Kondisi Kemiskinan Nelayan Di Pulau Sebuku

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Kemiskinan Nelayan Di Pulau Sebuku

Kondisi kemiskinan banyak dialami oleh masyarakat secara luas, termasuk pada kaum nelayan. Fauzi 1992 menyebutkan bahwa kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan pakaian, perumahan dan jasa. Pada awalnya seluruh nelayan di Pulau Sebuku masih menggunakan perahu dayung sampan dan menjual hasil tangkapnya masing-masing ke Kotabaru. Mereka menjual hasil tangkapan ketika sudah terkumpul banyak dengan cara kolektif pada nelayan yang hendak ke Kotabaru menjual hasil tangkapan karena pada saat itu belum ada agen tempat menjual hasil tangkap di desa. Perjalanan yang ditempuh menuju Kotabaru memerlukan waktu yang cukup lama, bahkan nelayan memilih bermalam di Kotabaru karena kelelahan mendayung. Mereka menjual hasil tangkapan pada pembeli dari Jepang untuk keperluan karyawan di ekspor ke negaranya. Udang windu yang dijual pada pembeli adalah udang windu dengan kualitas yang bagus, sehingga pembeli udang windu tersebut memberi kepercayaan pada nelayan untuk membeli hasil tangkapannya. Kepercayaan yang diberikan berupa modal baik berupa uang maupun armada dan alat tangkap yang dapat digunakan nelayan untuk terus menjual udang windu dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Modal yang diterima dapat dipinjamkan pada nelayan lainnya di desa untuk keperluan melaut, sehingga dengan adanya modal tersebut para nelayan merasa diuntungkan karena dapat dengan lancar memenuhi kebutuhan dan keperluan melaut. Pemberi modal pun merasa untung karena kebutuhan akan udang windu tersebut terpenuhi. Seiring berjalannya waktu, keuntungan terutama berupa uang yang dimiliki nelayan yang biasa dititipkan untuk menjual hasil tangkapan ke Kotabaru menjadi terakumulasi hingga kini menjadi agen pengumpul pembeli udang windu dari nelayan di desanya. Agen memberi bantuan berupa kapal dan atau alat tangkap bagi nelayan untuk mencari udang windu, hanya saja hasil yang ditangkap harus dijual pada agen bersangkutan karena secara tidak langsung nelayan tersebut sudah terikat. Ikatan berupa hutang pada agen dapat dilunasi dengan cara mencicil dari pengurangan 10 setiap hasil penjualan, sehingga nelayan yang masih terikat tidak diperbolehkan menjual hasil tangkapan pada agen lainnya sebelum hutangnya sudah lunas. Pada awalnya agen pengumpul pembeli udang hanya satu namun seiring berjalannya waktu agen bertambah. Kesempatan menjadi agen terbuka bagi siapa saja termasuk nelayan jika memiliki modal yang kuat. Keberadaan agen pengumpul penjual udang windu terutama sangat besar peranannya bagi perekonomian di desa, terutama bagi kehidupan nelayan. Salah satunya sebagai jaminan terjualnya hasil tangkap nelayan. Hingga kini sebagian besar nelayan sudah memiliki Kapal Motor KM dengan kekuatan mesin 20 PK – 30 PK dan alat tangkap untuk mencari tangkapan. Kondisi kemiskinan nelayan di Pulau Sebuku dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik BPS yaitu Garis kemiskinan pangan dan non pangan serta kriteria rumah tangga miskin sasaran Bantuan Langsung Tunai BLT. Berdasarkan indikator garis kemiskinan BPS, pendapatan per kapita nelayan dari kedua desa tersebut berada di atas garis kemiskinan pangan dan non pangan BPS per bulan Maret 2010. Berdasarkan kriteria rumah tangga miskin penerima BLT, tidak ada responden yang termasuk dalam kategori miskin maupun sangat miskin. Kriteria miskin lokal yang digunakan pada nelayan di Desa Rampa, yaitu: 1. Masih menggunakan perahu dayung sampan untuk melakukan aktifitas penangkapan di laut. 2. Memiliki banyak tanggungan keluarga namun sumber pendapatan keluarga hanya mengandalkan kepala keluarga. 