dengan kasein 10 protein sebagai control. Dari penelitian tersebut dihasilkan PER yang tinggi pada ransum control kasein sebesar 2.11, PER pada campuran
pisang-kedelai sebagai bahan dasar sebesar 0,73 dan PER pada campuran pisang- kedelai-tepung biji sesame sebesar 1,43.
Jika dibandingkan dengan nilai PER tersebut, ternyata nilai PER yang diperoleh dari tepung TPL dan TPLK tidak jauh berbeda yaitu 0,94 dan 1,28. Namun,
jika dibandingkan dengan standard MP-ASI menurut SK Menkes RI 2007 mengenai komposisi protein dalam 100 gram MP-ASI bubuk instan, kualitas protein TPLK dan
TPL belum memenuhi standar kualitas protein MP-ASI karena kurang dari 70 kasein PER=1,75.
5.2.2. Nilai BV
Nilai biologis menggambarkan pengukuran terhadap efisiensi tubuh dalam mencerna protein yang dikonsumsi dalam makanan. Makanan dengan BV tinggi
sangat berkorelasi dengan pasokan yang tinggi dari asam amino esensial. Sumber hewani biasanya memiliki nilai biologis yang lebih tinggi dari sumber nabati karena
pada sumber protein nabati memiliki kekurangan salah satu atau lebih dari asam amino esensial. Namun nilai biologis tidak mempertimbangkan beberapa faktor
utama yang mempengaruhi pencernaan protein dan interaksi protein dengan makanan lain sebelum penyerapan terjadi. Nilai BV berkisar pada 0-100 Hoffman J. dkk,
2004. Berdasarkan perhitungan, nilai BV yang terdapat pada ransum TPLK lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai BV pada ransum TPL masing-masing sebesar 17,33 dan 14,47. Hal ini menggambarkan bahwa dari 100 gram tepung TPL dan
Universitas Sumatera Utara
TPLK yang dikonsumsi, terdapat sekitar 14-17 gram protein yang terserap dengan baik.
Jika dilihat dari kisaran BV yaitu 0-100, maka kedua formula tersebut termasuk pangan yang mengandung nilai BV yang rendah. Artinya hanya sedikit
protein yang bisa diserap oleh tubuh mencit.
5.2.3. Nilai NPU
Metode NPU mirip dengan metode BV yang melibatkan ukuran langsung dari retensi nitrogen yang diserap. Perbedaannya terletak pada bahwa nilai biologis
dihitung dari nitrogen diserap sedangkan NPU dihitung dari nitrogen yang dikonsumsi.
Dari hasil perhitungan NPU terhadap ransum TPLK dan TPL diperoleh hasil masing-masing sebesar 18.53 dan 16.12. Hal ini menjelaskan bahwa protein yang
dikonsumsi dari 100 gram tepung TPL dan TPLK sebesar 16-18 gram. Berdasarkan evaluasi gizi protein menggunakan metode PER, BV, dan NPU
diperoleh bahwa tepung TPLK memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan tepung TPL.
Berdasarkan SNI 01-7111.1-2005 mengenai MP-ASI bubuk instan, tepung TPLK dan TPL telah memenuhi persyaratan bahan penyusun MP-ASI berupa
pemakaian beras, buah pisang dan kacang kedelai serta beberapa nilai gizi MP-ASI seperti kadar protein, serat, lemak, dan kadar abu. Namun dikarenakan belum
memenuhi 70 kualitas protein MP-ASI, maka TPLK dan TPL belum dapat dijadikan sebagai formula MP-ASI.
Universitas Sumatera Utara
Kualitas protein ini dapat diperbaiki dengan pengolahan sekaligus saat proses pembuatan TPLK dan TPL sehingga dapat mengurangi proses pengeringan berulang
karena proses pengeringan dapat menurunkan kandungan zat gizi bahan Tejasari, 2005.
Pengolahan yang dapat dilakukan dalam pembuatan tepung TPLK sebagai upaya mengurangi pengeringan yaitu dengan mencampurkan tepung beras dengan
pisang awak masak, ikan lele kukus dan tepung kecambah kedelai serta bahan tambahan lainnya menjadi satu adonan. Selanjutnya adonan tersebut dibentuk
menjadi pellet sebagai pakan mencit kemudian dikeringkan. Begitu juga dengan pembuatan tepung TPL yaitu dengan mencampurkan tepung beras dengan pisang
awak masak dan ikan lele kukus serta bahan lainnya menjadi satu adonan kemudian dibentuk menjadi pellet dan dikeringkan.
Jika dibandingkan dengan asam amino dari pisang awak, ikan lele dumbo dan kecambah kedelai, maka ketiga bahan dasar tersebut memiliki asam amino lengkap,
sehingga jika ketiga pangan tersebut dikombinasikan kemungkinan dapat menghasilkan MP-ASI dengan kelengkapan asam amino dan berkualitas tinggi
Tejasari, 2005. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas MP-ASI
menurut SNI 2005 yaitu dengan penambahan bentuk alami asam amino pada MP- ASI. Penggunaan asam amino non esensial seperti L-Glutamin yang umumnya
digunakan sebagai gizi enteral atau parenteral pada pasien rawat inap di rumah sakit juga berpotensi meningkatkan kualitas MP-ASI bagi balita.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan, dkk 2006 mengenai ransum MP- ASI dengan penambahan 0,6 gr L-Glutaminkg MPG yang diberikan pada tikus gizi
kurang menghasilkan pertambahan berat badan yang lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan tikus gizi kurang yang diberikan ransum MP-ASI tanpa L-Glutamin
MPP sebagai control. Nilai rata-rata PER yang diperoleh dari kelompok tikus MPG mencapai 3,5±0,3 sedangkan PER rata-rata dari kelompok tikus MPP sebesar
3,4±0,4. Hal ini menggambarkan bahwa penambahan L-Glutamin mampu meningkatkan kualitas protein pada MP-ASI.
Selain itu, penggunaan tikus dalam uji kualitas protein MP-ASI menggambarkan pengaruh pertumbuhan yang lebih signifikan dibandingkan dengan
penggunaan mencit. Kondisi mencit yang lebih kecil, aktif dan ekspresif menyebabkan peningkatan berat badan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Mencit
juga sangat sensitive terhadap lingkungan sekitar sehingga mengakibatkan penurunan
berat badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tikus.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan