Tingkat pendidikan HASIL DAN PEMBAHASAN

untuk skor 0 hingga 20 dan positif untuk skor 21 hingga 40. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner di lapang pada sebanyak 60 responden di dua desa nelayan yaitu Desa Rampa dan Desa Sekapung didapatkan hasil yang disajikan dalam tabel 7. Tabel 5. Persentase Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Aspek isu Desa Total Desa Rampa Desa Sekapung Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Kebijakan Otonomi Daerah 8,3 41,7 15 35 23,3 76,7 Masuknya Perusahaan Tambang 8,3 41,7 18,3 31,7 26,6 73,4 Kondisi Iklim 31,7 18,3 31,7 18,3 63,4 36,6 Berdasarkan tabel 6, sebanyak 76,7 nelayan memiliki sikap negatif terhadap kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 41,7 nelayan berasal dari Desa Rampa dan 35 nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah. Bahkan nelayan merasa pengelolaan sumberdaya sebelum otonomi daerah justru lebih baik daripada setelah otonomi daerah. Hasil tangkapan nelayan sejak 10 tahun yang lalu bersamaan dengan otonomi daerah tidak lebih banyak daripada sebelumnya bahkan wilayah tangkap setelah otonomi daerah semakin jauh daripada sebelumnya. Hal ini terkait dengan berkurangnya hasil tangkap yang dirasakan terutama semenjak masuknya perusahaan tambang karena limbah, sehingga nelayan harus mencari hasil tangkapan di lokasi yang lebih jauh daripada sebelumnya. Selain itu, belum ada program maupun bantuan yang ditujukan khusus bagi kehidupan nelayan di Pulau Sebuku. Nelayan merasa tidak dibantu dan diperhatikan oleh pemerintah daerah karena kebutuhan dan keluhan yang mereka adukan tidak ditanggapi terutama berkaitan dengan kerugian yang dirasakan nelayan karena kehadiran perusahaan tambang yang melakukan operasinya di Pulau Sebuku. Selain itu, peraturan mengenai batas-batas wilayah tangkap dan jalur penangkapan yang diberlakukan sejak sebelum otonomi daerah, sanksinya tidak ditegakkan, sehingga banyak nelayan yang melanggar dan tidak ada sanksi yang membuat mereka jera. Sebanyak 23,3 nelayan memiliki sikap positif terhadap kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 8,3 nelayan berasal dari Desa Rampa dan 15 nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini terkait dengan adanya salah satu anggota keluarga maupun sanak saudara yang bekerja sebagai perangkat desa dan merasa bahwa kebijakan - kebijakan yang dibuat sudah dirasakan manfaatnya oleh semua lapisan masyarakat, yaitu program bantuan pemerintah untuk masyarakat secara umum di Pulau Sebuku seperti pembangunan fasilitas umum dan infrastruktur desa walaupun belum ada program yang langsung ditujukan bagi kehidupan nelayan. Sebanyak 73,4 nelayan memiliki sikap negatif terhadap masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 41,7 nelayan berasal dari Desa Rampa dan 31,7 nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku dirasa merugikan nelayan, terlihat dari ketidaksetujuan nelayan jika perusahaan tambang harus tetap beroperasi di Pulau Sebuku. Terkait dengan limbah perusahaan yang mengalir terbawa air hujan ke muara sungai dan diteruskan ke laut. Limbah yang mengalir ke laut lepas mengganggu biota laut. Hal ini berdampak pada jumlah tangkapan yang dapat diperoleh nelayan menjadi berkurang. Selain jumlah tangkapan yang berkurang, wilayah tangkap nelayan juga semakin jauh. Semakin jauh lokasi penangkapan maka akan semakin banyak minyak bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjalankan kapal, sedangkan masuknya perusahaan tambang tidak membantu memenuhi kebutuhan hidup nelayan. Selain limbah yang teralirkan menuju ke laut, perusahaan juga melakukan operasi bongkar muat material hasil tambang di laut. Material yang terjatuh ke laut saat bongkar muat membuat biota laut berpindah ke lokasi lain, selain itu tak jarang pula nelayan yang melabuhkan jaring untuk mencari tangkapan di sekitar lokasi bongkar muat material tambang