Higiene Sanitasi Pembuatan dan Analisis Keberadaan Tawas Serta Pengawasan dan Distribusi Ikan Asin Kota Sibolga Tahun 2012

(1)

HIGIENE SANITASI PEMBUATAN DAN ANALISIS KEBERADAAN TAWAS SERTA PENGAWASAN DAN DISTRIBUSI IKAN ASIN

KOTA SIBOLGA TAHUN 2012

SKRIPSI Oleh :

NIM : 081000033 SRI WAHYUNI PASARIBU

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

HIGIENE SANITASI PEMBUATAN DAN ANALISIS KEBERADAAN TAWAS SERTA PENGAWASAN DAN DISTRIBUSI IKAN ASIN

KOTA SIBOLGA TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

NIM. 081000033 SRI WAHYUNI PASARIBU

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul :

HIGIENE SANITASI PEMBUATAN DAN ANALISIS KEBERADAAN TAWAS SERTA PENGAWASAN DAN DISTRIBUSI IKAN ASIN

KOTA SIBOLGA TAHUN 2012

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

SRI WAHYUNI PASARIBU NIM. 081000033

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 10 Juli 2012 dan Dinyatakan

Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Ir. Evi Naria, M.Kes

NIP.19680320 199303 2 001 NIP. 19491119 198701 1 001 Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH

Penguji II Penguji III

dr. Taufik Ashar, MKM

NIP.19780331 200312 1 001 NIP.19681101 199303 2 005 Ir, Indara Chahaya S, Msi

Medan, Juli 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

NIP. 196108311989031001 Dr. Drs. Surya Utama, M.S


(4)

ABSTRAK

Ikan asin merupakan bahan makanan yang terbuat dari ikan yang diawetkan dengan cara dikeringkan dan dengan menambahkan garam dalam jumlah tinggi yang bertujuan untuk meningkatkan daya simpan ikan. Selain itu produsen ikan asin juga menggunakan tawas yang memiliki fungsi yang sama dengan garam. Untuk 1 ton ikan penggunaan garam sebanyak 300 Kg dan tawas 50 Kg. Produsen ikan asin adalah orang yang menghasilkan ikan asin yang pada umumnya telah beproduksi 5-10 tahun dan mampu menghasilkan ikan asin 5-10 ton perbulan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui higiene sanitasi dan analisis keberadaan tawas serta pengawasan dan distribusi ikan asinyang diproduksi di Kota Sibolga.

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode survei untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi pembuatan ikan asin di Kota Sibolga. Selain itu penelitian ini juga menganalisis keberadaan tawas pada ikan asin dan melihat pengawasan dan distribusi ikan asin Kota Sibolga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada prinsip higiene sanitasi produsen ikan asin di Kota Sibolga tidak memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.1096/Menkes/PER/VI/2011 yaitu pada prinsip penyimpanan bahan baku, pengolahan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan dan penyajian ikan. Sedangkan pada prinsip pemilihan bahan baku sudah memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.1096/Menkes/PER/VI/2011. Dari26 sampel ikan asin yang diperiksa di laboratorium ditemukan 10 sampel yang positif mengandung tawas.

Berdasarkan hasil tersebut, diharapkan produsen ikan asin meningkatkan higiene sanitasi dalam proses pembuatan ikan asin. Pengawasan lintas sektor juga perlu ditingkatkan, terutama Dinas Kesehatan Kota Sibolga mengenai higiene sanitasi makanansehingga dapat memenuhi syarat kesehatan.


(5)

ABSTRACT

Saltedfishwas afoodstuff made fromfishthatwere driedandpreserved byaddingsalt,which aimedtoincrease fish’s durable time. Beside adding salt, the producersalsousedalumwhohas thesame function as salt. 1tonof fish has used saltas much as300 Kgand50Kgalum. Saltedfishproducerswerethose whoproducedsaltedfish, which generally has5-10 years in production andcould produce10tons ofdried fishper month.

This study aimed todetermine the hygiene sanitation, the analysis of alum presence control and the distribution ofsalted fish which produced inSibolga.

This study used asurveymethodtofinda hygienesanitation descriptioninsaltedfishmanufacture in Sibolga. In addition, this study also analyzed thepresence ofaluminsaltedfishandsaw thecontrol and distribution ofsalted fish in Sibolga.

The study results showedthatthehygienesanitationprinciples ofsaltedfishproducersinSibolgawere notqualified the requirements

accordancetoMinisterial Regulation No.1096/Menkes/PER/VI/2011,namelytheprinciple of raw materials storage,

processing, foodstorage, transportationand fish presentation.Whileinraw materialselectionprinciple was qualified the health requirements

accordancetoMinisterial Regulation No.1096/Menkes/PER/VI/2011.From26samplesof salted fish, 10samples were found

positive foralum.

Based on the results, saltedfishproducerswere expected toimprove thehygienesanitationin dried fish making process. Cross-sector

supervisionalsoneeded to improve, especially Health

DepartmentSibolgaonfoodhygienesanitationso that could qualifiy all the health requirements.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : SRI WAHYUNI PASARIBU

Tempat/tanggal lahir : Sibolga, 17 September 1990

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum menikah Jumlah bersaudara : 4 Orang

Alamat rumah : Jl. M. H. Samosir No. 14 Sibolga

Riwayat Pendidikan

Tahun 1996-2002 : SD No. 152977 Sarudik Tahun 2002-2005 : SLTP Al-Muslimin Pandan Tahun 2005-2008 : MA N. 1 Sibolga

Tahun 2008-2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

Riwayat Organisasi

1. Anggota Departemen Pergurua Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda HMI Komisariat FKM USU Periode 2009-2010.

2. Anggota Departemen Keuangan dan Perlengkapan HMI Komisariat FKM USU Periode 2009-2010.

3. Anggota Bidang Administrasi dan Kesekretariatan PHBI FKM USU Periode 2009-2010.


(7)

5. Bendahara Umum KOHATI FKM USU Periode 2010-2011.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segenap rasa syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, karena dengan limpahan karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Higiene Sanitasi Pembuatan dan Analisis Keberadaan Tawas Serta Pengawasan dan Distribusi Ikan Asin Kota Sibolga Tahun 2012” yang merupakan salah satu wujud persembahan penulis atas kesempatan yang diperoleh selama ini di dalam proses pembelajaran.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Ali Nauli Pasaribu dan Ibunda Nuriati Sitompul, S.Pd yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih dan sayang dan tidak henti-hentinya memberikan dukungan, nasihat dan doa kepada penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, banyak bantuan yang penulis dapatkan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan sumbangan pikiran dengan ikhlas untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.


(8)

3. Dr. Dr. Wirsal Hasan, MPH selaku dosen pembimbing II yang juga telah meluangkan waktu dan sumbangan pikiran dengan ikhlas untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing penulis selama melaksanakan perkuliahan di FKM USU. 5. Seluruh dosen dan staf pegawai FKM USU, khususnya departemen Kesehatan

Lingkungan.

6. Bapak Alhamra selaku Kepala Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian (MMHP) Balai Riset Standarisasi Industri Medan yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakn penelitian.

7. Drs. Firmansyah Hulu, Apt. M.Kes selaku Kepala Bidang Farmasi dan Alat Kesehatan Dinask Kesehatan Kota Sibolga yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakn penelitian.

8. dr. H. Emir Taris Pasaribu Sp.B (K) Onk dan Hj. Suciati Lubis selaku orang tua penulis selama menjalani proses perkuliahan dan juga kepada seluruh keluarga besar Pasaribu yang telah memberikan kasihsayang, perhatian dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Untuk adik-adikku tersayang Yuni Syarah Pasaribu, Parlindungan Nauli Pasaribu, Afrizar Nauli Pasaribu dan Fadhil yang telah memberikan doa, cinta dan semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Kalian motivasi ku untuk menjadi lebih baik.

10.Sahabat-sahabat terbaikku, Anak-Anak Tapanuli (Mpit, Lista, Syafni, Mba’ Ayu, Ami, Anggi, Uci). Itan, Nina, Budi, Rikky, Sofi, Winda, Hilma, Dani,


(9)

dan Zul yang telah memberikan saran, semangat, doa, perhatian dan menemani hari-hari penulis sebagai pengalaman yang luar biasa dan tidak akan terlupakan. Tak lupa kepada kakanda-kakanda ku, kak Ulfa, kak Juni, kak Putri, kak Linda yang juga telah memberikan semangat dan doa buat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Keluarga besar HMI Komisariat FKM USU, Kohati FKM USU, Ex PHBI FKM USU, dan adik-adik stambuk 2009-2010 yang telah memberikan warna disetiap hari-hari penulis.

12.Teman-teman seperjuangan 2008 khususnya Peminatan Kesehatan Lingkungan yang telah mengisi hari-hari penulis selama melaksanakn perkuliahan.

13.Buat kak Juli, bu Lili dan pegawai perpustakan FKM USU yang juga menjadi teman penulis dan memberikan doa, bantuan dan semangat.

14.Kepada semua pihak yang telah banyak terlibat dan membantu penulis selama menjalankan aktivitas perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari tulisan dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan sehingga membutuhkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Juli 2012


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... ii

Abstrak ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xvi

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Higiene Sanitasi Makanan ... 7

2.1.1. Pengertian Higiene ... 7

2.1.2. Pengertian Sanitasi ... 7

2.1.3. Higiene Sanitasi Makanan ... 9

2.2. Prinsip Hgiene Sanitasi Makanan ... 10

2.2.1. Prinsip I : Pemilihan Bahan Baku Makanan ... 10

2.2.2. Prinsip II : Penyimpanan Bahan Baku Makanan ... 10

2.2.3. Prinsip III : Pengolahan Makanan ... 12

2.2.4. Prinsip IV : Penyimpanan Makanan jadi ... 12

2.2.5. Prinsip V : Pengangkutan Makanan ... 13

2.2.6. Prinsip VI : Penyajian Makanan ... 14

2.3. Metode Pengawetan Makanan ... 14

2.4. Ikan Asin ... 17

2.4.1. Definisi Ikan Asin ... 17

2.4.2. Tahap-Tahap Pembuatan Ikan Asin ... 17

2.5. HACCP ... 21

2.5.1. Analisis Bahaya pada Ikan Asin ... 24

2.5.2. Diagram HACCP Pembuatan Ikan Asin ... 26

2.6. Bahan Tambahan Makanan ... 27

2.6.1. Definisi Bahan Tambahan Makanan ... 27


(11)

2.6.3. Jenis Bahan Tambahan yang Tidak Diizinkan ... 30

2.6.4. Bahan Pengawet ... 31

2.6.5. Dampak Penggunaan Bahan Pengawet yang Tidak Diizinkan Terhadap Kesehatan ... 34

2.7. Tawas ... 35

2.7.1. Karakteristik Tawas ... 35

2.7.2. Fungsi dan Kegunaan Tawas ... 37

2.7.3. Mekanisme Toksisitas Tawas ... 39

2.7.4. Mengurangi Tawas pada Makanan ... 42

2.8. Kerangka Konsep ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Jenis Penelitian ... 45

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 45

3.2.2. Waktu Penelitian ... 46

3.3. Populasi dan Sampel ... 46

3.3.1. Populasi ... 46

3.3.2. Sampel ... 46

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 47

3.4.1. Data Primer ... 47

3.4.2. Data Sekunder ... 47

3.5. Pelaksanaan Penelitian ... 47

3.5.1. Pengambian Sampel dan Pengiriman ke Laboratorium ... 47

3.5.2. Cara Pemeriksaan Tawas pada Ikan Asin dengan Metode Reaksi Pengendapan ... 48

3.5.3. Cara Pemeriksaan Tawaspada Ikan Asin dengan Metode EDTA ... 49

3.6. Definisi Operasional ... 51

3.7. Aspek Pengukuran ... 53

3.8. Analisa Data ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 55

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55

4.1.1. Geografi ... 55

4.1.2. Demografi ... 56

4.2. Hasil Penelitian ... 56

4.2.1. Karakteristik Produsen Ikan Asin ... 57

4.2.2. Enam Prinsip Higiene Sanitasi Pada Produsen Ikan Asin ... 58

4.2.3. Penggunaan Tawas Pada Proses Pembuatan Ikan Asin ... 66

4.2.4. Pengetahuan Produsen Tentang Pemakaian Tawas pada Ikan Asin ... 68

4.2.5. Hasil Pemeriksaan Keberadaan Tawas Pada Ikan Asin ... 66


(12)

4.2.7. Pengawasan Dinas Kesehatan Kota Sibolga Terhadap Tempat Produksi dan Hasil Produksi Ikan Asin Kota Sibolga Tahun

2012 ... 68

BAB V PEMBAHASAN ... 70

5.1. Karakteristik Produsen Ikan Asin ... 70

5.2. Observasi Enam Prinsip Higiene Sanitasi Pembuatan Ikan Asin ... 72

5.2.1. Pemilihan Bahan Baku Ikan Asin ... 72

5.2.2. Penyimpanan Bahan Baku Ikan Asin ... 73

5.2.3. Pengolahan Bahan Baku Ikan Asin ... 74

5.2.4. Penyimpanan Ikan Asin Sudah Jadi ... 77

5.2.5. Pengangkutan Ikan Asin ... 77

52.6. Penyajian Ikan Asin ... 78

5.3. Gambaran Higiena Sanitasi Pembuatan Ikan Asin Kota Sibolga Tahun 2012 ... 79

5.4. Pemakaian dan Keberadaan Tawas Pada Proses Pembuatan Ikan Asin ... 80

5.5. Daerah Tujuan Distribusi Ikan Asin Kota Sibolga ... 84

5.8. Pengawasan Dinas Kesehatan Kota Sibolga Terhadap Tempat Produksi dan Hasil Produksi Ikan Asin Kota Sibolga Tahun 2012 ... 85

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

6.1. Kesimpulan ... 88

6.2. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Persyaratan Mutu Aluminium Sulfat ... 36 4.1. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Umur Produsen Di Kota Sibolga

Tahun 2012 ... 57 4.2. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Kota

Sibolga Tahun 2012 ... 57 4.3. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Lama Usaha Di Kota Sibolga

Tahun 2012 ... 57 4.4. Distribusi Produsen Ikan Asin yang Pernah Mendapat Pelatihan Di Kota

Sibolga Tahun 2012 ... 58 4.5. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Jumlah Produksi/bulan Di Kota

Sibolga Tahun 2012 ... 58 4.6. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pemilihan Bahan Baku Ikan Asin

Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 59 4.7. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Penyimpanan Bahan Baku Ikan

Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 60 4.8. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pengolahan Bahan Baku Ikan

Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 61 4.9. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Penyimpanan Ikan Asin Yang


(14)

4.10. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pengangkutan Ikan Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 63 4.11. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Penyajian Ikan Asin Di Kota

Sibolga Tahun 2012 ... 64 4.12. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pemakaian Tawas Pada Proses

Pembuatan Ikan Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 65 4.13. Distribusi Produsen Ikan Asin Berdasarkan Pengetahuan Produsen Tentang

Pemakaian Tawas Pada Ikan Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 66 4.14. Hasil Pemeriksaan Keberadaan Tawas Pada Ikan Asin Kota Sibolga Tahun

2012 ... 67 4.15. Hasil Pemeriksaan Kadar Tawas Pada Ikan Asin Kota


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Skema Pembuatan Ikan Asin ... 21 Gambar 2.2. HACCP Pembuatan Ikan Asin ... 26 Gambar 2.3. Kerangka Konsep ... 43


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Observasi Higiene Sanitasi Pembuatan Ikan Asin

di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 90 Lampiran 2. Lembar Kuesioner Pembuatan Ikan Asin di Kota Sibolga

Tahun 2012 ... 93 Lampiran 3. Lembar Wawancara Pengawasan ... 96 Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU ... 97 Lampiran 5. Surat Keteragan Selesai Penelitian dari Balai Riset Standarisasi Industri

Medan ... 99 Lampiran 6. Hasil Analisa Laboratorium Tawas Pada Ikan Asin

Kota Sibolga Tahun 2012 ... 100 Lampiran 7. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/PER/IX/1988

Tentang Bahan Tambahan Makanan ... 101 Lampiran 8. Standar Nasional Indonesia No. 0032 Tahun 2011 ... 107 Lampiran 9. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1096/Menkes/SK/VI/2011

Tentang Higiene Sanitasi Jasaboga ... 109 Lampiran 10.Analisa Data Statistik Tentang Higiene Sanitasi dan Penggunaan Tawas

Pada Proses Pembuatan Ikan Asin Di Kota Sibolga Tahun 2012 ... 117 Lampiran 11.Dokumentasi Penelitian ... 126


(17)

ABSTRAK

Ikan asin merupakan bahan makanan yang terbuat dari ikan yang diawetkan dengan cara dikeringkan dan dengan menambahkan garam dalam jumlah tinggi yang bertujuan untuk meningkatkan daya simpan ikan. Selain itu produsen ikan asin juga menggunakan tawas yang memiliki fungsi yang sama dengan garam. Untuk 1 ton ikan penggunaan garam sebanyak 300 Kg dan tawas 50 Kg. Produsen ikan asin adalah orang yang menghasilkan ikan asin yang pada umumnya telah beproduksi 5-10 tahun dan mampu menghasilkan ikan asin 5-10 ton perbulan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui higiene sanitasi dan analisis keberadaan tawas serta pengawasan dan distribusi ikan asinyang diproduksi di Kota Sibolga.

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode survei untuk mengetahui gambaran higiene sanitasi pembuatan ikan asin di Kota Sibolga. Selain itu penelitian ini juga menganalisis keberadaan tawas pada ikan asin dan melihat pengawasan dan distribusi ikan asin Kota Sibolga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada prinsip higiene sanitasi produsen ikan asin di Kota Sibolga tidak memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.1096/Menkes/PER/VI/2011 yaitu pada prinsip penyimpanan bahan baku, pengolahan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan dan penyajian ikan. Sedangkan pada prinsip pemilihan bahan baku sudah memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.1096/Menkes/PER/VI/2011. Dari26 sampel ikan asin yang diperiksa di laboratorium ditemukan 10 sampel yang positif mengandung tawas.

Berdasarkan hasil tersebut, diharapkan produsen ikan asin meningkatkan higiene sanitasi dalam proses pembuatan ikan asin. Pengawasan lintas sektor juga perlu ditingkatkan, terutama Dinas Kesehatan Kota Sibolga mengenai higiene sanitasi makanansehingga dapat memenuhi syarat kesehatan.


(18)

ABSTRACT

Saltedfishwas afoodstuff made fromfishthatwere driedandpreserved byaddingsalt,which aimedtoincrease fish’s durable time. Beside adding salt, the producersalsousedalumwhohas thesame function as salt. 1tonof fish has used saltas much as300 Kgand50Kgalum. Saltedfishproducerswerethose whoproducedsaltedfish, which generally has5-10 years in production andcould produce10tons ofdried fishper month.

This study aimed todetermine the hygiene sanitation, the analysis of alum presence control and the distribution ofsalted fish which produced inSibolga.

This study used asurveymethodtofinda hygienesanitation descriptioninsaltedfishmanufacture in Sibolga. In addition, this study also analyzed thepresence ofaluminsaltedfishandsaw thecontrol and distribution ofsalted fish in Sibolga.

The study results showedthatthehygienesanitationprinciples ofsaltedfishproducersinSibolgawere notqualified the requirements

accordancetoMinisterial Regulation No.1096/Menkes/PER/VI/2011,namelytheprinciple of raw materials storage,

processing, foodstorage, transportationand fish presentation.Whileinraw materialselectionprinciple was qualified the health requirements

accordancetoMinisterial Regulation No.1096/Menkes/PER/VI/2011.From26samplesof salted fish, 10samples were found

positive foralum.

Based on the results, saltedfishproducerswere expected toimprove thehygienesanitationin dried fish making process. Cross-sector

supervisionalsoneeded to improve, especially Health

DepartmentSibolgaonfoodhygienesanitationso that could qualifiy all the health requirements.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam dan tersedia cukup merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (UU RI No. 7 Tahun 1996).

Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidakdiolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Berdasarkan definisi dari WHO(Chandra, 2007), makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air dan obat-obatan. Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Menurut Notoadmojo (2003) ada tiga fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia, yaitu untuk pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak, sumber energi dan mengatur metabolisme dan keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh lainnya (Mulia, 2005).

Menurut Chandra (2007) adakalanya makanan yang dikonsumsi menjadi berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia. Ada dua faktor yang dapat menyebabkan


(20)

suatu makanan menjadi berbahaya bagi kesehatan manusia, antara lain kontaminasi yang disebabkan oleh parasit, mikroorganisme, zat kimia, bahan-bahan radioaktif, dan toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Dan makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya. Untuk mencegah kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan diperlukan penerapan higiene dan sanitasi makanan (Sumantri, 2010).

Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsimasyarakat, mudah didapat, dan harganya yang murah. Ikan juga memiliki manfaat bagi manusia di antaranya sebagai sumber energi, membantu pertumbuhan dan pemeliharan tubuh, memperkuat daya tahan tubuh, juga memperlancar proses fisiologis dalam tubuh. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata daging ikan terdiri atas air (60-84%), protein (18-30%), lemak (0,1-2,2%), karbohidrat (0,0-1%), dan vitamin dan mineral. Kebutuhan setiap manusia akan protein hewani sangat bervariasi, tergantung pada umur, jenis kelamin dan aktivitas (Adawyah, 2008).

Menurut Adawyah (2008) selain kelebihan yang dimiliki ikan, ikan juga memiliki kekurangan, yaitu kandungan air yang tinggi pada daging ikan (80%), pH tubuh ikan yang mendekati normal, dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim autolosis yang menyebabkan daging menjadi lunak, sehingga menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri pembusuk. Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai gizi, rasa, bentuk/struktur maupun daya tahan ikan. Salah satu cara untuk memperpanjang daya awet ikan adalah dengan mengurangi kadar airnya yang dapat dilakukan dengan pengawetan. Dalam skala


(21)

nasional, ikan asin merupakan salah satu produk perikanan yang mempunyai kedudukan penting, hampir 65% produk perikanan masih diolah dan diawetkan dengan cara penggaraman.

Penggunaan tawas pada makanan digunakan sebagai bahan pemutih, terutama pada ikan asin. Tujuannya agar ikan asin terlihat putih bersih, sehingga dapat meningkatkan nilai jual. Dimana ciri-ciri ikan asin yang memakai tawas yaitu ikan asin tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu 25ºC, bersih cerah dan tidak berbau khas ikan asin, tidak dihinggapi lalat dan daging ikan terlihat kompak dan tidak mudah hancur (Nurrahman, 2002).

Dampak asupan tawas dalam jangka panjang bagi kesehatan akan mengakibatkan kerusakan organ detoksifikasi hati dan ginjal, dikarenakan tawas itu sendiri mengandung unsur logam yang akan dapat merusak fungsi hati dan ginjal manusia (Haribi, 2009).

Sibolga merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi utama perekonomian yang bersumber dari perikanan.Produksi ikan hasil laut Sibolga mengalami peningkatan sebesar 27,50% dari tahunsebelumnya yaitu 40.956,06 tonditahun 2008 menjadi 52.217,67 ton ditahun 2009 (Dinas Perikanan Kota Sibolga/Fishery Office of Sibolga).

Hasil perikanan dari Sibolga ini selain dikonsumsi oleh masyarakat di Provinsi Sumatera Utara juga dikirim ke beberapa kota baik di Sumatera dan juga Jawa. Hasil perikanan yang dikirim ke luar daerah berupa pengasinan.Pengolahan pengasinan hasil perikanan di Sibolga menjadi salah satu investasi bagi masyarakat.


(22)

Produk perikanan Kota Sibolga, baik dalam bentuk ikan segar maupun ikan olahan memiliki peranan yang sangat besar dalam memajukan perekonomian daerah.

Berdasarkan survei awal, ikan asin yang diproduksi dibeberapa tempat produksi ikan asin di Sibolga secara kualitas dapat bertahan lama hingga bisa bertahan dalam waktu 1 bulan, kondisi fisik ikan juga putih bersih sehingga tidak banyak lalat yang menghinggapinya, dan daging ikan tidak mudah hancur . Hal ini tidak sesuai dengan kondisi ikan asin yang seharusnya, dimana kondisi ikan asin yang seharusnya hanya bisa bertahan kurang dari satu bulan pada suhu 25˚C, banyak dihinggapi lalat, daging ikan mudah hancur dan kondisi fisik tidak putih bersih (Widyaningsih, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan terhadap higiene dan sanitasi pembuatan ikan asin oleh instansi terkait dan juga pemeriksaan terhadap hasil produksi ikan asin dibeberapa tempat produksi ikan asin di tanah air, salah satunya adalah di Kota Sibolga yang merupakan daerah dengan tingkat produksi ikan asin yang cukup tinggi dan cakupan distribusi/pemasarannya juga cukup luas.

1.2. Perumusan Masalah

Ikan asin yang dihasilkan di beberapa tempat produksi ikan asin di Sibolga secara kualitas tidak rusak dalam waktu 1 bulan, kondisi fisik ikan juga putih bersih sehingga tidak banyak lalat yang menghinggapinya, dan daging ikan tidak mudah hancur. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi ikan asin yang seharusnya, dimana kondisi ikan asin yang seharusnya banyak dihinggapi lalat, kondisi fisik ikan tidak putih bersih melainkan berwarna kekuning-kuningan, hanya bisa bertahan kurang dari satu bulan pada suhu 25˚C san daging ikan mudah patah/tidak kompak. Karena itu


(23)

perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran higiene sanitasi pembutan ikan asin dan analisa keberadaan tawas pada ikan asin di Kota Sibolga.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum

Untuk mengetahui higiene sanitasi pembuatan dan analisis keberadaantawas serta pengawasan dan distribusi ikan asin Kota Sibolga tahun 2012.

1.3.2.Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik produsen ikan asin di Kota Sibolga. 2. Untuk mengetahui higiene sanitasi pembuatan ikan asin di Kota Sibolga. 3. Untuk mengetahui pemakaian tawas pada ikan asin di Kota Sibolga.

4. Untuk mengetahui pengetahuan produsen ikan asin tentang pemakaian tawas pada ikan asin

5. Untuk mengetahui keberadaan tawas pada ikan asin di Kota Sibolga. 6. Untuk mengetahui distribusi ikan asin Kota Sibolga

7. Untuk mengetahui pengawasan Dinas Kesehatan Kota Sibolga terhadap tempat-tempat produksi ikan asin dan hasil produksinya.

1.4.Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi produsen ikan asin di Kota Sibolga berhubungan dengan higiene sanitasi pembuatan ikan asin yang sesuai dengan Permenkes RI No. 1096/MENKES/PER/VI/2011.

2. Memberikan informasi kepada produsen mengenai dampak penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang bagi kesehatan.


(24)

3. Sebagai informasi bagi konsumen untuk mengetahui keamanan mengkonsumsi ikan asin yang dihasilkan di beberapa tempat produksi ikan asin di Kota Sibolga.

4. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan memperluaspengetahuan tentang penggunaan bahan tambahan makanan yang sesuai dengan Permenkes 722/Menkes/Per/IX/1988.

5. Memberi informasi dan bahan masukan bagi Dinas Kesehatan danBadan POM dalam hal program pengawasan makanan tentang keberadaa tawas pada ikan asin yang dihasilkan di beberapa tempat produksi ikan asin di Kota Sibolga.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Higiene Sanitasi Makanan 2.1.1. Pengertian Higiene

Menurut Depkes (2004) higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan individu subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan.

Sedangkan menurut Widiyati (2002) Higiene adalah usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada kesehatan perorangan atau manusia beserta lingkungan.

2.1.2. Pengertian Sanitasi

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya. Misalnya, menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).

Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitikberatkan pada kegiatan dan tindakan yang diperlukan untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala yang dapat menggangu atau merusak kesehatan mulai dari


(26)

sebelum diproduksi, proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai pada saat makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. Selain itu sanitasi makanan bertujuan untuk menjamin keamanan dan kemurnian makanan dan untuk menyelamatkan makanan agar tetap bersih, sehat dan aman (Sumantri, 2010).

Menurut Chandra (2006) sanitasi makanan merupakan upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada manusia, dengan demikian, tujuan upaya sanitasi makanan, antara lain :

a. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan. b. Mencegah penularan wabah penyakit.

c. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat. d. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan.

Menurut Mulia (2005), sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu :

a. Faktor fisik terkait dengan kondisi ruangan yang tidak mendukung pengamanan makanan seperti sirkulasi udara yang kurang baik dan temperatur udara yang panas dan lembab. Untuk menghindari kerusakan makanan yang disebabkan oleh faktor fisik, maka perlu diperhatikan susunan dan konstruksi dapur serta tempat penyimpanan makanan.

b. Faktor kimia terkait karena adanya zat-zat kimia yang digunakan unutk mempertahankan kesegaran bahan makanan.

c. Faktor mikrobiologi terkait karena adanya bakteri perusak makanan yang terdapat pada makanan.


(27)

2.1.3. Higiene Sanitasi Makanan

Ditinjau dari ilmu kesehatan lingkungan istilah higiene dan sanitasi mempunyai tujuan yang sama yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yaitu mengupayakan cara hidup sehat sehingga terhindar dari penyakit. Tetapi dalam penerapannya memiliki arti yang berbeda, usaha sanitasi menitikberatkan pada faktor-faktor lingkungan hidup manusia, sedangkan higiene lebih menitikberatkan pada individu (Sumantri, 2010).

Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan. Persyaratan higiene sanitasi adalah ketentuan-ketentuan teknis yang ditetapkan terhadap produk makan dan restoran, personal dan perlengkapannya yang meliputi persyaratan bakteriologis, kimia dan fisika (Depkes, 2003).

Dalam upaya higiene dan sanitasi makanan terdapat beberapa tahapan yang harus diperhatikan (Chandra, 2006) :

a. Keamanan dan kebersihan produk makanan yang diproduksi. b. Kebersihan individu dalam pengolahan produk makanan. c. Keamanan terhadap penyediaan air.

d. Pengolahan pembuangan air limbah dan kotoran.

e. Perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama proses pengolahan, penyajian, dan penyimpanan.


(28)

f. Pencucian dan pembersihan alat perlengkapan.

2.2. Prinsip Higiene Sanitasi Makanan

Prinsip higiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap empat faktor yaitu tempat/bangunan, peralatan, orang dan bahan makanan. Terdapat 6 (enam) prinsip higiene sanitasi makanan yaitu (Depkes, 2004) :

2.2.1. Prinsip I : Pemilihan Bahan Baku Makanan

Bahan makanan mentah atau baku merupakan dasar untuk dapat menghasilkan makanan yang baik. Oleh karena itu bahan makanan harus diamankan dari terjadinya kerusakan seperti pecah atau busuk serta terjadinya pencemaran dari asal bahan atau dari lingkungan. Pilihlah bahan makanan yang masih segar, masih utuh, tidak retak atau pecah, dan bebas dari pencemaran, terutama makanan yang cepat membusuk seperti daging, ikan, telur dan susu. Kualitas bahan baku makanan yang baik dapat dilihat melalui ciri-ciri fisik dan mutunya dam hal bentuk, warna, kesegaran, bau, dll.

2.2.2. Prinsip II : Penyimpanan Bahan Baku Makanan

Bahan makanan yang digunakan dalam proses produksi baik bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong, harus disimpan dengan cara penyimpanan yang baik karena kesalahan dalam penyimpanan dapat berakibat penurunan mutu dan keamanan makanan (Depkes, 2004).

Penyimpanan bahan baku makanan bertujuan untuk mencegah bahan makanan agar tidak cepat rusak. Dalam penyimpanan kadangkala diperlukan pengawetan


(29)

makanan, atau diletakkan begitu saja, tergantung dari jenis bahan makanan itu sendiri.

Menurut Sumantri (2010) cara penyimpanan bahan makanan yang memenuhi syarat higiene sanitasi makanan adalah :

a. Penyimpanan harus dilakukan ditempat khusus (gudang) yang bersih dan memenuhi syarat.

b. Barang-barang disusun dengan baik sehingga mudah diambil, tidak memberi kesempatan serangga atau tikus untuk bersarang, terhindar dari lalat atau tikus dan untuk produk yang mudah busuk atau rusak agar disimpan pada suhu yang dingin.

Syarat-syarat penyimpaan bahan makanan menurut Depkes RI (2003), yaitu : 1. Penyimpanan bahan mentah dengan suhu tertentu

a. Ketebalan dan bahan padat tidak lebih dari 10 cm b. Kelembaban penyimpanan dalam ruangan : 80-90%

2. Penyimpanan makanan terolah, makanan tertutup sebaiknya disimpan dalam suhu 10˚C

3. Penyimpanan makanan jadi

a. Terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan lainnya.

b. Makanan cepat busuk disimpan dalam suhu 4˚C.

c. Makanan cepat busuk untuk penggunaan dalam waktu lama (lebih dari 6 jam) disimpan dalam suhu -5˚C sampai -1˚C.


(30)

4. Bila bahan makanan disimpan di gudang, cara penyimpanannya tidak menempel pada lantai, dinding atau langit-langit dengan ketentuan sebagai berikut :

- Jarak makanan dengan lantai : 15 cm - Jarak makanan dengan dinding : 5 cm - Jarak makanan dengan langit-langit : 60 cm

5. Tidak tercampur antara makanan siap untuk dimakan dengan bahan makanan mentah. Bahan makanan disimpan dalam aturan sejenis, disusun dalam rak-rak sehingga tidak mengakibatkan rusaknya bahan makanan. Bahan makanan yang masuk lebih dahulu merupakan yang pertama keluar, sedangkan bahan makanan yang masuknya belakangan terakhir dikeluarkan atau disebut dengan sistem FIFO.

2.2.3. Prinsip III : Pengolahan Makanan

Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi makanan siap santap. Pengolahan makanan yang baik adalah yang mengikuti prinsip-prinsip higiene sanitasi (Depkes, 2004).

Tujuan pengolahan makanan agar tercipta makanan yang memenuhi syarat kesehatan, mempunyai cita rasa yang sesuai serta mempunyai bentuk yang merngundang selera. Dalam proses pengolahan makanan harus memenuhi persyaratan kesehatan higiene sanitasi terutama menjaga kebersihan peralatan yang digunakan, tempat pengolahan serta kebersihan penjamah makanan.


(31)

Penyimpanan makanan merupakan akhir dari proses pengolahan makanan, sehingga harus terhindar dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan. Hal-hal yang diperhatikan dalam menyimpan makanan :

a. Makanan yang disimpan harus diberi tutup

b. Tersedia tempat khusus untuk menyimpan makanan c. Makanan tidak boleh disimpan dekat dengan saluran air

d. Apabila disimpan di ruangan terbuka hendaknya tidak lebih dari 6 jam dan di tutup agar terhindar dari serangga dan binatang lain.

e. Lemari penyimpanan sebaiknya tertutup dan tidak berada tanpa kaki penyangga atau di pojok ruangan agar tidak mudah dijangkau oleh tikus, kecoa, dan hewan lainnya.

2.2.5. Prinsip V : Pengangkutan Makanan

Pengangkutan makanan yang sehat akan sangat berperan didalam mencegah terjadinya pencemaran makanan. Pengangkutan makanan tergantung jenis bahan makanan yang akan diangkut yang memeiliki dua tujuan, yaitu agar bahan makan tidak sampai tercemar oleh zat-zat yang membahayakan dan agar bahan makanan tidak sampai rusak. Pencemaran makanan masak lebih tinggi risikonya dari pada pencemaran bahan makanan. Dalam proses pengangkutan makanan banyak pihak yang terkait mulai dari persiapan, pewadahan, orang, suhu dan kenderaan pengangkutan itu sendiri.


(32)

1. Wadah yang dipergunakan harus baik, permukaan masih utuh dan memadai ukurannya dengan makanan yang diisikan dan tidak terlampau penuh. Sehingga makanan tidak mudah tumpah atau sulit menutupnya.

2. Setiap wadah makanan harus ditutup dengan baik dan tidak dibuka selama pengangkutan dan persiapan pengangkutannya.

3. Pengangkutan makanan yang melewati daerah kotor harus dihindari.

4. Kenderaan untuk mengangkut makanan tidak dipergunakan untuk mengangkut keperluan lainnya.

2.2.6. Prinsip VI : Penyajian Makanan

Proses terakhir adalah penjualan/penyajian makanan. Teknik penyajian makanan untuk konsumen memiliki berbagai cara, asalkan sesuai dengan higiene sanitasi yang baik. Penggunaan pembungkus seperti plastik, kertas atau box plastik harus dalam keadaan bersih dan tidak berasal dari bahan-bahan yang dapat menimbulkan racun. Makanan disajikan pada tempat yang bersih, menggunakan peralatan yang bersih, penyaji makanan berpakain bersih, menggunakan penutup kepala, tangan penyaji tidak boleh kontak lansung dengan makanan yang disajikan.

2.3. Metode Pengawetan Makanan

Menurut Mukono (2006), ada beberapa macam pengawetan yang dikenal, yaitu :


(33)

a. Cold storage, membekukan bahan makanan. Untuk ini bahan makanan diletakkan dalam ruangan dengan suhu antara -10˚C-0˚C. Bahan makanan yang dibekukan biasanya daging atau ikan.

b. Freeze, menempatkan bahan makanan dalam ruangan dengan suhu 0˚C, yang biasanya dilakukan pada susu, keju, dan mentega.

c. Cool storage, menempatkan bahan makanan dalam ruangan dengan suhu tertentu, misalnya untuk telur antara (10˚C -15˚C), buah-buahan (15˚C -20˚C), serta makanan dalam kaleng (20˚C).

2. Mengasinkan

Penggasinan/penggaraman merupakan proses pengawetan yang banyak dilakukan diberbagai negara, termasuk Indonesia. Proses tersebut menggunakan garam sebagai media pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Penggaraman dilakukan untuk menarik air dari jaringan daging ikan sehingga protein daging akan menggumpal dan sel daging ikan akan mengerut. Selama proses penggaraman terjadi penetrasi garam kedalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan karena adanya perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat dapat melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh ikan. Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan semakin lambat dengan menurunnya konsentrasi garam dalam tubuh ikan. Bahkan dapat berhenti setelah terjadi keseimbangan. Proses itu mengakibatkan pengentalan


(34)

cairan tubuh yang masih tersisa dan penggumpalan protein serta pengerutan sel-sel tubuh ikan, sehingga sifat dagingnya berubah (Adawyah, 2008).

Penambahan garam tersebut bertujuan untuk mendapatkan kondisi tertentu yang memungkinkan enzim atau mikroorganisme yang tahan garam (halotoleran) beraksi menghasilkan produk makanan dengan karakteristik tertentu.

Kadar garam yang tinggi menyebabkan mikroorganisme yang tidak tahan garam akan mati. Kondisi selektif ini memungkinkan mikroorganisme yang tahan garam dapat tumbuh. Pada kondisi tertentu, penambahan garam berfungsi sebagai pengawet, karena kadar garam yang tinggi menghasilkan tekanan osmotik yang tinggi dan aktivitas air yang rendah. Kondisi ekstrem ini akan menyebabkan kebanyakan mikroorganisme tidak dapat hidup (Estiasih, 2009).

Ikan yang telah mengalami proses penggaraman, akan mempunyai daya simpan tinggi karena garam dapat berfungsi menghambat atau menghentikan reaksi autolisis (pemecahan sendiri) dan membunuh bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan.

3. Mengeringkan

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalaui penggunaan energi panas dari sumber alami (matahari) dan buatan (alat pengering). Biasanya kandungan bahan tersebut dikurangi


(35)

hingga batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno, 1993).

Menurut Estiasih (2009), pengeringan merupakan metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air dari bahan pangan sehingga daya simpan menjadi lebih panjang. Perpanjangan daya simpan terjadi karena aktivitas mikroorganisme dan enzim menurun sebagai akibat dari air yang dibutuhkan untuk aktivitasnya tidak cukup. Pengeringan bukan merupakan produk sterilisasi yang mematikan mikroorganisme. Agar produk yang sudah dikeringkan menjadi awet, kadar air harus dijaga agar tetap rendah sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.

4. Memaniskan, bahan yang digunakan adalah zat gula. Tujuannya untuk mempersulit hidupnya bakteri, karena bakteri sukar hidup pada konsentrasi gula yang tinggi.

5. Menambahkan beberapa zat kimia tertentu.

2.4. Ikan Asin

2.4.1. Definisi Ikan Asin

Ikan asin adalah bahan makanan yang terbuat dari ikan yang diawetkan dengan cara dikeringkan dan dengan menambahkan banyak garam dengan jumlah tinggi.Dengan metode pengawetan ini daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan di suhu kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup rapat (Adawyah, 2008).

Ikan asin merupakan salah satu produk pengawetan ikan tradisional yang sudah sangat dikenal masyarakat. Pembuatan ikan asin dilakukan untuk


(36)

memperpanjang masa simpan ikan karena ikan mudah dan cepat sekali mengalami pembusukan. Proses pembuatan ikan asin adalah penggaramaan dan pengeringan (Widyaningsih, 2006).

2.4.2 Tahap-Tahap Pembuatan Ikan Asin

Pada mulanya usaha-usaha yang dilakukan dalam pengolahan ikan dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan proses alami yaitu dengan menggunakan sinar matahari, dengan menjemur ikan dibawah terik matahari dengan tujuan untuk mengurangi kandungan air yang ada dalam daging ikan, sehingga ikan menjadi kering dan awet.Sama halnya yang dilakukan oleh pengolah ikan di Kota Sibolga. Proses pengolahan dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari (Adawyah, 2008).

