BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Status gizi yang baik pada masa bayi dapat dipenuhi dengan pemberian ASI
secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan pertama bayi. Hal ini dikarenakan ASI adalah makanan bergizi dan berenergi tinggi yang mudah untuk diterima bayi. ASI
memiliki kandungan yang dapat membantu penyerapan gizi. ASI merupakan zat gizi yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi yang
penting untuk pertumbuhan dan kesehatan sampai berusia enam bulan. Namun pasca 6 bulan, pemberian ASI saja tidak cukup untuk memenuhi
seluruh kebutuhan makanan bayi. Pemberian ASI saja pada usia pasca 6 bulan hanya akan memenuhi sekitar 60-70 kebutuhan bayi. Sedangkan yang 30-40 harus
dipenuhi dari makanan pendamping atau makanan tambahan. Sementara itu, pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat dalam kualitas dan
kuantitasnya dapat menyebabkan bayi menderita gizi kurang Indiarti, 2008. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi
dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa
selanjutnya Depkes RI, 2006. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Depkes RI, 2010, prevalensi
kurang gizi berat badan menurut umur pada anak balita di Indonesia sebesar 17,9 persen sedangkan anak balita gizi lebih sebesar 12,2 persen. Prevalensi balita pendek
dan sangat pendek juga masih tinggi yaitu sebesar 18,0 persen dan 18,5 persen. Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi tersebut dalam
jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan, dalam
jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan
resiko tinggi untuk munculnya penyakit degeneratif pada usia tua. Keseluruhan hal tersebut akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, produktifitas,
dan daya saing bangsa. Untuk mengatasi masalah ini Indonesia telah menyepakati untuk menjadi
bagian dari Scaling Up Nutrition SUN Movement sejak Desember 2011, melalui penyampaian surat keikutsertaan dari Menteri Kesehatan kepada Sekjen PBB. Di
Indonesia Gerakan SUN Movement berupa Gerakan Sadar Gizi yang bertujuan menurunkan masalah gizi yang fokus pada 1000 hari pertama kehidupan 270 hari
selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai usia 2 tahun disingkat menjadi Gerakan 1000 HPK. Gerakan ini terdiri dari intervensi gizi spesifik, seperti promosi
Universitas Sumatera Utara
ASI eksklusif serta MP-ASI dan intervensi gizi sensitif yaitu kegiatan diluar sektor kesehatan Laksono, 2012
Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHOUNICEF merekomendasikan empat hal
penting yang harus dilakukan yaitu; 1 memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, 2 memberikan hanya air susu ibu ASI
saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, 3 memberikan MP-ASI sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan 4
meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. Pemberian MP-ASI lokal memiliki beberapa dampak positif, antara lain; ibu
lebih memahami dan lebih terampil dalam membuat MP-ASI dari bahan pangan lokal sesuai dengan kebiasaan dan sosial budaya setempat, sehingga ibu dapat melanjutkan
pemberian MP-ASI lokal secara mandiri. DepKes RI, 2006 Makanan pendamping ASI pertama sebaiknya adalah golongan beras dan
serelia, karena berdaya alergi rendah. Secara berangsur-angsur dapat dikombinasikan dengan buah, sayur, dan sumber protein tahu, tempe, ikan, daging sapi, daging ayam,
hati ayam, dan kacang-kacangan. Sebagian masyarakat kita memanfaatkan buah pisang diantaranya pisang awak masak Musa paradisiaca var. Awak sebagai MP-
ASI karena rasanya yang manis dan tekstur yang lembut sehingga mudah diterima oleh bayi.
Pemberian MP-ASI dari pisang awak masak juga sering dikombinasikan dengan tepung beras ataupun nasi yang merupakan makanan pokok rakyat Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Secara empiris, pemberian pisang awak masak yang dikerok baik langsung diberikan maupun dicampur dengan nasi sebagai MP-ASI telah lama dilakukan oleh sebagian
masyarakat khususnya di Aceh. Berdasarkan hal tersebut, pembuatan MP-ASI untuk memenuhi gizi bayi
dapat dilakukan dengan mengombinasikan pisang awak masak yang umumnya kaya akan vitamin, karbohidrat, serat, energi, dan mineral namun sedikit mengandung
protein dengan ikan lele dumbo Clarias gariepinus dan kedelai Glycine max L. Merrill sebagai penyumbang protein untuk memenuhi gizi tumbuh kembang bayi
selanjutnya. Kombinasi antara kacang-kacangan dan serelia juga akan menghasilkan suatu
pola komposisi asam amino esensial yang lebih mendekati pola standar bila dibandingkan dengan pola konsumsi asam amino esensial bahan makanan tersebut
secara sendiri-sendiri Nursanyoto, 1992 dikarenakan protein kacang-kacangan umumnya kaya akan lisin, leusin, dan isoelusin, tetapi terbatas dalam hal metionin
dan sistin. Hal ini menyebabkan protein sering dikombinasikan dengan serelia, karena kaya akan metionin dan sistin tetapi miskin lisin Astawan, 2008.
Pembuatan tepung beras-campuran pisang awak masak yang dikombinasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai sebagai MP-ASI dapat lebih mudah
dibentuk dan disajikan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak.
Untuk menentukan kualitas protein suatu pangan dapat dilihat dari seberapa banyak protein tersebut dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Suatu protein yang
Universitas Sumatera Utara
mudah dicerna menunjukan besarnya jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan tubuh karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses
Muchtadi, 1989. Dengan demikian, penulis tertarik untuk menganalisis kualitas protein secara
biologi pada campuran tepung beras-pisang awak masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai, dikarenakan manfaat yang dihasilkan dari
nilai gizi yang terkandung pada ketiga pangan tersebut dalam pemenuhan gizi penting pada bayi dan balita usia 6-24 bulan. Selain itu, pemanfaatan pangan lokal juga bisa
meningkatkan kelestarian terhadap budaya dan kecintaan produk dalam negeri. Untuk mengetahui mutu biologi protein tepung campuran beras-pisang awak
masak yang divariasikan dengan ikan lele dumbo dan kecambah kedelai dapat menggunakan beberapa indikator yaitu: Protein Efficiency Ratio PER, Net Protein
Utilization NPU dan Biological Value BV. Penentuan kualitas protein melalui indikator-indikator tersebut berdasarkan pengukuran aktivitas protein pada tubuh
mencit jantan Mus musculus yang memiliki kemiripan fisiologis dan anatomis dengan manusia.
1.2. Rumusan Masalah