50
Tabel 9 Deskripsi Subjek Berdasarkan Status Relasi
Status Relasi Frequency
Percent
Lajang 87
31.3 Berpacaran
76 27.3
Bertunangan 4
1.4 Menikah
111 39.9
Total 278
100
Hasil deskripsi menunjukkan bahwa jumlah subjek didominasi oleh subjek yang memiliki relasi perkawinan, sedangkan subjek dengan relasi pertunangan
memiliki jumlah paling sedikit dibandingkan subjek yang memiliki relasi berpacaran dan lajang.
Keempat peneliti mendeskripsikan subjek berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki oleh subjek, berikut tabel deskripsi subjek
berdasarkan tingkat pendidikan terakhir:
Tabel 10 Deskripsi Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir
Pendidikan Frequency
Percent
SD 3
1.1 SMP
3 1.1
SMASMK 89
32.1 D1, D2, D3
39 13.7
S1D4 128
46.2 S2, S3
16 5.8
Total 278
100
51
Hasil deskripsi menunjukkan subjek penelitian didominasi oleh subjek dengan latar belakang pendidikan terakhir S1D4, sedangkan subjek dengan
pendidikan terakhir SD dan SMP berjumlah paling sedikit. Kelima peneliti mendeskripsikan subjek berdasarkan jenis lapangan pekerjaan subjek, berikut
tabel deskripsi subjek berdasarkan jenis lapangan kerja:
Tabel 11 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Lapangan Kerja
Jenis Bidang Pekerjaan Frequency
Percent
Administrasi 21
7.6 Badan Keamanan Negara
1 0.4
Badan Pemerintahan 9
3.3 Informasi dan Komunikasi
27 9.7
Jasa Akomodasi 43
15.5 Jasa Distributor
1 0.4
Jasa Kesehatan 8
2.9 Jasa Keuangan dan Asuransi
37 13.4
Jasa Konstruksi 1
0.4 Jasa Konsultasi
6 1.8
Jasa Pelayanan Masyarakat 2
0.7 Jasa Pelayanan Rumah Tangga
20 7.2
Jasa Pembuatan Design Grafis 1
0.4 Jasa Pendidikan
43 15.5
Jasa Profesional dan Teknisi 11
4 Kesenian, Hiburan dan Rekreasi
7 2.5
Pabrik atau Industri 21
7.6 Perdagangan Wirausaha
15 5.6
Perpustakaan 4
1.4
Total 278
100
52
Hasil deskripsi menunjukkan bahwa subjek didominasi oleh pekerja bidang jasa akomodasi dan jasa pendidikan dan jasa keuangan dan asuransi,
sedangkan subjek yang bekerja di bidang badan keamanan negara, jasa distributor, jasa konstruksi, dan jasa pembuatan design grafis berjumlah paling
sedikit. Keemam peneliti mendiskripsikan subjek berdasarkan masa bekerja
subjek di tempat kerjanya, berikut hasil tabel deskripsi subjek berdasarkan masa kerja:
Tabel 12 Deskripsi Subjek Berdasarkan Masa Kerja
Masa Bekerja Frequency
Percent
Kurang dari 1 tahun 57
20.6 1 sampai 5 tahun
118 42.2
6 sampai 10 tahun 37
13.4 11 sampai 15 tahun
20 7.2
Diatas 15 tahun 46
16.6
Total 278
100.
Hasil deskripsi menunjukkan bahwa subjek didominasi oleh pekerja yang bekerja antara 1 tahun hingga 5 tahun masa bekerja, sedangkan subjek yang
bekerja antara 11 tahun hingga 15 tahun berjumlah paling sedikit. Ketujuh peneliti mendeskripsikan subjek berdasarkan jenis instansi tempat subjek
bekerja, berikut tabel deskripsi subjek berdasarkan jenis instansi tempat subjek bekerja:
53
Tabel 13 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Instansi
Instansi Frequency
Percent
Negeri 26
9.4 Swasta
252 90.6
Total 278
100
Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar subjek penelitian merupakan pekerja yang bekerja di instansi swasta, sedangkan subjek yang bekerja pada
instansi negeri berjumlah sangat sedikit jika dibandingkan dengan instansi swasta.
Kedelapan peneliti mendeskripsikan subjek berdasarkan jabatan subjek di tempat kerja, berikut tabel deskripsi subjek berdasarkan jabatan
yang dimiliki subjek:
Tabel 14 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jabatan
Jabatan Frequency
Percent
Direktur 3
1.1 Manajer
20 7.2
Supervisor 24
8.7 Staf
231 83.0
Total 278
100
Hasil deskripsi menunjukkan bahwa subjek penelitian didominasi oleh pekerja yang memiliki jabatan staf, sedangkan jabatan direktur berjumlah paling
sedikit dibandingkan subjek dengan jabatan supervisor atau manajer.
54
Kesembilan peneliti mendeskripsikan subjek berdasarkan jumlah dominasi rekan kerja yang dimiliki oleh subjek di tempat kerja, berikut tabel deskripsi
subjek berdasarkan jumlah dominasi rekan kerja subjek di tempat kerja:
Tabel 15 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jumlah Rekan Kerja
Jumlah Rekan Kerja Frequency
Percent
Jumlah pria jauh lebih banyak 80
28.8 Jumlah pria agak lebih banyak
46 16.5
Jumlah pria dan wanita seimbang 85
30.6 Jumlah wanita agak lebih banyak
46 16.5
Jumlah wanita jauh lebih banyak 21
7.6
Total 278
100.0
Hasil deskripsi menunjukkan bahwa subjek penelitian didominasi oleh pekerja yang memiliki jumlah rekan kerja antara pria dan wanita seimbang dan
pekerja yang memiliki jumlah rekan kerja pria jauh lebih banyak. Terakhir peneliti mendeskripsikan subjek bedasarkan domisili tempat subjek bekerja,
berikut tabel deskripsi subjek berdasarkan domisili tempat subjek bekerja:
Tabel 16 Deskripsi Subjek Berdasarkan Domisili Kerja
Domisili Frequency
Percent
Bandung 4
1.4 Bantul
7 2.5
Banyumas 1
0.4 Batu
1 0.4
Bekasi 3
1.1
55
Bogor 1
0.4 Cibubur
2 0.7
Cilacap 1
0.4 Denpasar
1 0.4
Depok 1
0.4 Gunung Kidul
2 0.7
Jakarta 30
10.7 Jambi
1 0.4
Jember 1
0.4 Klaten
6 2.2
Kota Waringin Timur 1
0.4 Kudus
1 0.4
Kulon Progo 2
0.7 Magelang
3 1.1
Makasar 1
0.4 Malang
4 1.4
Palembang 5
1.8 Pati
1 0.4
Pontianak 3
1.1 Prambanan
1 0.4
Semarang 4
1.4 Seminyak
1 0.4
Sleman 51
18.3 Solo
6 2.2
Sukaharjo 1
0.4 Surabaya
4 1.4
Tangerang 6
2.2 Tanjung Pandang
1 0.4
Tarakan 1
0.4 Tasikmalaya
1 0.4
Wonosari 1
0.4 Yogyakarta
116 41.8
Total 278
100
56
Hasil menunjukkan bahwa penelitian ini didominasi oleh pekerja wilayah provinsi D.I Yogyakarta dan provinsi DKI Jakarta. Sebagian besar subjek
penelitian merupakan pekerja yang bekerja di wilayah-wilayah pulau jawa.
2. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian adalah cara menggambarkan karakteristik atau ukuran sekelompok data yang dianalisis dengan menggunakan teknik
statistik, dengan tujuan memperoleh gambaran umum mengenai data yang sedang diukur Siregar, 2013. Pada proses deksripsi data penelitian peneliti
mencoba membandingkan nilai mean teorits dan nilai mean empiris pada masing-masing variabel penelitian. Penghitungan mean teoritis menggunakan
cara manual sedangkan mean empiris menggunakan SPSS for Windows versi 22.0,
berikut tabel deskripsi penelitian:
Tabel 17 Deskripsi Data Penelitian
Skala N
Sigp Teoritis
Empiris Mean
Min Max
SD Mean
Min Max
SD
SEQ-DoD 278
0.000 99
33 165
22 42.5
33 128 17.2
Pcs 278
0.000 75
30 120
15 62.1
30 104
16
Hasi tabel menunjukkan pada variabel pelecehan seksual di tempat kerja nilai mean teoritis diperoleh sebesar 99 sedangkan nilai mean empiris
diperoleh sebesar 42.5, hal tersebut menunjukkan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja pada penelitian ini dinilai rendah. Pada variabel psikosomatis
57
nilai mean teoritis diperoleh sebesar 75 sedangkan nilai mean empiris diperoleh sebesar 62.1, hal tersebut menunjukkan bahwa psikosomatis pada
penelitian ini juga dinilai rendah. Dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja dan psikosomatis pada penelitian ini dikatakan rendah karena
nilai mean teoritis lebih besar dibandingkan nilai mean empiris.
3. Kategorisasi
Dalam mempermudah peneliti melakukan analisis deskripsi pada variabel pelecehan seksual di tempat kerja, maka peneliti membuat
kategorisasi subjek penelitian. Tujuan kategorisasi ini adalah menempatkan subjek penelitian ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara
berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur Azwar, 1999. Dalam menentukan kategorisasi peneliti menentukan
norma kategorisasi berdasarkan nilai mean teoritis dan standart deviasi teoritis.
Berdasarkan hasil pembuatan norma kategorisasi, peneliti mengkategorikan subjek penelitian ke dalam enam kategori. Berikut tabel norma kategorisasi
dan tabel kategori subjek berdasarkan norma kategorisasi:
Tabel 18 Norma Kategorisasi
Skor Kategorisasi
X = 33 Tidak mengalami
33 X ≤ μ - 2 . σ Frekuensi sangat rendah
μ - 2 . σ X ≤ μ - 1 . σ Frekuensi rendah
μ - 1 . σ X ≤ μ + 1 . σ Frekuensi sedang
μ + 1 . σ X ≤ μ + 2 . σ
Frekuensi tinggi μ + 2 . σ X
Frekuensi sangat tinggi
58
Keterangan : μ : Mean Teoritis
σ : Standart deviasi teoritis
Tabel 19 Kategori Subjek Berdasarkan Norma
Skor Kategorisasi
Freq Percent
X = 33 Tidak mengalami
102 36.7
33 X ≤ 55 Frekuensi sangat rendah
137 49.3
55 X ≤ 77 Frekuensi rendah
22 7.9
77 X ≤ 121 Frekuensi sedang
16 5.8
121 X ≤ 143 Frekuensi tinggi
1 0.4
143 X Frekuensi sangat tinggi
0.0
Hasil kategorisasi menunjukkan bahwa subjek penelitian ini didominasi oleh pekerja yang mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah,
sedangkan hanya satu subjek yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dengan frekuensi tinggi dan tidak ada subjek yang mengalami pelecehan
seksual di tempat kerja dengan frekuensi sangat tinggi.
D. Hasil Penelitian 1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif
dilakukan untuk
menggambarkan atau
mendeskriptifkan masalah pelecehan seksual di tempat kerja. Proses analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskriptifkan hasil skor total skala SEQ-
DoD dengan data demografis pada masing-masing subjek penelitian. Analisis deskriptif pertama, peneliti mendeskriptifkan skor total pada masing-masing
59
item SEQ-DoD dengan tujuan untuk mengetahui perilaku pelecehan seksual yang sering muncul dan jarang muncul di tempat kerja. Berikut grafik
histogram skor total pada masing-masing item SEQ-DoD:
Gambar 3. Histogram Skor Total Masing-masing Item SEQ-DoD
Hasil grafik menunjukkan bahwa perilaku “bicara atau candaan atasan atau rekan kerja yang mengarah pada unsur seksual” item no. 23, perilaku
“atasan atau rekan kerja yang memanggil dengan panggilan mesra baby, honey,
sayang” item no. 8 dan perilaku “memberi komentar yang tidak menyenangkan tentang penampilan tubuh atau aktivitas seksual” item no. 2
merupakan perilaku pelecahan seksual yang cenderung lebih banyak muncul di tempat kerja. Ketiga perilaku tersebut tergolong dalam dimensi unwanted
sexual attention item no. 8 dan 23 dan dimensi gender harassment item no.
2 dalam bentuk pelecehan seksual secara verbal.
60
Hasil grafik juga menunjukkan bahwa perilaku “memberikan iming- iming akan mendapat promosi cepat atau perlakukan baik, jika mau
melakukan aktifitas seksual” item no. 3, perilaku “usaha mengajak berhubungan seks dengan atasan atau rekan kerja” item no. 5 dan perilaku
“memperlakuan secara buruk karena menolak melakukan aktifitas seksual” item no. 18 merupakan perilaku pelecehan seksual yang cenderung jarang
muncul di tempat kerja. Ketiga perilaku tersebut tergolong dalam dimensi sexual coercion
item no. 3, 5 dan 18 dalam bentuk pelecehan seksual secara verbal.
Analisis deskriptif kedua peneliti mendeskriptifkan skor total skala SEQ-DoD berdasarkan identitas seksual pada masing-masing subjek, dengan
tujuan untuk mengetahui identitas seksual yang lebih cenderung mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Berikut grafik pie chart skor total skala
SEQ-DoD berdasarkan identitas seksualnya:
61
Gambar 4. Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Identitas Seksual
Hasil grafik menunjukkan bahwa subjek dengan identitas seksual pria maskulin
sekitar 64 tidak mengalami pelecehan seksual dan 36 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan
sedang. Pria agak feminin 32 tidak mengalami pelecehan seksual dan 68 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan
sedang. 20 pria feminin tidak mengalami pelecehan seksual dan 80 mengalami mengalami pelecehan seksual.
Kata kunci: TM: Tidak mengalami, SR: Sangat Rendah, R: Rendah, S: Sedang, T: Tinggi
62
Subjek dengan identitas seksual wanita feminim 32 tidak mengalami pelecehan seksual dan 68 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi
sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. Wanita dengan identitas seksual agak feminim sekitar 22 tidak mengalami pelecehan seksual dan 78
mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang. 67 wanita maskulin tidak mengalami pelecehan seksual dan 33
mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah. Hasil analisis disimpulkan bahwa pekerja pria agak feminin, pria
feminin, wanita feminin dan wanita agak maskulin cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dibandingkan pria maskulin dan
wanita maskulin. Dapat dikatakan bahwa pekerja feminin lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dibandingkan dengan pekerja
maskulin. Analisis deskriptif ketiga peneliti mendeskriptifkan skor total skala
SEQ-DoD berdasarkan usia pada masing-masing subjek, dengan tujuan untuk mengetahui usia
yang lebih cenderung mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Berikut grafik pie chart skor total skala SEQ-DoD berdasarkan
usianya:
63
Gambar 5. Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Usia
Hasil grafik menunjukkan subjek usia 18 sampai 20 tahun 56 tidak mengalami pelecehan seksual dan 44 mengalami pelecehan seksual dengan
frekuensi sangat rendah dan rendah. Subjek usia 21 sampai 30 tahun 23
TM 56
SR 11
R 33
S T
Usia 18 - 20 tahun
TM 23
SR 57
R 11
S 8
T 1
Usia 21 - 30 tahun
TM 50
SR 42
R 3
S 5
T
Usia 31 - 40 tahun
TM 70
SR 30
R S
T
Usia 41 - 50 tahun
TM 67
SR 25
R 8
S T
Usia 51 - 60 tahun
Kata kunci: TM: Tidak mengalami, SR: Sangat Rendah, R: Rendah, S: Sedang, T: Tinggi
64
tidak mengalami pelecehan seksual dan 77 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. 50 subjek usia
31 sampai 40 tahun tidak mengalami pelecehan dan 50 mengalami pelecehan dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang. 70 subjek
usia 41 sampai 50 tahun tidak mengalami pelecehan seksual dan 30 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah. Subjek usia 51
sampai 60 tahun 67 tidak mengalami pelecehan seksual dan 33 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah dan rendah.
Hasil analisis disimpulkan pekerja berusia 21 sampai 30 tahun lebih cenderung banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Pekerja
berusia 18 sampai 20 tahun dan usia 31 sampai 60 tahun lebih cenderung sedikit mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Analisis deskriptif keempat peneliti mendeskriptifkan skor total skala SEQ-DoD berdasarkan tingkat pendidikan terakhir pada masing-masing
subjek, dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pendidikan yang lebih cenderung mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Berikut grafik pie
chart skor total skala SEQ-DoD berdasarkan tingkat pendidikan terakhir:
65
Gambar 6. Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir
TM 100
SR R
S T
SD
TM 34
SR 33
R S
33 T
SMP
TM 42
SR 49
R 5
S 4
T
SMA SMK
TM 31
SR 42
R 16
S 8
T 3
D1, D2 dan D3
TM 31
SR 54
R 9
S 6
T
S1D4
TM 53
SR 47
R S
T
S2 dan S3
Kata kunci: TM: Tidak mengalami, SR: Sangat Rendah, R: Rendah, S: Sedang, T: Tinggi
66
Hasil grafik menunjukkan subjek dengan pendidikan terakhir SD 100 tidak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, sedangkan subjek
dengan pendidikan terakhir SMP 34 tidak mengalami pelecehan seksual dan 64 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah dan
sedang. 42 subjek dengan pendidikan terakhir SMASMK tidak mengalami pelecehan seksual dan 58 mengalami pelecehan dengan frekuensi sangat
rendah, rendah dan sedang. 31 subjek dengan pendidikan terakhir D1, D2 dan D3 tidak mengalami pelecehan seksual dan 69 mengalami pelecehan
seksual di tempat kerja dengan frekuensi sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. Subjek dengan pendidikan terakhir S1D4 31 tidak mengalami
pelecehan seksual dan 69 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang. 53 subjek dengan pendidikan terakhir S2
dan S3 tidak mengalami pelecehan seksual dan 47 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah.
Hasil analisis disimpulkan bahwa pekerja dengan pendidikan terakhir SMASMK, D1, D2, D3 dan S1D4 lebih cenderung banyak mengalami
pelecehan seksual di tempat kerja. Pekerja dengan pendidikan terakhir SMP, S2 dan S3 lebih cenderung sedikit mengalami pelecehan seksual di tempat
kerja dan pekerja dengan pendidikan terakhir SD tidak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Analisis deskriptif kelima peneliti mendeskriptifkan skor total skala SEQ-DoD berdasarkan masa bekerja pada masing-masing subjek, dengan
67
tujuan untuk mengetahui masa bekerja yang lebih cenderung mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Berikut grafik pie chart skor total skala
SEQ-DoD berdasarkan masa kerja:
TM 24
SR 65
R 9
S 2
T
Masa kerja kurang dari setahun
TM 24
SR 51
R 12
S 12
T 1
Masa kerja 1 - 5 tahun
TM 43
SR 51
R 3
S 3
T
Masa kerja 6 - 10 tahun
TM 65
SR 35
R S
T
Masa kerja 11 - 15 tahun
68
Gambar 7. Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Masa Berkerja
Hasil grafik menunjukkan subjek yang bekerja kurang dari setahun 24 tidak mengalami pelecehan, sedangkan 76 mengalami pelecehan
seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang. Subjek yang bekerja 1 sampai 5 tahun 24 tidak mengalami pelecehan seksual dan 76
mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. 43 subjek yang bekerja 6 sampai 10 tahun tidak mengalami
pelecehan seksual, sedangkan 57 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang. 65 subjek yang bekerja 11
sampai 15 tahun tidak mengalami pelecehan seksual, sedangkan 35 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah. 67 subjek
yang bekerja diatas 15 tahun tidak mengalami pelecehan seksual di tempat
TM 67
SR 31
R 2
S T
Masa kerja diatas 15 tahun
Kata kunci: TM: Tidak mengalami, SR: Sangat Rendah, R: Rendah, S: Sedang, T: Tinggi
69
kerja, sedangkan 33 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah.
Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pekerja yang bekerja kurang dari setahun hingga 10 tahun, cenderung lebih banyak mengalami pelecehan
seksual di tempat kerja dibandingkan dengan pekerja yang bekerja lebih dari 11 tahun keatas.
Analisis deskriptif keenam peneliti mendeskriptifkan skor total skala SEQ-DoD berdasarkan jumlah dominasi rekan kerja pada masing-masing
subjek, dengan tujuan untuk mengetahui jumlah dominasi rekan kerja yang lebih cenderung mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Berikut grafik
pie chart skor total skala SEQ-DoD berdasarkan jumlah dominasi rekan kerja:
TM 43
SR 48
R 5
S 3
T 1
Jumlah pria jauh lebih banyak
TM 20
SR 56
R 7
S 17
T
Jumlah pria agak lebih banyak
70
Gambar 8. Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Jumlah Dominasi Rekan
Kerja
Hasil grafik menunjukkan subjek yang memiliki rekan kerja dengan jumlah pria jauh lebih banyak 43 tidak mengalami pelecehan seksual,
sedangkan 57 mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang. 20 subjek yang memiliki rekan
TM 41
SR 41
R 13
S 4
T 1
Jumlah antara pria dan wanita seimbang
TM 32
SR 54
R 7
S 7
T
Jumlah wanita agak lebih banyak
TM 57
SK 43
KK S
SS
Jumlah wanita jauh lebih banyak
Kata kunci: TM: Tidak mengalami, SR: Sangat Rendah, R: Rendah, S: Sedang, T: Tinggi
71
kerja dengan jumlah pria agak lebih banyak tidak mengalami pelecehan seksua, 80 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah,
rendah dan sedang. Subjek yang memiliki rekan kerja dengan jumlah antara pria dan wanita seimbang 41 tidak mengalami pelecehan seksual dan 59
mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. 32 subjek yang memiliki rekan kerja dengan jumlah wanita agak
lebih banyak tidak mengalami pelecehan seksual, 68 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang. Subjek yang
memiliki rekan kerja dengan jumlah wanita jauh lebih banyak 57 tidak mengalami pelecehan seksual, sedangkan 43 mengalami pelecehan seksual
dengan frekuensi sangat rendah. Hasil analisis disimpulkan bahwa pekerja sebagian besar mengalami
pelecehan seksual di tempat kerja meskipun jumlah rekan kerja lebih didominasi oleh pria atau dominasi wanita. Akan tetapi pekerja yang memiliki
rekan kerja yang di dominasi oleh jumlah pria cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dibandingkan dengan pekerja
yang memiliki rekan kerja yang di dominasi oleh jumlah wanita. Analisis deskriptif ketujuh peneliti mendeskriptifkan skor total skala
SEQ-DoD berdasarkan jabatan kerja pada masing-masing subjek, dengan tujuan untuk mengetahui jabatan kerja yang lebih cenderung mengalami
pelecehan seksual di tempat kerja. Berikut grafik pie chart skor total skala SEQ-DoD berdasarkan jabatan kerja:
72
Gambar 9. Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Jabatan Kerja
Hasil grafik menunjukkan subjek dengan jabatan kerja Direktur 100 tidak mengalami pelecehan seksual. Subjek dengan jabatan kerja Manajer
60 tidak mengalami pelecehan seksual, sedangkan 40 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah dan rendah. 32 subjek
dengan jabatan kerja Supervisor tidak mengalami pelecehan seksual, sedangkan 68 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat
rendah, rendah dan sedang. Subjek dengan jabatan kerja staf 50 tidak
TM 100
SR R
S T
Jabatan Direktur
TM 60
SR 30
R 10
S T
Jabatan Manajer
TM 32
SR 56
R 6
S 6
T
Jabatan Supervisor
TM 43
SR 50
R 3
S 6
T 1
Jabatan Staf
Kata kunci: TM: Tidak mengalami, SR: Sangat Rendah, R: Rendah, S: Sedang, T: Tinggi
73
mengalami pelecehan seksual dan 50 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi.
Hasil analisis disimpulkan bahwa pekerja dengan jabatan kerja Supervisor dan Staf lebih cenderung banyak mengalami pelecehan seksual di
tempat kerja dibandingkan pekerja dengan jabatan Manajer atau bahkan jabatan Direktur.
Analisis deskriptif kedelapan peneliti mendeskriptifkan skor total skala SEQ-DoD berdasarkan jenis bidang pekerjaan pada masing-masing
subjek, dengan tujuan untuk mengetahui jenis bidang pekerjaan yang lebih cenderung mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Berikut grafik pie
chart skor total skala SEQ-DoD berdasarkan jenis bidang pekerjaan :
TM 81
SR 19
R S
T
Bidang Administrasi
TM 100
SR T
S R
Bidang Keamanan Negara
74
TM 11
SR 67
R 22
S T
Bidang Badan Pemerintahan
TM 33
SR 41
R 15
S 11
T
Bidang Informasi dan Komunikasi
TM 23
SR 43
R 16
S 16
T 2
Bidang Jasa Akomodasi
TM 100
SR R
S
T
Bidang Jasa Distributor
TM 27
SR 73
R S
T
Bidang Jasa Kesehatan
TM 46
SR 43
R 3
S 8
T
Bidang Jasa Keuangan dan Asuransi
75
TM 100
SR R
S T
Bidang Jasa Konstruksi
TM 33
SK 67
KK S
SS
Bidang Jasa Konsultasi
TM 50
SR 50
R
S T
Bidang Jasa Pelayanan Masyarakat
TM 55
SR 25
R 15
S 5
T
Bidang Jasa Pelayanan Rumah Tangga
TM 100
R SR
S T
Bidang Jasa Pembuatan Design Grafis
TM 39
SR 48
R 4
S 9
T
Bidang Jasa Pendidikan
76
Gambar 10. Pie Chart SEQ-DoD Berdasarkan Jenis Bidang Kerja
TM 45
SR 55
R S
T
Bidang Jasa Profesional dan Teknisi
TM 17
SR 83
R S
T
Bidang Kesenian, Hiburan dan Rekreasi
TM 14
SR 72
R 14
S T
Bidang Pabrik atau Industri
TM 27
SR 67
R S
6 T
Bidang Perdagangan atau Wirausaha
Kata kunci: TM: Tidak mengalami, SR: Sangat Rendah, R: Rendah, S: Sedang, T: Tinggi
TM 25
SR 75
R S
T
Bidang Perpustakaan
77
Hasil grafik menunjukkan subjek yang bekerja pada bidang
Administrasi 19 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, sedangkan subjek yang bekerja pada bidang Badan Keamanan Negara
100 tidak mengalami pelecehan seksual, dan bidang Badan Pemerintahan 89 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah dan
rendah. Pada bidang Informasi dan Komunikasi 67 subjek mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang,
sedangkan pada bidang Jasa Akomodasi 77 subjek mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi. Subjek
yang bekerja pada bidang Jasa Distributor 100 tidak mengalami pelecehan seksual.
Pada bidang Jasa Kesehatan 73 subjek mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, sedangkan pada bidang Jasa Keuangan dan
Asuransi 54 subjek mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang. 100 subjek yang bekerja pada bidang konstruksi
tidak mengalami pelecehan seksual. 67 subjek yang bekerja pada bidang konsultasi mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah.
Subjek yang bekerja pada bidang Jasa Pelayanan Masyarakat 50 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, sedangkan pada bidang
Jasa Pelayanan Rumah Tangga 45 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, rendah dan sedang.
78
Subjek yang bekerja pada bidang Jasa Pembuatan Design Grafis 100 tidak mengalami pelecehan seksual, sedangkan 61 subjek yang bekerja pada
bidang Jasa Pendidikan mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah. 55 subjek pada bidang Jasa Profesional dan Teknisi mengalami
pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah. 87 subjek yang bekerja pada bidang Kesenian, Hiburan dan Rekreasi mengalami pelecehan seksual
dengan frekuensi sangat rendah. 86 subjek yang bekerja pada bidang Pabrik dan Industri mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah
dan rendah. Subjek yang bekerja pada bidang Perdagangan 73 mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah, dan 75 subjek yang
bekerja pada bidang Perpustakaan mengalami pelecehan seksual dengan frekuensi sangat rendah.
