Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Kegiatan Pembelajaran 2 58 Sampainya seseorang dalam mengapresiasikan teks drama memerlukan suatu proses. Proses ini membutuhkan seperangkat perlengkapan. Ini dibutuhkan bukan saja untuk memahami maksud dan pesan pengarang, tetapi juga untuk memahami bagaimana pengarang secara estetik menyampaikan maksud dan pesannya itu. Berbagai teori digunakan untuk mengapresiasikan karya sastra drama itu. Kita kenal struktur dramatik Aristoteles. Titik pangkalnya adalah rumusan tentang karya sastra drama yang baik biasanya memiliki alur cerita yang berbentuk piramida, diawali dengan unsur eksposisi, dilanjutkan dengan komplikasi, memuncak pada klimaks, menurut kembali pada resolusi, dan berakhir pada konklusi. Teori lain adalah yang bertitik-tolak dari tokoh utama cerita atau ada juga yang menggunakan teori strukturalistik yang dikembangkan oleh Etienne Sourlau. Teori ini mendekati karya sastra drama dari sisi fungsi-fungsi yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, karena drama adalah bagian dari seni sastra dan seni peran maka proses apresiasinya bertolak dari intuitif. Dalam hal ini Saini K.M. 1965:55 berpendapat. Pada dasarnya semua karya seni adalah pengetahuan intuitif. Makna karya seni hanya dapat dipahami melalui pikiran, perasaan, dan khayalan sekaligus, dengan kata lain, dengan intuisi. Namun di dalam upaya memahami makna karya seni, kegiatan pikiran intelek, rasio, perasaan emosi, daya khayal imajinasi tidak senantiasa seimbang. Kadang- kadang pikiran menonjol perannya, kadang-kadang perasaan, kadang-kadang khayal. Di dalam menghadapi karya sastra drama dari gaya realisme, misalnya, intelek kita lebih banyak bekerja dibanding dengan khayal; di dalam jenis melodrama, perasaan cenderung lebih dipancing untuk giat oleh sastrawannya. Menyikapi pendapat di atas, sebagai seni peran atau teater, sastra drama telah melalui proses intuitif dari sutradara. Sastra drama itu telah diolah dalam bentuk penafsiran, pemotongan cerita yang kurang menunjang, atau penambahan dialog yang mungkin relevan dan tidak menyimpang dari ide cerita. Hal inilah yang membedakannya dengan apresiasi sastra drama sebagai bentuk tersendiri yang bukan untuk tujuan pementasan atau teater. Sebagai karya sastra drama betul-betul dihadapi dalam keutuhan dan Bahasa Indonesia SMP KK G 59 keseluruhan simbol-simbol bahasa yang ada dalam teks. Ia tidak bisa dihilangkan atau ditambah.

3. Pendekatan dalam Mengapresiasi Drama

Berdasarkan teori-teori yang dijelaskan sebelumnya untuk mengapresiasi sastra drama, ada beberapa pendapat yang dapat dilakukan untuk mengapresiasi sastra drama. Menurut Hamidy 1984:15 pendekatan tersebut dapat dilakukan dalam segi: a. Pendekatan dari segi fungsi. Hal ini biasanya dihubungkan dengan peranan yang dapat dimainkan oleh drama dalam masyarakat. b. Pendekatan derajat peristiwa. Pembahasan ini berhubungan dengan alur, yaitu dalam bentuk bagaimana derajat peristiwa seperti eksposisi, komplikasi, krisis, sampai kepada penyelesaian. c. Pendekatan terhadap tema. Dalam hal ini kita dihadapkan kepada perbandingan tiap-tiap kesatuan peristiwa sehingga sampai kepada suatu logika kesimpulan bagaimana citra atau ide yang hendak disampaikan. d. Pendekatan terhadap drama yang berkaitan dengan segi aliran karya sastra, misalnya realisme, naturalisme, dan ekspresionisme. e. Pendekatan dari sudut gaya. Pembahasan ini menyangkut bagaimana perkembangan sistematika bangun drama itu dengan kaitannya terhadap pantulan gaya yang hendak diperlihatkan kepada pembaca. Lima pendekatan di atas sebenarnya merupakan satu alternatif saja dari cara lain atau pendekatan lain yang mungkin dapat dilakukan dalam mengapresiasi sastra drama. Persoalan penting yang seharusnya dipahami adalah bagaimana agar kedudukan drama sebagai apresiasi sastra seimbang dengan pembicaraan atau apresiasi sastra lainnya. Harapan ini muncul agar drama sebagai karya sastra tidak terlepas dari bahasa sastra Indonesia.

4. Tingkat-tingkat Apresiasi Drama

Tingkat apresiasi dalam pengertian ini dilihat dari daya tanggap, pemahaman, pengkhayalan, dan ketrampilan. Dengan demikian menyangkut pula pengertian tingkat kesiapan dalam menanggapi, memahami, menghayati, dan keterampilan dalam tingkat apresiasi sastra. Menurut Mio 1991:19 tingkat- Kegiatan Pembelajaran 2 60 tingkat apresiasi sastra drama, khususnya pembacaan drama dan prosa dapat dibagi atas empat, yaitu: a. Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sesuatu yang hidup, dengan pelaku-pelakunya yang mengagumkan. Mereka telah dapat terbawa dalam cerita atau drama yang sedang dibacanya, yang sering diiringi oleh ketawa, menangis, membenci seorang pelaku, dan sebagainya. b. Pembaca yang telah dapat melihat dalamnya perasaan atau jika mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku satu drama berarti selangkah lebih maju dari pembaca di atas Pada tingkat ini pembaca drama tidak saja menikmati kejadian-kejadian dalam drama secara badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku. c. Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang lain dan dapat memberikan pendapatnya mengenai satu karya, juga telah dapat membaca karya yang lebih sukar dengan kenikmatan. d. Pembaca yang telah dapat melihat keindahan susunan dialog, setting simbolis, pemakaian kata-kata yang berirana yang disajikan oleh sastrawan, telah mampu memberi respons pada daya sastra yang merangsang mereka berpikir dan memberi respons pada seni yang disajikan sastrawan. Diunduh pada http:www.angelfire.comjournalfsulimelightdwi.html Apresiasi drama dapat dilakukan dengan memahami drama secara mendalam, merasakan cerita yang ditayangkan, serta mampu menyerap dan mengkaji nilai-nilai ekstrinsik dan intrinsik yang terkandung dalam drama. Selain itu, apresiasi juga dapat dilakukan dengan menghargai drama sebagai seni dengan kelebihan dan kelemahannya dari teks yang dibuat atau dari jalan main pementasan drama.

5. Jenis-Jenis Apresiasi Drama

a. Apresiasi langsung Berhadapan atau interaksi secara langsung dengan karya sastra drama baik dalam bentuk teks tertulis maupun dalam bentuk pementasan.