Menurut Melisa (2009) dari Djarijah adapun tahap-tahap pembuatan ikan asin adalah :

1. Bahan mentah :

a. Ikan ukuran besar, sedang atau kecil. b. Garam murni (NaCl)

2. Alat-alat yang digunakan

a. Tong penggaraman yang kedap air

b. Penutup tong terbuat dari papan dan pemberatnya c. Pisau

d. Timbangan e. Keranjang plastik f. Rak penjemur


(37)

3. Prosedur pengolahan

a. Untuk ikan-ikan yang besar (kakap, tenggiri, dll)

Ikan yang masih segar dibelah punggungnya, buang isi perut dan insang. Cuci dengan air bersih hingga bersih dari darah dan lendir. Kumpulkan dalam keranjang plastik kemudian tiriskan beberapa saat. Setelah ditiris timbang beratnya. Timbang garam kemudian hancurkan sebanyak 20-25% dari berat ikan yang akan digarami. Taburkan garam secukupnya kedalam tong penggaraman, kemudian susun ikan diatas taburan garam kembali dan demikian seterusnya hingga terletak diantara dua lapisan garam.

b. Untuk ikan-ikan sedang (layang, kembung, mujair)

Ikan sedapat mungin dibuang isi perutnya dan insang tanpa membelah perutnya, cuci dengan air bersih hingga bebas dari darah dan lendir. Tiriskan dan timbang beratnya, timbang garam seberat 15-20% dari berat ikan bersih. Isikan garam kedalam rongga perut ikan, kemudian sisanya diaduk dengan ikan dalam tong penggaraman. Diatas tumpukkan ikan diberi penutup papan dan beban secukupnya. Ikan dibiarkan dalam tong selama 24 jam. Selesai penggaraman ikan diangkat dari tong dan cuci dengan air bersih sampai bebas dari kotoran dan garam yang melekat, lalu ditiriskan beberapa saat, kemudian ikan diatur di atas rak penjemur sambil sekali-sekali diaduk. Dengan panas yang baik, ikan akan kering selama 2 hari.


(38)

c. Untuk ikan-ikan kecil

Ikan dicuci dengan air bersih tanpa dibuang isi perut dan insang. Masukkan kedalam keranjang plastik dan ditiriskan, lalu ditimbang. Garam ditimbang sebanyak 5-10% dari berat ikan yang akan digarami. Ikan dan garam diaduk sampai rata dalam tong penggaraman. Ikan dibiarkan selama 24 jam. Ikan yang telah digarami dicuci seperti biasa, kemudian dijemur diatas rak penjemur selama 1-2 hari.

Ikan dan hasil perikanan yang lain merupakan bahan pangan yang mudah membusuk, maka proses pengolahan yang dilakukan bertujuan untuk menghambat atau menghentikan aktivitas zat-zat dan mikroorganisme perusak atau enzim-enzim yang dapat menyebabkan kemunduran mutu dan kerusakan ikan. Selain itu pengolahan juga bertujuan untuk memperpanjang daya tahan produk olahan hasil perikanan (Adawyah, 2008).

Untuk mengurangi kerugian, pengolah mengambil jalan pintas menggunakan bahan-bahan kimia seperti pestisida, pemutih, dan formalin. Bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan ini digunakan sebagai pengawet tambahan untuk mencegah pembusukan.

Penggunaan pemutih/tawas oleh paraprodusen ikan asin dikarenakan penggunaan tawas memiliki fungsi yang sama dengan larutan garam, selain untuk menghambat pertumbuhan mikroba, juga menjadikan ikan lebih putih dan kenyal. Selain itu penggunaan tawas juga dipengaruhi oleh caraproduksi yang masih manual,


(39)

pengeringan ikanmasih sangat tergantung dari cuaca. Kalaumusim hujan, pengeringan bisa berhari-hari.Jika proses penjemurankurang sempurna, bahan makanan akanmudah ditumbuhi jamur, mudah penyok dan hancur. Dengan membubuhkan tawas, maka ikan tidak ditumbuhi jamur dan lebih awet dan membuat tampilanfisik ikan tidak cepat rusak.

Penggunaan tawas oleh paraprodusen ikan asin juga cukup mudah, cukupditambahkan pada saat proses perendamanikan asin dengan terlebih dahulu menghaluskannya sehingga menyerupai serbuk yang lebih mudah larut dalam air. Hal ini dikarenakan siat tawas yang mudah larut dalam air. Jika dicampurkandengan ikan, tawas denganmudah terserap oleh daging ikan. Tawas terlebih dahulu dihancurkan menjadi serbuk, kemudian dicampurkan dengan larutan garam yang sudah terlebih dahulu dicampurkan dengan ikan.

Gambar 2.1. Skema Pembuatan Ikan Asin :

Seleksi Ikan

Pencucian Ikan Mentah

Penggaraman

(Penggaraman kering dan penggaraman basah)

Pencucian Ikan Setelah Penggaraman


(40)

2.5. HACCP (Hazard Analyisis Critical Control Point)

Sistem manajemen keamanan pangan dikembangkan oleh beberapa kawasan di dunia dengan rujukan pada prinsip yang dikembangkan oleh Codex Alimentarius Commission-World Health Organization (Thaheer, 2005). Semakin meningkatnya tuntutan konsumen akan keamanan makanan yang akan dikonsumsi, maka perlu dilakukan upaya untuk mengidentifikasi dan menganalisis HACCP dalam proses pengolahan makanan (Sumantri, 2010).

Sistem HACCP didasarkan pada ilmu pengetahuan dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan. HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai produksi mulai dari produsen utama bahan baku pangan, penanganan, pengolahan, distribusi, hingga sampai ketangan konsumen. Selain meningkatkan keamanan pangan, penerapan HACCP dapat membantu inspeksi lembaga berwenang dan memajukan perdagangan internasional, melalui peningkatan kepercayaan pangan (Sumantri, 2010).

Packing


(41)

Menurut Sumantri (2010), tujuan HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan makanan dan penyakit melalui makanan (food born disease). Tujuan khusus HACCP :

a. Mengevaluasi cara produksi makanan. b. Memperbaiki cara produksi makanan.

c. Memantau dan mengevaluasi penangan, pengolahan, dan sanitasi. d. Meningkatkan inspeksi mandiri.

Prinssip sistem HACCP yang diadopsi dari SNI 01-4852-1998 sesuai dengan Codex terdiri dari tujuh prinsip, yaitu (Thaheer, 2005 ) :

Prinsip 1 : Melaksanakan analisa bahaya yaitu membuat daftar bahaya yang mungkin terdapat pada tahapan produksi, mulai dari bahan masuk hingga akhir produksi. Analisis bahaya merupakan evaluasi secara sistematik pada makanan dan bahan baku untuk menentukan risiko. Risiko keamanan pangan yang harus diperiksa meliputi aspek keamanan kontaminasi bahan kimia, aspek keamanan kontaminasi fisik, dan aspek keamanan kontaminasi biologis termasuk didalamnya mikrobiologi.

Prinsip 2 : Menentukan titik kendali kritis Prinsip 3 : Menetapkan batas kritis

Prinsip 4 : Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian titik kendali kritis


(42)

Prinsip 5 : Menetapan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tidak dalam kendali.

Prinsip 6 : Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif

Prinsip 7 : Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya.

Titik pengendali kritis (Critical Control Point) merupakan titik dimana potensi bahaya dengan risiko tinggi tidak dikehendaki dan titik dimana potensi bahaya tersebut dapat dikendalikan. Titik pengendalian kritis dapat berupa bahan mentah, lokasi, praktek, prosedur, atau pengolahan dimana pengendalian dapat diterapkan untuk mencegah atau mengurangi bahaya. Titik pengendalian kritis terbagi 2 yaitu :

a. Titik pengendalian kritis I (CCP 1) : titik dimana bahaya dapat dihilangkan.

b. Titik pengendali kritis II (CCP II) : titik dimana bahaya dapat dikurangi

2.5.1. Analisis Bahaya pada Ikan Asin

Analisis bahaya pada ikan asin, yaitu terdiri atas :

1. Bahaya biologis yang dapat dihilangkan (CCP 1) dengan pemanasan. 2. Bahaya kimia yang berasal dari penggunaan bahan tambahan makanan.

Bahan kimia sukar dihilangkan dan kadarnya harus di bawah batas yang ditentukan. Akan tetapi dapat dikurangi (CCP 2) pada saat pencucian.


(43)

3. Bahaya fisik tidak boleh, antara lain : pecahan gelas dan logam, potongan kerikil, tulang, kayu, plastik, bagian tubuh, seperti kuku, rambut, sisik dan bulu. Dan dapat dihilangkan pada saat pencucian (CCP 1).

Bagan Keputusan/Penentuan Titik Pengendalian Kritis (CCP), yaitu : Pertanyaan-pertanyaan diajukan terhadap bahan baku :

Pertanyaan 1 : Apakah mungkin bahan baku (ikan basah) mengandung bahaya pada tingkat yang tidak dapat diterima ?

Ya

Pertanyaan 2 : Apakah pengolahan termasuk cara penggunaan oleh konsumen dapat menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai pada tingkat yang dapat diterima ?

Ya Titik pengendalian kritis (CCP 2) Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk setiap tahap pengolahan.

Pertanyaan 3 : Apakah komposisi atau struktur produk antara/jadi penting untuk mencegah meningkatnya bahaya sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima ?


(44)

Pertanyaan 4 : Apakah pada tahap penggaraman, bahaya dapat muncul atau bertambah sampai pada tingkat yang dapat diterima.

Ya

Pertanyaan 5 : Apakah pengolahan selanjutnya yaitu pemasakan termasuk cara penggunaan oleh konsumen dapat menjamin hilangnya/kurangnya bahaya sampai pada tingkat yang dapat diterima ?

Ya Titik Pengendalian Kritis (CCP 1)

2.5.2. Diagram HACCP pembuatan ikan asin

Ikan asin

Garam Ikan basah

Tiriskan dan timbang beratnya Disiangi dan dibilas

dengan air

Penggaraman CCP 1 = tindakan

pengendalian mikroorganisme pembusuk


(45)

Gambar 2.2. HACCP Pembuatan Ikan Asin 2.6. Bahan Tambahan Pangan

2.6.1. Definisi Bahan Tambahan Pangan

Sejak pertengahan abad ke 20 ini, peranan bahan tambahan pangan (BTP) khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi bahan tambahan pangan sintesis. Banyaknya bahan tambahan pangan dalam bentuk murni dan tersedia secara komersil dengan harga relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian bahan tambahan pangan yang berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu.

Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen atau konsumen. Penyimpangan dalam


(46)

penggunaanya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa(Yuliarti, 2007).

Di bidang pangan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi, dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (fooyange nutrient ) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional, termasuk penggunaan bahan tambahan pangan.

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi dalam pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan.

Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan tambahan yang ditambahkan kedalam makanan untuk memengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan tambahan makanan itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak (Yuliarti, 2007).

Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah untuk dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2008).

Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila : a. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam


(47)

b. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.

c. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan.

d. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjdai dua golongan besar, yaitu (Cahyadi, 2008) :

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dengan maksud untuk dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang konsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentisida), antibiotik, dan hidrokarbon aromatik polisiklik.

Menurut ketentuan yang ditetapkan, ada beberapa kategori BTP (Yuliarti, 2007):


(48)

1. BTP yang bersifat aman dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. 2. BTP yang digunakan dengan dosis tertentu dan telah ditetapkn dosis

maksimumnya.

3. BTP yang aman dan dosis yang tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang telah dilengkapi dengan sertifikat aman.

2.6.2. Jenis Bahan Tambahan yang Diizinkan

Sedangkan menurut BPOM telah menetapkan beberapa Bahan Tambahan Pangan yang dapat digunaknan, yaitu :

1. Pengawet : asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, natrium benzoat, dan nisin.

2. Pewarna : tetrazine.

3. Pemanis : aspartaman, sakarin dan siklamat. 4. Penyedap rasa dan aroma : monosodium glutamat.

5. Antikempal : aluminium silikat, magnesium karbonat, trikalsium fosfat.

6. Antioksidan : asam askorbat, alpa tokoferol.

7. Pengemulsi, pemantap, dan pengental : lesitin, sodium laktat, dan potasium laktat.

2.6.3. Jenis Bahan Tamabahan yang Tidak Diizinkan

Beberapa bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan dalam makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/per/88 di antaranya :


(49)

2. Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt) 3. Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC)

4. Dulsin (Dulcin)

5. Kalium Klorat (Potassium Chlorate) 6. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

7. Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 8. Nitrofurazon (Nitrofurazone)

9. Formalin (Formaldehyde)

10. Kalium Bromat (Potassium Bromate)

Adapun menurut Peraturan menteri Kesehatan RI No. 1168/MenKes/Per/X/1999, selain Bahan Tambahan diatas. Masih ada tambahan kimia lain yang dilarang, yakni rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), dan kalsium bromat (pengeras).

2.6.4. Bahan Pengawet

Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling tua penggunaanya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan menggunakan garam, asam, dan gula juga telah dikenal. Kemudian digunakan bahan pengawet, untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba, sehingga pangan tetap awet seperti semula.

Bahan pengawet adalah bahan yang pada umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian


(50)

yang disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Cahyadi, 2008).

Bahan pengawet adalah bahan yang berfungsi dapat membantu dan mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroorganisme pembusuk, baik bakteri, kapang maupun khamir (ragi) dengan cara menghambat, mencegah, dan memberhentikan proses pembusukan. Contoh bahan pengawet antara lain asam benzoat, sulfit, metasulfit, nisin, asam sorbat, asam propionat, gula, asam asetat, alkohol, cuka, gliserin, bumbu-bumbu. Daya pengawet dari bahan-bahan tersebut sangat tergantung pada konsentrasi komposisi bahan pangan (pH) serta jenis mikroba yang akan dicegah pertumbuhannya (Winarno, 1993).

Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (Narto, 2011) :

1) GRAS (Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek recun sama sekali. Contohnya penggunaan amilum sebagai pengental.

2) ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.

3) Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi atau berbahaya seperti boraks, formalin, dan rhodamin-B.

Pengawet yang banyak dijual di pasaran dan digunakan untuk mengawetkan berbagai bahan pangan adalah benzoat, yang umumnya banyak terdapat dalam bentuk


(51)

natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman, seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap, dll.

Secara ideal, bahan pengawet akan menghambat atau membunuh mikroba yang penting dan kemudian memecah senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya dan tidak toksik. Bahan pengawet akan memengaruhi dan menyeleksi jenis mikroba yang dapat hidup pada kondisi tertentu.

Zat pengawet terbagi atas dua, yaitu : 1. Zat pengawet anorganik

Zat pengawet anorganik yang sering dipakai adalah sulfit, hidrogen peroksida, nitrat, dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2,

garam Na atau K sulfit. Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba sehingga membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroba.

2. Zat pengawet organik

Zat pengawet organik lebih banyak digunakan dari pada yang anorganik, karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam maupun garamnya. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida.

Terdapat beberapa persyaratan untuk bahan pengawet kimia, selain persyaratan yang dituntut untuk semua bahan tambahan pangan, antara lain (Cahyadi, 2008):


(52)

a. Memberi arti ekonomis dari pengawetan (menguntungkan)

b. Digunakan hanya apabila cara-cara pengawetan yang lain tidak mencukupi atau tidak tersedia.

c. Memperpanjang umur simpan dalam pangan.

d. Tidak menurunkan kualitas (warna, cita rasa, dan bau) bahan pangan yang diawetkan.

e. Mudah dilarutkan.

f. Aman dalam jumlah yang diperlukan.

g. Tidak menghambat enzim-enzim pencernaan

h. Tidak bereaksi membentuk senyawa kompleks yang bersifat lebih toksik.

Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut (Cahyadi, 2008):

a. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen.

b. Memperpanjang umur simpan pangan.

c. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan.

d. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.

e. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan.


(53)

2.6.5. Dampak Penggunaan Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan Terhadap Kesehatan

Penggunaan bahan tambahan pangan khususnya pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak ditemukan penggunaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan, seperti boraks dan formalin.

Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikroba non patogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Penggunaan bahan tambahan yang beracun atau BTP yang melebihi batas akan membahayakan kesehatan masyarakat, dan berbahaya bagi pertumbuhan generasi yang akan datang (Cahyadi, 2008).

Dampak penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Bahan kimia yang sering kita kenal sebagai bahan tambahan pangan seperti pengawet, pewarna, pengental, dan penyedap rasa pun dapat menjadi racun bagi tubuh kita apabila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan. Akibat yang


(54)

terjadi mulai dari sakit kepala, gangguan pencernaan, kerusakan ginjal sampai kanker (Yuliarti, 2007).

2.7. Tawas

2.7.1. Karakteristik Tawas

Tawas adalah garam rangkap sulfataluminium sulfat yang dalam bahasa Indonesia Kalium Aluminium Sulfat dengan rumus berdasarkan Kodeks Makanan Indonesia, yaitu AlK(SO4)2.12H2O, ada juga Natrium Aluminium Sulfat atau

NaAl(SO4)2. Tawas adalah senyawa anorganik berbentuk cair yang tidak berwarna

hingga berwarna sedikit kecoklatan yang bersifat higroskopis berupa bubuk, butiran atau bongkahan. Tawas dihasilkan dengan mereaksikan logam aluminium (Al) dalam larutan basa kuat. Bentuk tawas berupa kristal dan ada yang sudah dijadikan bubuk warna putih dengan rasa adstringen/sepat, sedikit manis-asin, tembus cahaya, bersifat menguatkan warna, pada pH 5,0-7,5 kelarutannya sangat rendah sehingga dapat mengendapkan koloid, titik leburnya 93˚C dan titik didihnya 200˚C. Tawas memilki aroma yang cukup menyengat dan bersifat antibakteri. Bentuk tawas ini sendiri mirip dengan gula batu, bentuknya berupa bongkahan seperti kristal berwarna putih, Kemudian dihaluskan hingga menyerupai garam agar lebih cepat larut.

Tawas banyak digunakan dalam industri-industri (kimia) dan banyak juga dalam usaha penjernihan air.Jenis tawas lainnya adalah seperti Tawas Natrium untuk bahan pengembang roti, Tawas Kalium untuk pengolah limbah, Tawas Besi untuk penyamakan kulit dan bahan pewarna. Tawas juga digunakan untuk bahan dasar deodorant atau juga dioleskan langsung pada ketiak untuk menghindari bau badan.


(55)

Tabel 2.1. Persyaratan Mutu Aluminium Sulfat

No. Parameter Satuan Persyaratan

Padat Cair

1. Bobot jenis 20 ˚C - - Min 1,3

2. pH - Min 3,0 Min 3,0

3. Bagian tidak larut dalam air % (b/b) Maks 0,5 Maks 0,25 4. Aluminium Oksida, Alumina, AL2O3 % (b/b) Min 17 Min 8

5. Besi, Fe % (b/b) Maks 0,01 Maks 0,01

6. Timbal, Pb % (b/b) Maks 10 Maks 10

7. Arsen, As % (b/b) Maks 2 Maks 2

2.7.2. Fungsi dan Kegunaan Tawas

Tawas adalah bahan kimia yang termasuk dalam golongan desinfektan yang berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri penyebab berbagai penyakit. Tawas digunakan dalam industri kosmetik sebagai bahan penghilang bau badan. Tawas berfungsi mencegah tumbuh kembangnya bakteri pada ketiak manusia.

Di dalam public health, khususnya oleh PDAM tawas ini biasa digunakan untuk penjernih air. AlK(SO4)2.12H2O (tawas) yang biasa digunakan untuk

mengendapkan kotoran dalam air dipakai untuk merontokkan kotoran pada ikan berukuran besar yang sudah mulai rusak.Ikan asin yang mengandung zat berbahaya tersebut, biasanya tidak di hinggapi lalat, tidak gampang patah dan agak keras,

Tawas dalam bentuk larutan bersifat asam yang dapat menurunkan pH makanan. Dilihat dari peranannya dalam pengurangan air, maka bahan pangan yang


(56)

ditambah tawas dengan konsentrasi tertentu akan dapat menurunkan kadar air pada bahan pangan tersebut. Hal ini karena adanya tekanan osmotik yang menarik air keluar dari bahan pangan. Tawas dapat digunakan sebagaipengering sekaligus membersihkaniumur,juga sebagai bahan kosmetik, zatwarna tertentu, bubuk kue dan zatpenyamak kulit (Haribi, 2009).

Penggunaan tawasdalam konsentrasi lebih besar dari satupersen bersifat bakterisidal. Sifatbakterisidal ini timbul dari kemampuantawas menarik air dari dalam sel bakteridan memyebabkan terjadinya lisis dindingsel bakteri gram negatif maupun positif.Meskipun demikian larutan tawasdengan konsentrasi sampai 2 persendapat menyebabkan penggumpalan seldarah merah (Nurrahman danIsworo,2002).

Menurut Yusrin (2005) penggunaan tawas dalam pengasinan sama halnya dengan penggunaan garam yangfungsinya selain untuk menghambat pertumbuhan mikrobia, juga untukmembuat ikan menjadi lebih putih dan kenyal.

Menurut Nurrahman dan Isworo (2002) disebutkan bahwa pemberian tawas pada air untuk merendam ikan asin bertujuan agar ikan yang dihasilkan menjadi lebih putih, kenyal, kompak, mengurangi rasa pahit dan bau amis serta memperpanjang daya simpan ikan karena sifatnya yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk.

Berdasarkan penelitian Nurrahman dan Isworo (2002) dengan perendaman ikan dengan larutan tawas mempunyai kecenderungan air yang masuk ke dalamdaging lebih rendah, hal ini terlihat dari kadar protein pada daging ikan lebihtinggi Hal ini mungkin terjadi karena tawasdapat menggumpalkan protein sehingga struktur protein lebih kompak (padat). Tawas dalam larutan cenderung


(57)

untuk menurunkankeasaman, hal ini karena dalam tawas ada ion sulfat yang memberikan suasanaasam pada larutan. Sifat dari protein bila terkena asam dapat mengalamipenggumpalan. Dengandaging yang lebih kompak dan padat menghambat keluarnya material kelarutan dan menghambat air masuk lebih banyak sehingga proses pembusukan akan lebih lama terjadi.

Pada penelitian Haribi dan Yusrin 2005, disebutkan bahwa ikan yang direndam dengan larutan tawas dengan konsentrasi 4% -12% selama 30 menit hingga 120 menit, daging ikan akan menyerap alumunium sebanyak 0.226-0.413 ppm. Selain itu ternyata tawas juga akrab didapur sebagai bahan pelengkap panganan :

a. Sebagai pemutih makanan pada ketupat.

b. Asinan buah atau sayur agar teksturnya tetap gurih

c. Es puding agar tidak mudah basi dan tidak pecah saat proses pengadukan d. Sayuran berkuh santan agar terasa lebih kental.

e. Ikan asin agar produknya terlihat putih, bersih dan juga tidak berbau busuk.

Ciri-ciri makanan yang mengndung tawas yaitu (Nurrahman, 2002) : a. Ikan tampak lebih putih.

b. Daging ikan kenyal

c. Daging ikan tidak mudah hancur d. Tidak dihinggapi lalat di area berlalat. e. Daya tahan ikan lebih lama.


(58)

Salah satu bahan pembuat tawas adalah asam sulfat pekat yang merupakan zat kimia berbahaya yang apabila terhisap dapat mengganggu kesehatan dan proses pencampuran tersebut menghasilkan reaksi eksoterm (mengeluarkan panas) sehingga bersifat eksplosif dan dapat meledak.

Tawas termasuk bahan kimia yang masuk klasifikasi berbahaya, yang dapat menyebabkan kerusakan parah pada kesehatan apabila terhirup, tertelan, atau terserap malalui kulit. Apabila terkena mata akan menyebabkan iritasi mata, apabila terkonsumsi akan menyebabkan iritasi organ pencernaan.Penggunaan tawas yangberlebihan akan menimbulkan gangguankesehatan karena tubuh mengalamikelebihan Aluminium (Al) (Haribi, 2009).

Konsumsialuminiumharianuntuk bayi 0,10mgAl/kg/hariselama 6- 11bulan, anak 2-6 tahun 0,30-0,35mgAl /kg/hari, untuk anak10 tahun0,11mgAl/kg/hari, untuk anak 14-16 tahun 0,15-0,18mgAl/kg/hari, dan untuk dewasa pria dan wanita (25-70 tahun) 0,10-0,12mgAl/kg/hari (ATSDR, 1999).

Sumberutama paparanterhadap manusia adalah berasal dari paparan secara oral yaitu yang berasal dari makananyang digunakan sebagai bahan tambahan makanan, pada makanan dan minuman kemasan, peralatan masak, air minum, dan dalam obat khususnyaantasida. Asupan aluminiumdiperkirakanberada di kisaran0,10-0,12Al /kg/ haripada orang dewasa. Hal ini belummenjadi perhatiankhusus yang berkaitan dengantoksisitasaluminium karena kehadirannyadalam makanandianggap masih dalam batas aman (GRAS) oleh FDA (ATSDR, 1999).

Beberapa logam beratjuga bersifat karsinogenik dan teratogenik (salah bentuk organ pada embrio).Pada tubuh, logam berat dapat dideteksi dalam 3 jaringan utama


(59)

yang menjadikompartemen, yaitu di dalam darah terikat pada eritrosit, dalam hati dan ginjalserta pada tulang dan jaringan keras seperti gigi dan kuku. Jika logam berat tersebut terdapat dalam plasma darah, dalam feses, keringat, air susu ibu akan didepositkan dalam kuku dan rambut. Dalam jumlah kecil logam berat dapat terekskresikan dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga akan terjadi mekanisme pertahananberupa detoksifikasi pada tubuh manusia yang dilakakukan oleh hati dan ginjal. Mekanisme tersebut berupa pencegahan masuk nya ionlogam, mengeluarkan kembali ion logam serta mengasingkan ion logam yangmasuk ke dalam sel tubuh. Jika tubuh tidak dapat melakukan detoksifikasi, maka dikhawa tirkanakan terjadi penyakit atau kerusakan organ tubuh(Yusrin, 2005).

Aluminium sebagai salah satu logam berat, jika berada dalam usus,akan diserap ke dalam darah, dan akan terikat sekitar90% pada eritrosit dan sisanya berada dalam plasma. Aluminium tersebutterdistribusi ke seluruh jaringan dan berikatan dengan protein pengikat logam(metalotionein) karena logam tersebut mempunyai kecenderungan untuk berikatan dengan gugus sulfidrilnya.

Menurut Haribi (2009) dari Sacher,R.A. and R.A. Mc. Pherson, tawas yang digunakan untuk peningkatan mutu makanan mengandung ion logam berat toksik yaitualuminium yang dapat menggangu sistem enzimatik, dan merusak jaringan. Hati dan ginjal adalah jaringanyang paling dulu terkena dampak tersebut, karena merupakan organ detoksifikasi. Ion logamdalam jaringan berikatan dengan proteinpengikat logam (metalotionein), yaitu padagugus sulfidril dari protein tersebut. Kerusakan hati ditandai dengankenaikan konsentrasi enzim GlutamatOksaloasetat


(60)

Transaminase Serum (SGOT)dan Glutamat Piruvat Transaminase Serum(SGPT) serta hiperbillirubinemia.

Semua benda asing yang masuk ke dalam tubuh akan dimetabolisme, disimpan, dikonjugasi dan selanjutnya akan disalurkan ke organ sekresi. Jika zat asing yang masuk ke dalam tubuh melebihi konjugasi, akan bereaksi dengan sel hepar dan akan menyebabkan kerusakan sel hepar (Sumirat, 2003).

Menurtu Haribi (2009) dari Lehninger AL, Guyton danHall, kerusakan ginjal terjadi karena ion logam berat (Aluminium) menyebabkannekrosis sel - sel epitel tubulus ginjal,permeabilitas membran glomerulusmeningkat, sehingga protein dan zat-zatyang terlarut dalam plasma mudah melewatinya. Nekrosis tubuler iniditandai denganhilangnya sejumlah besar protein plasma, dan sebaliknya proteinurine justru meningkat. Ureum dankreatinin yang seharusnya diekskresi lewaturine, menjadi meningkat konsentrasinyadi dalam darah.

Berdasarkan penelitian Ratih Haribi dkk (2009) tentang Kelainan Fungsi Hati dan Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus, L.)Akibat Suplementasi Tawas Dalam Pakan dapatdiketahui efek dari ion aluminium sebagaikomponen tawas, terhadap kerusakanorgan dan fungsi dari hati dan ginjal tikus(Ratus norvegasus, L.)pada dosis tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.

Dilihat dari struktur kimianya tawas mengandung logam berat alumunium yang dalam bentuk ion sangat beracun apabila terkonsumsi dalam jumlah berlebihan Dalam tubuh logam berat dapat di deteksi dalam 3 jaringan utama yaitu, dalam darah terikat dalam eritrosit, dalam hati dan ginjal, serta dalam tulang dan jaringan keras


(61)

seperti gigi dan kuku. Logam berat ini diereksi melalui urine(kemungkinan sangat kecil), feses, keringat dan air susu ibu dan didepositkan dalam kuku dan rambut.

Dari semua bahaya tersebut, reaksi tawas akan lebih berdampak cepat pada anak-anak karena sistem imunitas dan sistem pencernaan yang masih minim zat tersebut juga dapat mengganggu kinerja pada saluran kencing. Dalam jangka panjang jika zat tersebut mengendap/terakumulasi didalam tubuh manusia, zat tersebut akan lebih reaktif dan menyebabkan kematian.

2.7.4. Mengurangi Tawas pada Makanan

Untuk dapat mengurangi bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan yang terdapat dalam bahan makanan, kita bisa melihat dari sifat yang dimilki oleh bahan tambahan pangan tersebut. Seperti halnya tawas, salah satu sifat yang dimiliki tawas adalah larut dalm air, sehingga salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar tawas dalam bahan makanan (khususnya ikan asin) yaitu (Dwioktavia, 2011) :

a. Dengan merendam ikan asin padaair yang bersuhu 0 ° C, tawas dapat larut sebesar 31.2 g/100 ml.

b. Dengan merendam ikan asin pada suhu 20 ° C, tawas dapat larut sebesar 36,4 g/100 ml.

c. Dengan merendam ikan asin pada air mendidih 100 ° C, tawas dapat larut sebesar 89,0 g/100 ml.

Menurut Wiley 2007, disebutkan bahwa KAl(SO4)2 termasuk bahan yang

digunakan untuk mengkompakkan bahan. Beberapa bahan tambahan makanan yang dapat digunakan untuk menggantikan tawas sebagai bahan pengenyal adalah Calcium


(62)

carbonate, Calcium hydrogen sulfite, Calcium citrates, Calcium phosphates, Calcium sulfate, Calcium chloride, Magnesium chloride, Magnesium sulfate, Calcium gluconate, Magnesium gluconateyang lebih aman.

2.9. Kerangka Konsep

Ikan asin Pemeriksaan laboratorium

HygieneSanitasi berdasarkan 6 prinsip :

1. Pemilihan bahan baku ikan asin 2. Penyimpanan bahan baku ikan

asin

3. Pengolahan ikan asin 4. Penyimpanan ikan asin 5. Pengangkutan ikan asin 6. Penyajian ikan asin

Permenkes RI No. 1096/Menkes/SK/VI/2011

Memenuhi syarat Tidak

memenuhi syarat Permenkes RI No.

722/Menkes/PER/IX/1988 Tawas

Ada Tawas

Tidak Ada Tawas Pengawasan Dinas

Kesehatan Kota Sibolga dan Distribusi Ikan Asin

SNI 0032 Tahun 2011


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat deskriptif dengan melihat gambaran higiene sanitasi pembuatan ikan asin dan untuk mengetahui keberadaan tawas pada ikan asin yang dihasilkan di beberapa tempat produksi ikan asin di Kota Sibolga serta pengawasan dan distribusinya tahun 2012.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Observasi higiene sanitasi pembuatan ikan asin dilakukan di beberapa tempat produksi ikan asin di Kota Sibolga. Beberapa tempat produksi ikan asin yang menjadi tempat penelitian :

1. Jl. Pasar Belakang A Sibolga : Produsen I 2. Jl. Pasar Belakang B Sibolga : Produsen II 3. Jl. Mojopahit Lama A Sibolga : Produsen III 4. Jl. Merpati A Sibolga : Produsen IV 5. Jl. Merpati B Sibolga : Produsen V 6. Jl. Mojopahit Lama B Sibolga : Produsen VI 7. Jl. Pasar Belakang C Sibolga : Produsen VII 8. Jl. Pasar Belakang D Sibolga : Produsen VIII 9. Jl. Pasar Belakang E Sibolga : Produsen IX 10. Jl. Pasar Belakang F Sibolga : Produsen X


(64)

Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah karena Kota Sibolga, khususnya Kecamatan Sibolga Selatan merupakan salah satu daerah yang produksi ikan asinnya cukup besar dan distibusinya juga mencakup wilayah yang cukup luas.

Pemeriksaan sampel dilakukan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan. Adapun alasan pemilihan tempat penelitian ini adalah laboratorium tersebut mempunyai peralatan yang lengkap dan petugas laboratorium yang telah berpengalaman dalam pemeriksaan sampel yang sama.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada April 2012.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah produsen ikan asin yang berjumlah 25 produsen ikan asin di Kota Sibolga.

3.3.2. Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive samplingdimana peneliti memilih 10 produsen ikan asin di Sibolga berdasarkan besar jumlah produksi ikan asinnya dan jenis ikan asin yang diproduksi.

Objek penelitian adalah ikan asin yang diproduksi oleh 10 produsen ikan asin di Sibolga, dimana pengambilannya berdasarkan pada beberapa hal diantaranya berdasarkan jenis ikan asin yang banyak didistribusikan ke luar daerah Sibolga, dikarenakan ikan asin membutuhkan daya tahan yang lebih lama agar tetap dalam kondisi yang baik, sehingga kemungkinan pemakaian tawas sebagai bahan pengawet lebih besar. Misalnya ikan asin perak-perak, ikan asin pinang-pinang, ikan gembung


(65)

asin, ikan asin palu-palu. Selain itu pengambilan sampel juga didasarkan pada jenis dan ukuran ikan, ikan yang berukuran besar cenderung membutuhkan bahan pengawet sehingga kemungkinan pemakaian bahan tambahan makanan tawas semakin besar, misalnya ikan kakap.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Pengumpulan data dilakukan secara observasi langsung mengenai higiene sanitasi ketempat produksi/pembuatan ikan asin dengan menggunakan lembar observasi dan mengadakan wawancara langsung kepada produsen ikan asin dengan instrumen yang disediakan serta melalui pemeriksaan sampel ikan asin di Balai Riset Standarisasi Industri Medan.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder meliputi data yang berhubungan dengan substansi yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk mendukung poenelitian ini.

3.5. Pelaksanaan Penelitian

3.5.1. Pengambilan Sampel dan Pengiriman ke Laboratorium

1. Sampel diambil dari masing-masing tempat produksi ikan asin sebanyak 10 buah.

2. Sampel tersebut diberi label/nomor berdasarkan tempat pengambilan sampel, kemudian dibungkus dengan plastik/koran.


(66)

3. Kemudian sampel dikirim ke Balai Riset Standarisasi Industri untuk diperiksa dengan menggunaka metode asam kromatropat dan metode reaksi pengendapan.

3.5.2. Cara Pemeriksaan Tawas pada Ikan Asin dengan Metode Reaksi Pengendapan

A. Peralatan

1. Statif dan klem 2. Gelas ukur 3. Lumpang 4. Pengaduk 5. Beaker glass B. Bahan

1. Sampel ikan asin 2. Aquadest

3. Barium Chlorida (BaCl2)

C. Prosedur Kerja

1. Sebanyak 10 gr sampel dihaluskan dalam lumpang kemudian dilarutkan dalam 100 ml aquadest dalam beaker glass 250 ml.

2. 2 ml filtrat dimasukkan dalam tabung reaksi.

3. Kemudian ditambahkan 2 ml Barium Chlorida (BaCl2)

4. Jika terbentuk endapan berwarna putih maka sampel positif mengandung tawas.


(67)

3.5.3. Cara Pemeriksaan Tawas pada Ikan Asin dengan Metode EDTA (Etilen Diamin Tetra Asetat)

A. Peralatan

1. Neraca analitik 2. Gelas piala 400 mL 3. Pipet volume 20 mL 4. Buret 50 mL

5. Labu ukur 500 mL 6. Erlemeyer 200 mL B. Bahan

1. Buffer natrium asetat 2. Jingga ksilenol 0.1% 3. Aquades

4. EDTA 0.05 M 5. ZnSO4 0.02 M

C. Cara Kerja

1. Timbang dengan teliti 5 g sampel padatan dan 5 g sampel cairan

2. Larutkan dalam aquades, saring bila perlu, encerkan dengan air ke dalam labu ukur 500 mL, tepatkan hingga tanda batas (larutan A)

3. Pipet 20 mL larutan A dengan pipet volum, masukkan ke dalam labu erlemeyer, tambahkan dari pipet volum atau dari buret 20 mL EDTA 0.05 M, didihkan 1 menit, dinginkan.


(68)

4. Tambah 5 mL buffer natrium asetat dan tambahkan 2 hingga 5 tetes jingga ksilenol 0.1% .

5. Titrasi dengan larutan seng sulfat hingga terjadi perubahan warna dari kuning pucat hingga merah redup.

6. Lakukan pengerjaan blanko dengan tepat menambahkan 20 mL EDTA 0.05 M ke dalam 20 mL aquades, selanjutnya lakukan langkah yang sama dengan langkah 4-5.

AL2O3% =

(2−�1)��� 50.98

���50020��� 100 � 100−(� −0.9128)

Keterangan :

V1 = Volume titrasi sampel mL V2 = Volume titrasi sampel mL M = Molaritas peniter ZnSO4 W = Bobot sampel (g)

C = Kadar besi dalam penetapan 6.5%

0.9128 adalah konversi AL2O3terhadap Fe = AL2O3/ 2Fe = 101.96 / 111.69


(69)

3.6. Definisi Operasional

1. Ikan asin adalah bahan makanan yang terbuat dari daging ikan yang diawetkan dengan cara dikeringkan dan dengan menambahkan banyak garam dengan jumlah tinggi.

2. Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan individu subjeknya.

3. Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya.

4. Pemilihan bahan baku ikan asin adalah pemilihan bahan baku ikan asin yang masih segar, tidak rusak dan diperoleh dari sumber yang resmi. 5. Penyimpanan bahan baku ikan asin adalah penyimpanan bahan makanan

pada tempat yang bersih, tertutup, tidak dapat dijangkau oleh tikus, serangga, dan binatang pengganggu lainnya.

6. Pengolahan ikan asin adalah cara atau tindakan mengolah bahan makanan yang dilakukan oleh penjamah makanan dari bahan mentah menjadi ikan asin.

7. Penyimpanan ikan asin jadi adalah penyimpanan ikan asin yang sudah jadi pada tempat yang tidak tercemar debu, tertutup, tidak dapat dijangkau tikus, serangga, dan binatang pengganggu lainnya.

8. Pengangkutan ikan asin adalah tindakan untuk memindahkan ikan asin dari tempat pengolahan ke tempat penjualan/penyajian.


(70)

9. Penyajian ikan asin adalah tindakan penyajian ikan asin pada pada tempat yang bersih, peralatan yang digunakan bersih, sirkulasi udara dapat berlangsung, dan penyaji berpakaian besih.

10. Pemeriksaan tawas adalah pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium untuk mengetahui keberadaan tawas pada ikan asin yang dihasilkan di beberapa tempat produksi ikan asin di Kota Sibolga dengan menggunakan metode filtrasi.

11. Ada tawas adalah ditemukannya tawas pada ikan asin yang diperiksa melalui pemeriksaan laboratorium di Balai Riset Standarisasi Industri medan yang disesuaikan dengan SNI 0032 tahun 2011 dan Permenkes 722/Menkes/Per/IX/1988.

12. Tidak ada tawas adalah tidak ditemukannya tawas pada ikan asin yang diperiksa melalui pemeriksaan laboratorium di Balai Riset Standarisasi Industri medan yang disesuaikan dengan SNI 0032 tahun 2011 dan Permenkes 722/Menkes/Per/IX/1988

13. Pengawasan Dinas Kesehatan Kota Sibolga adalah tindakan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Sibolga terhadap tempat-tempat produksi ikan asin di Kota Sibolga.

14. Distribusi Ikan Asin adalah kemana saja ikan asin yang telah diproduksi didistribusikan selain di Kota Sibolga.

3.7. Aspek Pengukuran

Aspek pengukuran dilakukan dengan melihat gambaran higiene sanitasi pembuatan ikan asin di Kota Sibolga yang meliputi pemilihan bahan baku,


(1)

(2)

Gambar 4. Pengolahan Ikan Asin (Penggaraman)


(3)

Gambar 6. Pengolahan Ikan Asin (Penjemuran)


(4)

Gambar 8. Pengangkutan Ikan Asin


(5)

(6)

Gambar Sampel Ikan Asin

Gambar 12. Ikan Asin Tamban

Gambar 14. Ikan Asin Pinang-pinang

Gambar 16. Ikan Asin Kepala Batu

Gambar 18. Ikan Asin Perak

Gambar 13. Ikan Asin Gembung

Gambar 15. Ikan Asin Pandan-pandan

Gambar 17. Ikan Asin Maning


Dokumen yang terkait

Higiene Dan Sanitasi Serta Perilaku Karyawan Yang Berkaitan Dengan Kesehatan Lingkungan Terminal Pelabuhan Roro Kota Dumai Tahun 2012

3 49 114

HIGIENE DAN SANITASI PANGAN

0 2 2

Analisis Viabilitas Finansial Produsen Ikan Asin di Kota Sibolga (Studi Kasus: Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga)

0 0 14

Analisis Viabilitas Finansial Produsen Ikan Asin di Kota Sibolga (Studi Kasus: Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga)

0 0 2

Analisis Viabilitas Finansial Produsen Ikan Asin di Kota Sibolga (Studi Kasus: Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga)

1 4 7

Analisis Viabilitas Finansial Produsen Ikan Asin di Kota Sibolga (Studi Kasus: Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga)

0 0 10

Analisis Viabilitas Finansial Produsen Ikan Asin di Kota Sibolga (Studi Kasus: Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga)

0 0 2

Analisis Viabilitas Finansial Produsen Ikan Asin di Kota Sibolga (Studi Kasus: Kelurahan Pasar Belakang, Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga)

0 0 41

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Higiene Sanitasi Makanan 2.1.1. Pengertian Higiene - Higiene Sanitasi Pembuatan dan Analisis Keberadaan Tawas Serta Pengawasan dan Distribusi Ikan Asin Kota Sibolga Tahun 2012

0 1 38

HIGIENE SANITASI PEMBUATAN DAN ANALISIS KEBERADAAN TAWAS SERTA PENGAWASAN DAN DISTRIBUSI IKAN ASIN KOTA SIBOLGA TAHUN 2012 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

0 0 16