Kunjungan Antenatal Care ANC

janin dan komplikasi kehamilan dapat terdeteksi secara dini, sehingga tatalaksana dan penanganan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Selain itu, Ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC secara teratur dapat meningkatkan kewaspadaan dan menjaga kondisi kesehatan kehamilan dengan cara mengatur aktivitas fisik dan memperhatikan kebutuhan energi dan zat gizi selama masa kehamilan, sehingga kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan pada janin yakni BBLR sangat kecil Ernawati.,dkk, 2011; Kemenkes, 2010; Shah, 2002. Manuaba 2000 menyatakan bahwa manfaat lain dilakukannya kunjungan ANC secara rutin adalah selain dapat mengetahui risiko kehamilan, ibu hamil dapat menyiapkan proses menuju persalinan dengan baik well born baby sampai dengan masa laktasi dan nifas. Hasil penelitian Low 2005 dengan desain kohort di New Zealand menyatakan bahwa ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC dengan tepat waktu khususnya pada saat kunjungan ANC pertama pada trimester I, dapat bermanfaat yakni terpantaunya perkembangan janin dan kesehatan ibu. Selain itu, pada hasil penelitian tersebut juga dinyatakan bahwa Ibu yang melakukan kunjungan ANC terlambat pada trimester pertama dapat memberikan dampak buruk terhadap janin, diantaranya adalah BBLR dan bayi lahir prematur. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kunjungan ANC secara teratur merupakan salah satu tindakan untuk mencegah terjadinya BBLR dan meminimalisir terjadinya komplikasi selama masa kehamilan. Oleh karena itu, diharapkan bagi ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Pamulang agar tetap melakukan kunjungan ANC secara rutin dan tepat waktu selama kehamilan di fasilitas pelayanan terdekat. Selain itu, diharapkan bagi petugas kesehatan baik di Puskesmas maupun rumah sakit juga selalu memberikan edukasi bagi ibu hamil agar melakukan pemeriksaan selama kehamilan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan menekankan untuk kembali melakukan pemeriksaan kehamilan dengan tepat waktu. Selain itu, petugas kesehatan juga dapat melakukan tindakan home visit kepada ibu hamil yang sulit melakukan kunjungan ANC ke fasilitas pelayanan kesehatan secara langsung.

6. Jumlah Paritas

Hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Pamulang menunjukan bahwa terdapat 5,4 kelompok kasus dan 3,8 kelompok kontrol yang memiliki jumlah paritas 3 anak grandemultipara. Hasil yang sama juga diperoleh Negi 2006 dengan desain kohort di Institut Kesehatan Himalayan, bahwa sebagian kecil 10,6 ibu yang memiliki jumlah paritas 3 telah melahirkan bayi dengan status BBLR. Berbeda dengan hasil penelitian Tazkiah, dkk 2013 di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, bahwa sebagian besar 57 kelompok kasus memiliki jumlah paritas 4 anak, sedangkan sebagian besar 61,5 kelompok kontrol memiliki jumlah paritas antara 2-3 anak. Hasil penellitian Djali 2010 di RSUD Pasar Rebo dengan desain cross sectional menunjukan bahwa sebagian besar ibu mengalami primipara jumlah persalinan=1 dan grandemultipara jumlah persalinan3 yakni sebesar 60. BKKBN 2013 menyatakan bahwa jumlah anak yang ideal dalam satu keluarga adalah sebanyak 2-3 anak. Adanya aturan terkait jumlah paritas dalam satu keluarga adalah untuk meminimalisir terjadinya peledakan jumlah penduduk, masalah kesehatan ibu maupun bayi serta angka kematian ibu dan bayi. Secara biologis, jumlah paritas yang terlalu banyak 3 anak berpengaruh terhadap BBLR dikarenakan adanya insiden plasenta previa plasenta terletak di bagian bawah rahim sehingga menutup sebagian atau seluruh jalan lahir. Kejadian tersebut dapat berpengaruh terhadap tertutupnya aliran darah pada janin sehingga mengakibatkan aliran nutrisi pada janin tidak adekuat dan terjadinya bayi lahir dengan kondisi BBLR Mukhtar,2005. Manuaba 2000 menyatakan bahwa ibu yang mengalami paritas terlalu banyak 3, telah mengalami terjadinya penurunan fungsi organ reproduksi ibu. Sehingga cenderung berdampak terhadap kondisi kesehatan ibu maupun janin yakni BBLR bahkan terjadinya kematian ibu maupun bayi. Selain itu, hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Pamulang juga diperoleh bahwa terdapat kelompok kasus 35,1 dan kontrol 31,6 yang termasuk dalam kategori primipara. Berbeda dengan hasil penelitian Ernawati 2013 bahwa hanya terdapat 5,1 kelompok kasus dan mayoritas 94,9 kelompok kontrol dengan kategori primipara. Secara teori, ibu dengan primipara melahirkan bayi pertama kali berisiko mengalami komplikasi seperti distosia kesulitan dalam mengalami persalinan, terutama pada ibu hamil pada rentang usia risiko tinggi 20 dan 35 tahun. Hal ini dikarenakan belum adanya pengalaman melahirkan dari seorang ibu, sehingga berpengaruh terhadap proses persalinan. Persalinan prematur lebih sering terjadi pada ibu yang mengalami persalinan pertama kali, dimana prematur merupakan salah satu ciri bayi yang lahir dengan status BBLR Aminian, 2014. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa jumlah paritas yang terlalu banyak 3 anak dan paritas pertama kali primipara dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan bayi salah satunya adalah BBLR. Oleh karena itu, diharapkan pada setiap pasangan usia subur agar dapat mengatur jumlah paritas atau kelahiran dalam keluarga melalui program KB. Selain itu, bagi petugas kesehatan juga diharapkan dapat memberikan informasi terkait KB secara detail. Pemberian informasi terkait KB juga dapat dilakukan pada Wanita Usia Subur WUS yang belum menikah, sehingga ketika seorang wanita usia subur sudah berkeluarga maka dapat mempersiapkan dan mengatur jumlah anak dengan baik.

7. Usia Ibu Saat Melahirkan

Hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Pamulang menunjukan bahwa terdapat 18,9 kelompok kasus dan 19,2 kelompok kontrol yang memiliki status usia risiko tinggi pada saat melahirkan yakni 20 tahun dan 35 tahun. Hasil yang sama juga diperoleh Rahman 2011