3. Dilihat dari kepemilikan harta benda, maka nelayan yang dikatakan miskin secara lokal yaitu nelayan yang tidak memiliki alat ekektronik maupun kendaraan bermotor Nelayan yang masih menggunakan perahu dayung sampan dengan berbagai alasan, diantaranya karena tidak sanggup membeli kapal motor lengkap dengan mesin. Harga kapal motor lengkap dengan mesin mencapai Rp 10.000.000,00 dimana harga mesinnya saja adalah Rp5000.000,00. Hanya saja bagi beberapa nelayan, alasan masih menggunakan perahu dayung sampan karena faktor usia yang sudah tua sehingga kesulitan untuk menghidupkan mesin dan atau karena cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Wilayah tangkap nelayan yang masih menggunakan perahu dayung sampan hanya di sekitar Selat Sebuku dan rata-rata nelayan yang masih menggunakan perahu dayung sampan hanya memiiki jenis jaring rengge gondrong tramel nett untuk menangkap udang windu dengan ukuran 5 hingga 7 payah. 5 Kondisi nelayan di Desa Sekapung cenderung homogen mengingat mereka berasal dari suku yang sama yaitu Banjar dan menganggap antara satu dan lainnya masih memiliki hubungan saudara, selain itu karena setiap nelayan sudah memiliki masing-masing armada tangkap lengkap dengan alat tangkap. Mereka beranggapan bahwa mendapat tangkapan adalah karena faktor keberuntungan dan hoki. Hasil tangkap cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kriteria lokal yang digunakan untuk menentukan nelayan yang berada dalam kondisi miskin di Desa Sekapung, yaitu : 1. Memiliki banyak tanggungan keluarga namun sumber pendapatan keluarga hanya mengandalkan kepala keluarga. 2. Dilihat dari kondisi rumah, maka rumah nelayan yang dikategorikan miskin yaitu rumah yang masih beratapkan daun nipah dengan dinding semi permanen dari kayu dan biasanya sudah tua karena rumah warisan dari orang tua. 3. Dilihat dari kapal yang dimiliki, maka nelayan yang dikategorikan miskin secara lokal yaitu nelayan yang mesin kapalnya sudah tua dan bentuk kapalnya tidak bersih akibat jarang dirawat seperti di cat karena perawatan kapal membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu untuk tidak menurunkan kapal tersebut ke laut, sehingga nelayan yang miskin jarang merawat kapalnya karena harus mencari nafkah di laut. 5 Payah adalah fish set jaring berukuran 25 x 1,5 meter 4. Dilihat dari kepemilikan harta benda, maka nelayan yang dikatakan miskin secara lokal yaitu nelayan yang tidak memiliki alat elektronik maupun kendaraan bermotor.

5.1.1 Kondisi Kemiskinan Nelayan Berdasar Garis Kemiskinan BPS

Kondisi kemiskinan nelayan di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan yang diukur dengan menggunakan indikator Badan Pusat Statistik BPS yaitu Garis kemiskinan pangan dan non pangan. Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan provinsi Kalimantan Selatan daerah pedesaan, yaitu Rp196.753,00,- per kapita bulan pada bulan Maret 2010 berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas BPS PROV KALSEL. Seseorang atau rumah tangga dikatakan miskin apabila pendapatan atau pengeluaran per kapitanya sama atau dibawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS. Berdasarkan hasil lapang menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan per kapita responden nelayan di Desa Rampa adalah Rp 801.300,00 per kapita bulan. Angka ini lebih tinggi daripada garis kemiskinan yang ditetapkan BPS untuk bulan maret 2010, yaitu Rp196.753,00 per kapita bulan, sehingga nelayan di Desa Rampa termasuk dalam kategori tidak miskin. Pendapatan per kapita bulan responden nelayan di Desa Rampa paling rendah yaitu Rp 229.250,00 dan paling tinggi yaitu Rp 2.125.000,00 sehingga nelayan di Desa Sekapung juga termasuk dalam kategori tidak miskin. Hal ini karena wilayah tangkap nelayan lebih luas dan tidak dibatasi serta mayoritas rumah tangga nelayan di Desa Rampa sudah memiliki armada dan alat tangkap masing-masing sehingga tidak tergantung pada majikan bos ketika akan melakukan aktifitas penangkapan. Armada yang dimiliki adalah Kapal Motor KM dengan kekuatan 20 PK sampai 30 PK walaupun beberapa nelayan masih menggunakan jenis perahu dayung sampan. Kekuatan perahu besarnya PK mempengaruhi waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai lokasi tangkap. Perbedaan kekuatan perahu yang dimiliki nelayan ditentukan pada kemampuan mereka membeli mesin karena semakin besar kekuatan maka semakin mahal harga pembeliannya, namun kekuatan perahu nelayan tidak memicu konflik ketika sedang melakukan aktifitas penangkapan pada lokasi yang sama. Kekuatan perahu hanya berpengaruh terhadap waktu yang diperlukan untuk mencapai lokasi tangkap. Hal ini karena hasil tangkapan yang dapat mereka peroleh dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang mereka gunakan, sehingga jenis alat tangkap dapat memicu konflik diantara nelayan. Nelayan yang menggunakan alat tangkap lebih canggih seperti trawl, sedangkan nelayan lainnya hanya menggunakan jaring atau rengge akan memicu terjadinya konflik. Hal ini karena jumlah yang dapat diperoleh oleh nelayan yang menggunakan trawl akan lebih banyak daripada nelayan yang menggunakan rengge, namun penggunaan trawl dapat mengganggu ekosistem karena tidak dapat dilakukan tangkap pilih, artinya baik kecil maupun besar biota yang ada akan terjaring. Alat tangkap yang mereka gunakan untuk masing-masing musim baik udang windu, cumi-cumi maupun ikan habu-habu dan ikan selangat adalah sama, yaitu gondrong rengge tramel nett untuk menangkap udang windu dan lampara dasar mini untuk menangkap cumi- cumi serta jaring ikan atau gill nett untuk menangkap ikan habu-habu dan ikan selangat. Kondisi iklim tidak mempengaruhi aktifitas melaut nelayan terutama ketika musim paceklik mereka tetap dapat melakukan aktifitas melaut dan istirahat pada puncak musim paceklik ketika kencangnya angin menyebabkan gelombang besar di laut. Rata-rata pendapatan per kapita responden nelayan di Desa Sekapung adalah Rp 505.325,00 bulan. Angka ini lebih tinggi daripada garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada bulan Maret 2010, yaitu Rp 196.753,00,- per kapita bulan, pendapatan responden nelayan di Desa Sekapung paling rendah yaitu Rp213.400,- dan paling tinggi yaitu Rp 917.000,-. Sama halnya dengan nelayan di Desa Rampa, nelayan di Desa Sekapung juga sudah memiliki armada dan alat tangkapnya masing-masing, sehingga mereka tidak tergantung pada majikan bos untuk melakukan aktifitas penangkapan, namun yang membedakannya adalah frekuensi sering tidaknya nelayan turun ke laut mencari tangkapan. Armada yang dimiliki adalah jenis Kapal Motor KM dengan kekuatan 20 PK sampai 30 PK. Kekuatan perahu besarnya PK mempengaruhi waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai lokasi tangkap. Perbedaan kekuatan perahu yang dimiliki nelayan ditentukan pada kemampuan mereka membeli mesin karena semakin besar kekuatan maka semakin mahal harga pembeliannya, namun kekuatan perahu nelayan tidak memicu konflik ketika sedang melakukan aktifitas penangkapan pada lokasi yang sama. Kekuatan perahu hanya berpengaruh terhadap waktu yang diperlukan untuk mencapai lokasi tangkap. Hal ini karena hasil tangkapan yang dapat mereka peroleh dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang mereka gunakan, sehingga jenis alat tangkap dapat memicu konflik diantara nelayan. Nelayan yang menggunakan alat tangkap lebih canggih seperti trawl, sedangkan nelayan lainnya hanya menggunakan jaring atau rengge akan memicu terjadinya konflik. Hal ini karena jumlah yang dapat diperoleh oleh nelayan yang menggunakan trawl akan lebih banyak daripada