commit to user
140 luas disertai keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi suatu
formasi sosial. Makna hanya sebagai asosiasi tanda dengan kode makna kultural lain, menurut sub kode atau leksikon yang digunakan
sehingga makna pada Tari Srimpi Ludiramadu memiliki makna yang berlipat-lipat bahkan berlapis-lapis. Konotasi membawa nilai-nilai
ekspresif yang muncul dari akumulasi rangkaian kekuatan secara sintagmatis atau, lebih umum, melalui perbandingan dengan alternatif
yang tidak hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang “normal” dan “alami”, maka ia bertindak sebagai makna konseptual yang
dengannya seseorang memahami dunianya, sehingga dapat dibuktikan bahwa makna yang berada didalam Tari Srimpi Ludiramadu hanya
sebagai mitos hanya bermain pada wilayah tanda. Di mana ada tanda, maka disitu ada ideologi. Barthes, mitos adalah sistem semiologis
usutan kedua atau neta bahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama
penanda dan petanda yang membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif.
4.4.2 Perubahan pada nilai filosofis dalam Tari Srimpi Ludiramadu
Tari
srimpi
merupakan bentuk tari sakral yang memiliki makna yang didalamnya berisi simbol-simbol yang melambangkan tentang kehidupan
manusia yang digunakan sebagai tuntunan hidup dan pandangan hidup pada masyarakat Jawa pada masa lampau. Hal ini dapat kita ketahui dalam Tari
Srimpi Ludiramadu memiliki vokabuler gerak yang halus, anggun, prenes,
commit to user
141 kenes yang didalamnya juga ada simbol-simbol yang mengandung makna
pada berbagai makna formasi gerak dan pola lantai yang mengisyaratkan pengolahan batin dengan
la ku prihatin
masyarakat Jawa untuk mencapai tujuan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Tari Srimpi Ludiramadu mengalami perkembangan dengan perjalanan panjang dari tahun ke tahun dari masa ke masa sampai di era yang sekarang
ini semua makna yang ada pada tari berubah menyesuaikan pada perkembangan jaman dan dimana kondisi jaman itu menyertainya. Pada masa
pemerintahan Pakubuwana IV kesenian tari mengalami puncak kejayaan, karena pada masa itu banyak karya-karya tari yang muncul yang disertai
dengan gerak, bentuk, dan iringan yang menyesuaikan pada kondisi jaman pada saat itu tetapi di era yang sekarang Tari Srimpi Ludiramadu harus
menyesuaikan keadaan sehingga perlu disempurnakan baik bentuk, fungsi, dan makna pada tari itu sehingga menyesuaikan keberadaannya dan fungsinya
pada era sekarang ini. Sifat sakral, religius, magis berangsur-angsur hilang dari makna tari itu walaupun awalnya keberadaannya di keraton tetapi di luar
keraton keberadaan hilang dari makna, simbol sehingga menjadi tidak ada makna sama sekali walaupun awalnya tari ini merupakan seni pertunjukan
keraton yang selalu disebut sebagai
ka gunga n da lem
yang secara harfiah yang berarti bahwa Tari Srimpi Ludiramadu merupakan milik raja.
Kehidupan tari keraton merupakan hasil ekspresi dan pengungkapan jiwa yang barang tentu kehadirannya ditentukan pemikiran para penguasa dari
suatu kelompok masyarakat pendukungnya dalam kelompok masyarakat
commit to user
142 istana yang mengikuti sistem patrimonial, raja merupakan penguasa tunggal
yang menentukan segala sesuatu mengenai kehidupan yang berada di dalam istana. Seni yang berada di keraton dipengaruhi juga oleh gaya kepemimpinan
seorang raja yang memerintah. Pada saat itu raja sudah memiliki pengetahuan, pengalaman yang maju untuk menciptakan kebudayaan yang bernilai tinggi
bisa dilihat dalam karya tari karawitan, sastra, dan juga sejarah, dengan hal ini keraton digunakan sebagai pusat kebudayaan Jawa pada saat itu dan pada saat
sekarang keraton digunakan untuk menandai identitas kebudayaan yang dulu pernah ada dan menjadi tanda kejayaan pada masa lampau walaupun hanya
tinggal sedikit sisa kejayaan itu masih dapat kita lihat walaupun banyak sekali terjadi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna.
4.4.3 Perubahan makna yang dulu memiliki nilai filsafat pada Tari Srimpi Ludiramadu