratmu pada cewek dan cowok, sambil mentertawakan kau. Sudahlah,semua cewek brengsek.” Betul juga Aku sangat setuju dengan kurirku itu. tidak cuma
brengsek, tapi gila Mangunwijaya, 2010: hlm 10.
Situasi percakapan pada kutipan di atas, si tokoh Setadewa emosi karena merasa dirinya dipermalukan oleh Dora gadis yang dia beri surat.
100 “Barangkali kurang tidur aku lekas marah, Mayoor.” “Tidak Bukan itu. Saya tahu
mengapa kau begitu. Kau dendam, karena ayahmu dibunuh Jepang bukan?” Aku diam. Betul, apa yang dikatakan Mayoor Verbruggen. “Ayahmu masih hidup,
dear Leo.” Terperanjat seluruh tubuhku. Mataku membelalak seperti kehilangan segala bahasa. Aku hanya melompong penuh pertanyaan Mangunwijaya, 2010:
hlm 81.
Percakapan dimulai dengan emosi Verburgeen karena Setadewa pergi tanpa ada surat tugas. Situasi percakapan dari kutipan di atas, tergambar jelas. Dengan ekspresi
tokoh Leo Setadewa yang “Terperanjat seluruh tubuhku. Mataku membelalak seperti kehilangan segala bahasa. Aku hanya melompong penuh pertanyaan”. Dia
kaget dengan semua perkataan Verburggen, seakan tidak percaya. Namun Verburggen mendapatkan bukti dari NEFIS bahwa ada kemungkinan ayah Setadewa
masih hidup.
101 “Baiklah, saya sudah memperingatkan kau. Jadi jangan mempermasalhakan saya
kalau ada akibat- akibat yang tidak enak.” “Apa ada di dalam keadaan edan seperti
ini yang masih bisa lebih tidak enak?” “Okey, okey. Saya sudah tua dank au
sebentar lagi juga akan tua. Dengarkan. Dan ia menatap padaku, lirih berbisik. Ibumu sudah kutemukan. Hah?” Mataku membelalak dan asap cigarello
menyeruduk paru-paru sehingga aku batuk- batuk tidak karuan. “Ya, Marice.
Tidak usah basa- basi. Ia kutemukan di Rumah Penyakit Syaraf Kramat sana tad.”
Seperti kena granat Howitzer 10 inch aku hanya bisa bungkam dan membelalak. Ibuku di rumah gila? Kramat Magela
ng adalah rumah gila. Ya Tuhan… siapa yang gila, mereka atau aku sekarang? Mangunwijaya, 2010: hlm 162.
Situasi percakapan yang sedang terjadi terlihat serius dan tegang setelah mendengar bahwa Marice di rumah gila.
4.4.2.3 Jatidiri Tokoh yang Dituju oleh Penutur Penutur di sini berarti tuturan yang disampaikan tokoh dalam ceritera;
maksudnya tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang tokoh lainnya Minderop, 2005: 31-32.
102 “Itu anak lelaki yang baik hati,” kata ibunya. “Cerdas di sekolah, hampir selalu
nomor satu dan jujur.” Mosok jujur, anak yang kesukaannya memelanting burung-burung tak berdosa.
Atik pernah diperkenalkan padanya sekian tahun yang lalu ketika mereka datang diundang Panam Hendra juga. Atik malu-malu tentu saja, seperti selayaknya
puteri yang berpendidikan. Tetapi anak itu langsung memijat hidungnya seperti tomol, kurang-ajar, sungguhg setangah mati kejutnya. Apalagi semua orang-tua
tertawa, seolah-olah menyetuhui perbuatan jahat itu Mangunwijaya, 2010: hlm 27.
Kata “mosok jujur” terucap dari bibir Atik, seorang gadis yang kesal dengan sikap Setadewa. Setadewa suka memelating burung srigunting yang tidak punya
salah. Tuturan “mosok jujur”, menjadi jatidiri tokoh Setadewa yang dianggap bukan anak yang jujur.
103 “Biarkan aku. Aku mau melihat… biarkan aku. Kutembak kau” Verburggen
mendesisi. “Gila kau. Malu tidak kau didengar orang-orang di sekokan itu.” Aku lunglai merebahkan diri di ranjang. “Leo, kita akan bersama-sama menengok
ibumu. Tetapi dengan hati yang tabah dan siaga. Tidak seperti anak puber begitu.
