Crutchfielf 1972 dalam Suryadi 1984, mengemukakan bahwa pengelolaan perikanan meliputi peraturan-peraturan mengenai kematian karena
kegiatan perikanan,
meningkatkan produksi
alami ikan,
mendorong pengembangan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk mengubah
sediaan yang bersifat laten menjadi sumberdaya yang bernilai ekonomi. Adapun Satria dkk 2002, menyebutkan bahwa desentralisasi pengelolaan laut merupakan
wujud demokratisasi karena semakin terbuka kesempatan nelayan lokal berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya.
Hutagalung dkk 2007 menjelaskan di dalam buku Pembangunan Perdesaan dan Daerah Pesisir Pada Era Milenium III, berdasarkan Pasal 18 ditetapkan bahwa
daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan
sumberdaya alam di bawah dasar danatau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di
wilayah laut sebagaimana dimaksud di atas meliputi : 1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
2. Pengaturan administratif; 3. Pengaturan tata ruang;
4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;
5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
2.1.3 Kemiskinan
Kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia,
khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan pakaian, perumahan dan jasa Fauzi, 1992. Mangkuprawira 1993 menjelaskan bahwa
kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidakberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan,
pakaian, kesehatan dan papan, sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan,
kebebasan hak asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup, rasa syukur dan sebagainya.
Nelayan adalah komunitas yang identik dengan kemiskinan. Perubahan sistem pemerintahan menjadi desentralisasi yang ditandai dengan pemberian
kewenangan pada pemerintah daerah diharapkan mampu mengatasi masalah daerah termasuk kemiskinan, namun sebagaimana Matdoan 2009 menjelaskan
mengenai dampak dari kebijakan maupun program yang telah dijalankan Pemerintah di Maluku Tenggara, belum berdampak nyata terhadap kehidupan
nelayan dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini sejalan dengan penelitian Kinseng dkk 2010 bahwa kebijakan setelah desentralisasi atau otonomi daerah tidak
banyak berpengaruh terhadap kehidupan nelayan. Hermanto 1995 dalam Fauziah dan Widodo 2008, menyebutkan beberapa ciri kemiskinan pada
masyarakat nelayan, diantaranya adalah pendapatan yang berfluktuasi sepanjang tahun, pengeluaran yang cenderung pada kegiatan konsumtif, tingkat pendidikan
keluarga yang rendah, kelembagaan yang belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga belum dapat dimanfaatkan
dengan baik dan akses terhadap permodalan yang rendah. Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan yang juga
multidimensi. Ellis 1983 dalam Fauziah dan Widodo 2008 membedakan kemiskinan dalam tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial dan politik. Kemiskinan
ekonomi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi
dibedakan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan fisik minimum, sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan
masyarakat sekitar. Kemiskinan sosial merupakan kemiskinan sebagai akibat rendahnya kemampuan dalam membangun jaringan sosial serta struktur yang
tidak mampu mendukung usaha peningkatan produktivitas. Kemiskinan sosial disebabkan oleh adanya faktor sikap mental dan nilai budaya yang ada dalam
masyarakat sehingga sering disebut juga sebagai kemiskinan kultural. Kemiskinan
politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Nikijuluw 2001 menjelaskan bahwa kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu
kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh
faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan, yaitu struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan,
ketersediaan fasilitas pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik.
Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi
di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka. Rasdani 1993 dalam Karunia 2009 menyebutkan bahwa kemiskinan
struktural disebabkan oleh kurang modal, kurang pendidikan, tidak punya keahlian yang lebih produktif, tidak punya pendukung yang kuat dalam
masyarakat dan tidak punya semangat untuk memperbaiki nasibnya. Kemiskinan struktural juga ditandai oleh tidak punya kemampuan dari dalam untuk
mengembangkan diri, posisinya lemah dan pasrah sehingga tercipta kebudayaan kemiskinan culture of poverty.
Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada
pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan
pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan kemauan
secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-
variabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Variabel-variabel kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya,
kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan kultural ini sulit diatasi terutama karena pengaruh panutan
patron baik yang bersifat formal maupun informal, yang sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural.
Kemiskinan tidak serta merta sama pada setiap masyarakat yang miskin, namun terdapat tingkatan dari kemiskinan tersebut. Sebagaimana klasifikasi
tingkat kemiskinan menurut Sayogyo 1977, yaitu klasifikasi tingkat kemiskinan didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai
beras setempat, yaitu 1 miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg untuk daerah kota, 2
miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota, 3 paling miskin,
apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 beras untuk daerah kota.
Depsos 2005 dalam Muljono dkk 2010 juga menjelaskan indikator seseorang dikatakan miskin dapat direfleksikan sesuai tingkat kemiskinan
sesungguhnya di Masyarakat. Adapan ciri keluarga miskin diantaranya: 1. Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis sangat miskin yang dapat
diukur dari tingkat pengeluaran per-orang per-bulan berdasarkan standar BPS per wilayah provinsi dan kabupaten kota.
2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin seperti zakatberas untuk orang miskinsantunan sosial
3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per-tahun hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per-orang per-tahun
4. Tidak mampu mengobati pengobatan, jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit
5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya 6. Tidak memiliki harta assets yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual
untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin
7. Tinggal di rumah yang tidak layak huni 8. Sulit memperoleh air bersih.
Indikator kesejahteraan rakyat oleh Badan Pusat Statistik dilihat dari beberapa aspek, diantaranya kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan,
ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, dan sosial lainnya BPS, 2008. Aspek kependudukan dilihat dari jumlah dan laju
pertumbuhan penduduk, persebaran dan kepadatan penduduk, angka beban ketergantungan dan fertilitas. Aspek kesehatan dan gizi dilihat dari derajat dan
status kesehatan penduduk, pemberian ASI dan gizi balita dan pemanfaatan fasilitas tenaga kesehatan. Aspek Pendidikan dilihat dari Angka Melek Huruf
AHM dan tingkat pendidikan, tingkat partisipasi sekolah, putus sekolah dan rasio murid-guru dan murid-kelas. Aspek ketenagakerjaan dilihat dari Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja TPAK dan Tingkat Pengangguran Terbuka TPT, tingkat pendidikan, lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja dan
pekerja anak 10-14 tahun. Aspek taraf dan pola konsumsi dilihat dari perkembangan kemiskinan, taraf konsumsi energi dan protein, perkembangan
tingkat kesejahteraan, perkembangan distribusi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Aspek perumahan dan lingkungan dilihat dari kualitas tempat
tinggal. Aspek sosial lain nya dilihat dari perjalanan “wisata”, akses pada
informasi dan hiburan, akses pada teknologi komunikasi dan informasi dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga.
Nilai garis kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kkal per kapita per hari ditambah dengan
kebutuhan minimum non-makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi serta
kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran dalam rupiah untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan
dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan BPS, 20052006. Selain mengeluarkan indikator garis kemiskinan, BPS juga mengeluarkan
indikatorkriteria rumah tangga miskin sasaran BLT yang disebutkan dalam Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan Pelaksanaan UU SJSN. Terdapat 14
kriteria untuk menentukan rumah tangga miskin, yaitu: 1 Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m
2
per orang 2 Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah bambu kayu murahan
3 Jenis dinding tempat tinggal dari bambu rumbia kayu berkualitas rendah tembok tanpa diplester
4 Tidak memiliki fasilitas buang air besar bersama-sama dengan rumah tangga lain
5 Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik 6 Sumber air minum berasal dari sumur mata air tidak terlindung sungai
air hujan 7 Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar arang
minyak tanah 8 Hanya mengkonsumsi daging susu ayam satu kali dalam seminggu
9 Hanya membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun 10 Hanya sanggup makan sebanyak satu dua kali dalam sehari
11 Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas poliklinik 12 Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan
500 m
2
, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000,-perbulan
13 Pendidikan tertinggi kelapa keluarga: tidak sekolah tidak tamat SD hanya SD
14 Tidak memiliki tabungan barang yang mudah dijual dengan minimal Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit non kredit, emas, ternak, kapal
motor, atau barang modal lainnya. Berbagai definisi kemiskinan telah disebutkan oleh beberapa ahli
sebelumnya, maka definisi kemiskinan pada penelitian ini yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia, khususnya
menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan pakaian, perumahan dan jasa.
2.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan