Latar Belakang Coral Reefs Management Evaluation at Marine Conservation Area of Biawak Islands of Indramayu, West Java Province

Dengan diimplementasikannya kawasan konservasi laut daerah sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang, diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kondisi terumbu karang dan juga dapat memberikan hasil dan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar. Tantangan selanjutnya dari sebuah penetapan kawasan konservasi laut adalah upaya pengelolaan kawasan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait untuk tetap menjaga kelestarian terumbu karang sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar kawasan yang memiliki ketergantungan dengan keberadaan ekosistem ini. Dengan pembentukan kawasan konservasi tersebut maka dilakukan upaya-upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang salah satunya dengan berpedoman kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38MEN2004 tentang Pedoman Umum pengelolaan terumbu karang. Berdasarkan uraian di atas, maka pembentukan kawasan konservasi laut daerah harapannya mampu menjadi salah satu alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga mampu memberikan dampak positif terhadap kelangsungan hidup terumbu karang dan sumberdaya alam lain yang berada di sekitarnya, sehingga penulis akan melakukan evaluasi pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Sejak Tahun 2004 Pulau Biawak dan sekitarnya telah menjadi sebuah Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor 556Kep.528-Diskanla2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut pada tanggal 7 April 2004. Berdasarkan ketetapan ini, KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya dibagi dalam 2 dua zonasi, yaitu: 1. Internal Zone, yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan populasi Sumber Daya Hayati, 2. Eksternal Zone, yang merupakan perlindungan dan Pemanfaatan Wisata. Saat penelitian ini dilaksanakan, keberadaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya telah berjalan lebih dari 6 enam tahun sejak tahun 2004. Rentang waktu tersebut diharapkan telah menunjukan adanya perubahan yang positif terhadap pola-pola upaya konservasi, pemanfaatan dan rehabilitasi sumberdaya alam yang ada di wilayah tersebut, dan mampu menjaga serta memperbaiki biodiversitas dan fungsi ekosistem yang terdapat di wilayahnya Pomeroy et al. 2004. Hal ini sesuai dengan pernyataan Selig dan Bruno 2010 bahwa kondisi terumbu karang di dalam kawasan yang dilindungi mengalami peningkatan, sebagai contoh tutupan karang di wilayah Karibia meningkat 0,05 dan di wilayah Pasifik dan Hindia meningkat 0,08 dalam kurun waktu satu tahun. Sementara kondisi tutupan karang di wilayah perairan yang tidak dilindungi mengalami penurunan dengan rata-rata 0,27-0,41 di wilayah Karibia dan 0,43 di wilayah Pasifik dan Hindia. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting yang berada di dalam KKLD. Secara umum, konservasi terumbu karang seringkali mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Kendala yang dihadapi umum dalam pengelolaan terumbu karang adalah bahwa degradasi tidak hanya disebabkan oleh peristiwa alam, tetapi juga karena faktor manusia antropogenik. Beberapa kegiatan yang masih bisa ditemukan di lokasi KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya terkait aktivitas antropogenik adalah: 1 penangkapan ikan di wilayah KKLD, bahkan tidak sedikit masih bersifat merusak seperti penggunaan bom, 2 tempat peristirahatan kapal-kapal nelayan, 3 pengambilan karang hias oleh nelayan luar Indramayu, 4 pencemaran minyak. Sekalipun sebuah kawasan sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, pelanggaran terhadap aturan yang ada masih saja terjadi, hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Idealnya, sebuah kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut harus mampu mengatur prilaku masyarakatnya, karena pada intinya, pembentukan kawasan menjadi sebuah kawasan konservasi laut adalah dalam rangka mengatur prilaku manusianya. Keberhasilan sebuah kawasan konservasi laut dalam menjaga kelestarian ekosistemnya memerlukan respon mayarakat yang benar terhadap aturan yang berlaku Bell et al. 2006. Respon masyarakat terhadap aturan yang ada sangat dipengaruhi oleh kinerja dari institusi yang mengeluarkan aturan tersebut. Hal ini berarti sebuah kawasan tidak cukup hanya sekedar ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, tetapi harus didukung oleh suatu upaya pengelolaan yang efektif dari pihak yang bertanggung jawab sebagai pengelola kawasan konservasi laut tersebut Martinez et al. 2009. Secara global, sudah banyak kawasan yang ditetapkan sebagai sebuah kawasan konservasi laut, tapi sangat disayangkan kebanyakan masih sekedar “aturan dalam kertas” dengan pengelolaan yang kurang efektif Hodgson 1999. Data terkini di wilayah Asia Tenggara, dari 332 kawasan konservasi laut menunjukkan 14 dikelola dengan efektif, 48 kurang efektif dan 38 tidak efektif Pomeroy et al. 2004. Sebanyak 12 terumbu karangnya berada dalam tekanan Mora et al. 2006, in Christie dan White 2007 dan proses pengelolaannya tidak berjalan baik Christie dan White 2007. Sebuah kawasan konservasi laut yang dikelola dengan baik merupakan “perhiasan” yang tidak banyak ditemukan Sale 2008. Sebuah kawasan konservasi laut akan ditantang kemampuannya dalam mencapai tujuan sekalipun dengan permasalahan seperti kurangnya jumlah staf pengelola, rendahnya dana, logistik dan dukungan teknis, kurangnya informasi keilmuan, lemahnya kelembagaan, lemahnya pengambilan keputusan, dan lemahnya dukungan politik Pomeroy et al. 2004. Masalah lain yang dihadapi dalam pengelolaan sebuah kawasan konservasi laut adalah kurangnya koordinasi pada setiap level yang berbeda Martinez et al. 2009. Pengelolaan kawasan konservasi laut adalah pengelolaan yang kolektif. Keberhasilannya tergantung kepada implementasi kerjasama antar setiap stakeholder seperti organisasi massa, kelompok swasta, kelompok lingkungan hidup, institusi pemerintah, akademisi, dan masyarakat Davos 1999. Banyak kajian yang memperlihatkan bahwa input peran stakeholder sangat mempengaruhi terhadap output keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi laut Himes 2007. Keterlibatan stakeholder adalah kunci sukses keberhasilan sebuah kawasan konservasi laut Gleason et al. 2009. Selanjutnya Gleason et al. 2009 menyatakan bahwa dalam mengelola kawasan konservasi laut perlu adanya keterpaduan antara sains, stakeholder dan kebijakan pengelolaan. Dalam rangka merancang sebuah rekomendasi kebijakan pengelolaan terumbu karang, sangat penting terlebih dahulu mendapatkan gambaran kondisi terumbu karang yang ada, bagaimana tekanannya dan bagaimana pengelolaannya Martinez et al. 2009. Penetapan kawasan menjadi kawasan konservasi laut adalah upaya yang tepat dalam konservasi terumbu karang, tetapi disitu ada resiko kegagalan bilamana kawasan tidak dikelola dengan benar. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis melakukan kajian tentang evaluasi pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya pasca ditetapkannya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a Mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya; b Mengkaji peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang; c Melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang dan memberikan rekomendasi kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a Memberikan kontribusi yang baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengelolaan terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan; b Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam pengelolaan terumbu karang; c Menjadi bahan informasi dan acuan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah; d Menambah khasanah akademik bagi studi lebih lanjut tentang pengelolaan terumbu karang.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya Pulau Gosong dan Pulau Candikian memiliki peran yang sangat penting dalam upaya perlindungan ekosistem yang terdapat didalamnya. Salah satu ekosistem penting adalah ekosistem terumbu karang. Menurut Supriharyono 2007 penetapan kawasan kawasan konservasi merupakan salah satu bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang. Sistem pengelolaan terumbu karang dan kawasan konservasi laut telah banyak dibentuk. Sayangnya, hanya sekitar 14 dari 332 kawasan konservasi laut dikelola dengan efektif Pomeroy et al. 2004. Hal ini dikarenakan hanya sedikit pengelola kawasan yang terlatih dengan baik dan seringkali sedikitnya fasilitas dalam penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak. Diantara sekian banyak permasalahan, salah satunya adalah lemahnya koordinasi dan komunikasi antar stakeholder yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan kawasan Kunzmann 2002, in Wolff 2009. Penangkapan ikan secara ilegal bahkan masih tercatat sekalipun di dalam wilayah kawasan konservasi laut yang memiliki pengelolaan yang baik seperti Great Barrier Reef Marine Park GBRMP Gribble dan Robertson 1998, in Hodgson 1999. Kelestarian terumbu karang sepenuhnya ditentukan oleh kepedulian pemerintah bersama-sama dengan masyarakat setempat untuk mengelolanya dengan tetap menjamin keberlanjutannya. Oleh karena itu, kesadaran dan partisipasi aktif dalam setiap program, pengelolaan yang seimbang antara pemanfaatan dan konservasi menjadi sangat penting. Peranan stakeholder yang terkait menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengelolaan terumbu karang di dalam sebuah KKLD. Stakeholder yang terkait terdiri dari berbagai unsur yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pelaku bisnis, akademisi, dan lainnya. Setiap stakeholder memiliki kepentingan masing-masing terhadap keberadaan terumbu karang dan keberadaan KKLD. Sehingga dalam pelaksanaannya, perlu adanya aturan dan kebijakan dalam pengelolaan terumbu karang supaya setiap kepentingan dapat terintegrasi dengan baik. Pada kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, salah satu pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang adalah mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan