Faktor HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 6. Sketsa Lokasi Tangkap Cumi-cumi dan Udang Bubuk Nelayan Desa Rampa Armada tangkap nelayan di Desa Rampa sama seperti di Desa Sekapung, yaitu jaring atau rengge gondrong tramel nett dengan armada tangkap Kapal Motor KM berkekuatan 20 – 30 PK. Beberapa nelayan di Desa Rampa masih menggunakan perahu dayung sampan untuk melakukan aktifitas melaut, mereka yang masih menggunakan perahu sampan dikategorikan sebagai nelayan yang termasuk dalam golongan miskin karena jangkauan lokasi tangkap lebih terbatas daripada nelayan yang menggunakan kapal motor KM. Selain itu, alat tangkap yang mereka gunakan hanya rengge gondrong tramel nett dengan ukuran yang lebih kecil yaitu hanya 5 hingga 7 payah. Bahkan beberapa memiliki alat tangkap yang kualitasnya sudah tidak baik jika digunakan untuk menangkap udang karena sudah mulai rusak sehingga udang tidak terjaring. Harga kapal motor yang sudah lengkap adalah sekitar Rp 10.000.000,00 dan nelayan yang menggunakan perahu dayung sampan adalah nelayan yang cenderung sudah tua maupun nelayan yang tidak banyak memiliki tanggungan keluarga, mereka tidak mampu membeli kapal motor selain karena harganya yang mahal juga karena mereka sudah tidak kuat untuk menghidupkan mesin dan turun kelaut hanya sekedar hobi maupun untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja. Perbedaan pendapatan antara nelayan satu dengan lainnya di Desa Rampa adalah rajin tidaknya seseorang pergi ke laut mencari hasil tangkapan, sehingga faktor malas dan pasrah juga boros pada nelayan merupakan salah satu penyebab mereka berada dalam kondisi miskin secara kultural yang relatif ukurannya di desa tersebut. Hal ini karena nelayan yang menggunakan perahu dayung sampan juga dapat memiliki pendapatan yang besar terutama ketika sedang musim jika mereka rajin turun ke laut. Tidak jauh berbeda, faktor rajin tidaknya nelayan di Desa Sekapung juga mempengaruhi pendapatan nelayan yang kemudian menentukan apakah seseorang berada dalam kondisi miskin secara kultural yang relatif di Desa tersebut. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak ZA di Desa Rampa pada tanggal 28 Maret 2011. “Nelayan disini enak sebenarnya, Mbak. Bisa ke laut terus, hasil juga sebenarnya ada terus walaupun musim sakit tapi bisa dapat Rp20.000,00-Rp50.000,00 dalam satu kali turun, asal mau turun aja. Mereka tinggal sesuaikan jaring yang digunakan. Cuma kan yang namanya orang ya, ada yang turun terus ada juga yang istirahat saja dirumahnya.” Kemampuan mengatur keuangan rumah tangga merupakan faktor lain yang menyebabkan kemiskinan. Hal ini mengingat pendapatan nelayan yang berfluktuasi dan tidak tetap, sehingga nelayan terutama istri nelayan bertanggung jawab terhadap pengaturan dan penggunaan keuangan rumah tangga. Kemampuan mengatur keuangan dengan bijak menentukan kemampuan memenuhi kebutuhan keluarga. Nelayan akan terjebak dalam kondisi kemiskinan dan serba kekurangan ketika pengeluaran lebih tinggi daripada pendapatan, dimana pendapatan terbesar digunakan untuk konsumsi yang berlebihan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi dengan esok hari, lusa dan masa depannya. Nelayan cenderung bersifat konsumtif dalam menggunakan keuangan keluarga terhadap barang-barang elektronik, namun sebagian nelayan menghabiskan seluruh pendapatannya hanya untuk keperluan sehari-hari seperti makanan dan kebutuhan operasional melaut. Sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu HD pada tanggal 28 Maret 2011. “Aku baisi tiga kapal, abahnya satu, anak-anak baisi masing- masing sebuting. Ongkos sabuah kapal sehari haja bisa Rp100.000,00 tamasuk nukar minyak, nasi lawan wadai. Pandapatan sahari sebuting balapan bisa Rp50.000,00 sampai Rp115.000,00 tarus bisa jua kadada dapat, minyak gin kada tebulik. Anak ulun nang paling halus kalas 2 SD sangunya haja ka sakolahan Rp10.000,00 kaina bulik sakola Rp10.000,00 lagi gasan balanjanya. Ulun nang panting bisa makan hari ini haja, kada mamikirakan menukar emas atau membaiki rumah, esok kalo kada dapat hasil bahutang dahulu lawan bos, kaina k alo sudah ada dapat hanyar dibayar.” saya punya tiga balapan, suami saya satu, anak saya masing- masing juga punya satu. Pengeluaran untuk satu balapan dalam satu hari sekitar Rp100.000,00 termasuk untuk minyaknya dan bekal makanan dan cemilan, sedangkan satu balapan bisa mendapat Rp50.000,00 sampai Rp 115.000,00 dalam satu hari, namun bisa juga tidak dapat. Anak saya yang paling kecil kelas 2 SD, setiap hari bekal sekolah Rp10.000,00, setelah pulang sekolah jajan lagi Rp10.000,00. Saya sih yang penting bisa makan hari ini, ga mikirin beli emas atau perbaiki rumah, besok kalo ga dapat hasil, ya ngutang dulu sama bos. Faktor yang mempengaruhi strategi adaptasi nelayan baik di Desa Rampa maupun di Sekapung, diantaranya :

a. Tingkat pendidikan

Terkait dengan masuknya perusahaan tambang di pulau sebuku, dampaknya dirasakan oleh seluruh masyarakat Pulau Sebuku termasuk pada kehidupan nelayan terutama berkaitan dengan mata pencaharian nelayan, dimana hasil tangkapan nelayan menjadi berkurang daripada sebelumnya. Hal ini karena masuk dan beroperasinya perusahaan tambang di Pulau Sebuku baik langsung maupun tidak langsung limbah buangan yang tidak dikelola dengan baik akan berakhir ke laut mengingat Pulau Sebuku merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh laut. Hal ini berdampak pada matinya biota laut tangkapan nelayan dan mengurangi jumlah tangkapan nelayan yang ada di laut. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar kesempatan bekerja di perusahaan tambang sebagai strategi, mereka mendapat jaminan pendapatan setiap bulan ketika bekerja di perusahaan. Dilihat dari kesempatan kerja di perusahaan tidak banyak berpengaruh terhadap nelayan di Desa Rampa, hal ini karena nelayan tidak memenuhi persyaratan bekerja di perusahaan akibat masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan skill yang dimiliki kualitas SDM masyarakat Desa Rampa yang mayoritas adalah nelayan yang menggantungkan hidup dari sumberdaya laut dan perikanan. Selain itu, nelayan tidak memiliki pengalaman bekerja di perusahaan. Namun yang terjadi di Desa Sekapung, sebagian besar masyarakat termasuk nelayan terserap bekerja di perusahaan tambang sekitar pada saat perusahaan baru didirikan, kini karena ketatnya persyaratan dan terjadi pergantian manajemen, maka banyak karyawan yang kembali menjadi nelayan. Beberapa nelayan memang mengundurkan diri dari perusahaan dan kembali menjadi nelayan karena alasan lain, baik karena ketidakcocokan upah, aturan yang mengikat maupun pekerjaan yang terlalu berat. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak SR pada tanggal 29 Maret 2011. “Saya dulu sempat kerja di perusahaan selama 7 tahun, tapi ya keluar masuk di beberapa perusahaan. Saya ngumpulin modal aja buat beli balapan sama rengge, soalnya balapan dan rengge saya pernah hilang. Jadi daripada ga ada yang bisa dikerjain, saya coba- coba melamar, ngumpul-ngumpul modal buat beli balapan sama rengge lagi. Malah saya sudah diangkat jadi karyawan permanen. Tapi ga enak Mbak, bangun jam 7 dimarahin, banyak aturan. Mending jadi nelayan aja terserah kita mau berangkat kapan ga ada yang marah.” Selain itu, terdapat warga yang bekerja di perusahaan dan masih menjadi nelayan. Mereka tidak dapat meninggalkan aktifitas sebagai nelayan walaupun sudah menjadi karyawan tetap dengan jaminan fasilitas kesehatan dari perusahaan. Bekerja sebagai nelayan tetap dilakukan walaupun menjadi sampingan ketika sedang off maupun pergantian shift malam di perusahaan. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak MS pada tanggal 30 Maret 2011. “Pekerjaan sih enak di perusahaan, tenaganya ga banyak terkuras, gajinya juga jelas setiap bulan pasti ada. Kalo nelayan ga tentu, Dek. Terkadang dapat bisa lebih daripada perusahaan tapi terkadang juga sakit. Tapi kalo nelayan ga terikat aturan. Jadi saya tetap kelaut kalo lagi off atau kalo lagi shift malam, kan siangnya kosong jadi bisa kelaut dulu sampai jam 14.00 wit, setelah itu kalo mau istirahat ya istirahat dulu.“

b. Kondisi Iklim

natural Kondisi iklim pada nelayan di Desa Sekapung lebih besar pengaruhnya dibanding pada nelayan di Desa Rampa, hal ini terkait dengan posisi desa di Pulau Sebuku dan wilayah penangkapan sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya. Nelayan hanya turun ke laut setengah hari bahkan tidak turun sama sekali ketika musim angin tenggara atau disebut musim paceklik. Nelayan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut dan perikanan, sehingga penghasilan nelayan ketika paceklik lebih rendah bahkan tidak ada sama sekali. Disisi lain, kebutuhan hidup adalah setiap hari dan tidak berhenti, untuk memenuhinya nelayan melakukan berbagai strategi adaptasi. 5.4 Sikap Nelayan Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim Di Pulau Sebuku Sikap nelayan baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku dibagi dalam dua kategori berdasarkan jumlah skor dari jawaban masing-masing responden, yaitu negatif untuk skor 0 hingga 20 dan positif untuk skor 21 hingga 40. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner di lapang pada sebanyak 60 responden di dua desa nelayan yaitu Desa Rampa dan Desa Sekapung didapatkan hasil yang disajikan dalam tabel 7. Tabel 5. Persentase Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Aspek isu Desa Total Desa Rampa Desa Sekapung Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Kebijakan Otonomi Daerah 8,3 41,7 15 35 23,3 76,7 Masuknya Perusahaan Tambang 8,3 41,7 18,3 31,7 26,6 73,4 Kondisi Iklim 31,7 18,3 31,7 18,3 63,4 36,6 Berdasarkan tabel 6, sebanyak 76,7 nelayan memiliki sikap negatif terhadap kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 41,7 nelayan berasal dari Desa Rampa dan 35 nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah. Bahkan nelayan merasa pengelolaan sumberdaya sebelum otonomi daerah justru lebih baik daripada setelah otonomi daerah. Hasil tangkapan nelayan sejak 10 tahun yang lalu bersamaan dengan otonomi daerah tidak lebih banyak daripada sebelumnya bahkan wilayah tangkap setelah otonomi daerah semakin jauh daripada sebelumnya. Hal ini terkait dengan berkurangnya hasil tangkap yang dirasakan terutama semenjak masuknya perusahaan tambang karena limbah, sehingga nelayan harus mencari hasil tangkapan di lokasi yang lebih jauh daripada sebelumnya. Selain itu, belum ada program maupun bantuan yang ditujukan khusus bagi kehidupan nelayan di Pulau Sebuku. Nelayan merasa tidak dibantu dan diperhatikan oleh pemerintah daerah karena kebutuhan dan keluhan yang