nelayan yang menggunakan rengge, namun penggunaan trawl dapat mengganggu ekosistem karena tidak dapat dilakukan tangkap pilih, artinya baik kecil maupun besar biota yang ada akan terjaring. Jenis alat tangkap yang mereka gunakan untuk masing-masing musim baik udang windu maupun ikan tenggiri adalah sama yaitu gondrong rengge tramel nett untuk menangkap udang windu dan pancing tonda untuk menangkap ikan tenggiri serta beberapa nelayan memiliki bagan tancap untuk menjaring cumi-cumi dan ikan teri. Hanya saja pada saat musim paceklik atau musim angin tenggara nelayan lebih memilih tidak turun kelaut, hal ini berdampak pada besarnya pendapatan yang dapat diperoleh nelayan. Maka dari itu, jika dibandingkan dengan pendapatan nelayan di Desa Rampa, jumlah pendapatan yang dapat diperoleh nelayan di Desa Sekapung lebih rendah, namun kedua desa tetap masih berada diatas garis kemiskinan yang ditetapkan BPS per kapita bulan pada bulan maret 2010. Rentang perbedaan pendapatan yang diperoleh oleh responden nelayan di Desa Rampa lebih bervariasi dibandingkan dengan pendapatan nelayan di Desa Sekapung, dimana rentang perbedaan secara pendapatan nelayan di Desa Sekapung cenderung lebih kecil. Hal ini karena nelayan di Desa Sekapung hanya mengandalkan udang windu sebagai jenis tangkapan utama mereka dan menangkap ikan tenggiri sebagai jenis tangkapan sampingan, sedangkan ketika musim angin tenggara atau musim paceklik kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk tidak turun ke laut, sehingga ketika musim paceklik pendapatan mereka menurun. Selain itu, jumlah minyak yang tersedia di desa sangat terbatas menyebabkan nelayan tidak dapat turun ke laut ketika persediaan minyak langka. Dilihat dari lokasi tangkap, maka lokasi tangkap nelayan Desa Rampa lebih strategis. Jenis tangkapan nelayan di Desa Rampa selalu ada pada setiap bulan dan musim, sehingga rata-rata pendapatan per kapita nelayan di Desa Rampa lebih tinggi daripada di Desa Sekapung. Musim hasil tangkap dan perkiraan jumlah pendapatan per tahun berdasarkan musim cenderung dapat diperkirakan. Sebagaimana disajikan dalam Gambar 2. Keterangan Gambar : Warna merah : musim cumi-cumi Warna hijau : musim udang windu Warna biru : musim paceklik Gambar 2. Rata-Rata Pendapatan Nelayan Desa Rampa Berdasarkan Musim Tangkap Udang Windu, Cumi-cumi dan Musim Paceklik Musim tangkap udang windu yaitu bulan Januari hingga bulan Mei. Pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret terjadi peningkatan jumlah tangkapan udang windu dengan puncak musim tangkap udang windu pada bulan Maret, namun mulai bulan April hingga Mei hasil tangkap udang windu mulai menurun. Pada saat musim udang windu mulai naik, harga jual udang windu mencapai Rp45.000,00 – Rp 55.000,00 kg. Jumlah tangkapan udang windu yang dapat diperoleh nelayan dapat mencapai 10 hingga 60 kg hari orang, sedangkan ketika sedang tidak musim hanya mendapat 1 hingga 5 kg hari orang. Rata-rata pendapatan yang dapat diperoleh nelayan di Desa Rampa adalah Rp 5.000.000 bulan, pendapatan setiap masing-masing nelayan bervariasi dengan pendapatan berkisar dari Rp 4.000.000,00 hingga Rp 7.000.000,00 bulan pada musim udang windu. Musim paceklik atau musim angin tenggara terjadi mulai dari bulan Juni hingga bulan Oktober. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus mulai memasuki musim paceklik dimana hasil tangkapan mulai menurun dengan puncak dari musim paceklik ada pada bulan Agustus, dimana pada bulan Agustus angin bertiup kencang menyebabkan terjadi gelombang besar sehingga nelayan benar- benar tidak dapat pergi ke laut namun pada saat seperti ini mereka mengisi waktu dengan melakukan aktifitas perlombaan untuk memperingati HUT RI. Selain itu, mereka juga melaksanakan kegiatan yang sudah menjadi budaya dan biasa disebut dengan “hari nelayan”. Pada pelaksanaan hari nelayan, tidak ada satu nelayan pun yang diperbolehkan turun ke laut maupun pergi meninggalkan desa dan menjemur pakaian, kecuali datang menuju Pulau Sebuku. Mulai bulan Agustus akhir hingga bulan Oktober musim paceklik mulai menurun yang ditandai meningkatnya hasil tangkapan nelayan. Pada saat musim paceklik, pendapatan rata-rata yang diperoleh nelayan adalah Rp 1.000.000,00 bulan, namun bagi nelayan yang lebih rajin mencari tangkapan ke laut dapat mencapai Rp 2.000.000,00 bulan. Ketika musim paceklik, nelayan menangkap ikan habu-habu dan ikan selangat di sepanjang Selat Sebuku. Musim tangkap cumi-cumi yaitu bulan November hingga bulan Maret. Pada bulan November sampai dengan bulan Januari terjadi peningkatan jumlah tangkapan cumi-cumi dengan puncak musim tangkap cumi-cumi pada bulan Januari, namun mulai bulan Februari hingga Maret hasil tangkap cumi-cumi mulai menurun. Pada saat musim mulai naik, harga jual cumi-cumi mencapai Rp18.000,00 kg. Jumlah tangkapan cumi-cumi yang dapat diperoleh nelayan mencapai 100 hingga 200 kg hari orang, sedangkan ketika sedang tidak musim hanya mendapat 3 hingga 10 kg hari orang. Rata-rata pendapatan yang dapat diperoleh nelayan di Desa Rampa adalah Rp 3.000.000 bulan, pendapatan masing-masing nelayan bervariasi dengan pendapatan berkisar dari Rp2.000.000,00 hingga Rp 4.000.000,00 bulan ketika musim cumi-cumi. 5.1.2 Kondisi Kemiskinan Nelayan Berdasar Kriteria Rumah Tangga Miskin Penerima Bantuan Langsung Tunai BLT BPS mengeluarkan indikator kriteria rumah tangga miskin sasaran BLT, selain mengeluarkan indikator garis kemiskinan untuk menentukan penduduk miskin. Terdapat 14 kriteria untuk menentukan rumah tangga miskin. Berdasarkan kriteria ini, jika memenuhi 14 kriteria maka termasuk dalam kategori sangat miskin, jika memenuhi 11 – 13 kriteria maka termasuk dalam kategori miskin, jika memenuhi 9 – 10 kriteria maka termasuk dalam kategori hampir miskin dan jika memenuhi 9 kriteria maka termasuk dalam kategori tidak miskin. Sebagaimana data hasil disajikan dalam Tabel 4. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Kategori Kemiskinan BLT di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Kategori Kemiskinan BLT Desa Rampa Desa Sekapung n N Sangat Miskin Miskin Hampir miskin 2 6,7 3 10 Tidak miskin 28 93,3 27 90 Jumlah 30 100 30 100 Berdasarkan tabel 4, terdapat sebanyak 28 rumah tangga atau 93,3 responden nelayan di Desa Rampa termasuk dalam kategori tidak miskin dan sebanyak 2 rumah tangga atau 6,7 responden nelayan di Desa Rampa termasuk dalam kategori hampir miskin, sedangkan sebanyak 27 rumah tangga atau 90 responden termasuk dalam kategori tidak miskin dan sebanyak 3 rumah tangga atau 10 responden nelayan di Desa Sekapung termasuk dalam kategori hampir miskin. Baik nelayan di Desa Rampa maupun nelayan di Desa Sekapung tidak ada rumah tangga yang termasuk dalam kategori miskin dan sangat miskin. Jika melihat kriteria miskin penerima Bantuan Langsung Tunai BLT yang telah ditetapkan, maka kondisi kemiskinan yang terjadi di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan sebenarnya tidak terakomodasi. Hal ini karena kriteria miskin untuk menentukan rumah tangga penerima bantuan bias Jawa, padahal kondisi dan tingkat kemiskinan yang terjadi di Jawa berbeda dengan kondisi dan tingkat kemiskinan yang terjadi di luar Jawa. Kondisi rumah tangga nelayan menurut kriteria BLT disajikan dalam Tabel 5. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Kriteria Rumah Tangga Miskin BLT Di Desa Rampa dan Desa Sekapung. No Kriteria Rumah Tangga Miskin BLT Desa Rampa Desa Sekapung Total N N N 1 Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m 2 per orang 1 3,3 11 36,7 12 20 2 Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah bambu kayu murahan 3 Jenis dinding tempat tinggal dari bambu rumbia kayu berkualitas rendah tembok tanpa diplester 4 Tidak memiliki fasilitas buang air besar bersama-sama dengan rumah tangga lain 5 16,7 14 46,7 19 31,7 5 Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik 13 43,3 0 0 13 21,7 6 Sumber air minum berasal dari sumur mata air tidak terlindung sungai air hujan 30 100 0 30 50 7 Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar arang minyak tanah 30 100 30 100 60 100 8 Hanya mengkonsumsi daging susu ayam satu kali dalam seminggu 10 33,3 9 30 19 31,7 9 Hanya membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun 10 Hanya sanggup makan sebanyak satu dua kali dalam sehari 15 50 25 83,3 40 66,7 11 Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas poliklinik 5 16,7 9 30 14 23,3 12 Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m 2 , buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000,-perbulan 3 10 12 40 15 25 13 Pendidikan tertinggi kelapa keluarga : tidak sekolah tidak tamat SD hanya SD 27 90 18 60 45 75 14 Tidak memiliki tabungan barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500.000,- seperti sepeda motor kredit non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya 5 16,7 6 20 11 18,3 Berdasarkan hasil lapang yang tersaji dalam tabel 4, sebanyak 12 responden atau 20 dari kedua Desa masih memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m 2 per orang, dimana 11 responden atau 36,7 berasal dari Desa Sekapung dan 1 responden atau 3,3 berasal dari Desa Rampa. Kriteria BLT melihat kondisi rumah sebagai salah satu indikator untuk menentukan rumah tangga sasaran penerima BLT, namun sebagian besar penduduk di Pulau Sebuku secara umum, termasuk Desa Rampa dan Desa Sekapung mendirikan rumah, baik lantai maupun dinding yang terbuat dari kayu atau biasa disebut rumah panggung dengan ukuran beragam, mulai dari 4x6 meter, 5x8 meter hingga 5x25 meter. Kayu yang digunakan adalah kayu dengan kualitas yang cukup baik dan kuat, yaitu jenis kayu Meranti dan jenis kayu Ulin. Maka dari itu, tidak ada responden dari kedua desa yang jenis lantai tempat tinggal yang terbuat dari kayu kualitas rendah dan jenis dinding tempat tinggal terbuat dari kayu kualitas rendah tembok tanpa diplester. Artinya rumah seluruh nelayan di Desa Rampa adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu namun kayu dengan kualitas yang baik dan mendirikan rumah di atas rawa berbeda dengan Desa Sekapung yang mendirikan rumahnya di atas permukaan tanah dan hanya sebagian warga di RW 4 yang mendirikan rumah di atas laut walaupun beberapa responden sudah membangun rumahnya dari beton dan mengambil pasir dari bibir pantai. Dilihat dari kriteria sumber penerangan listrik desa, sebanyak 13 responden atau 43,3 berasal dari Desa Rampa belum menggunakan sumber penerangan listrik. Seluruh rumah di Desa Sekapung sudah menggunakan genset yang menyala dari pukul 18.00 WIT hingga pukul 23.00 WIT atas bantuan dari perusahaan batubara, sedangkan Desa Rampa menggunakan sumber penerangan dari listrik walaupun hanya setengah hari, yaitu dari pukul 18.00 WIT hingga pukul 06.00 WIT. Hanya saja 43,3 responden dari nelayan di Desa Rampa belum menggunakan listrik sendiri. Mereka menyiasatinya dengan menyambung listrik dari rumah lain sebelum ada pemeriksaan. Sebanyak 19 responden atau 31,7 dari kedua desa tidak mampu mengkonsumsi daging susu ayam satu kali dalam seminggu, dimana sebanyak 9 responden atau 30 berasal dari Desa Sekapung dan sebanyak 10 responden atau 33,3 berasal dari Desa Rampa. Hal ini karena bagi mereka sudah cukup dengan mengkonsumsi hasil laut tangkapan seperti udang, cumi-cumi, kepiting, kerang, ikan dan hasil laut lainnya. Mereka mengkonsumsi daging hanya jika ada acara besar, mengingat harga daging yang mahal dan mereka harus ke kota untuk mendapatkannya. Sebagian nelayan yang mengkonsumsi susu karena mendapat jatah dari perusahaan bagi nelayan maupun keluarga yang salah satu anggotanya ada yang bekerja di perusahaan, terkadang mereka mendapat susu dari tetangganya yang bekerja di perusahaan. Hal ini karena setiap pegawai perusahaan mendapat jatah susu setiap satu minggu sekali. Semua responden sudah mampu membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun. Hal ini karena baik di Desa Sekapung maupun di Desa Rampa terbuka peluang berusaha terutama ketika masuknya perusahaan tambang, salah satunya adalah usaha kredit pakaian dimana para penjual pakaian berkeliling desa dan mengetuk pintu rumah masyarakat untuk menawarkan dagangan serta diperbolehkan bagi pelanggannya untuk membayar dengan cara kredit atau mencicil, sehingga dalam satu tahun responden dapat membeli pakaian lebih dari satu stel. Sebanyak 14 responden atau 23,3 dari kedua desa belum sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas poliklinik, hal ini terkait dengan pemahaman mereka akan pentingnya berobat di puskesmas, dimana sebanyak 9 responden atau 30 berasal dari Desa Sekapung dan sebanyak 5 responden atau 16,7 berasal dari Desa Rampa. Hal ini karena kesadaran masyarakat nelayan untuk berobat ke puskesmas tinggi terlihat dari sebagian besar masyarakat nelayan sudah menggunakan jasa bidan ketika menjalani proses persalinan dan berobat pada ahli kesehatan di Puskesmas walaupun tidak gratis dalam menebus obat, hanya saja beberapa responden memilih hanya membeli obat di warung dan atau berobat pada mantri. Sebanyak 15 responden atau 25 dari kedua desa masih memiliki sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: nelayan, buruh bangunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp600.000,-perbulan, dimana sebesar 40 atau 12 responden berasal dari Desa Sekapung dan sebanyak 3 responden atau 10 berasal dari Desa Rampa 6 . Hal ini karena ketidak pastian jumlah hasil tangkapan yang diperoleh nelayan setiap kali turun ke laut berdampak pada ketidak pastian pendapatan yang diperoleh nelayan, ketika sedang musim pendapatan nelayan tinggi namun ketika paceklik pendapatan nelayan berkurang. Terkait dengan hal tersebut, maka nelayan yang rajin turun ke laut dapat menutupi kekurangan untuk memenuhi kebutuhan ketika musim paceklik, berbeda dengan nelayan yang jarang bahkan tidak turun ke laut sama sekali ketika musim paceklik, sehingga pendapatan yang diperoleh tidak mampu mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dan hanya mengandalkan tabungan ketika pendapatan mereka tinggi pada musim tangkap. Pendapatan dalam kurun waktu satu bulan nelayan di Desa Rampa mampu mencapai lebih dari Rp 600.000,00, bahkan pada saat musim tangkap dapat mencapai Rp 1.000.000,00 - Rp3.000.000,00 dalam satu hari. Pada musim paceklik atau musim angin tenggara nelayan yang pergi ke laut akan memperoleh pendapatan minimal Rp 20.000,00- Rp 100.000,00 hari. Sebanyak 11 responden atau 18,3 dari kedua desa tidak memiliki tabungan barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500.000,- seperti sepeda motor kredit non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya, dimana sebanyak 6 responden atau 20 berasal dari Desa Sekapung dan sebanyak 5 responden atau 16,7 berasal dari Desa Rampa. Hal ini berkaitan dengan kemampuan setiap rumah tangga dalam penggunaan pendapatan manajemen keuangan rumah tangga untuk mengatur keuangan ketika musim tangkap dan paceklik, terlihat dari barang-barang elektronik yang dimiliki, misalnya emas, televisi, kulkas dan sepeda motor.

5.2 Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku