180 per kilo sehingga menyebabkan perburuan ikan karang hampir di seluruh perairan Indonesia. Untuk menjaga profit yang menggiurkan ini mau tidak mau
supply tetap banyak dan biaya ektraksi harus murah, sehingga masyarakat beramai-ramai memanen ikan menggunakan bahan peledak dan sianida.
Penangkapan ikan dengan bahan peledak berlangsung sejak Tahun 1930 dan merupakan kegiatan ilegal, menyebar selama terjadinya perang dunia II dimana
bahan peledak mudah didapatkan. Jika berbagai ancaman terhadap terumbu karang terjadi, maka kerugian
yang dialami negara akan jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Agar lebih jelas dapat dilihat data-data pada Tabel 2.
Tabel 2 Manfaat dan kerugian yang disebabkan oleh ancaman terhadap terumbu karang dalam ribuan US km
-2
Fungsi Ancaman
Manfaat bersih
jumlah manfaat
Kerugian bagi Negara Perikanan
Perlindungan pantai
Pariwisata Lain-
nya Jumlah
kerugian
Penangkapan ikan dengan
bahan racun 33,3
40,2 0,0
2,6-435,6 n.q
42,8-475,6 Penangkapan
ikan dengan peledak
14,6 86,3
8,9-193,0 2,9-481,9
n.q 98,1-761,2
Pengambilan batu karang
121,0 93,6
12,0-260,0 2,9-481,9
67 175,5-902,5
Sedimentasi– penebangan
kayu 98,0
81,0 -
192,0 n.q
273,0 Sedimentasi-
perkotaan n.q
n.q n.q
n.q n.q
n.q Penangkapan
ikan berlebihan
38,5 108,8
- n.q
n.q 108,9
Sumber: Cesar 1996 in Dahuri 2003 Keterangan : Selang menunjukkan lokasi nilai rendah dan tinggi atas nilai potensi pariwisata dan
perlindungan pantai n.q tidak dapat dihitung
mencakup kerugian kehilangan pengamanan pangan dan nilai kenaekaragaman hayati tidak dapat dihitung
kerusakan hutan yang disebabkan oleh pengambilan kayu untuk pengolahan batu kapur karang diperkirakan US 67.000
Umumnya penyebab sedimentasi karena penebangan hutan atau aktivitas masyarakat kota, sehingga simbiose algae dan karang menjadi terhalang dari
penangkapan cahaya matahari. Sedimentasi yang lebih parah terjadi apabila penutupan lahan seperti reklamasi daerah estuaria dan pantai. Sedangkan polusi
yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia pertanian dan limbah industri yang dibuang ke perairan. Menurut penelitian Cesar 2000 biaya polusi dan sampah
kota selama 1 satu tahun di Indonesia adalah 987 milyar US. Sedangkan keuntungan dari pariwisata adalah 101 milyar USD, dari perikanan 221 milyar
US, dan kesehatan farmasi sebesar 4,8 milyar US Sehingga total manfaat yang didapatkan dari ekosistem terumbu karang adalah 327 milyar US, atau
sepertiga dari total biaya sebesar 987 milyar US.
2.4
Pengelolaan Terumbu Karang
Sumberdaya ekosistem terumbu karang mempunyai sifat terbatas dan dapat mengalami kerusakan, maka sumberdaya ini perlu dikelola untuk menjamin
bahwa sumberdaya dimanfaatkan secara berkesinambungan dan bertanggung jawab, dan potensi ekonominya tidak dihamburkan secara tidak efisien yang
membuat keuntungan menjadi kecil bahkan tidak ada lagi Suadi dan Widodo 2006. Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang, terutama
dari aktivitas antropogenik, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan
tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan.
Penurunan kondisi terumbu karang yang berkelanjutan sudah menjadi kenyataan yang menyedihkan bagi para ilmuwan biologi, konservasionis, dan
semua pihak yang memberi nilai terhadap keberadaannya. Banyak terumbu karang yang sudah menjadi patahan-patahan sehingga terjadi perubahan fase pada
berkembangnya alga dan rumput laut seaweeds. Beberapa tahun belakangan, banyak penelitian mengarah kepada pengidentifikasian karakteristik lokasi
konservasi yang harus segera mendapat perhatian, utamanya di daerah tropis yang merupakan wilayah sebaran terumbu karang Briggs 2005.
Salah satu cara dan mungkin satu-satunya cara untuk melindungi kepulauan karang adalah dengan pembentukan Kawasan Konservasi Laut KKL.
Sistem zonasi yang diberlakukan di dalam penerapan sebuah Kawasan Konservasi
Laut terbukti dapat diterapkan dalam kerangka menuju pemanfaatan yang berkelanjutan seperti dengan adanya zona inti, zona berkelanjutan, zona
pemanfaatan dan zona lainnya Wolff 2009. Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang mengandung sumber
daya alam yang dapat memberi manfaat besar bagi manusia, oleh karena itu diperlukan kearifan manusia untuk mengelolanya, yang bisa menjadikan sumber
daya alam ini menjamin kesejahteraan manusia sepanjang zaman. Tanpa menghiraukan masa depan dan terus-menerus merusak, ekosistem terumbu karang
akan menjadi semacam padang gurun tandus di dalam laut yang hanya dipenuhi oleh patahan-patahan karang dan benda mati lainnya. Karena itu pengelolaan
sangat diperlukan untuk mengatur aktivitas manusia serta mengurangi dan memantau cara-cara pemanfaatan yang merusak. Pengelolaan terumbu karang
harus berbasis pada keterlibatan masyarakat, sebagai pengguna langsung sumber daya laut ini. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya terumbu
karang sangat penting mulai dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai pada tahap evaluasi dari suatu cara pengelolaan.
Nontji 2000 menyatakan bahwa degradasi terumbu karang di Indonesia terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang terumbu karang,
lemahnya penegakan hukum, lemahnya koordinasi antar institusi, adanya tekanan terhadap terumbu karang dari masyarakat pesisir dan lemahnya kebijakan nasional
tentang pengelolaan terumbu karang. Dalam hal kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang, pemerintah
membuat suatu pedoman umum pengelolaan terumbu karang melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38MEN2004 tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Pedoman umum ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah KabupatenKota, serta
masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang.
Tujuan pedoman umum ini adalah:
1 mewujudkan pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan
daya dukung lingkungan; 2 mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi
nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang; 3 mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif semua pihak;
4
melaksanakan peraturan formal dan peraturan non formal;
5
menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan.
2.5 Kawasan Konservasi Laut
Kawasan Konservasi Laut KKL merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di
dalam kawasan tersebut dari berbagai gangguan. Berbagai gangguan terhadap kawasan konservasi laut yang terjadi semakin meningkat dalam beberapa tahun
belakangan ini, baik gangguan dari alam maupun dari aktivitas kegiatan manusia. Salah satu langkah yang nyata dalam mengurangi berbagai gangguan tersebut
adalah penetapan kawasan konservasi laut Dermawan dan Suraji 2006. Pengertian KKL diusulkan oleh Komite Nasional Konservasi Laut
KOMNASKOLAUT sebagai terjemahan resmi dari Marine Protected Area MPA. Dengan mengadopsi definisi dari IUCN, KKL dibagi kedalam beberapa
kategori yang dapat disetarakan dengan jenis KKL di Indonesia , definisi kategori tersebut adalah sebagai berikut Dermawan 2006 :
“Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta
termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi
seluruh atau sebagian wilayah tersebut.” Menurut IUCN 1994 in Supriharyono 2007 ada beberapa tujuan
kawasan konservasi laut, yaitu ; 1 melindungi dan mengelola sistem laut dan estuaria supaya dapat dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang
dan mempertahankan keanekaragaman genetik; 2 untuk melindungi penurunan,
tekanan, populasi dan spesies langka, terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup mereka; 3 mencegah aktivitas luar yang memungkinkan
kerusakan kawasan konservasi laut; 4 memberikan kesejateraan yang terus menerus kepada masyarakat dengan menciptakan konservasi laut; dan 5
menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan, disebutkan jenis-jenis
dari Kawasan Konservasi Perairan, yaitu: 1
Taman Nasional Perairan adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
pengkajian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata bahari dan rekreasi.
2 Taman Wisata Perairan adalah kawasan perairan dengan tujuan utama
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. 3
Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan
ekosistemnya. 4
Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu, sebagai tempat
berlindungberkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.
Menurut Dahuri 2003, masalah yang mendasar dalam pengelolaan kawasan konservasi laut adalah 1 batasan hukum kawasan konservasi; 2
perusakan habitat; 3 penangkapan yang berlebihan terhadap sumberdaya hayati; 4 polusi dan sedimentasi; 5 kurangnya fasilitas dan infrastruktur; 6 lemahnya
keikutsertaan dan kesadaran masyarakat lokal; 7 rendahnya keahlian SDM yang ada; dan 8 lemahnya komitmen politik.
2.6 Stakeholder Pengelolaan Terumbu Karang
Dalam melakukan penelitian terhadap suatu wilayah, perhatian terhadap masyarakat dan institusi yang mengatur wilayah tersebut merupakan hal yang
penting. Banyak penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan mengedepankan interaksi antara masyarakat dengan institusinya. Dalam
kaitan ini, stakeholder menjadi sangat penting Budiharsono et al. 2006. Freeman 1984 in Budiharsono et al. 2006 mendefinisikan stakeholder
sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset 1998 mendefinisikan
stakeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu
dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap isu atau dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka Ramirez 1999, in Budiharsono
et al. 2006. Salah satu pendekatan dalam mengklasifikasikan model pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah berdasarkan tingkat pengendalian stakeholder. Dalam pendekatan ini, Jentoft 1989 diacu dalam Satria 2002
mengklasifikasikannya menjadi tiga, yakni pemerintah command and control, community based-management CBM dan Co-Management.
Model command and control merupakan model konvensional. Dalam hal ini, pemerintah memegang seluruh kendali pengelolaan sumberdaya perikanan,
khususnya dalam hak inisiatif maupun pengawasan melalui organisasi formal yang dimilikinya. Nelayan atau pelaku usaha perikanan tidak mendapat
kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengelola sumberdaya perikanan. Dengan demikian proses pengelolaan sumberdaya perikanan berlangsung secara
sentralistik. Model community based-management CBM atau pengelolaan yang berbasis pada masyarakat yang merupakan kebalikan dari model command and
control. Dalam CBM, pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh nelayan atau pelaku usaha perikanan di suatu wilayah tertentu melalui organisasi yang sifatnya
informal. Dalam model ini, partisipasi nelayan sangatlah tinggi dan mereka memiliki otonomi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut. Terakhir
adalah model co-management yang akhir-akhir ini terus disosialisasikan. Model ini merupakan sintesis dari dua model sebelumnya. Dalam model ini, pemerintah
dan masyarakat yang seringkali diawali organisasi nelayan atau koperasi perikanan bersama-sama terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya mulai dari
perencanaan hingga pengawasan Satria 2002. Analisis stakeholder adalah suatu sistem untuk mengumpulkan informasi
mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang
memungkinkan terjadinya trade-off.
2.7 Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang
Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan
informasi yang relevan, sehingga kebijakan dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan Dunn 2001. Kebijakan
adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan maksud untuk membangun suatu landasan yang jelas dalam pengambilan
keputusan dan langkah yang diambil. Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus dipantau, direvisi
dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus berubah. Kebijakan umum pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah:
“Mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara
terpadu dan sinergis oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah KabupatenKota, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, serta organisasi non
pemerintah”.
Tujuan kebijakan umum pengelolaan terumbu karang nasional adalah terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan keseimbangan antara
pemanfaatan dan kelestariannya yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah, swasta,
perguruan tinggi serta lembaga non pemerintah. Kebijakan tersebut merupakan suatu upaya menjawab dan mengantisipasi berbagai isu dan permasalahan yang
menjadi penyebab terbesar semakin terdegradasinya ekosistem terumbu karang di Indonesia.
Kebijakan umum sebagaimana tersebut di atas, dijabarkan menjadi tujuh kebijakan operasional sebagai berikut Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: KEP.38MEN2004:
a. Kebijakan 1
Mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang, terutama bagi kepentingan masyarakat yang
kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta mengacu kepada standar-standar nasional dan internasional dalam pengelolaan sumberdaya alam.
b. Kebijakan 2
Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah KabupatenKota, dengan meningkatkan
hubungan kerjasama antar institusi untuk dapat menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang
berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik
biofisik dan kebutuhan pembangunan wilayah.
c. Kebijakan 3
Menyusun rencana tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya
alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
d. Kebijakan 4
Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah KabupatenKota, serta masyarakat dalam
pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi,
pengawasan dan penegakan hukum.
e. Kebijakan 5