Jenis armada tangkap yang digunakan Merawat perahu, mesin kapal dan membenahi jaring Mencari kerang merah, memancing ikan dan membentang jaring

“Wah kalo udah masuk bulan 6 Juni pang nelayan disini mulai jarang turun ke laut, Mbak. Apalagi bulan 7 Juli dan 8 Agustus, umaa. Soalnya disini pernah gin ada kapal nelayan yang tenggelam kebawa ombak waktu melaut sampe 2 hari di laut baru ketemu, Mbak. Serem juga, daripada nyawa yang jadi korban mending diem aja di rumah ga usah ke laut .”

h. Jenis armada tangkap yang digunakan

Beberapa nelayan yang masih menggunakan dayung sampan di Desa Rampa hanya menggunakan rengge gondrong tramel nett dengan 5 hingga 7 payah untuk menangkap udang windu, sedangkan beberapa nelayan perahu dayung sampan lainnya memiliki berbagai jenis alat tangkap termasuk jaring untuk mencari tangkapan di laut, hanya saja wilayah tangkap nelayan dayung sampan tidak sejauh nelayan yang sudah menggunakan Kapal Motor KM dengan mesin motor berkekuatan 20 PK hingga 30 PK. Berbeda dengan nelayan di Desa Rampa, nelayan di Desa Sekapung hanya menangkap udang windu dan ikan tenggiri. Armada yang mereka gunakan jenis Kapal Motor KM dengan kekuatan antara 20 PK hingga 30 PK, namun jenis alat tangkap yang mereka gunakan untuk menangkap udang windu yang berukuran besar dan pancing ikan atau biasa disebut pancing tonda untuk menangkap ikan tenggiri, sehingga pendapatan yang dapat diperoleh oleh nelayan di Desa Sekapung tidak sama dengan pendapatan yang dapat diperoleh oleh nelayan di Desa Rampa.

i. Merawat perahu, mesin kapal dan membenahi jaring

Pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan ketika sedang tidak melakukan aktifitas melaut di kedua desa adalah merawat perahu dan mesin kapal serta membenahi jaring. Hal ini dilakukan agar perahu tidak cepat rusak dan jaring dapat digunakan kembali pada penangkapan selanjutnya. Jaring hanya dapat digunakan selama satu musim saja, sehingga untuk musim berikutnya nelayan harus membeli jaring yang baru karena sudah tidak dapat digunakan. Jaring yang dibutuhkan dapat mencapai 5 hingga 17 payah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing nelayan, dengan harga satu payah mencapai Rp125.000,00-Rp250.000,00.

j. Mencari kerang merah, memancing ikan dan membentang jaring

merempa Pada saat paceklik, nelayan di Desa Rampa hanya 2 sampai 7 hari saja istirahat di rumah ketika terjadi gelombang besar, beberapa pekerjaan yang dilakukan ketika tidak ke laut yaitu mencari kerang merah atau kerang darah dengan harga jual bervariasi tergantung ukuran kerang, memancing ikan di muara sungai, merempa 8 , mencari dan menjual kayu bakar dari hutan bahkan beberapa nelayan membuat sendiri perahu sampan, baik untuk mereka gunakan sendiri maupun untuk mereka jual dan menambah penghasilan keluarga. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak IH pada tanggal 17 maret 2011. “Saya membuat perahu untuk dipakai sendiri saja, untuk pergi ke laut, sebelumnya saya sudah menjual 12 perahu yang sama perahu sampan karena kalo beli sendiri mahal, bisa sampai Rp400.000,00-Rp500.000,00, kalo bikin sendiri kan tinggal beli kayunya saja paling Rp200.000,00-Rp250.000,00 juga cukup, alatnya saya pinjam punya sodara saya.” Jangka waktu istirahat tidak melaut para nelayan di Desa Sekapung lebih panjang dibandingkan dengan nelayan di Desa Rampa, bahkan hingga berbulan- bulan terutama ketika musim paceklik atau musin angin tenggara. Pekerjaan yang dilakukan nelayan hanya santai di rumah bersama keluarga hingga gelombang di laut mulai tenang, beberapa nelayan melakukan aktifitas merempa di sisi-sisi pantai ketika air laut surut agar saat terjadi air pasang, ikan yang terbawa ke sisi pantai tersangkut pada jala jaring yang di pasang tersebut. Selain merempa, beberapa nelayan melakukan aktifitas memancing ikan di pinggir-pinggir pantai, ikan maupun biota laut yang didapat biasanya hanya mencukupi untuk dikonsumsi keluarga saja. Sebelum adanya perusahaan tambang, hampir seluruh nelayan di Desa Sekapung masing-masing memiliki bagan tancap di laut untuk menjaring cumi dan ikan teri. Kayu yang digunakan untuk membuat bagan tancap dapat dengan mudah mereka peroleh dari hutan di Pulau Sebuku, namun selama 5 tahun terakhir terdapat larangan bagi masyarakat untuk menebang pohon di hutan, mereka yang 8 Merempa adalah kegiatan membentangkan jaring di sepanjang sisi-sisi pantai ketika air laut surut dengan tujuan menjaring ikan, karena ketika air laut pasang maka ikan terbawa arus ke sisi pantai dan terjaring di dalam jaring yang dibentang nelayan. melakukan penebangan pohon di hutan Pulau Sebuku akan dikenai sanksi yang cukup tegas. Hal ini menyebabkan jumlah bagan tancap yang ada mulai berkurang. Selain karena adanya larangan menebang pohon juga karena modal yang dibutuhkan untuk membuat bagan tancap tidak sedikit, sedangkan pendapatan nelayan di Desa Sekapung sudah semakin menurun terutama ketika masuknya perusahaan tambang batubara yang berlokasi paling dekat dengan Desa Sekapung. Bagan tancap yang tersisa dimiliki oleh nelayan-nelayan yang termasuk kategori kaya dan mayoritas dari bagan tancap tersebut adalah milik masyarakat dari desa lain diluar masyarakat Desa Sekapung. Bagan tancap akan rusak bahkan rubuh ketika terjadi ombak besar. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak DH pada tanggal 17 Maret 2011. “Dulu disini banyak bagan sampai tidak terhitung di laut sana. Semua nelayan di sini punya bagan tancap. Cuma sekarang aja mulai sakit. Masyarakat ga boleh lagi nebang pohon sembarangan di hutan, kalo ketahuan bisa-bisa kena sangsi. Ketat sekarang aturannya. Sudah kayu nya sulit didapat, biaya membuatnya juga mahal, makin “sakit” saja. Nah kelihatan sekarang sisa bagan tancap yang ada di laut itu tidak sebanyak dahulu. Belum lagi kalo ombak sedang kencang, bisa-bisa sampe rubuh itu bagan nelayan. Sekarang sisa bagan ya sudah bukan bagan milik nelayan lagi, yang punya duit aja sama punya perusahaan.” Strategi berhutang pada agen pengumpul, toko maupun warung merupakan kegiatan yang termasuk dalam kategori non-produktif. Strategi yang dilakukan oleh nelayan di Desa Rampa dan Desa Sekapung untuk memenuhi keperluan operasional melaut maupun kebutuhan sehari-hari pada musim paceklik dapat dengan cara berhutang, baik hutang pada agen pengumpul maupun toko atau warung. Sebagian besar nelayan di Desa Rampa masih memiliki hutang. Mereka berhutang terutama ketika sedang tidak mendapat hasil tangkapan ataupun hasil yang didapat dalam satu kali trip hanya sedikit, maka tidak ada penghasilan bersih yang dapat dibawa pulang ke rumah karena habis digunakan untuk menutupi biaya operasional dan biaya kebutuhan makan dan rokok selama di laut. Kekurangan modal untuk membeli alat tangkap nelayan akan dipinjamkan dari Agen pengumpul, tetapi nelayan menjadi terikat pada agen pengumpul untuk menjual hasil tangkapnya. Setiap hasil penjualan dipotong dengan cicilan hutang setiap kali melakukan transaksi jual hasil tangkapan. Harga jual ditentukan oleh agen secara sepihak. Harga yang diberlakukan tidak berbeda antara agen satu dengan agen lainnya, namun tiga perempat dari harga apabila langsung menjualnya ke kota. Walaupun demikian agen pengumpul ini berperan besar dalam sistem perekonomian di desa, karena tidak terdapat lembaga lainnya seperti Koperasi Unit Desa KUD maupun Tempat pelelangan Ikan TPI. Terdapat sebanyak 5 agen di Desa Rampa. Nelayan yang sudah terikat pada salah satu agen tidak dapat menjual hasil tangkapannya pada agen lain, kecuali nelayan sudah melunasi hutangnya ataupun agen baru bersedia melunasi hutang nelayan pada agen lama terikat sebelumnya. Beberapa nelayan di Desa Sekapung tetap melakukan kegiatan penangkapan di sekitar “perumahan bule” ketika musim paceklik atau musim angin barat hingga pukul 09.00 WIT atau 10.00 WIT. Hanya saja sebagian besar nelayan di Desa Sekapung lebih banyak yang memilih tidak turun ke laut ketika musim paceklik atau musim angin barat karena besarnya gelombang, namun mereka juga tidak banyak melakukan aktifitas pekerjaan lain selain turun kelaut dan hanya bersantai serta mengobrol dengan tetangga lain sedangkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka mengandalkan berhutang pada warung dan melunasinya ketika mendapat pemasukan dari hasil penjualan tangkapan. Berdasarkan uraian diatas, bahwa semakin nelayan berada dalam kondisi “miskin” maka semakin banyak strategi adapatasi yang dilakukan untuk menutupi kebutuhan hidup, sedangkan nelayan yang tidak termasuk dalam kondisi “miskin” tetap melakukan strategi hanya saja tujuannya bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan namun mengakumulasi modal yang mereka miliki.

5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat “Kemiskinan” dan