Hasil analisis disimpulkan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja terjadi di sebagian besar bidang pekerjaan. Pekerja yang bekerja di bidang
Badan Pemerintahan, Pabrik atau Industri, Kesenian dan Hiburan, Jasa Akomodasi dan Perdagangan lebih cenderung banyak mengalami pelecehan
seksual di tempat kerja. Pekerja yang bekerja di bidang Jasa Konsultasi, Jasa Kesehatan, Perpustakaan, Jasa Pendidikan, Informasi dan Komunikasi lebih
cenderung sedang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Pelecehan seksual di tempat kerja lebih cenderung sedikit pada pekerja yang bekerja di
bidang Keuangan dan Asuransi, Jasa Pelayanan Masyarakat, Jasa Pelayanan Rumah Tangga, Jasa Profesional dan Administrasi. Pekerja pada bidang
79
Badan Keamanan Negara, Konstruksi, Design Grafis dan Distributor cenderung tidak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Analisis deskriptif kesembilan peneliti mendeskriptifkan pelaku pelecehan seksual di tempat kerja berdasarkan berdasarkan masing-masing
item pada skala SEQ-DoD, dengan tujuan untuk melihat kecenderungan pelaku pelecehan seksual di tempat kerja. Analisis dilakukan dengan
menggunakan grafik pie chart dan grafik batang. Grafik pie chart digunakan untuk melihat jumlah dominasi pelaku pelecehan seksual di tempat kerja,
sedangkan grafik batang digunakan untuk melihat kecenderungan bentuk perilaku pelaku pelecehan seksual di tempat kerja. Berikut grafik pie chart
dan grafik batang deskriptif pelaku pelecehan seksual di tempat kerja:
Gambar 11. Pie Chart Pelaku Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Pria 74
Wanita 26
Pelaku Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
80
Gambar 12. Histogram Pelaku Pelecehan Seksual Berdasarkan Item SEQ-
DoD
Hasil grafik pie chart menunjukkan pelaku pelecehan seksual di tempat kerja didominasi oleh jumlah pria yakni sebesar 74 dan 26
merupakan jumlah pelaku wanita. Hasil grafik histogram menunjukkan pada pelaku pelecehan seksual wanita cenderung lebih banyak melakukan perilaku
pelecehan seksual seperti “memberi komentar yang tidak menyenangkan tentang penampilan tubuh atau aktivitas seksual” pada item no. 2 dan
perilaku “berbicara dan bercanda hal-hal yang mengarah pada unsur seksual atau mesum” pada item no. 23. Kedua perilaku tersebut tergolong dalam
perilaku pelecehan seksual dimensi unwanted sexual attention dan gender harassment
dalam bentuk verbal. Pada perilaku “menyogok menyuap dengan hadiah atau imbalan
untuk melakukan aktivitas seksual” pada item no. 9 dan perilaku
81
“memandang atau menatap dengan penuh nafsu atau tidak senonoh” pada item no. 10 cenderung dilakukan pria di tempat kerja. Kedua perilaku
tersebut tergolong dalam dimensi perilaku pelecehan seksual sexual coercion. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pelaku pelecehan seksual di
tempat kerja didominasi oleh pria. Pelaku pelecahan seksual wanita lebih cenderung melakukan pelecehan dalam perilaku unwanted sexual attention
dan gender harassment dalam bentuk verbal. Pelaku pelecehan seksual pria cenderung melakukan pelecehan dalam perilaku unwanted sexual attention,
gender harassment dan sexual attention dalam bentuk verbal maupun non-
verbal.
2. Uji Asumsi a. Uji Normalitas Residu
Sebelum melakukan uji hipotesis peneliti melakukan uji asumsi data penelitian. Uji asumsi pertama adalah uji normalitas
residu. Uji normalitas residu pada data penelian ini, dengan tujuan untuk melihat distribusi penyebaran nilai residu data penelitian.
Persamaan regresi yang baik adalah jika penyebaran nilai residunya normal Sunyoto, 2010. Uji normalitas residu dilakukan dengan
metode statistik Kolmogorov-Smirnov dengan nilai alpha sebesar 5. Berikut tabel hasil uji normalitas residu:
82
Tabel 20 Uji Normalitas Residu
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized
Residual N
278 Normal Parameters
Mean 0.0000000
Std. Deviation
14.95591326 Most Extreme
Differences Absolute
0.047 Positive
0.047 Negative
-0.023 Test Statistic
0.47 Asymp. Sig. 2-tailed
0.200 a. Test distribution is Normal.
b. Caculated from data. c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
Hasil tabel menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig. 2-tailed mencapai 0.200. Hasil tersebut menunjukkan bahwa data yang diuji memiliki
distribusi penyebaran nilai residu yang normal, karena nilai p mencapai 0.200 0.05.
b. Uji Heterokedasitas
Uji asumsi kedua adalah uji heterokedasitas, dengan tujuan untuk melihat kesamaan varian nilai residualnya. Persamaan regresi
yang baik jika varian residualnya memiliki kesamaan atau tidak terjadi heterokedasitas Sunyoto, 2010. Uji heterokedasitas dilakukan dengan
83
metode statistik uji Glejser dengan nilai alpha 5. Berikut tabel hasil uji heterokedasitas:
Tabel 21 Uji Glejser Heterokedasitas
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B
Std. Error Beta
t Sig.
1 Constant 12.089
1.487 8.133
0.000 Pelecehan seksual
di tempat kerja -0.009
0.032 -0.017
-0.287 0.774
Hasil tabel menunjukkan bahwa nilai Sig. mencapai 0.774. Hal tersebut menunjukkan bahwa data yang diuji tidak terjadi
heterokedasitas atau terjadi homokedasitas, dikarenakan nilai Sig. 0.774 lebih besar dari nilai alpha 0.05.
c. Uji Linearitas
Uji asumsi ketiga peneliti melakukan uji linearitas dengan tujuan untuk melihat hubungan antarvariabel yang hendak dianalisis
Santoso, 2010. Uji linearitas dilakukan dengan metode statistik Test for Linierity
dengan nilai alpha sebesar 5. Berikut hasil tabel uji linearitas:
84
Tabel 22 Uji Linearitas
ANOVA Table Sum of
Mean Squares
df Square
F Sig.
Psikosomatis Between
Combined 19013.437
48 363.113
1.763 0.003
Pelecehan seksual
Groups Linearity
8518.161 1
8518.16 37.903
0.000 di tempat kerja
Deviation from
Linearity 10495.276
47 223.304
0.994 0.491
Within Groups
51463.901 229
224.733 Total
704477.338 277
Hasil tabel menunjukkan nilai Sig. diperoleh sebesar 0.000. Hal tersebut menunjukkan bahwa data yang diuji menunjukkan adanya
linearitas, dikarenakan nilai Sig. 0.000 0.05.
3. Uji Hipotesis
Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data yang diuji memiliki perserbaran distribusi residualnya yang normal, nilai residual memiliki varian
yang sama atau tidak terjadi heterokedasitas dan menunjukkan adanya linearitas, sehingga dari hasil uji asumsi, diasumsikan data yang diuji
memiliki persamaan regresi yang baik. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan metode statistik regresi linear sederhana dengan nilai alpha
sebesar 5, dengan tujuan untuk melihat prediksi munculnya psikosomatis akibat pelecehan seksual. Berikut hasil tabel uji hipotesis:
85
Tabel 23 Uji Hipotesis
Standardized Unstandardized Coefficients
Coefficients Model
B Std. Error
Beta t
Sig. 1. Constant
48.477 2.392
20.270 0.000
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
0.322 0.52
0.348 6.16
0.000
Hasil tabel menunjukkan persamaan regresi linear sederhana pada uji regresi data adalah Y = 48.477 + 0.322. X
1
. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai β = 0.348, nilai t = 6.160 dan nilai p = 0.000 0.05, hal tersebut
menunjukkan bahwa pelecehan seksual mampu memprediksi munculnya psikosomatis, sehingga hipotesis penelitian diterima.
4. Analisis Tambahan
Untuk melihat kemampuan variabel pelecehan seksual di tempat kerja dalam memprediksi munculnya psikosomatis, peneliti menggunakan nilai R
square atau pada hasil regresi. Berikut tabel koefisiensi determinan:
Tabel 24 Koefisiensi Determinan
Model R
R Square Adjusted
Std. Error of the R Square
Estimate
1 0.121
0.118 14.983
a. Predictors: Constant, Pelecehan Seksual di Tempat Kerja b. Dependent Variable: Psikosomatis
0.348
86
Hasil tabel menunjukkan nilai R square diperoleh sebesar 0.121. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pelecehan seksual di tempat kerja dalam
memprediksi munculnya psikosomatis sebesar 12,1, sedangkan 87,9 100 - 12,1 diprediksi oleh variabel lain.
E. Pembahasan 1. Pembahasan Analisis Deskriptif
Berdasarkan hasil analisis deskriptif pertama ditemukan: a. Perilaku “bicara atau candaan atasan atau rekan kerja yang mengarah
pada unsur seksual” item no. 23. b. Perilaku “atasan atau rekan kerja yang memanggil dengan panggilan
mesra baby, honey, sayang” item no. 8. c. Perilaku “memberi komentar yang tidak menyenangkan tentang
penampilan tubuh atau aktivitas seksual” item no. 2. Merupakan perilaku pelecahan seksual yang cenderung lebih banyak muncul
di tempat kerja. Ketiga perilaku tersebut tergolong dalam dimensi unwanted sexual attention
item no. 8 dan 23 dan dimensi gender harassment item no. 2 dalam bentuk pelecehan seksual secara verbal.
Perilaku bercanda dan berbicara yang mengandung unsur seksual dan perilaku memanggil seseorang dengan mesra, sangat berkaitan dengan
perilaku humor seksual. Menurut Freud dalam Samuel, 1981 bahwa humor yang paling lucu adalah humor yang mengandung unsur seksual dan agresi,
sehingga tidak diragukan bahwa perilaku berbicara atau bercanda yang
87
mengandung unsur seksual perilaku memanggil seseorang dengan mesra cenderung lebih banyak terjadi di tempat kerja karena dianggap pekerja lucu
atau sebagai hiburan di tempat kerja. Perasaan ketidaksukaan kita dengan orang lain cenderung membuat
kita sering melontarkan berbagai asumsi dan praduga negatif pada orang tersebut Siahaan, 1990. Penjelasan tersebut mengarahkan peneliti pada
perilaku “memberi komentar yang tidak menyenangkan tentang penampilan tubuh atau aktivitas seksual”. Peneliti berasumsi bahwa pekerja yang memiliki
perasaan tidak suka pada rekan kerjanya, akan selalu memberikan komentar- komentar negatif terkait dengan pekerjaanya atau bahkan kehidupan
pribadinya. Hasil analisis deskriptif pertama juga menemukan bahwa perilaku :
a. Perilaku “memberikan iming-iming akan mendapat promosi cepat atau perlakukan baik, jika mau melakukan aktifitas seksual” item no. 3.
b. Perilaku “usaha mengajak berhubungan seks dengan atasan atau rekan kerja” item no. 5.
c. Perilaku “memperlakuan secara buruk karena menolak melakukan aktifitas seksual” item no. 18.
Merupakan perilaku pelecehan seksual yang cenderung jarang muncul di tempat kerja. Ketiga perilaku tersebut tergolong dalam dimensi sexual
coercion item no. 3, 5 dan 18 dalam bentuk pelecehan seksual secara verbal.
88
Hasil tersebut terkait dengan salah satu penelitan yang menemukan bahwa sebagian besar pelaku-pelaku pelecehan seksual di tempat kerja lebih sering
dan senang melakukan pelecehan seksual dalam bentuk perilaku yang tersamar seperti bercanda atau gesture
yang mengandung unsur seksual, dibandingkan perilaku mengajak seseorang berhubungan seksual Welsh,
1999. Hasil pembahasan pertama dapat disimpulkan bahwa perilaku
pelecehan seksual yang tergolong dalam dimensi unwanted sexual attention dan gender harassment cenderung lebih banyak muncul di tempat kerja
khususnya yang berkaitan dengan perilaku humor sexual. Sedangkan perilaku pelecehan seksual yang tergolong dalam dimensi sexual coercion cenderung
lebih jarang muncul di tempat kerja, dikarenakan pekerja lebih menyenangi perilaku melecehkan yang tersamar seperti bercanda atau gerak tubuh yang
berunsur seksual. Berdasarkan hasil analisis deskriptif kedua ditemukan pekerja pria
agak feminin, pria feminin, wanita feminin dan wanita agak maskulin cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja
dibandingkan pria maskulin dan wanita maskulin. Dapat dikatakan bahwa pekerja feminin cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di
tempat kerja dibandingkan dengan pekerja maskulin. Maskulinitas dan feminintas selalu dikaitkan dengan pandangan
gender Beringhausen Kerstan, 1992; Zulaikha, 2006. Feldman dalam
89
Nauly, 2003 pada penelitiannya menemukan beberapa karakteristik umum maskulin dan feminin. Karakteristik feminin digambarkan emosional,
subjektif, tidak logis, suka mengeluh, lemah, putus asa mudah tersinggung serta tergantung pada orang lain. Karakteristik maskulin digambarkan agresif,
mandiri, objektif, tidak mudah dipengaruhi, percaya diri, logis, kompetitif dan ambisius. Berdasarkan penggambaran karakteristik dapat dijelaskan bahwa
pekerja feminin lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, karena karakterk feminin lebih lemah, tidak agresif dan bergantung pada
orang lain, sehingga karakter feminim lebih sering menerima pelecehan seksual.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif ketiga ditemukan pekerja berusia 21 sampai 30 tahun lebih cenderung banyak mengalami pelecehan seksual di
tempat kerja. Pekerja berusia 18 sampai 20 tahun dan usia 31 sampai 60 tahun lebih cenderung sedikit mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Pada perkembangan manusia, usia 21 sampai 30 tahun tergolong dalam usia orang dewasa awal. Dalam segi kehidupan sosial, orang-orang dewasa awal
akan mencari keintiman emosional dan fisik kepada teman sebaya atau pasangan romantis. Hubungan ini mengisyaratkan keterampilan seperti
kesadaran diri, empati, kemampuan mengkomunikasikan emosi, pembuatan keputusan
seksual, penyelesaian
konflik dan
kemampuan untuk
mempertahankan komitment Papalia, Olds Feldman, 2008.
90
Teori penjelasan diatas peneliti berasumsi pekerja dengan usia 21 sampai 30 tahun cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual,
karena pada usia tersebut pekerja mencari keintiman baik secara fisik dan emosi kepada rekan atau atasan kerjanya. Ketika pekerja tersebut tidak
waspada terhadap orang yang didekatinya, maka pekerja tersebut akan dengan mudah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh
atasan atau rekan kerjanya. Berdasarkan hasil deskriptif keempat ditemukan pekerja dengan
pendidikan terakhir SMASMK, D1, D2, D3 dan S1D4 lebih cenderung banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Pekerja dengan
pendidikan terakhir SMP, S2 dan S3 lebih cenderung sedikit mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan pekerja dengan pendidikan terakhir SD
tidak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Berdasarkan hasil tersebut peneliti berasumsi bahwa latar belakang tingkat pendidikan akhir seorang
pekerja tidak mampu menjadi faktor resiko seseorang menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja. Hal tersebut ditunjukkan bahwa pekerja
dengan pendidikan terakhir SD justru tidak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Kemungkinan terbesar ada faktor lain yang lebih beresiko yang
dapat menyebabkan seseorang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, seperti: jabatan, karakter seseorang dan masa kerja seseorang.
Berdasarkan hasil deskriptif kelima ditemukan pekerja yang bekerja kurang dari setahun hingga 10 tahun, cenderung lebih banyak mengalami
91
pelecehan seksual di tempat kerja dibandingkan dengan pekerja yang bekerja lebih dari 11 tahun keatas. Frekuensi lama bekerja seseorang mempengaruhi
power yang dimilikinya di dalam suatu perusahaan, semakin seseorang lama
bekerja, semakin orang tersebut memiliki power atau kekuasaan di dalam tempat bekerjanya Better Work Indonesia, 2012.
Truida 2001 menemukan bahwa orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan atau power di dalam suatu industri atau perusahaan lebih sering
mengalami pelecehan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan atau senior mereka. Hasil penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerja
yang bekerja kurang dari setahun hingga 10 tahun, cenderung kurang memiliki power atau kekuasaan, sehingga lebih sering mengalami pelecehan
seksual di tempat kerja. Berdasarkan hasil deskriptif keenam ditemukan pekerja sebagian besar
mengalami pelecehan seksual di tempat kerja meskipun jumlah rekan kerja lebih didominasi oleh pria atau dominasi wanita. Akan tetapi pekerja yang
memiliki rekan kerja yang di dominasi oleh jumlah pria cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dibandingkan dengan
pekerja yang memiliki rekan kerja yang di dominasi oleh jumlah wanita. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang
menemukan bahwa tempat kerja yang didominasi oleh jumlah pria cenderung lebih banyak terjadi kasus pelecehan seksual di tempat kerja yang dialami
92
oleh para pekerjanya terlebih pekerja wanita Gutek Morasch, 1982; Gutek Cohen, 1987; Welsh 1999.
Berdasarkan hasil deskriptif ketujuh ditemukan pekerja dengan jabatan kerja Supervisor dan Staf lebih cenderung banyak mengalami pelecehan
seksual di tempat kerja dibandingkan pekerja dengan jabatan Manajer atau bahkan jabatan Direktur. Baugh 1997 menyatakan bahwa perbedaan
kekuasan sering memicu terjadinya tindakan pelecehan seksual di tempat kerja, hal ini terlihat dari banyaknya atasan yang menjadi pelaku dan bawahan
sebagai korban pelecehan seksual. Dapat disimpulkan bahwa pekerja dengan jabatan yang rendah akan cenderung lebih banyak mengalami pelecehan
seksual di tempat kerja karena kecilnya power atau kekuasaan yang dimiliki. Berdasarkan hasil deskriptif kedelapan ditemukan pelecehan seksual di
tempat kerja terjadi di sebagian besar bidang pekerjaan. Pekerja yang bekerja di bidang Badan Pemerintahan, Pabrik atau Industri, Kesenian dan Hiburan,
Jasa Akomodasi dan Perdagangan lebih cenderung banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Pekerja yang bekerja di bidang Jasa
Konsultasi, Jasa Kesehatan, Perpustakaan, Jasa Pendidikan, Informasi dan Komunikasi lebih cenderung sedang mengalami pelecehan seksual di tempat
kerja. Pelecehan seksual di tempat kerja lebih cenderung sedikit pada pekerja yang bekerja di bidang Keuangan dan Asuransi, Jasa Pelayanan Masyarakat,
Jasa Pelayanan Rumah Tangga, Jasa Profesional dan Administrasi. Pekerja
93
pada bidang Badan Keamanan Negara, Konstruksi, Design Grafis dan Distributor cenderung tidak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa bidang pekerjaan yang berkaitan dengan dunia pria cenderung lebih
banyak terjadi tindakan pelecehan seksual di tempat kerja Gutek Morasch, 1982; Gutek Cohen, 1987; Welsh 1999. Kesesuaian tersebut terlihat dari
hasil yang ditemukan pada bidang pekerjaan yang cenderung lebih banyak terjadi pelecehan seksual adalah bidang Badan Pemerintahan, Pabrik atau
Industri, Kesenian dan Hiburan, Jasa Akomodasi dan Perdagangan yang sebagian besar didominasi oleh pria.
Berdasarkan hasil analisis kesembilan ditemukan pelaku pelecehan seksual di tempat kerja didominasi oleh pria. Pelaku pelecahan seksual wanita
lebih cenderung melakukan pelecehan dalam perilaku unwanted sexual attention
dan gender harassment dalam bentuk verbal. Pelaku pelecehan seksual pria cenderung melakukan pelecehan dalam perilaku unwanted sexual
attention, gender harassment dan sexual attention dalam bentuk verbal
maupun non-verbal. Collier dalam Hastuti Lucia, 2003 menjelaskan kecenderungan
pria lebih banyak melakukan pelecehan seksual dikarenakan adanya perbedaan cara pandang antara pria dan wanita dalam memandang perilaku
pelecehan seksual, wanita lebih sering memandang pelecehan seksual sebagai perilaku mempermainkan seseorang atau merendahkan, sedangkan pria lebih
94
sering memandang pelecehan seksual sebagai perilaku untuk menyalurkan hasrat seksual yang ada dalam diri.
Hasil penelitian American Psychological Association dalam Levay Simon, 2006 juga menemukan bahwa pelaku-pelaku pelecehan seksual lebih
didominasi oleh pria sebesar 99 dan 1 pelaku wanita. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang ditemukan oleh APA, penelitian ini
menemukan peningkatan jumlah pelaku wanita sebesar 26. Hal tersebut disebabkan wanita pekerja pada era modern saat ini tidak hanya di tempatkan
pada posisi rendah akan tetapi pada posisi atau jabatan pemimpin ILO, 2014, sehingga dapat dikatakan wanita pekerja juga memiliki power atau
kekuasaan dan berani melakukan pelecehan seksual pada bawahannya. Hasil lain menunjukkan bahwa pelaku wanita lebih cenderung
melakukan pelecehan seksual dalam bentuk verbal. Samuel 1981 menemukan bahwa kecenderungan wanita melakukan agresi secara verbal
dibandingkan agresi secara fisik. Hal tersebut yang membuat pelaku wanita lebih cenderung melakukan pelecehan seksual dalam bentuk verbal
dibandingkan dalam bentuk gesture dan lain-lain.
2. Pembahasan Hipotesis
Hasil analisis regresi linear sederhana menunjukkan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi munculnya psikosomatis. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ketika seseorang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan atau rekan kerja nya, maka secara
95
langsung korban pelecehan seksual akan mengalami perubahan mood menjadi negatif baik dalam bentuk kecemasan ataupun depresi Julian, dkk.,
1996. Ketika mood negatif tersebut muncul secara intens dan bereaksi secara berlebihan dalam diri korban pelecehan seksual Kartono Gulo, 1979 serta
ego korban tidak mampu bekerja dengan baik dalam menyalurkan material konflik tersebut mood negatif, maka membuat ego akan mengekspresikan
material konflik tersebut melalui susunan saraf autonom Prawiroharjo, 1973 ke dalam alat-alat viseral Roan, 1979 sehingga menimbulkan korban
pelecehan seksual mengalami psikosomatis. Korban pelecehan seksual juga dapat mengalami pengalaman
traumatik dan perasaan bersalah ketika dirinya dilecehkan Crooks Karla, 1983. Pengalaman masa lalu yang bersifat trauma dan rasa bersalah diri atau
self punishment mengakibatkan munculnya emosi negatif yang intens dalam
diri korban pelecehan seksual David Cheek Leslie, 1968; Fathonah, 2012. Ketika ego korban tidak mampu bekerja dengan baik dalam menyalurkan
material konflik tersebut mood negatif, maka membuat ego akan mengekspresikan material konflik tersebut melalui susunan saraf autonom
Prawiroharjo, 1973 ke dalam alat-alat viseral Roan, 1979 sehingga menimbulkan korban pelecehan seksual mengalami psikosomatis.
Ketika korban pelecehan seksual mengungkapkan perasaannya melalui bahasa tubuh yang digunakannya, contohnya menganggap pelaku bagai duri
dalam daging yang membuat tubuhnya sakitDavid Cheek Leslie, 1968;
96
Fathonah, 2012. Bila pernyataan ini diulang terus menerus, maka pikiran bawah sadar akan menangkap pernyataan tersebut David Cheek Leslie,
1968; Fathonah, 2012 dan dalam otak ego akan menyalurkan material konflik tersebut melalui susunan saraf autonom ke dalam alat-alat viseral dan
hal tersebut menyebabkan korban pelecehan seksual mengalami psikosomatis.
3. Pembahasan Analisis Tambahan
Hasil tabel menunjukkan nilai R square diperoleh sebesar 0.121. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pelecehan seksual di tempat kerja
dalam memprediksi munculnya psikosomatis sebesar 12,1, sedangkan 87,9 100 - 12,1 diprediksi oleh variabel lain. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa psikosomatis tidak hanya muncul akibat adanya pelecehan seksual di tempat kerja.
Dalam dunia kerja, psikosomatis yang dialami pekerja selalu dikaitkan dengan stress kerja yang dialami pekerja. Frese 1985 dalam penelitiannya
menemukan stress kerja, mampu memprediksi munculnya psikosomatis yang dialami oleh para pekerja. Frese 1985 juga menemukan bahwa sebagian
besar karyawan yang mengalami stres kerja mengaku dirinya mengalami gangguan fisik seperti sulit tidur, sakit kepala, gangguan pencernaan, leher
terasa tegang, menurunnya selera makan dan kehilangan energi. Dari penejelasan tersebut peneliti berasumsi bahwa stres kerja yang dialami
pekerja memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam memprediksi munculnya psikosomatis dibandingkan pelecehan seksual di tempat kerja,
97
untuk lebih tepatnya memang diperlukan penelitian yang melihat kemampuan stress kerja dalam memprediksi psikosomatis di Indonesia.
F. Keterbatasan Penelitian
Peneliti sangat menyadari bahwa dalam penelitian ini memiliki kekurangan atau keterbatasan penelitian, antara lain:
1. Pada analisis deskriptif peneliti menggunakan subjek dengan jumlah yang tidak terlalu banyak, sehingga data yang dideskripsikan pada beberapa
kategori kurang begitu merepresentasikan realitas yang ada di dunia kerja. 2. Pada pengambilan data tidak adanya pengawasan subjek dalam pengisian
angket penelitian, karena dikerjakan secara pribadi dan menjaga privasi data subjek baik secara online maupun langsung. Hal tersebut
menyebabkan banyaknya subjek penelitian yang gugur karena pengisisan angket penelitian yang kurang lengkap dan adanya kemungkinan faking
good atau sebaliknya.
3. Pada penelitian ini kurang menjangkau pekerja yang bekerja di instansi negeri dan pekerja yang bekerja di luar ruangan.
4. Jangkauan penelitian yang terlalu luas sehingga hasil deskriptif sangat general sehingga data tidak bisa dikhususkan pada satu wilayah.
5. Pada penentuan identitas seksual maskulin dan feminin dan jumlah dominasi rekan kerja subjek dipilih secara subjektif oleh subjek
penelitian. Seharusnya kedua hal tersebut diukur dengan alat khusus untuk hasil yang lebih objektif.
98
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa :
1. Perilaku pelecehan seksual yang tergolong dalam dimensi unwanted sexual attention
dan gender harassment cenderung lebih banyak muncul di tempat kerja khususnya yang berkaitan dengan perilaku humor sexual.
2. Perilaku pelecehan seksual yang tergolong dalam dimensi sexual coercion cenderung lebih jarang muncul di tempat kerja, dikarenakan pekerja lebih
menyenangi perilaku melecehkan yang tersamar seperti bercanda atau gerak tubuh yang berunsur seksual.
3. Pekerja dengan karakteristik feminin cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja
4. Pekerja dengan usia 21 sampai 30 tahun cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
5. Pekerja dengan pendidikan terakhir SMASMK, D1, D2, D3 dan S1D4 cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
6. Pekerja yang bekerja kurang dari setahun hingga 10 tahun cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
99
7. Pekerja yang memiliki rekan kerja di dominasi oleh jumlah pria cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
8. Pekerja dengan jabatan kerja Supervisor dan Staf cenderung lebih banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
9. Pekerja yang bekerja di bidang Badan Pemerintahan, Pabrik atau Industri, Kesenian dan Hiburan, Jasa Akomodasi dan Perdagangan lebih cenderung
banyak mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. 10. Pelaku pelecehan seksual di tempat kerja didominasi oleh jumlah pria.
11. Pelaku pelecehan wanita lebih cenderung melakukan pelecehan dalam perilaku unwanted sexual attention dan gender harassment dalam bentuk
verbal. 12. Pelaku pelecehan pria lebih cenderung melakukan pelecehan dalam perilaku
unwanted sexual attention, gender harassment dan sexual coercion dalam
bentuk verbal dan non verbal. 13. Hipotesis penelitian diterima yang menunjukkan bahwa pelecehan seksual di
tempat kerja mampu memprediksi munculnya psikosomatis. 14. Persamaan regresi linear sederhana pada uji regresi data adalah Y = 48.477 +
0.322. X
1
15. Kemampuan pelecehan seksual di tempat kerja dalam memprediksi munculnya psikosomatis sebesar 12.1 , 87.9 100 - 12.1 diprediksi
oleh variabel lain.
100
B. Saran
1. Bagi Pekerja a. Agar lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan atasan dan rekan
kerja, karena hasil penelitian menemukan bahwa sebagian besar perilaku pelecehan seksual yang sering terjadi di tempat kerja adalah
perilaku yang tersamar seperti bercanda, berbicara atau gesture yang mengandung unsur seksual.
b. Para pekerja diharapkan menambah wawasan mereka terkait bentuk- bentuk pelecehan seksual di tempat kerja, khususnya bagi para pekerja
yang rentan mengalami pelecehan seksual, seperti: wanita, pekerja dengan jabatan staf, pekerja baru,
c. Para pekerja diharapkan meningkatkan agensi dalam diri mereka, sehingga para pekerja berani untuk menolak atau melawan serta lebih
waspada terhadap tindakan pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja mereka.
2. Bagi AtasanDirekturPemilik Tempat Kerja a. Pemilik jabatan tertinggi di tempat kerja diharapkan untuk melindungi
para pekerja mereka terhadap tindakan pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerjanya.
b. Atasan juga diharapkan secara tegas memiliki sanksi-sanksi yang diberikan kepada pelaku pelecehan seksual di tempat kerja, sehingga
101
pelaku jera atas tindakan pelecehan yang dilakukannya. Jika tidak maka pelaku akan semakin sering melakukan tindakan pelecehan
seksual di tempat kerja akibat jatuh dalam kebiasaan melecehkan dan tidak ada sanksi yang membuat pelaku jera.
3. Bagi Peneliti Selanjutanya a. Peneliti diharapkan kembali mengangkat penelitian deskripsi
pelecehan seksual di tempat kerja dengan jumlah subjek yang lebih banyak serta memiliki kekhususan wilayah.
b. Peneliti diharapkan menemukan variabel lain yang menyebabkan psiksomatis pada pekerja, karena dari hasil penelitian ini pelecehan
seksual di tempat kerja memprediksi 12.1 munculnya psikosomatis, sedangkan 87.9 diprediksi oleh variabel lain.
c. Peneliti selanjutnya juga bisa melanjutkan penelitian dengan menggunakan variabel lain yang diprediksi oleh pelecehan seksual di
tempat kerja. d. Peneliti selanjutnya bisa mengangkat deskripsi pelecehan seksual di
konteks sosial yang berbeda, seperti sekolah, kampus, atau bahkan di dunia online.
e. Peneliti dapat mengangkat sebuah penelitian pelecehan seksual di tempat kerja berdasarkan hasil-hasil faktor beresiko yang ditemukan
pada penelitian ini, khususnya bagian latar belakang pendidikan akhir,
102
apakah pendidikan akhir seseorang mampu menentukan seseorang tersebut mengalami pelecehan seksual atau tidak.