5
Fauzia Weny, 2010. Ira 2014 melihat proses resiliensi korban pelecehan seksual di tempat kerja, dan menemukan faktor yang membuat korban pelecehan
seksual mengalami proses resiliensi adalah faktor dukungan sosial, penerimaan diri, faktor I’am, faktor I Have dan faktor I Can.
Meskipun telah dilakukan beberapa penelitian terkait pelecehan seksual di tempat kerja, akan tetapi Margaretha 2015 menjelaskan bahwa penelitian yang ada
di Indonesia terkait pelecehan seksual di tempat kerja belum cukup mampu untuk menjelaskan bagaimana fenomena tersebut ditangani di Indonesia. Berdasarkan
penelitian sebelumnya peneliti berasumsi bahwa selama ini penelitian pelecehan seksual di tempat kerja hanya melihat jumlah presentase korban pelecehan seksual di
tempat kerja dan dampak yang dialami oleh korban pelecehan seksual. Di Indonesia penelitian yang mendeskripsikan masalah pelecehan seksual di tempat kerja belum
pernah ada. Diharapkan dengan mendeskripsikan masalah pelecehan seksual di tempat kerja dapat menemukan faktor-faktor resikonya, sehingga hasil temuan
penelitian dapat digunakan untuk menangani fenomena pelecehan seksual di tempat kerja.
Berdasarkan hal tersebut peneliti mencoba mengangkat penelitian yang mendeskripsikan pelecehan seksual di tempat kerja dengan menggunakan alat ukur
psikologis. Hasil deskripsi tidak hanya melihat jumlah presentase korban atau pelaku pelecehan seksual, akan tetapi melihat juga bagaimana gambaran perilaku pelecehan
seksual di tempat kerja, serta menghubungkan hasil dengan data demografis korban
6
pelecehan seksual untuk menemukan faktor-faktor beresiko dari masalah pelecehan seksual di tempat kerja.
Selain melihat masalah pelecehan seksual di tempat kerja, peneliti juga melihat dampak yang dirasakan oleh pekerja Indonesia korban pelecehan seksual di
tempat kerja. Beberapa laporan menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual di tempat kerja merasa tertekan, tidak bersemangat dalam bekerja Hukumonline.com,
tidak nyaman dan sering absen Detiknews.com, 2014 serta sering stress karena sering digosipkan atau digunjingkan serta merasa kehilangan relasi kerja dan turnover
Margaretha, 2015. Berdasarkan hasil laporan tersebut peneliti tidak menemukan dampak pelecehan seksual secara fisik yang dirasakan korban pelecehan seksual.
Padahal di negara barat ditemukan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja dapat memberikan dampak secara fisik yang berkaitan dengan gangguan psikosomatis,
seperti: tidak bisa tidur, mudah lelah dan sering mengalami sakit kepala setelah mengalami pelecehan seksual Forster,1992. Pada penelitian Julian, dkk 1996. juga
menemukan bahwa pelecehan seksual dapat memprediksi munculnya psikosomatis yang dimediasi oleh negative mood.
Dalam ranah psikiatri psikosomatis disebut dengan psychophysiological reaction
yang merupakan suatu ekspresi organis baik dalam bentuk disfungsi atau perubahan patologis yang ditimbulkan akibat emosi yang kronis yang disalurkan
melalui susunan saraf autonom Kartono Gulo, 1978. Demikian dapat dimengerti bahwa setiap fungsi organis yang terganggu oleh emosi yang kuat dapat menjadi
7
basis timbulnya bermacam-macam gangguan psikosomatis Kartono Gulo, 1978. Reaksi psikosomatis bisa mengenai semua fungsi organ yang penting dalam tubuh
Prawiroharjo, 1973. Berdasarkan hal tersebut peneliti mencoba kembali mengangkat penelitian
yang dilakukan oleh Julian, dkk. 1996 di Indonesia untuk membuktikan kembali bahwa pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi munculnya
psikosomatis di tempat kerja. Dengan memberikan sumbangan karakteristik pada penelitian sebelumnya dengan adanya tambahan variasi bidang pekerjaan yang pada
penelitian sebelumnya menggunakan empat bidang pekerjaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang ada maka rumusan masalah yang diangkat peneliti adalah :
1. Bagaimana deskripsi masalah pelecehan seksual di tempat kerja ? 2. Apakah pelecehan seksual di tempat kerja mampu memprediksi munculnya
psikosomatis ?
C. Tujuan Masalah
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat deskripsi masalah pelecehan seksual di tempat kerja serta melihat pelecehan seksual ditempat kerja sebagai prediktor
munculnya psikosomatis.
8
D. Manfaat Peneliitian
1. Manfaat Teoritis a. Dengan mendeskripsikan masalah pelecehan seksual di tempat kerja,
maka akan terlihat faktor-faktor resiko yang ada dalam masalah pelecehan seksual di tempat kerja.
b. Untuk menambah pengetahuan dalam ilmu psikologi khususnya dalam bidang klinis dan industri dan organisasi terkait pelecehan seksual di
tempat kerja dan psikosomatis. 2. Manfaat Praktis
a. Bagi para subjek penelitian, informasi penelitian dapat menambah wawasan subjek terkait bentuk-bentuk perilaku dan faktor resiko
pelecehan seksual di tempat kerja, sehingga diharapkan agar subjek penelitian dapat semakin menjaga diri dan lebih waspada dalam
lingkungan kerja. Serta menambah wawasan terkait psikosomatis. b. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi
perusahaan untuk menentukan strategi dalam menangai masalah pelecehan seksual yang terjadi di perusahaan tersebut.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja 1. Pengertian Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Pelecehan adalah proses, perbuatan, cara memandang rendah tidak berharga; menghinakan; mengabaikan KBBI, 2011, sedangkan pelecehan
seksual adalah perilaku seksual yang mengganggu Sugihastuti Siti, 2007, disengaja dan diulang, seperti: komentar verbal, gerak dan kontak fisik yang
tidak dinginkan oleh penerima atau korban Spencer, Jeffrey Lois, 2008. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1970 dijelaskan tempat kerja adalah
tempat fisik di mana para pekerja bekerja, hal ini termasuk semua ruangan, lapangan, halaman dan daerah-daerah yang mengelilinginya.
Mathis dan Jackson dalam Dharma, 2009 menjelaskan bahwa pelecehan seksual di tempat kerja adalah perilaku atasan atau rekan kerja yang
mengarah pada unsur seksual dan menempatkan tenaga kerja ke dalam situasi kerja yang merugikan atau menciptakan lingkungan kerja yang tidak
bersahabat. Better Work Indonesia 2012 menjelaskan pelecehan seksual di tempat kerja ke dalam beberapa bagian:
a. Penyalahgunaan perilaku seksual b. Permintaan layanan seksual
10
c. Pernyataan verbal atau fisik atau bahasa tubuh yang menyiratkan perilaku seksual
d. Tindakan yang tidak diinginkkan yang berkonotasi seksual: i.
Orang yang menjadi sasaran telah menyatakan secara jelas bahwa perilaku tersebut tidak dikehendaki;
ii. Orang yang menjadi sasaran merasa terhina, tersinggung danatau
terintimidasi oleh perilaku tersebut; iii.
Pelaku sewajarnya harus dapat mengantisipasi bahwa orang lain akan merasa tersinggung, terhina danatau terintimidasi oleh
perilaku tersebut. Berdasarkan pengertian teoritis diatas maka peneliti menyimpulkan
bahwa pelecehan seksual di tempat kerja adalah perilaku menghina, merendahkan, mengganggu, merugikan dan tidak dinginkan yang mengandung
unsur seksual baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal, dilakukan oleh atasan atau rekan kerja di dalam lingkungan kerja secara sengaja dan berulang.
2. Bentuk – Bentuk Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
The Equal Employment Opportunity Commission The EEOC dalam,
Levay, Sharon, 2006 menggambarkan pelecehan seksual di tempat kerja ke dalam tiga bentuk perilaku seperti:
a. Rayuan atau pendekatan yang berunsur seksual yang tidak diinginkan; b. Permintaanimbalan dalam bentuk seksual;
c. Perilaku secara fisik maupun verbal yang bersifat seksual.
11
Ketiga hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelecehan seksual, jika penerimakorban menolak perilaku tersebut dengan tegas atau justru tunduk
mematuhinya, sehingga memunculkan rasa takut, terancam dan menyebabkan permusuhan. Dalam sudut pandang undang-undang, pelecehan seksual di
tempat dibagi ke dalam dua bentuk perilaku Welsh, 1999: a. “Quid Pro Quo” Harassment, termasuk perilaku seksual yang diperoleh
dengan mengancam atau menyuap, sehingga korban patuh atau menerima perlakuan seksual tersebut dengan pertimbangan terkait pekerjaan
mereka. b. Hostile
Environment Harassment,
termasuk perilaku
bercanda, berkomentar, sentuhan yang mengandung unsur seksual dan bertentangan
dengan keinginan orang yang menerima perlakuan tersebut, atau bersifat mengintimidasi seseorang, sehingga menyebabkan adanya permusuhan.
Secara umum Better Work Indonesia 2012 membagi bentuk pelecehan seksual di tempat kerja ke dalam lima bentuk perilaku:
a. Pelecehan seksual secara fisik: termasuk sentuhan yang tidak dinginkan dengan kecenderungan seksual seperti: mencium, menepuk, mencubit,
mencolek, dan memegang dengan penuh hawa nafsu. b. Pelecehan seksual secara verbal: termasuk komentar-komentar yang tidak
dinginkan tentang kehidupan seksual atau anggota tubuhpenampilan, lelucon dan godaan yang bersifat seksual.