Sekali lagi, jangan mengira kesediahanmu lebih besar dari kesedihanku. Penderitaan anak bisa dalam. Tetapi penderitaan kekasih bisa lebih dalam. Maka
itu jangan berlagak. Itu kalau kau lelaki dan bukan seorang banci sentimental yang cuma bisa meong-
meong kayak kucing.” Mangunwijaya, 2010: hlm 163.
Pada kutipan ke 31, tokoh Verburggen mengatakan bagaimana karakter tokoh Setadewa yang masih seperti anak puber dan berlagak. Perkataan itu diucapkan ketika
mereka ingin menengok ibunya Setadewa.
104 “Tetapi, Mas Teto. Ini berarti kau akan dipecat” “Aku tahu”. Erat-erat tanganku
diremas- remasnya. “Teto Teetoo Kau sunggu Teto, kau singa” “Singan yang
sudah divonis dan menunggu ditembak.” “Ya, itulah konsekuensinya. Dan kau sanggup mati?” “Aku tidak akan mati. Hanya harus berganti kehidupan. Dari
manusia lama menjadi manusia baru. “Teto Sungguh jantan kau.” Mangunwijaya, 2010: hlm 299.
Kutipan no 32, menggambarkan karakter tokoh Setadewa yang memiliki keberanian untuk mengungkap kecurangan yang terjadi dalam perhitungan komputer.
4.4.2.4 Kualitas Mental Para Tokoh Kualitas mental para tokoh dapat dikenali melalui alunan dan aliran tuturan
ketika para tokoh bercakap-cakap.
105 “Dia gembira menerima hadiah?” “Bah Terlalu amat kelewat gembira.” “Betul?”
Sampai ia tunjukan suratmu pada semua cewek dan cowok, sambil menertawakan kau. Sudahlah, semua cewek itu brengsek.” Betul juga Aku sangat setuju dengan
kurirku itu. Tidak cuma brengsek, tapi gila. Maka kembalilah aku ke duniaku, berbaris di belakang peleton-peleton infanteri yang baru pulang dari latihan di
Tidar. Lelah tetapi masih gagah Mangunwijaya, 2010: hlm 10.
Karakter Setadewa terlihat kasar, karena mudah mengatakan “brengsek” kepada wanita. Dapat dilihat dari kutipan di atas, menggambarkan percakapan Setadewa
dengan kurirnya. Setadewa meminta tolong kepada kurirnya untuk memberikan surat
kepada Dora gadis yang ia suka. Setelah Dora menerima surat dari Setadewa, dia melampiaskan rasa bahagianya dengan mempertunjukan surat itu kepada teman-
temanya. Tetapi sikap Dora yang seperti itu tidak disukai oleh Setadewa.
106 Keras kugeleng-gelengkan kepala. “Nah, dengar sekarang. Radio ini harus kau sembunyikan di dalam gudang Mayor
Kanagashe tetangga kita ini. “Saya? Bagaimana?
“Pelan. Tetapi sebelumnya Pami minta, agar kebencianmu kepada Tante Paulina kau kurangi.”
“Sundal itu?” “Hei hei, jangan terlalu keji pada perempuan malang itu” Mangunwijaya, 2010:
hlm 34.
Dari percakapan Setadewa dengan ayahnya mencermikan kualitas mental tokoh Setadewa yang bicara asal bicara. Mudah mengatakan seseorang dengan sebutan
kasar.
107 “Hahaaaa, ini dia: Hanya kenalan biasa. Mana ada orang yang punya susu-susu
montok kok kenalan biasa. Tentu montok pasti dada gadismu. Apalagi anunya… lalu”
“Diam” potongku “Kau di sini sebagai komandan militer. Bukan komandan urusan pribadi.”
“Hei, hei, tenang,tenang.” Tetapi aku terlajur naik pitam. “Kau boleh menembak aku sebagai mata-mata, tetapi mengperolok-olok gadis
satu ini kularang. Kularang Mangunwijaya, 2010: hlm 83.
Percakapan Setadewa dengan Verburggen terlihat memuncak karena Verburggen menghina wanita yang dicintai Setadewa yaitu Larasati. Perkataan
Verburggen membuat Setadewa naik pitam. Dilihat dari kualitas mental tokoh, Setadewa termasuk orang yang mudah emosional.
4.5 Analisis Psikologis Tokoh Setadewa