Persiapan seluruh panitia penyelenggara
Seni Budaya Buku Guru
137
Pengayaan Pembelajaran
Pengayaan dapat diberikan kepada siswa. Pengayaan materi diberikan secara horizontal yaitu lebih memperdalam dan memperluas pengetahuan
serta keterampilan. Guru dapat mencari materi pengayaan dari media dan sumber belajar lain. Guru juga dapat meminta siswa untuk mencari materi
pengayaan sesuai dengan topik dan materi yang dipelajari.
Teater Boneka
Tiga ratus kursi di Kennedy Center Millenium Stage gedung pertunjukan paling bergengsi di Washington DC sudah ludes sejak
tiket Papermoon Puppet Theatre diumumkan resmi penyelenggara pertunjukan, NEFA New England Foundation for the Art, kepada
publik.
Di jantung ibu kota Amerika Serikat ini, teater boneka asal Yogyakarta bernama Papermoon Puppet Theatre tampil memukau
publik Amerika. Decak kagum dan tepuk tangan membahana tak henti dari para hadirin pada penampilan perdana mereka malam itu.
Drama teaterikal boneka yang digagas pasangan muda seniman teater Indonesia, Maria Tri Sulistyanti dan Iwan Effendi, berkisah
tentang sejarah gelap Indonesia 1965. Pasca-30 September, penculikan dan pembunuhan tanpa pengadilan terjadi hampir di semua tempat di
Indonesia.
Sejarah gelap ini kemudian menjadi tema sentral alur cerita Papermoon Puppet Theatre yang bertajuk “Mwahtirika”. Mwahtirika
yang dalam bahasa Swahili berarti “korban”. Memotret secara sederhana, cerdas, dan kritis tentang korban ketidakadilan yang terjadi
di Indonesia di era tahun 1965.
Terinspirasi dari kisah nyata di Indonesia, Mwahtirika tampil dengan kisah drama sendu keluarga kecil boneka. Baba, sang ayah
yang menjadi orang tua tunggal yang sederhana dan rendah hati; Moyo, anak sulungnya yang berusia 10 tahun yang peduli pada keluarga; dan
Tupu, si bungsu yang berusia 4 tahun yang selalu merasa bahagia dengan tiupan peluitnya yang makin lama makin lemah.
Sang ayah ditangkap dan tidak pernah kembali setelah dibawa pergi oleh serdadu bersenjata. Sang ayah ditangkap hanya karena
sebuah balon merah yang tidak sengaja ditinggalkan di depan rumah.
SMPMTs Kelas VIII
138
Moyo pergi mencari sang ayah. Sayangnya, ia pun hilang dan tidak pernah kembali. Tupu yang malang tertinggal sendirian, yang
kemudian ditelan kesunyian, hilang tanpa pesan entah ke mana. Plot cerita teater boneka tanpa percakapan verbal antar tokoh-
tokohnya berhasil menyampaikan pesan pada publik Amerika tentang penangkapan dan eksekusi tanpa pengadilan yang menghancurkan
sebuah keluarga tanpa sisa pasca penumpasan Gerakan 30 September 1965 di Indonesia. Tanpa perlu berkata-kata, Mwahtirika berhasil
membawa kisah sejarah kelam Indonesia yang memilukan pada dunia tanpa harus menghakimi dan menggurui penonton. Alur cerita
yang cerdas ditambah tata cahaya, suara, dan dekorasi panggung yang sempurna membuat drama Papermoon Puppet Theatre ini
tampil indah berkilau di mata penikmat seni teater di Washington DC, apalagi untuk publik Amerika yang belum pernah mendengar
nama Indonesia dan sejarah kelamnya.
Papermoon Puppet Theatre, teater boneka asal Yogyakarta, berhasil menjadi teater kelas dunia yang memperkenalkan Indonesia
secara jujur, indah, dan cerdas pada publik Amerika. Selain berpentas di Washington DC, Papermoon Puppet Theatre yang hadir
di Amerika atas undangan pemerintah Amerika Serikat juga akan manggung di enam kota lainnya hingga awal Oktober 2012, yaitu
di Easton Philadelphia, Huntingdon Philadelphia, Lewisburg Philadelphia, West Liberty Indiana, Providence Rhode Islands,
dan New York.
Sumber: http:www.tempo.coreadnews20120911113428719Teater-Boneka- Indonesia-Disambut-di-Washington
Seni Budaya Buku Guru
139
Interaksi dengan Orang Tua
Guru melakukan interaksi dengan orang tua. Interaksi dapat dilakukan dengan komunikasi misalnya melalui telepon, media sosial, dan kunjungan
ke rumah. Guru dapat melakukan interaksi melalui lembar kerja siswa yang harus ditandatangani oleh orang tua baik untuk aspek pengetahuan, sikap,
maupun keterampilan. Melalui interaksi ini orang tua dapat mengetahui perkembangan baik mental, sosial, dan intelektual putra-putrinya.
SMPMTs Kelas VIII
222