62
kelas eksperimen 106, sedangkan kelas kontrol 94. Skor rata-rata akhir kedua kelas sedikit berbeda, yaitu kelas eksperimen 123,13 dan kelas kontrol 121,42,
dengan standar deviasi yang hampir sama, yaitu kelas eksperimen 10,75 dan kelas kontrol 10,70. Hasil uji normalitas dan uji homogenitas menunjukkan bahwa
kedua kelas berdistribusi normal dan memiliki variasi yang homogen atau sama. Selanjutnya akan dijelaskan hasil uji-t yang sudah dilakukan sebagai
berikut.
1. Keefektifan PBM TPS Ditinjau dari Prestasi Belajar Matematika
Model PBM TPS efektif ditinjau dari prestasi belajar Matematika siswa. Pembelajaran dikatakan efektif ketika nilai rata-rata gain score prestasi belajar
Matematika lebih dari 0,69. Hal ini disebabkan TPS melibatkan peran aktif dari
siswa secara keseluruhan. Dengan demikian, Rejeki Hasmi, dkk., 2011 menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk
meningkatkan dorongan prestasi siswa. Siswa saling bekerja sama dengan teman sebangkunya. Siswa diberi kesempatan untuk berpikir dan saling berinteraksi.
Kerja sama dengan sesama teman dapat memberikan motivasi belajar, sehingga siswa menjadi lebih aktif. Selain itu, efektifitas PBM TPS untuk meningkatkan
prestasi belajar Matematika siswa juga didukung oleh penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Misalnya penelitian Eprina 2015 terhadap Siswa SMA
Negeri 2 Bantul menunjukkan bahwa model pembelajaran TPS efektif ditinjau dari prestasi belajar Matematika. Selain itu, Kilbane dan Milman 2014: 281
mendefinisik an, “problem based learning PBL is an active learning model that
allows students to learn and hone problem-solving skill, develop competence with
63
academic content standards, and realize the relevance of applying content area learning for practical purposes”. Pembelajaran berbasis masalah dapat
memudahkan siswa untuk mengingat suatu konsep materi karena siswa belajar dari masalah yang ada di kehidupan nyata.
2. Keefektifan PBM TPS Ditinjau dari Kepercayaan Diri
Model PBM TPS tidak efektif ditinjau dari kepercayaan diri. Pembelajaran dikatakan tidak efektif ketika nilai rata-rata skor akhir angket kepercayaan diri
kurang dari atau sama dengan 123,19. Hal ini dikarenakan rasa percaya diri tidak dapat dirubah dengan cepat. Karakteristik siswa yang beragam, tidak dapat
dirubah dengan model pembelajaran yang begitu singkat. Selama penelitian ini peneliti hanya diberikan waktu untuk mengajar selama 3 kali pertemuan atau 6
jam pelajaran. Hal ini menjadi keterbatasan waktu untuk menerapkan model pembelajaran yang baru.
Untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa, dibutuhkan waktu yang relatif lama dengan usaha yang terus-menerus. Seperti yang disampaikan Abu dan
Widodo 2004: 40, ketika seorang siswa memiliki kehendak untuk mencapai sesuatu, proses kemauan sampai tindakan atau perbuatan melalui beberapa
tingkat, yaitu motif alasan, dasar, pendorong, perjuangan motif, dan keputusan. Oleh karena itu ketika seorang siswa mempunyai keinginan untuk meningkatkan
rasa kepercayaan diri, siswa membutuhkan proses yang lama untuk sampai pada perbuatan. Hal senada juga disampaikan Muhibbin 2012:109, bahwa belajar
merupakan aktivitas yang berproses, dan di dalamnya terjadi proses perubahan
64
yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui tahap-tahap yang antara satu dengan lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional.
3. Keefektifan Pembelajaran Konvensional Ditinjau dari Prestasi Belajar