Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat “Kemiskinan” dan Kondisi alam

setiap kali melakukan transaksi jual hasil tangkapan. Harga jual ditentukan oleh agen secara sepihak. Harga yang diberlakukan tidak berbeda antara agen satu dengan agen lainnya, namun tiga perempat dari harga apabila langsung menjualnya ke kota. Walaupun demikian agen pengumpul ini berperan besar dalam sistem perekonomian di desa, karena tidak terdapat lembaga lainnya seperti Koperasi Unit Desa KUD maupun Tempat pelelangan Ikan TPI. Terdapat sebanyak 5 agen di Desa Rampa. Nelayan yang sudah terikat pada salah satu agen tidak dapat menjual hasil tangkapannya pada agen lain, kecuali nelayan sudah melunasi hutangnya ataupun agen baru bersedia melunasi hutang nelayan pada agen lama terikat sebelumnya. Beberapa nelayan di Desa Sekapung tetap melakukan kegiatan penangkapan di sekitar “perumahan bule” ketika musim paceklik atau musim angin barat hingga pukul 09.00 WIT atau 10.00 WIT. Hanya saja sebagian besar nelayan di Desa Sekapung lebih banyak yang memilih tidak turun ke laut ketika musim paceklik atau musim angin barat karena besarnya gelombang, namun mereka juga tidak banyak melakukan aktifitas pekerjaan lain selain turun kelaut dan hanya bersantai serta mengobrol dengan tetangga lain sedangkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka mengandalkan berhutang pada warung dan melunasinya ketika mendapat pemasukan dari hasil penjualan tangkapan. Berdasarkan uraian diatas, bahwa semakin nelayan berada dalam kondisi “miskin” maka semakin banyak strategi adapatasi yang dilakukan untuk menutupi kebutuhan hidup, sedangkan nelayan yang tidak termasuk dalam kondisi “miskin” tetap melakukan strategi hanya saja tujuannya bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan namun mengakumulasi modal yang mereka miliki.

5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat “Kemiskinan” dan

Strategi Adaptasi Nelayan Di Pulau Sebuku Kusnadi 2002 dalam Karunia 2009 menyatakan bahwa kemiskinan dan tekanan sosial maupun ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat “kemiskinan” baik di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung, diantaranya :

a. Kondisi alam

natural Faktor kondisi alam diantaranya wilayah tangkap dan jenis tangkapan. Hal ini karena berkaitan dengan potensi sumberdaya. Secara struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa, Desa Rampa dan Desa Sekapung merupakan desa nelayan. Hal ini karena secara geografis letak kedua desa tersebut langsung berdekatan dengan laut bahkan dikelilingi oleh laut, sehingga mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan yang memanfaatkan dan sekaligus bergantung dari sumberdaya laut dan perikanan. Letak Desa Rampa di ujung sebelah utara Pulau Sebuku, sedangkan letak Desa Sekapung di ujung sebelah selatan dari Pulau sebuku. Kedua desa terletak pada pulau yang sama, namun pendapatan maksimal yang dapat diperoleh nelayan sangat berbeda. Rata-rata pendapatan nelayan di Desa Rampa dapat mencapai Rp6000.000,00 bulan pada saat musim, sedangkan pendapatan nelayan di Desa Sekapung mencapai Rp3000.000 bulan pada musim dan jenis tangkapan utama yang sama, yaitu udang windu. Perbedaan pendapatan yang diperoleh antara kedua desa tersebut karena wilayah tangkap nelayan Desa Sekapung tidak seluas wilayah tangkap nelayan di Desa Rampa. Wilayah tangkap ikan tenggiri nelayan di Desa Sekapung di sepanjang Selat Makassar, sedangkan lokasi utama penangkapan udang windu terpusat disekitar “perumahan bule”. Pada awalnya nelayan di Desa Sekapung menangkap udang windu di “perumahan bule” dan Pulau Haur. Pulau Haur merupakan salah satu lokasi penangkapan udang windu yang strategis bagi nelayan di Desa Sekapung sebelum perusahaan mengadakan operasi bongkar muat batubara di laut. Adanya operasi bongkar muat batubara menyebabkan aktifitas nelayan mencari tangkapan di Pulau Haur menjadi berkurang. Letak Pulau Haur dekat dengan lokasi bongkar muat material batubara di laut oleh perusahaan tambang di Pulau Sebuku, material yang jatuh ke laut berdampak pada perpindahan biota laut sehingga mengurangi jumlah biota yang ada di sekitar. Hal ini berpegaruh terhadap jumlah tangkapan nelayan yang kemudian berdampak pula pada pendapatan yang dapat diperoleh nelayan karena berkurangnya ketersediaan udang di lokasi. Nelayan yang melabuhkan jaring di sekitar lokasi bongkar muat beresiko merusak jaring karena tersangkut batubara yang terjatuh ke laut, sedangkan nelayan mengandalkan alat tangkap untuk menjaring tangkapan. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak DN di Desa Sekapung pada tanggal 29 Maret 2011. “Mulai tahun 2005 pendapatan nelayan disini bakurang, pang sampai 85. Kalo kada percaya takunakan haja lawan nelayan- nelayan disini. Limbah sama material barubara nang gugur waktu bongkar muat di laut jelas, jadi undang, cumi lawan iwak susah dicari. Nelayan wayah ini kasian, Mbak. Mau minta ganti rugi lawan perusahaan hanyar janji-janji haja pang, buktinya sampai wayah ini gin kadada jua.” “Mulai tahun 2005 pendapatan nelayan disini berkurang sampai 85. Jika tidak percaya tanya saja dengan nelayan-nelayan disini. Limbah dan material barubara yang jatuh sewaktu bongkar muat di laut jelas merugikan karena udang, cumi dan ikan menjadi susah dicari. Keadaan nelayan kini mengkhawatirkan. Mau minta ganti rugi pada perusahaan hanya janji-janji saja, buktinya sampai sekarang tidak ada.” Keberadaan perusahaan tambang membawa dampak baik bagi masyarakat maupun bagi lingkungan, baik positif maupun negatif. Adapun gambaran lokasi tangkap nelayan di Desa Sekapung disajikan dalam Gambar 4. Gambar 4. Sketsa Lokasi Tangkap Nelayan Desa Sekapung Wilayah tangkap nelayan di Desa Rampa lebih luas daripada wilayah tangkap nelayan di Desa Sekapung. Lokasi tangkap udang windu nelayan di Desa Rampa terdiri dari beberapa, yaitu mulai dari Nusantara, Gusung Bangau dan daerah Karang hingga sepanjang Selat Makassar termasuk sekitar “perumahan bule”. Hanya saja yang menjadi lokasi utama tangkap udang windu adalah Gusung Bangau dan daerah Karang. Nelayan di Desa Rampa juga menangkap cumi-cumi, ikan selangat dan ikan habu-habu, mereka menangkap ikan selangat di sepanjang Selat Sebuku hingga Pulau Manti, sedangkan lokasi tangkap cumi-cumi sekaligus udang bubuk mulai dari Nusantara, daerah Karang, Tanjung Parapat, Kumpyor hingga Tanjung Gunung. Berdasarkan lokasi tangkap nelayan, posisi desa mempengaruhi jarak yang harus ditempuh oleh nelayan menuju lokasi tangkap. Desa Rampa tertetak di ujung Utara Pulau Sebuku, banyak lokasi tangkap yang tersebar di bagian utara Pulau Sebuku, sehingga berpengaruh terhadap wilayah tangkap nelayan di Desa Rampa yang lebih strategis karena mencakup Selat Makassar dan juga Selat Sebuku, sedangkan letak Desa Sekapung yang terletak di ujung selatan Pulau Sebuku dan wilayah tangkap nelayan lebih terbatas karena jarak yang ditempuh menuju bagian utara cukup jauh dan membutuhkan lebih banyak minyak bahan bakar dibandingkan dengan nelayan di Desa Rampa. Hal ini berpengaruh terhadap jumlah tangkapan yang dapat diperoleh. Nelayan di Desa Rampa dapat tetap melakukan aktifitasnya ke laut walaupun sedang terjadi musim angin tenggara atau musim paceklik, mereka menangkap hasil laut dari Selat Sebuku karena terlindung oleh Pulau Sebuku sehingga waktu istirahat nelayan ketika paceklik tidak berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Pada saat musim tangkap atau pancaroba, wilayah tangkap nelayan di Desa Rampa dapat berpindah ke Selat Makassar. Sebagian besar dari nelayan di Desa Rampa menggunakan jenis alat tangkap lampara dasar mini, sehingga kesempatan mendapat hasil tangkapan dalam jumlah banyak sangat besar. Berbeda dengan kondisi nelayan di Desa Sekapung yaitu wilayah tangkap hanya di Selat Makassar dan tidak terdapat pulau lain yang melindungi pada saat musim angin tenggara dari bulan Juni hingga bulan Desember sehingga nelayan istirahat dari aktifitas melaut dan mengandalkan pekerjaan lain di luar turun ke laut. Hanya saja beberapa nelayan tetap pergi kelaut pada saat musim angin tenggara, namun hanya setengah hari pukul 05.00 WIT hingga pukul 10.00 WIT. Baik di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung tidak ada kebijakan yang ditujukan khusus untuk kehidupan nelayan, kebijakan yang ada hanya ditujukan bagi kebutuhan masyarakat desa secara umum seperti infrastruktur desa, seperti sekolah, jalan, saluran air bersih maupun sarana dan prasarana umum lainnya. Tidak terdapat Koperasi Unit Desa KUD dan Tempat Pelelangan Ikan TPI untuk membantu positioning nelayan dalam menentukan harga jual hasil tangkap, sehingga hasil tangkap nelayan langsung dijual pada agen pengumpul pembeli yang ada di masing-masing desa tersebut dengan harga yang telah ditentukan. Hal ini berdampak pada jumlah pendapatan yang diperoleh oleh nelayan dari hasil penjualan tangkapan. Jenis tangkapan nelayan berpengaruh terhadap pendapatan yang dapat mereka peroleh. Pendapatan yang diperoleh berpengaruh terhadap kondisi ekonomi nelayan. Hal ini karena udang windu adalah tangkapan utama nelayan Desa Sekapung dan Desa Rampa selain itu harga jual yang ditawarkan oleh agen di Desa Rampa relatif lebih tinggi daripada harga jual yang ditawarkan oleh agen di Desa Sekapung. Lokasi tangkap nelayan Desa Rampa disajikan dalam Gambar 5. Gambar 5. Sketsa Lokasi Tangkap Nelayan Desa Rampa

b. Faktor

effort nelayan kultural Perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan di Desa Sekapung dan nelayan di Desa Rampa terlihat pula dari jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap cumi-cumi. Jika di Desa Sekapung lebih mengandalkan bagan tancap untuk menjaring cumi-cumi dan ikan teri bagi yang memiliki bagan, namun di Desa Rampa nelayan menangkap cumi-cumi ketika hasil tangkapan udang windu mulai menurun. Jenis alat tangkap mempengaruhi hasil tangkap yang dapat diperoleh, jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Desa Sekapung adalah rengge gondrong tramel nett untuk menangkap udang windu, bagan tancap untuk menangkap cumi-cumi dan ikan teri serta pancing tonda untuk menangkap ikan tenggiri, namun tidak ada yang menggunakan lampara dasar mini dan gill nett jaring ikan, sehingga jumlah hasil tangkap yang dapat diperoleh tidak sebanyak nelayan yang mengunakan lampara dasar mini dan gill nett jaring ikan untuk menangkap cumi-cumi dan ikan pada nelayan di Desa Rampa. Nelayan di Desa Rampa menggunakan lampara dasar mini untuk menangkap cumi-cumi sekaligus udang bubuk udang berukuran kecil. Hanya saja alat tangkap yang digunakan untuk menangkap udang windu di Desa Rampa sama dengan Desa Sekapung, yaitu rengge tramel nett atau disebut gondrong, sehingga pendapatan yang diperoleh menjadi berbeda antara nelayan di Desa Sekapung dengan nelayan di Desa Rampa. Hal ini terkait dengan kesepakan pada nelayan di Desa Sekapung yang tidak memperbolehkan nelayan menggunakan jenis alat tangkap lampara dasar mini. Lokasi tangkap cumi-cumi dan udang bubuk pada nelayan di Desa Rampa sebagaimana disajikan dalam Gambar 6. Gambar 6. Sketsa Lokasi Tangkap Cumi-cumi dan Udang Bubuk Nelayan Desa Rampa Armada tangkap nelayan di Desa Rampa sama seperti di Desa Sekapung, yaitu jaring atau rengge gondrong tramel nett dengan armada tangkap Kapal Motor KM berkekuatan 20 – 30 PK. Beberapa nelayan di Desa Rampa masih menggunakan perahu dayung sampan untuk melakukan aktifitas melaut, mereka yang masih menggunakan perahu sampan dikategorikan sebagai nelayan yang termasuk dalam golongan miskin karena jangkauan lokasi tangkap lebih terbatas daripada nelayan yang menggunakan kapal motor KM. Selain itu, alat tangkap yang mereka gunakan hanya rengge gondrong tramel nett dengan ukuran yang lebih kecil yaitu hanya 5 hingga 7 payah. Bahkan beberapa memiliki alat tangkap yang kualitasnya sudah tidak baik jika digunakan untuk menangkap udang karena sudah mulai rusak sehingga udang tidak terjaring. Harga kapal motor yang sudah lengkap adalah sekitar Rp 10.000.000,00 dan nelayan yang menggunakan perahu dayung sampan adalah nelayan yang cenderung sudah tua maupun nelayan yang tidak banyak memiliki tanggungan keluarga, mereka tidak mampu membeli kapal motor selain karena harganya yang mahal juga karena mereka sudah tidak kuat untuk menghidupkan mesin dan turun kelaut hanya sekedar hobi maupun untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja. Perbedaan pendapatan antara nelayan satu dengan lainnya di Desa Rampa adalah rajin tidaknya seseorang pergi ke laut mencari hasil tangkapan, sehingga faktor malas dan pasrah juga boros pada nelayan merupakan salah satu penyebab mereka berada dalam kondisi miskin secara kultural yang relatif ukurannya di desa tersebut. Hal ini karena nelayan yang menggunakan perahu dayung sampan juga dapat memiliki pendapatan yang besar terutama ketika sedang musim jika mereka rajin turun ke laut. Tidak jauh berbeda, faktor rajin tidaknya nelayan di Desa Sekapung juga mempengaruhi pendapatan nelayan yang kemudian menentukan apakah seseorang berada dalam kondisi miskin secara kultural yang relatif di Desa tersebut. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak ZA di Desa Rampa pada tanggal 28 Maret 2011. “Nelayan disini enak sebenarnya, Mbak. Bisa ke laut terus, hasil juga sebenarnya ada terus walaupun musim sakit tapi bisa dapat Rp20.000,00-Rp50.000,00 dalam satu kali turun, asal mau turun aja.