Pengaruh kecerdasan emosional terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan kepala sekolah

(1)

KEPUTUSAN DI KALANGAN KEPALA SEKOLAH

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

ANITA SUPITA SARI

NIM: 105070002364

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

KEPUTUSAN DI KALANGAN KEPALA SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

ANITA SUPITA SARI NIM : 105070002364

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Jahja Umar, Ph.D Yunita Faela Nisa, M.Psi., Psi. NIP. 130 885 522 NIP. 19770608 200501 2 003

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010 M


(3)

TINGKAT KOMPETENSI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI KALANGAN KEPALA SEKOLAH” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 21 Juni 2010 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pudek I/

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota:

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag Jahja Umar, Ph.D NIP. 19680614 199704 1 001 NIP. 130 885 522

Pembimbing I Pembimbing II

Jahja Umar, Ph.D Yunita Faela Nisa, M.Psi., Psi. NIP. 130 885 522 NIP. 19770608 200501 2 003


(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Anita Supita Sari NIM : 105070002364

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ‘Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Tingkat Kompetensi dalam Pengambilan Keputusan di Kalangan Kepala Sekolah’ ialah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang yang berlaku jika skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 25 Juni 2010

Anita Supita Sari NIM: 105070002364

E-mail: anita_supita@yahoo.com


(5)

Jadikanlah keyakinan kepada Tuhan sebagai pangkal pengendali setiap keputusan yang akan dipilih dan

setiap tindakan yang akan dilakukan.

Karena manusia di dunia ini, baik disadarinya atau tidak ialah dalam perjalanan kepada Tuhannya.

Dan tidak dapat tidak dia akan menemui Tuhannya untuk menerima pembalasan-Nya dari perbuatannya

yang baik maupun yang buruk.

Tough times never last, but tough people do!

Hidup itu perjuangan, hiduplah untuk banyak memberi yang terbaik!

Karya ini dipersembahkan untuk:

semua orang yang menyayangiku dengan tulus,

yang selalu memanjatkan doanya tiada henti dalam kebaikan…


(6)

(B) Juni 2010

(C) Anita Supita Sari

(D) Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Tingkat Kompetensi dalam Pengambilan Keputusan di Kalangan Kepala Sekolah

(E) xiv + 83 halaman

(F) Kepala sekolah ialah tombak penentu arah dan kebijakan sekolah. Dalam memecahkan permasalahan, kepala sekolah seringkali menuruti perasaan dan emosi, sehingga keputusan yang diambil terkadang berkualitas rendah dan tidak tepat sasaran. Salah satu faktor yang dapat menentukan apakah emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan keputusan adalah kemampuan pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi yang ia miliki.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kecerdasan emosional (mencakup well-being, self-control, Emotionality, Sociability, Adaptability, self-motivation), jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan kepala sekolah. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari dan berakhir di bulan Mei 2010.

Penelitian ini disusun berdasarkan analisis dari 50 subjek penelitian. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ialah ADMC (Adult Decision-Making Competence) dan TEIQue-SF (Trait Emotional Intelligence Questionnaire-Short Form) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menguji validitas konstruk dari alat ukur ADMC dan TEIQue, penulis melakukan uji Explanatory Factor Analysis (EFA) dan Confirmatory Factor Analysis (CFA).

Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi berganda dengan program SPSS. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai R2 = 0,207. Ini berarti bahwa proporsi varian dari kompetensi pengambilan keputusan yang secara keseluruhan bisa diterapkan pada 9 variabel ialah sebesar 20,7%. Atau dengan kata lain, penyebab bervariasinya skor kompetensi pengambilan keputusan yang ditentukan oleh 9 variabel (WB, SC, Em, So, Ad, SM, jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah) secara bersama-sama ialah sebesar 20,7%. Sedangkan sisanya sebesar 79,3% disebabkan oleh sebab-sebab atau aspek-aspek lain. Kesimpulannya, terdapat kemungkinan adanya aspek-aspek lain yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap tingkat kompetensi pengambilan keputusan.

Berdasarkan hasil uji hipotesis dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa hanya variabel usia yang memiliki pengaruh signifikan dengan kompetensi pengambilan keputusan. Sedangkan variabel well-being, self-control, emotionality, sociability, adaptability, self-motivation, jenis kelamin, usia, lama menjadi kepala sekolah tidak memiliki pengaruh yang signifikan dengan tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.

(G) Daftar Pustaka = 24 (1997 - 2009)


(7)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari arahan, bimbingan, dorongan, dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam sebuah hadits dikemukakan bahwa ‘orang yang paling banyak bersyukur kepada Allah ialah orang yang paling banyak berterima kasih kepada sesama hamba-Nya.’ Oleh karena itu, dengan hati yang tulus, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, dosen sekaligus pembimbing dan

penguji pada sidang skripsi ini. Terima kasih banyak atas waktu, tenaga, dan pikiran yang telah diikhlaskan selama bapak membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Yunita Faela Nisa, M.Psi.,Psi. dan bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, dosen

sekaligus pembimbing dan penguji pada sidang skripsi ini. Terima kasih banyak atas arahan, kesabaran, serta perhatian ibu dan bapak demi terselesaikannya skripsi ini.

3. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta dan keluarga besar Pontren Hypnotherapy Ciputat di bawah asuhan bapak Drs. Asep Haerul Gani, Psi.

4. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi UIN, terima kasih atas pelayanan terbaiknya kepada penulis.

5. Orang tua penulis, bapak (Alm.) Syafe’i dan ibu Umi Khasanah. Kakak dan adik-adik penulis: Muchlis Muttaqin, Farid Iqbal, Mu’min Hakim, (Alm.) Zuhairinnisa. Keluarga besar di Jakarta, Pacitan, Solo, dan Surabaya. Bapak dan ibu, ikatan cinta kasih ini takkan terlerai dan putus. Ya Allah, tempatkanlah bapak dan adik kami di tempat yang terbaik, di sisi-Mu ya Allah, ampunilah dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami, berikanlah kami kebahagiaan di dunia dan di akhirat, dan periharalah keluarga kami dari siksa api neraka, Amin ya Rabbal ‘Alamin. 6. Sahabat dan teman-teman semuanya. Khususnya: Yulistin, Nur Jamilah, Lidya, Desti,

Nurlaili, Nurusofa, Ricky Firmansyah, Hari Primayuda, Jarwo Haryanto, Dewonx’s, Desi dan Pipit, teman-teman Psikologi angkatan 2005, kakak dan adik kelas. Terima kasih atas


(8)

Setiap individu memiliki keunikan tersendiri, begitu pula dengan kalian, terima kasih banyak atas semua pengalaman dan pembelajaran itu.

8. Teman-teman dan para kepala sekolah yang menjadi responden dalam penelitian ini. Serta semua orang yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu per satu.

9. Terima kasih yang teramat sangat untuk diri penulis sendiri.

Akhirnya, penulis memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan dan bantuan dari berbagai pihak dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya pembalasan, Amin ya Rabbal ’Alamin..

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga besar harapan penulis bagi segenap pembaca untuk memberikan masukan yang lebih baik. Jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan mengenai penelitian ini, pembaca dapat menghubungi penulis melalui e-mail (anita_supita@yahoo.com). Akhir kata, terima kasih atas semua kerjasamanya dan mohon maaf atas semua salah dan khilaf.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Jakarta, Juni 2010

Anita Supita Sari


(9)

Halaman Judul... i

Halaman Persetujuan... ii

Halaman Pengesahan... iii

Lembar Pernyataan... iv

Halaman Motto... v

Abstrak... vi

Kata Pengantar... ... vii

Daftar isi... ix

Daftar Tabel... ... xii

Daftar Gambar... ... xiii

Daftar Lampiran... ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Permasalahan 1.3.1. Ruang Lingkup Masalah... ... 10

1.3.2. Rumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian... ... 11

1.4. Manfaat Penelitian... ... 12

1.5. Sistematika Penulisan……….. 12

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kompetensi pengambilan keputusan 2.1.1. Pengertian……… 14

2.1.2. Unsur-Unsur Pengambilan Keputusan... .... 16

2.1.3. Latar Belakang Pengambilan Keputusan... ... 16

2.1.4. Jenis-Jenis Pengambilan Keputusan... 18

2.1.5. Proses Pengambilan Keputusan... 20

2.1.6. Tindakan Memutuskan... .... 22

2.1.7. Pendekatan di dalam Pengambilan Keputusan... 23

2.1.8. Model-Model Pengambilan Keputusan... 25 ix


(10)

2.1.11. Pengukuran Kemampuan pengambilan keputusan ... 32

2.2. Kecerdasan Emosional 2.2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional... 34

2.2.2. Konsep Kecerdasan Emosional... ... 36

2.2.3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional... ... 37

2.2.4. Pengukuran Kecerdasan Emosional ... ... 41

2.3. Kerangka Berpikir... ... 43

2.4. Hipotesis ... 45

BAB 3 : METODE PENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel ... 47

3.2. Variabel Penelitian... ... 47

3.3. Alat Ukur Penelitian... ... 49

3.3.1. Prosedur Pengumpulan Data... 50

3.3.2. Teknik Pengolahan Data ... 51

3.4. Teknik Analisis Data ... 53

BAB 4 : HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 56

4.2. Analisis Validitas Alat Ukur Penelitian... ... 58

4.2.1. Uji validitas Alat Ukur ADMC... 58

4.2.2. Uji Validitas Alat Ukur TEIQue... ... 61

4.3. Uji Hipotesis PenelitIian... 65

4.3.1. Uji Hipotesis 1 ... ... 67

4.3.2. Uji Hpotesis 2 ... ... 68

4.3.4. Uji Hipotesis 3 ... ... 68

4.3.4. Uji Hipotesis 4 ... ... 68

4.4. Proporsi Varian... ... 69

BAB 5: KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... ... 76


(11)

DAFTAR PUSTAKA... .... 82 LAMPIRAN


(12)

Tabel 2.1 Teknik-teknik Mengambil Keputusan... 20

Tabel 4.1 Distribusi Skor Kompetensi Pengambilan Keputusan Berdasarkan Jenis Kelamin... 56

Tabel 4.2 Distribusi Skor Kompetensi Pengambilan Keputusan Berdasarkan Usia... 57

Tabel 4.3 Distribusi Skor Kompetensi Pengambilan Keputusan Berdasarkan Lama Menjadi Kepala Sekolah... 57

Tabel 4.4 Goodness of Fit Test... ... 59

Tabel 4.5 Factor Matrix... ... 59

Tabel 4.6 Keterangan Dari Hasil Factor Matrix ... 61

Tabel 4.7 Goodness of Fit Test ... 61

Tabel 4.8 Rotated Factor Matrix ... 62

Tabel 4.9 Pattern Matrix... 62

Tabel 4.10 Hasil Lamda X menggunakan Lisrel... 64

Tabel 4.11 Coefficients analisis regresi dari ke-9 IV... 66

Tabel 4.12 Model summary analisis regresi dari ke-9 IV... 69

Tabel 4.13 Anova analisis regresi dari ke-9 IV... 69

Tabel 4.14 Model summary analisis regresi dari ke-6 IV... 70

Tabel 4.15 Anova analisis regresi dari ke-6 IV... 70

Tabel 4.16 Coefficients analisis regresi dari ke-6 IV ... 71

Tabel 4.17 Proporsi varian DV yang terkait dengan IV... 72


(13)

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Pembuatan Keputusan ... 22 Gambar 2.2 Skema Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi

Mengambil Keputusan ... 31 Gambar 4.1 Hasil Analisis Faktor ADMC menggunakan Lisrel... 60 Gambar 4.2 Hasil Analisis Faktor TEIQue menggunakan Lisrel... 64


(14)

Lampiran 1 Hasil hitungan proporsi varian DV yang terkait dengan IV

menggunakan program SPSS... ... 84

Lampiran 2 Data mentah komponen RF... 86

Lampiran 3 Data mentah komponen RSN... 87

Lampiran 4 Data mentah komponen UO... 95

Lampiran 5 Data mentah komponen ADR... 101

Lampiran 6 Data mentah komponen CRP... 102

Lampiran 7 Data mentah komponen RSC... 103

Lampiran 8 Data mentah komponen PI... 104

Lampiran 9 Data mentah EI... 105

Lampiran 10 Surat izin penelitian dari Fakultas untuk Kepala Sekolah SDN di Kecamatan Jagakarsa……….. 107

Lampiran 11 Surat izin penelitian dari Fakultas untuk Kepala Sekolah SDN di Kecamatan Pasar Minggu……… 108

Lampiran 12 Surat rekomendasi penelitian dari KASI Dikdas Jagakarsa……… 109

Lampiran 13 Surat rekomendasi penelitian dari KASI Dikdas Pasar Minggu…. 110 Lampiran 14 Daftar penerimaan dan pengembalian alat ukur……….. 111


(15)

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sekarang ini, makin terasa betapa penting peranan organisasi terhadap kepentingan manusia, rasanya tidak ada seorang manusia pun yang hingga pada saat kematiannya, ia tidak terikat pada organisasi. Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan manusia secara fisik dan psikis dalam mencapai berbagai tujuan, selain itu juga akibat keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang selalu terdorong untuk bekerja sama dengan individu yang lain.

Pada hakikatnya, bentuk kerjasama antara sekelompok individu dengan berbagai macam ikatan dalam mencapai tujuan bersama itulah yang disebut sebuah organisasi. Kata organisasi mengandung dua macam pengertian secara umum, yaitu (1) menandakan suatu institution (lembaga) atau kelompok fungsional, antar lain rumah sakit, sekolah, kantor-kantor pemerintah, dan sebagainya, (2) proses pengorganisasian, dalam hal ini pekerjaan diatur dan dialokasikan di antara para anggota organisasi, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efisien.

Di dalam lingkungan organisasi, kepemimpinan ialah suatu kekuatan penting dalam rangka pengelolaan, oleh sebab itu kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci keberhasilan organisasi. Kepemimpinan terjadi melalui 2 bentuk, yaitu

formal leadership (kepemimpinan formal) dan informal leadership (kepemimpinan


(17)

pengertian orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses, berarti bahwa untuk mengisi jabatan kepemimpinan formal harus dilaksanakan melalui proses yang didasarkan atas kriteria-kriteria tertentu yang menjadi bahan pertimbangan, seperti latar belakang pengalaman atau pendidikan, pangkat, usia, dan integritas atau harga diri.

Sekolah ialah suatu lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai suatu organisasi yang di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang saling berkaitan dan saling menentukan antara satu dengan yang lain. Sedang sifat unik, menunjukkan bahwa sekolah merupakan organisasi yang memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lainnya, yaitu sekolah merupakan tempat di mana terjadinya proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan umat manusia.

Karena sifat yang kompleks dan unik itulah, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Inilah pentingnya peranan seorang kepala sekolah yang akan menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan.

Saat ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara menyempurnakan sistem pendidikan, baik melalui penataan perangkat keras maupun perangkat lunak. Salah satu upaya tersebut ialah dengan adanya kebijakan dalam rangka desentralisasi pendidikan, yaitu pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (selanjutnya disingkat MBS). Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51 Ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS/madrasah. Dan di dalam penjelasan atas undang-undang tersebut, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan MBS/madrasah ialah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan,


(18)

yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. MBS merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya. Otonomi dalam manajemen merupakan tugas sekolah untuk meningkatkan kinerja para tenaga kependidikan, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.

Dalam implementasi MBS, kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat penting. Pelaksanaan MBS menuntut kepemimpinan kepala sekolah profesional yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas pribadi untuk mewujudkan visi menjadi aksi, serta demokratis dan transparan dalam berbagai pengambilan keputusan. Oleh karena itu, peran kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi sekolah sangat sentral. Kepala sekolah merupakan evaluator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator, dan motivator.

Menurut Wahjosumidjo (2008), yang mengaitkan jabatan kepala sekolah sebagai pejabat formal dengan teori Harry Mintzberg, diungkapkan adanya tiga macam peranan seorang pemimpin, yaitu interpersonal, informational, dan decisional roles. Yang pertama ialah interpersonal roles (peranan hubungan antarperseorangan). Peranan ini timbul akibat otoritas formal dari seorang manajer, yang meliputi figurehead, leadership

(kepemimpinan), dan liasion (penghubung). Yang kedua ialah informational roles

(peranan informasional), kepala sekolah berperan untuk menerima dan menyebarluaskan atau meneruskan informasi kepada guru, staf, siswa, dan orang tua siswa. Dalam fungsi informasional inilah kepala sekolah berperan sebagai nerve center (urat syaraf) sekolah. Peran kepala sekolah yang ketiga ialah sebagai desicional roles (pengambil keputusan). Peranan sebagai pengambil keputusan merupakan peran yang paling penting dari kedua


(19)

macam peran yang lainnya. Ada empat macam peran kepala sekolah sebagai pengambil keputusan, yaitu entrepreneur, disturbance-handler (orang yang memerhatikan gangguan), a resource allocater (orang yang menyediakan segala sumber), dan negotiator roles.

Siagian (1997) mengatakan bahwa salah satu tolak ukur utama yang biasa digunakan untuk mengukur efektivitas kepemimpinan seseorang yang menduduki jabatan pimpinan dalam suatu organisasi ialah kecekatan, kemahiran, dan kemampuannya dalam pengambilan keputusan yang rasional, logis, berdasarkan daya pikir yang kreatif dan inovatif, digabung dengan pendekatan yang intuitif dengan memanfaatkan berbagai pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Bila diamati, kata ’kecekatan, kemahiran, kemampuan’ merupakan variasi kata yang menggambarkan kompetensi. Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa pengambilan keputusan merupakan inti kepemimpinan, karena pengambilan keputusan ialah kegiatan intelektual yang secara sadar dilakukan oleh seseorang sehingga lebih menjamin bahwa hal-hal yang dihadapi oleh organisasi telah diperhitungkan sebelumnya dan dengan demikian terhindar dari berbagai jenis pendadakan.

Keputusan yang baik ialah keputusan yang memenuhi berbagai persyaratan. Dan keputusan yang diambil hanya akan ada artinya dalam usaha pencapaian tujuan, dan berbagai sasaran apabila dilaksanakan oleh para pelaksana yang memiliki dedikasi, kesetiaan, kecakapan, dan keterampilan yang tinggi, yang kesemuanya merupakan pencerminan dari perilaku yang positif.

Oleh sebab itu, kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi sekolah yang merupakan ujung tombak pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan dan arah tujuan pendidikan, selain harus memiliki keahlian atau kemampuan dasar, pengetahuan dan keterampilan profesional, pelatihan dan pengalaman profesional, kompetensi kepala


(20)

sekolah, ia juga harus memiliki kualifikasi pribadi yang baik. Kualifikasi pribadi yang berupa serangkaian sifat atau watak yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin pada umumnya, termasuk kepala sekolah, yaitu dalam segi: mental, fisik, emosi, berwatak sosial, etik, sikap, dan kepribadian.

Menurut Damasio dalam Goleman (2007), emosi berperan dalam pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan yang paling rasional. Damasio telah melakukan studi yang saksama, hingga akhirnya ia mendapat bukti yang menuntunnya pada pendapat kontra-intuisi yang menyatakan bahwa perasaan biasanya sangat dibutuhkan untuk keputusan rasional, perasaan menunjukkan pada kita arah yang tepat, sehingga logika mentah dapat digunakan sebaik-baiknya. Sementara dunia seringkali menghadapkan kita kepada rentetan pilihan-pilihan yang tidak terhingga, pembelajaran emosi yang telah diberikan kehidupan kepada kita mengirimkan sinyal-sinyal yang merampingkan keputusan tersebut dengan membuang sejumlah pilihan dan memberi penekanan pada pilihan-pilihan lain sejak awal.

Mikolajczak (2007:h.3) menyatakan bahwa “Emotion an essential ingredient: a) accelerate the decision-making process (reduce the amount of information to be processed), b) prevent us from hesitating endlessly between two options. Emotions can both enhance and bias decision making.”

Salehudin (2008) menyimpulkan bahwa emosi dapat menghambat maupun

membantu proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara emosional maupun tanpa emosi sama-sama dapat mengurangi kualitas pengambilan keputusan. Oleh karena itu, salah satu faktor yang dapat menentukan apakah emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan keputusan adalah


(21)

kemampuan pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi yang ia miliki.

Rachman dan Savitri (2009) juga mengatakan bahwa tantangan terbesar pemimpin

bukan ujian terhadap knowledge (pengetahuan)-nya, namun justru datang dari

kehebatannya dalam mengelola aspek emosi dan psikologi diri dan timnya. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya bila seseorang tiba-tiba diposisikan sebagai pemimpin, dituntut untuk mempraktikkan pengambilan keputusan dan pemberian arah yang jelas, sementara ia tidak memiliki dan tidak mengasah kualitas-kualitas batinnya dengan sungguh-sungguh.

Mubayidh (2006) mengungkapkan bahwa ada sejumlah penelitian yang dilakukan dengan maksud menjawab pertanyaan tentang karakter dan pengalaman pemimpin yang sukses, serta untuk merumuskan kriteria pimpinan yang baik. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk mengetahui perbedaan antara pemimpin agung dengan pemimpin biasa. Ternyata faktor yang membedakan keduanya ialah Emotional Intelligence atau Emotional Quotient (kecerdasan emosional).

Beberapa pakar memberikan definisi beragam pada kecerdasan emosi, di antaranya ialah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memahami, dan mengelolanya. Salovey dalam Goleman (2007), memperluas kecerdasan emosi menjadi lima wilayah utama, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.

Untuk memahami 5 wilayah yang disebut di atas, kita uraikan salah satunya, yaitu mengenai mengenali emosi diri. Mengenali emosi diri dapat diartikan kesadaran diri. Sheth (2007) menjelaskan bahwa sadar diri ialah keterampilan kunci dari kecerdasan


(22)

emosi yang ada di belakang kepemimpinan yang baik. Keterampilan ini sering dipandang sebagai kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan kita sendiri, mengapa, serta bagaimana dampak perasaan diri terhadap tingkah laku kita sendiri. Akan tetapi, kesadaran diri ini juga melibatkan kemampuan untuk memantau dan mengendalikan bias bawah sadar yang kuat pada setiap orang, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Pada saat yang sama, perlu diwaspadai penggunaan kecerdasan emosi jika keterampilan ini dikembangkan secara tidak proporsional, karena itu dapat mengganggu hubungan. Sebagai contoh, jika seorang pemimpin ekstrem sadar diri tapi kurang empati, pemimpin itu mungkin menjadi orang yang terobsesi sendiri. Pemimpin yang cerdas emosi ialah pemimpin yang tahu kapan harus mengendalikannya.

Kecerdasan emosi berbeda-beda tingkatnya antara satu pemimpin dengan pemimpin yang lainnya, dan pemimpin-pemimpin itu menerapkannya dengan keterampilan-keterampilan yang berbeda-beda pula. Jika dipergunakan dengan bijak dan simpatik, kecerdasan emosi akan memacu pemimpin, orang-orangnya, dan organisasinya hingga mencapai kinerja yang luar biasa. Sebaliknya, jika dipergunakan secara naif dan melenceng, kecerdasan emosi dapat melumpuhkan pemimpin atau memungkinkan mereka memanipulasi para pengikutnya untuk kepentingan pribadi.

Hasil pengamatan awal penulis memperlihatkan bahwa masih banyak kepala sekolah yang belum mengerti dan memahami cara melakukan pengambilan keputusan yang efektif sesuai dengan informasi yang tersedia dan sasaran yang hendak dicapai. Lebih jauh lagi, para kepala sekolah cenderung menuruti perasaan dan emosi dalam memecahkan permasalahan, sehingga keputusan yang diambil terkadang berkualitas rendah dan tidak tepat sasaran. Telah diuraikan sebelumnya bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan secara emosional maupun tanpa emosi sama-sama dapat mengurangi kualitas pengambilan keputusan. Dan salah satu faktor yang dapat


(23)

menentukan apakah emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan keputusan adalah kemampuan pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi yang ia miliki, dengan kata lain ialah bagaimana kecenderungan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh para pengambil keputusan itu sendiri.

Beberapa fenomena menunjukkan di antaranya masih banyak kepala sekolah yang selalu meminta petunjuk dari atasan, yaitu pihak Dinas Pendidikan dalam rangka merumuskan kebijakan, namun di pihak lain ada kepala sekolah yang telah berani pengambilan keputusan atas inisiatif sendiri bersama dengan guru dan komite sekolah.

Kondisi pertama yang telah dikemukakan di atas bisa disebabkan karena kepala sekolah belum mengetahui atau belum menguasai pendekatan, metode, dan teknik yang dapat dipakai untuk meningkatkan kompetensi dalam pengambilan keputusan. Hal ini juga disebabkan oleh belum berjalannya penyelenggaraan otonomi sekolah. Salah satunya dapat terlihat pada birokrasi pendidikan, terutama dinas tingkat kecamatan yang masih memegang kendali atas kepala sekolah yang dengan sendirinya telah menguasai kendali sekolah. Hal tersebut dapat dikarenakan pemberian otonomi yang hanya sampai pada tingkat kepala sekolah. Kondisi ini memungkinkan bagi birokrasi pendidikan untuk melakukan kontrol, karena melalui Kepmen Nomor 162/U/2003, pemberhentian dan pengangkatan kepala sekolah masih menjadi kewenangan mereka. Walau kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan, secara struktural posisinya berada di atas komponen sekolah lainnya, seperti guru. Pelimpahan otonomi membuat kewenangan yang dimiliki kepala sekolah sangat besar. Apalagi belum ada mekanisme yang bisa memaksa kepala sekolah melibatkan orang tua murid dan guru dalam pembuatan kebijakan akademis apalagi finansial.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, ada indikasi bahwa kecerdasan emosional memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan yang dibuat seorang


(24)

pemimpin, dalam hal ini ialah kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi sekolah yang dihadapkan pada berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya ialah mengenai pendekatan MBS. Kecerdasan emosional yang dimaksud di sini ialah trait Emotional Intelligence (selanjutnya disebut trait EI).

Mikolajczak (2007) mengatakan bahwa ada 3 level kecerdasan emosional, yaitu: (1) knowledge, (2) abilities, (3) traits = dispositions. Trait EI merupakan level yang paling relevan dengan pengambilan keputusan. Salah satu alat ukur yang digunakan untuk mengukur trait EI ialah Trait Emotional Intelligence Questionnaire (selanjutnya disebut TEIQue) yang mencakup 6 faktor, yaitu Well-Being (selanjutnya disebut WB), Self-Control (selanjutnya disebut SC), Emotionality (selanjutnya disebut Em), Sociability

(selanjutnya disebut So), Adaptability (selanjutnya disebut Ad), dan Self-Motivation

(selanjutnya disebut SM). Maka dari itu, penulis ingin mengkaji secara ilmiah apakah ada pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional, yang mencakup WB, SC, Em, So, Ad, dan SM terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan kepala sekolah.

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan di awal, bahwa ada beberapa kriteria yang menjadi bahan pertimbangan untuk mengisi jabatan formal, di antaranya ialah usia dan latar belakang pengalaman. Mikolajczak (2006) juga membuktikan adanya pengaruh jenis kelamin dan usia terhadap trait EI. Oleh karena itu, maka penulis juga menjadikan jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah sebagai variabel tambahan dalam penelitian ini.


(25)

1.2.

Permasalahan

1.2.1. Ruang Lingkup Masalah

Dalam penelitian ini, pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan kepala sekolah, diteliti dalam lingkup yang dibatasi, yaitu:

1. Populasi dalam penelitian ini terbatas pada kepala sekolah yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tingkat pendidikan dasar.

2. Dari semua variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan, hanya sebagian saja yang diteliti, yaitu yang manageable (dapat dikendalikan), sesuai kemampuan, waktu, tenaga, dan biaya. Variabel-variabel itu ialah: kecerdasan emosional (mencakup WB, SC, Em, So, Ad, dan SM), jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah.

1.2.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang dan ruang lingkup masalah, maka rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini ialah:

1. Apakah kecerdasan emosional dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

a. Apakah WB dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

b. Apakah SC dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

c. Apakah Em dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?


(26)

d. Apakah So dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

e. Apakah Ad dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

f. Apakah SM dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

2. Apakah jenis kelamin dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat

kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

3. Apakah usia dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

4. Apakah lama menjadi kepala sekolah dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?

1.3

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah:

Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kecerdasan emosional (mencakup WB, SC, Em, So, Ad, SM), jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan kepala sekolah, sehingga dapat disusun rekomendasi untuk meningkatkan kompetensi tersebut.


(27)

1.4

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap:

1. Dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan kepada Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta, dalam rangka pelaksanaan seleksi penentuan kompetensi sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengisi jabatan kepala sekolah.

2. Dapat memberikan informasi dan masukan bagi kepala sekolah yang berada di dalam maupun di luar kawasan penelitian untuk terus belajar meningkatkan kecerdasan emosional serta kompetensinya dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan sekolah, melalui program peningkatan kompetensi kepala sekolah, pendidikan dan pelatihan (diklat), rekayasa situasi, dsb.

3. Dapat menambah informasi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,

khususnya bidang psikologi kognitif, sosial, PIO agar dapat dijadikan pedoman untuk penelitian lebih lanjut terutama dalam mengkaji variabel lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan pengambilan keputusan dengan kancah penelitian yang berbeda dan jumlah responden yang lebih banyak.

1.5

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan APA (American Psychology Association)–style dan pedoman penyusunan dan penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini:


(28)

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini, peneliti menguraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan (identifikasi, batasan, rumusan), tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II : LANDASAN TEORI

Pada bab ini, peneliti menguraikan tentang berbagai teori yang digunakan, kerangka berpikir, dan hipotesis.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti menguraikan tentang, populasi dan sampel, variabel penelitian, alat ukur dan teknik analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti menyajikan gambaran umum subjek, hasil pengujian hipotesis peneltian dan interpretasinya.

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti menyimpulkan apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, diskusi hasil penelitian disertai rekomendasi dalam bentuk saran yang relevan dan yang sifatnya konstruktif bagi para ujung tombak pengambil keputusan.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini memaparkan teori yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari 4 subbab, yaitu: (1) kompetensi pengambilan keputusan, (2) kecerdasan emosional, (3) kerangka berpikir, (4) hipotesis penelitian.

2.1. Kompetensi Pengambilan Keputusan

2.1.1. Pengertian

Competence (kompetensi, kecakapan, kemampuan, wewenang) ialah

kelayakan untuk melakukan satu tugas, dan merupakan satu keadaan mental yang memberikan kualifikasi seseorang untuk berwenang dan bertanggung jawab atas tindakan dan perbuatannya (Chaplin, 2008). Kompetensi yang dimaksud di sini ialah satu kesatuan utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dinilai untuk menjalankan profesi tertentu. Sedangkan keputusan ialah hasil pemutusan, yang telah ditetapkan (setelah dipertimbangkan, dipikirkan, dsb).

Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang tidak akan pernah lepas dari kegiatan kepemimpinan. Sedangkan yang sering terjadi selama ini ialah kurangnya kesadaran bahwa tugas utama seorang pemimpin ialah pengambilan keputusan. Sebenarnya, segala sesuatu yang terjadi dalam sebuah organisasi sebaiknya ialah karena telah diputuskan sedemikian rupa, bukan karena terjadi secara kebetulan semata. Dengan pengambilan keputusan yang tepat, maka segala


(30)

pendadakan dapat dikurangi dan bahkan dihindari. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Siagian (1997) bahwa pengambilan keputusan merupakan inti kepemimpinan, karena pengambilan keputusan ialah kegiatan intelektual yang secara sadar dilakukan oleh seseorang sehingga lebih menjamin bahwa hal-hal yang dihadapi oleh organisasi telah diperhitungkan sebelumnya dan dengan demikian terhindar dari berbagai jenis pendadakan. Karena itu, berbagai model, metode, dan teknik pengambilan keputusan harus dikuasai oleh orang-orang yang menduduki jabatan pimpinan apa pun bentuk, jenis, dan ukuran organisasi yang dipimpinnya.

Supranto (1998) mengatakan bahwa inti dari pengambilan keputusan ialah terletak dalam perumusan berbagai alternatif tindakan sesuai dengan yang sedang dalam perhatian dan dalam pemilihan alternatif yang tepat setelah suatu evaluasi (penilaian) mengenai efektivitasnya dalam mencapai tujuan yang dikehendaki pengambil keputusan. Setiap pengambil keputusan harus mengetahui dalam lingkungan yang bagaimana keputusan tersebut diambil.

Bruine de Bruin, Parker, dan Fischhoff (2007:h.939) mengemukakan mengenai cakupan kompetensi pengambilan keputusan, yaitu:

Normative models of decision making typically identify four fundamental skills: Belief assessment involves judging the likelihood of outcomes, value assessment involves evaluating outcomes, integration involves combining beliefs and values in making decisions, and metacognition means knowing the extent of one’s abilities. Thus, these models judge the quality of a decision by its process rather than by its outcome, although it is assumed that a person who uses better decision processes will be more likely to experience good decision outcomes.

Dari beberapa definisi dan deskripsi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa kompetensi pengambilan keputusan dalam penelitian ini ialah kompetensi seorang kepala sekolah dalam memilih suatu alternatif terbaik dari


(31)

berbagai macam alternatif yang tersedia untuk mencapai tujuan pendidikan dengan menguasai berbagai keterampilan dasar, model, metode, dan teknik yang tepat dan efisien sesuai dengan lingkungan situasi keputusan.

2.1.2. Unsur-Unsur Pengambilan Keputusan

Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur-unsur atau komponen-komponen dari pengambilan keputusan tersebut. Hasan (2004) menyebutkan bahwa unsur-unsur atau komponen-komponen dari pengambilan keputusan itu ialah:

a. Tujuan dari pengambilan keputusan

b. Identifikasi alternatif-alternatif keputusan untuk memecahkan masalah

c. Perhitungan mengenai faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia

d. Sarana atau alat untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu

pengambilan keputusan.

2.1.3. Latar Belakang Pengambilan Keputusan

Supranto (1998) mengatakan bahwa organisasi, perorangan, dan kelompok perorangan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan dinyatakan dalam teori sistem. Dalam teori ini, suatu sistem merupakan suatu set elemen-elemen atau komponen-komponen yang tergabung bersama berdasarkan suatu bentuk hubungan tertentu. Komponen-komponen itu satu sama lain saling kait mengait dan membentuk suatu kesatuan yang utuh. Tingkah laku suatu sistem ditentukan oleh hubungan antar komponennya. Suatu organisasi merupakan suatu contoh sistem yang terdiri dari sejumlah individu, kelompok individu yang bekerja sama


(32)

untuk mencapai suatu tujuan. Sistem itu terdiri dari beberapa tingkat (hirarki) yang berbeda-beda. Hirarki yang paling atas ialah pimpinan tertinggi dari suatu organisasi. Sebagai contoh, pimpinan tertinggi dari organisasi sekolah ialah kepala sekolah.

Yang dikemukakan oleh Supranto di atas, sesuai dengan salah satu bagian dari dasar-dasar pengambilan keputusan yang diungkapkan oleh George R. Terry dalam Hasan (2004) yang dinamakan wewenang. Dasar-dasar pengambilan keputusan yang berlaku antara lain:

a. Intuisi. Intuisi atau perasaan ini memiliki sifat subjektif, sehingga mudah terkena pengaruh.

b. Pengalaman. Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki

manfaat bagi pengetahuan praktis. Karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan untung ruginya, baik-buruknya keputusan yang akan dihasilkan.

c. Fakta. Pengambilan keputusan berdasarkan fakta dapat memberikan keputusan yang sehat, solid, dan baik.

d. Wewenang. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya

dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya dalam suatu sistem.

e. Rasional. Pada keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang

dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam pengambilan keputusan rasional ini terdapat beberapa hal, yaitu:


(33)

kejelasan masalah, orientasi tujuan, pengetahuan alternatif, preferensi yang jelas, dan hasil maksimal.

2.1.4. Jenis-Jenis Pengambilan Keputusan

Berdasarkan kriteria yang menyertainya, pengambilan keputusan dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis, antara lain:

1. Dalam Siagian (1997), pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan programnya, yaitu:

a. Pengambilan keputusan terprogram. Secara sederhana dapat dikatakan tindakan menjatuhkan pilihan yang berlangsung berulang kali, dan diambil secara rutin dalam organisasi. Perlu diperhatikan, bahwa pengambilan keputusan terprogram hanya akan berlangsung dengan efektif apabila empat kriteria dasar dipenuhi, yaitu: tersedia waktu dan dana yang memadai untuk pengumpulan dan analisis data; tersedia data yang bersifat kuantitatif; kondisi lingkungan yang relatif stabil; tersedia tenaga terampil untuk merumuskan permasalahan secara tepat, termasuk tuntutan operasional yang harus dipenuhi.

b. Pengambilan keputusan tidak terprogram. Berbeda dengan pengambilan keputusan terprogram, pengambilan keputusan tidak terprogram biasanya diambil dalam usaha memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah dialami sebelumnya, tidak bersifat repetitif, tidak terstruktur, dan sukar mengenali bentuk, hakikat, dan dampaknya. Pengalaman dan pengamatan menunjukkan bahwa pemecahan masalah dan pengambilan keputusan tidak terprogram biasanya tidak menyangkut hal-hal yang sifatnya operasional, akan tetapi menyangkut kebijaksanaan organisasi


(34)

dengan dampak yang strategis bagi eksistensi organisasi yang bersangkutan. Berarti bahwa pengambilan keputusan tidak terprogram pada umumnya dibebankan di atas pundak para pimpinan tertinggi suatu organisasi.

2. Dalam Supranto (1998), pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi empat kelompok berdasarkan lingkungannya, yaitu:

a. Pengambilan keputusan dalam keadaan certainty (ada kepastian). Apabila semua informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan lengkap, maka keputusan dikatakan dalam keadaan atau situasi ada kepastian. Dengan perkataan lain dalam keadaan ada kepastian, kita dapat meramalkan secara tepat atau eksak hasil dari setiap tidakan action

(tindakan). Pemecahan mengenai pengambilan keputusan dalam keadaan ada kepastian, sifatnya deterministik.

b. Pengambilan keputusan dalam keadaan ada risk (risiko). Risiko terjadi jika hasil pengambilan keputusan walaupun tidak dapat diketahui dengan pasti, akan tetapi diketahui nilai kemungkinan (probabilitasnya).

c. Pengambilan keputusan dalam keadaan uncertainty (ketidakpastian). Ketidakpastian akan kita hadapi sebagai pengambil keputusan jika hasil keputusan sama sekali tidak diketahui karena hal yang akan diputuskan belum pernah terjadi sebelumnya.

d. Pengambilan keputusan dalam keadaan ada conflict (konflik). Situasi konflik terjadi jika kepentingan dua pengambil keputusan atau lebih saling bertentangan (ada konfik) dalam situasi kompetitif. Walaupun kelihatannya sederhana, keputusan dalam situasi ada konflik seringkali dalam praktiknya menjadi sangat rumit (kompleks).


(35)

Secara keseluruhan, teknik-teknik yang dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang berbeda-beda tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.1: Teknik-Teknik Pengambilan keputusan No. Situasi pengambilan

keputusan

Pemecahan Teknik

1. Ada kepastian Deterministik - Linear programming

- Model transportasi - Model penugasan - Model inventori - Model antrian - Model ‘network’

2. Ada risiko Probabilistik - Model keputusan probabilistik

- Model inventori probabilistik - Model antrian probabilistic

3. Tidak ada kepastian Tak diketahui Analisis keputusan dalam

keadaan ketidakpastian

4. Ada konflik Tergantung

tindakan lawan

Game theory (teori permainan)

2.1.5. Proses Pengambilan Keputusan

Dalam Hasan (2004), proses pengambilan keputusan merupakan tahap-tahap yang harus dilalui atau digunakan untuk membuat keputusan. Tahap-tahap-tahap ini merupakan kerangka dasar, sehingga setiap tahap dapat dikembangkan lagi


(36)

menjadi beberapa sub tahap (disebut langkah) yang lebih khusus (spesifik) dan lebih operasional.

Secara garis besar, proses pengambilan keputusan terdiri dari:

1. Penemuan masalah. Tahap ini merupakan tahap di mana masalah harus

didefinisikan dengan jelas, sehingga perbedaan antara masalah dan bukan masalah (misalnya issu) menjadi jelas.

2. Pemecahan masalah. Tahap ini merupakan tahap di mana masalah yang sudah ada atau sudah jelas itu kemudian diselesaikan. Langkah-langkah yang diambil ialah sebagai berikut:

a. Identifikasi alternatif-alternatif keputusan untuk memecahkan masalah

b. Perhitungan mengenai faktor-faktor yang tidak dapat diketahui

sebelumnya atau di luar jangakuan manusia, identifikasi peristiwa-peristiwa di masa datang

c. Pembuatan alat (sarana) untuk mengevaluasi atau mengukur hasil,

biasanya berbentuk pay off table (tabel hasil)

d. Pemilihan dan penggunaan model pengambilan keputusan.

3. Pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil ialah berdasarkan pada keadaan lingkungan atau kondisi yang ada, seperti kondisi pasti, kondisi berisiko, kondisi tidak pasti, dan kondisi konflik.

Halpern dalam Suharnan (2005) mengusulkan sebuah kerangka kerja pembuatan keputusan yang memuat sejumlah langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh orang yang akan membuat keputusan terutama untuk masalah yang kompleks. Kerangka kerja pembuatan keputusan itu sebagai berikut:


(37)

Gambar 2.1: Kerangka Kerja Pembuatan Keputusan

Mengidentifikasi, mengenali, dan membingkai keputusan

Mencari dan menemukan sejumlah alternatif

Mengevaluasi alternatif yang dihasilkan dengan mempertimbangkan

berbagai aspek

Mengevaluasi hasil-hasilnya Melakukan tindakan

sesuai keputusan Mengevaluasi ulang, membingkai ulang, mencari

ulang alternatif lain

Memilih salah satu alternatif dan melakukan tindakan

2.1.6. Tindakan Memutuskan

Menurut Siagian (1997), akal sehat dan pemikiran yang logis akan dengan mudah menerima pendapat yang mengatakan bahwa dalam seluruh proses pengambilan keputusan, tindakan memutuskan merupakan tindakan yang paling dominan. Bahkan tanpa adanya tindakan memutuskan, sesungguhnya proses pengambilan keputusan itu tidak berarti apa-apa. Tindakan memutuskan juga


(38)

merupakan langkah yang paling sulit. Pendalaman tindakan memutuskan secara rasional menjadi semakin rumit, apabila diingat bahwa dengan perkembangan yang sangat pesat dalam ilmu administrasi dan manajemen sekalipun, serta dibantu oleh ilmu-ilmu lainnya yang mendukung, pengetahuan para pengambil keputusan masih tetap sangat terbatas. Dikatakan demikian karena mendalami tindakan memutuskan itu mencakup berbagai bidang, seperti: ciri-ciri pribadi pengambil keputusan, latar belakang sosialnya, latar belakang pendidikan, filsafat hidup, nilai-nilai organisasional, nilai-nilai sosial, sifat dan bentuk tujuan yang ingin dicapai, kondisi lingkungan, gaya manajerial seseorang, kemampuan organisasi dalam arti sumber daya dan dana yang dimiliki, model-model dan teknik-teknik pengambilan keputusan yang diketahui dan dapat digunakan.

2.1.7. Pendekatan di dalam Pengambilan Keputusan

Dalam Suharnan (2005), pendekatan-pendekatan di dalam pembuatan keputusan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pendekatan normatif dan deskriptif. Pendekatan normatif menggunakan prinsip berpikir rasional-logis (apa yang seharusnya) sehingga menghasilkan suatu keputusan yang ideal. Sementara itu, pendekatan deskriptif menggunakan prinsip kenyataan dan kecenderungan orang-orang di dalam membuat keputusan di dalam praktik hidup sehari-hari, sehingga keputusan yang dihasilkan kebanyakan hanya mencapai tingkat yang cukup memuaskan atau baik.

Beberapa alternatif dalam pendekatan deskriptif telah diusulkan oleh para ahli teori tentang pembuatan keputusan. Salah satu alternatif yang terkenal ialah


(39)

ilmuwan terkemuka dari Amerika Serikat, Danniel Kahneman dan Amos Tversky di sekitar tahun 80-an.

Prinsip-prinsip yang diajukan oleh teori prospek meliputi: value function

(prinsip fungsi nilai), decision frame (bingkai keputusan), psychological accounting (perhitungan mental psikologis), probability (probabilitas), dan

certainty effect (efek kepastian).

Dewasa ini para ahli psikologi khususnya lebih banyak mencurahkan perhatian dalam studinya pada proses pembuatan keputusan melalui strategi heuristik sebagai bagian dari pendekatan deskriptif. Heuristik ialah cara menentukan sesuatu melalui hukum kedekatan, kemiripan, kecenderungan, atau keadaan yang diperkirakan paling mendekati kenyataan. Heuristik sering disebut

the rule of thumb. Penggunaan pendekatan atau strategi heuristik ini dapat

diibaratkan seseorang yang menentukan panjang sebuah meja dengan merentangkan jari tangannya, bukan dengan alat ukur yang dapat menunjuk panjang secara akurat. Strategi-heuristik tersebut meliputi: keterwakilan, ketersediaan informasi, pembuatan patokan atau ancer-ancer, perangkap keputusan, kepercayaan yang berlebihan, dan pembingkaian.

Siagian (1997) mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan menggunakan keputusan yang tidak baik sebagai titik tolak untuk meninjau kembali model dan teknik pengambilan keputusan yang pernah digunakan. Sama pentingnya ialah menilai mengapa suatu keputusan dapat dikatakan sebagai keputusan yang baik, sedangkan yang lain dipandang sebgai keputusan yang tidak baik. Hal ini perlu diketahui agar kita dapat memetik pelajaran untuk penerapan model dan teknik pengambilan keputusan yang akan datang, sehingga dapat


(40)

mendatangkan hasil yang diharapkan. Dua cara untuk melakukan penilaian itu ialah:

a. Menggunakan pendekatan yang sifatnya pragmatis, yaitu melihat hasil yang dicapai. Jika hasil yang dicapai sesuai dengan harapan dan keinginan, keputusan yang diambil dapat dikatakan keputusan yang baik.

b. Menggunakan pendekatan yang sifatnya prosedural. Dalam hal ini yang dinilai ialah proses atau tata cara yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Yang dilakukan ialah menilai sesuatu keputusan, baik atau tidak, berdasarkan cara yang ditempuh untuk menjatuhkan pilihan. Cara inilah yang menyangkut model dan teknik pengambilan keputusan.

Menurut Anderson dalam Suharnan (2005), untuk menghadapi permasalahan atau keputusan yang kompleks, seseorang dapat menempuh 3 pendekatan, yaitu memaksimalkan nilai minimum (pendekatan pesimis), memaksimalkan nilai maksimum (pendekatan optimis), dan memaksimalkan nilai harapan (memperhitungkan nilai-nilai yang baik dan buruk). Seseorang juga perlu mempertimbangkan penggunaan proses conscious thingking (berpikir sadar) atau

unconscious thinking (berpikir tidak sadar) agar dapat diperoleh keputusan yang baik.

2.1.8. Model-Model Pengambilan Keputusan

Dalam Hasan (2004), model ialah percontohan yang mengandung unsur yang bersifat penyederhanaan untuk dapat ditiru (jika perlu). Model merupakan alat penyederhanaan dan penganalisisan situasi atau sistem yang kompleks. Jadi dengan model, situasi atau sistem yang kompleks itu dapat disederhanakan tanpa


(41)

menghilangkan hal-hal yang esensial dengan tujuan memudahkan pemahaman. Pembuatan dan penggunaan model dapat memberikan kerangka pengelolaan dalam pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan itu sendiri merupakan suatu proses berurutan yang memerlukan penggunaan model secara tepat dan benar. Pengambil keputusan berusaha menggeser keputusan yang semula tanpa perhitungan menjadi keputusan yang penuh perhitungan.

Klasifikasi model dapat dilakukan berdasarkan: purpose (tujuannya), field of application (bidang penerapannya), level (tingkatannya), time character (ciri waktunya), form (bentuknya), analytic development (pengembangan analitik),

complexity (kompleksitas), formalization (formalisasi).

Quade dalam Hasan (2004) membedakan model ke dalam dua tipe, yaitu: 1. Model kuantitatif. Model kuantitatif ialah serangkaian asumsi yang tepat, yang

dinyatakan dalam serangkaian hubungan matematis yang pasti.

2. Model kualitatif. Model kualitatif didasarkan atas asumsi-asumsi yang ketepatannya agak kurang jika dibandingkan dengan model kuantitatif dan ciri-cirinya digambarkan melalui kombinasi dari deduksi-deduksi asumsi-asumsi tersebut, dengan pertimbangan yang lebih bersifat subjektif mengenai proses atau masalah yang pemecahannya dibuatkan model. Gullett dan Hicks memberikan beberapa klasifikasi model pengambilan keputusan yang kerap kali digunakan untuk memecahkan masalah (yang hasilnya kurang diketahui secara pasti), antara lain: model probabilitas, konsep tentang nilai-nilai harapan, the payoff matrix model (model matriks korelasi), decision tree model

(model pohon keputusan), model kurva indiferen (kurva tak acuh), dan model simulasi komputer.


(42)

2.1.9. Teknik-Teknik Pengambilan Keputusan

Telah terlihat pada uraian sebelumnya, bahwa model apapun yang digunakan dalam pengambilan keputusan, sebelum tindakan memutuskan diambil, diperlukan data dan informasi yang memenuhi syarat kemutakhiran, kelengkapan, ketepatan, dan ketersediaan apabila diperlukan, karena sukar dibayangkan bahwa keputusan yang rasional dapat diambil tanpa bantuan informasi.

Dalam Siagian (1997), pada dasarnya ada dua kelompok teknik pengambilan keputusan yang dapat dan biasa digunakan, yaitu:

1. Teknik pengambilan keputusan yang bersifat kuantitatif. Inti teknik ini terletak pada usaha menganalisis berbagai variabel yang jumlahnya banyak dan mencari hubungan antara berbagai variabel tersebut.

a. Teknik pengambilan keputusan yang tidak bersifat kuantitatif. Teknik-teknik itu antara lain: brainstorming, synetics, consensus thinking, delphi,

fish bowling, didactic interaction, collective bargaining.

b. Pemecahan masalah. Teknik pemecahan masalah ini berkisar pada

pengambilan tujuh langkah, yaitu: identifikasi dan definisi hakikat masalah yang dihadapi, pengumpulan dan pengolahan informasi, identifikasi alternatif, analisis berbagai alternatif, penentuan pilihan alternatif terbaik, pelaksanaan, dan evaluasi hasil yang dicapai.

Dari uraian sebelumnya telah terlihat bahwa proses pengambilan keputusan yang rasional pada dasarnya mencakup beberapa hal pokok, yaitu:

a. Tumbuhnya kesadaran bahwa ada situasi problematik yang dihadapi dan harus ditanggulangi


(43)

c. Pengenalan hakikat masalah yang dihadapi d. Pengumpulan dan pengolahan informasi e. Pencaharian dan penemuan berbagai alternatif f. Pemilihan berbagai alternatif untuk dianalisis

g. Perkiraan tentang hasil-hasil yang diperhitungkan akan diperolah

h. Tindakan memutuskan dengan menggunakan model atau teknik tertentu i. Pengumpulan umpan balik tentang hasil yang diperoleh.

Tetapi terlihat pula bahwa dalam praktik, pengambilan keputusan yang rasional dan logis masih tetap harus dibarengi dengan penggunaan daya pikir yang kreatif, inovatif, intuitif, dan keterikatan emosional, digabung dengan pengalaman yang telah berhasil dikumpulkan.

2.1.10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan

Dalam Hasan (2004), ada beberapa pendapat yang diungkapkan oleh para ahli mengenai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan, faktor-faktor itu antara lain:

1. Posisi atau kedudukan. Dalam kerangka pengambilan keputusan, posisi atau kedudukan seseorang dapat dilihat dalam:

a. letak posisi; dalam hal ini apakah ia sebagai decision maker (pembuat keputusan), ataukah staf.

b. tingkatan posisi; dalam hal ini apakah sebagai strategi, polisi, peraturan, organisasional, operasional, teknis.


(44)

2. Masalah. Masalah ialah apa yang menjadi penghalang untuk tercapainya tujuan, yang merupakan penyimpangan daripada apa yang diharapkan, direncanakan, atau dikehendaki, dan harus diselesaikan.

3. Situasi. Situasi ialah keseluruhan faktor-faktor dalam keadaan, yang berkaitan satu sama lain, dan yang secara bersama-sama memancarkan pengaruh terhadap apa yang hendak diperbuat. Faktor-faktor itu dibedakan atas dua, yaitu:

a. faktor-faktor yang konstan (C), yaitu faktor-faktor yang sifatnya tidak berubah-ubah atau tetap keadaannya

b. faktor-faktor yang tidak konstan, atau variabel (V), yaitu faktor-faktor yang sifatnya selalu berubah-ubah, tidak tetap keadaannya.

4. Kondisi. Kondisi ialah keseluruhan dari faktor-faktor yang secara bersama-sama menentukan daya gerak, daya berbuat atau kemampuan. Sebagian faktor-faktor tersebut merupakan sumber daya - sumber daya.

5. Tujuan yang hendak dicapai.

6. Keadaan intern organisasi. Keadaan intern organisasi bersangkut paut dengan apa yang ada di dalam organisasi tersebut. Keadaan intern organisasi antara lain meliputi dana yang tersedia, keadaan sumber daya manusia, kemampuan karyawan, kelengkapan dari peralatan organisasi, struktur organisasi.

7. Keadaan ekstern organisasi. Keadaan ekstern organisasi bersangkut paut

dengan apa yang ada di luar organisasi tersebut. Keadaan ekstern organisasi antara lain meliputi keadaan ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dsb. 8. Tersedianya informasi yang diperlukan. Dalam pengambilan keputusan,

informasi yang diperlukan haruslah lengkap dan memiliki sifat-sifat tertentu, sehingga keputusan yang dihasilkan dapatlah berkualitas dan baik. Sifat-sifat


(45)

informasi itu antara lain: akurat, up to date, komprehensif, relevan, memiliki kesalahan baku kecil.

9. Kepribadian dan kecakapan pengambilan keputusan. Nilai-nilai kepribadian

dan kecakapan, yang meliputi penilaian, kebutuhan, intelegensi, keterampilan, kapasitas, dsb ini turut juga mewarnai tepat tidaknya keputusan yang diambil. Jika pengambil keputusan memiliki kepribadian dan kecakapan yang kurang, maka keputusan yang diambil juga akan kurang, demikian juga sebaliknya.

John D. Millet (dalam Hasan, 2004) juga mengemukakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh pemimpin, yaitu:

1. Pria dan wanita. Pria umumnya bersifat lebih tegas, berani, dan cepat pengambilan keputusan, sedangkan wanita umumnya relatif lebih lambat dan sering ragu-ragu.

2. Peranan pengambil keputusan. Peranan bagi orang yang pengambilan

keputusan itu perlu diperhatikan, mencakup kemampuan mengumpulkan informasi, kemampuan menganalisis dan menginterpretasikan, kemampuan menggunakan konsep yang cukup luas tentang perilaku manusia secara fisik untuk memperkirakan perkembangan-perkembangan hari depan yang lebih baik.

3. Keterbatasan kemampuan. Perlu disadari adanya kemampuan yang terbatas dalam pengambilan keputusan di bidang manajemen, yang dapat bersifat institusional ataupun bersifat pribadi.

Berdasarkan uraian sebelumnya, di bawah ini dikemukakan skema mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi pengambilan keputusan, sebagai berikut:


(46)

Gambar 2.2:

Skema Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Pengambilan Keputusan

• Posisi atau kedudukan • Masalah, Situasi, Kondisi • Jenis kelamin (X7)

• Tujuan yang hendak dicapai

• Keadaan intern dan ekstern organisasi • Tersedianya informasi yang diperlukan

• Kualifikasi pribadi: Mental, Fisik Kompetensi

Kecerdasan emosional (X1-6) Mengambil

Watak sosial Keputusan (y)

Etik, Sikap, Kepribadian • Usia (X8)

• Agama, Suku bangsa, Pangkat / golongan • Latar belakang pendidikan formal

• Lama menjadi kepala sekolah (X9)

• Pengalaman mengajar

Berdasarkan skema di atas, terdapat persamaan:

y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + e

Di mana:

y = kompetensi pengambilan keputusan a = konstan, intercept

b = koefisien regresi

X1 = well-being, X2 = self-control, X3 = emotionality

X4 = sociability, X5 = adaptability, X6 = self-motivation

X7 = jenis kelamin, X8 = usia , X9 = lama menjadi kepala sekolah

e = residu (segala hal yang mempengaruhi kompetensi pengambilan keputusan di luar dari IV yang ada di persamaan)


(47)

2.1.11 Pengukuran Kemampuan Pengambilan Keputusan

Bruine de Bruin et. al (2007) merancang Adult Decision-Making

Competence (ADMC) untuk mengkaji seberapa baik seorang individu dalam

pengambilan keputusan. Komponen ADMC terdiri dari:

a. Resistance to Framing (RF), menilai apakah pilihan dipengaruhi oleh

perbedaan-perbedaan yang tidak relevan di dalam pendeskripsian masalah, khususnya pembingkaian pilihan dalam bentuk gain (perolehan) dan lost

(kehilangan).

Cara ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap pilihan yang hendak diputuskan. Suatu cara penyajian atau konteks yang berbeda akan menghasilkan keputusan yang berbeda pula, meski persoalan yang diangkat sebenarnya sama. Dalam RF, terdapat 2 macam pembingkaian yang dipandang memiliki potensi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan, yaitu: (1) penerimaan, dinyatakan dalam bentuk gain (perolehan) yang seharusnya menghasilkan tindakan penentangan atau penghindaran terhadap risiko; (2) penolakan, dinyatakan dalam bentuk lost (kehilangan), sehingga akan menimbulkan tingkah laku mengambil risiko.

b. Recognizing Social Norms (RSN), menilai pemahaman norma-norma sosial

dari kelompok sebaya.

c. Under/Overconfidence (UO), menilai seberapa baik penyesuaian individu

dalam bentuk mengenali sejauh mana pengetahuan mereka sendiri.

d. Applying Decision Rules (ADR), menilai seberapa baik individu mampu

menggunakan berbagai keputusan yang dijelaskan oleh aturan, seperti keputusan dengan bobot yang sama. Dalam Suharnan (2005) dikemukakan


(48)

bahwa kecenderungan orang dalam membuat keputusan merupakan fungsi dari bobot keputusan. Bobot keputusan ini tidak selalu berhubungan dengan besar-kecilnya peluang atau frekuensi kejadian.

e. Consistency in Risk Perception (CRP), menilai perhitungan kemungkinan,

terutama seberapa baik individu memahami aturan probabilitas atau kemungkinan.

f. Resistance to Sunk Costs (RSC), menilai kemampuan untuk mengabaikan

investasi utama ketika keputusan diambil. Hal ini merupakan psychological

accounting (perhitungan psikologis). Seseorang yang membuat keputusan

tidak hanya membingkai pilihan-pilihan yang ditawarkan, tetapi juga membingkai hasil serta akibat dari pilihan-pilihan itu.

g. Path Independence (PI), menilai apakah pilihan dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan yang tidak relevan di dalam pendeskripsian masalah, terutama penyajian sebagai satu atau dua tahap spekulasi.

Dalam Suharnan (2005) dikemukakan bahwa preferensi (kecenderungan memilih) akan tegantung pada bagaimana suatu persoalan diformulasikan. Jika titik referensi diformulasikan sedemikian rupa sehingga hasil keputusan dianggap atau dipersepsi sebagai suatu perolehan, maka orang yang pengambilan keputusan akan cenderung menghindari risiko, begitu pula sebaliknya.

Peneliti akan menggunakan ADMC sebagai salah satu alat ukur dalam penelitian ini, dengan alasan:


(49)

1. ADMC memang dirancang untuk menilai seberapa baik individu dalam pengambilan keputusan, alat ukur ini sesuai dengan variabel yang ingin diteliti yaitu kompetensi pengambilan keputusan.

2. Material ADMC tersedia secara on-line, sehingga mudah diakses.

3. Komponen ADMC memiliki korelasi yang signifikan (de Bruin, 2007) dengan

Raven’s Standard Progressive Matrices, Nelson-Denny Reading Test, Regret Scale, Maximization Scale, Constructive Thinking Inventory, General Decision Making Style, dan Decision Outcome Inventory.

2.2. Kecerdasan Emosional

2.2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Inteligensi ialah satu kemampuan mental, pikiran, atau intelektual manusia. Inteligensi merupakan bagian dari proses-proses kognitif pada urutan yang lebih tinggi. Secara umum, inteligensi sering disebut kecerdasan. David Wechsler memberikan definisi inteligensi sebagai kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Kemampuan itu ialah kemampuan untuk mengolah lebih jauh lagi hal-hal yang kita amati. Kemampuan ini terdiri dari kemampuan umum dan kemampuan khusus.

Keadaan emosional merupakan satu reaksi kompleks yang mengait satu tingkat tinggi kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam, serta dibarengi perasaan yang kuat, atau disertai keadaan afektif (Chaplin, 2008). Emosi juga dapat dirumuskan sebagai satu keadaan yang terangsang dari organisme,


(50)

mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku.

Menurut Goleman (2007), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

Gratch dan Marsella dalam Van Heck dan Den Oudsten (2008:h.97) menyimpulkan bahwa “Emotions have a tremendous impact on our beliefs, inform our decision making, and guide how we adapt our behavior to the world around us. Hence, they play a powerful role in people’s lives.”

Salovey dan Mayer dalam Shapiro (2003), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Menurut Gardner dalam Goleman (2007), kecerdasan pribadi (oleh Goleman disebut kecerdasan emosional) terdiri dari kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi. Kecerdasan antarpribadi ialah kemampuan untuk memahami orang lain: apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu-membahu dengan mereka. Dalam rumusan lain, Gardner mencatat bahwa inti kecerdasan antarpribadi itu mencakup kemampuan membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain. Dalam kecerdasan antarpribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan: akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuannya untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku. Sedangkan kecerdasan


(51)

intrapribadi ialah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut ialah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.

Berdasarkan uraian kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner tersebut, Salovey dalam Goleman (2007) mencetuskan definisi dasar tentang kecerdasan emosional, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, yaitu: mengenali emosi diri (kesadaran diri), mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati, keterampilan bergaul), dan membina hubungan (keterampilan mengelola emosi orang lain).

Berdasarkan deskripsi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional dalam penelitian ini ialah kemampuan khusus yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam mengenali dan mengelola emosi diri, memotivasi dan menguasai diri sendiri, mengenali dan mengelola emosi orang lain, membina hubungan dengan orang lain sedemikian rupa sehingga bermanfaat secara efektif untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.

2.2.2. Konsep Kecerdasan Emosional

Petrides dan Furnham (2006) mengklasifikasikan konsep Emotional Intelligence (kecerdasan emosional) menjadi dua, yaitu: trait EI (atau emotional self-efficacy) dan ability EI (atau cognitive-emotional ability). Perbedaan di antara

trait EI dan ability EI terutama mengenai metode pengukuran pada konstruk dan bukan pada teori. Trait EI merupakan suatu kumpulan dari emotion-related, self-perceptions, dan dispositions (seperti persepsi emosi, manajemen emosi, empati) yang dinilai melalui self-report questionnaires (kuesioner pelaporan diri).


(52)

Moira Mikolajczak (2007:h.13) menyimpulkan mengenai tingkatan kecerdasan emosional sebagai berikut:

Three loosely interconnected levels of Emotional Intelligence: knowledge (complexity and width of conceptuall-declarative emotion knowledge), abilities (ability to apply knowledge to a problem solving situation and actually implement a given strategy), traits (propensity to put one’s abilities into practice, frequency with which one uses his/her abilities). And most relevant level to decision-making: trait EI.

2.2.3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional

Dalam Van Heck dan Den Oudsten (2008), dikemukakan mengenai unsur-unsur kecerdasan emosional, antara lain menurut:

1. Mayer & Salovey, yaitu:

a. Perception and expression of emotion (persepsi dan ekspresi emosi)

b. Assimilating emotion in thought (menyatukan emosi dalam proses

berpikir)

c. Understanding and analyzing emotion (pemahaman dan penalaran emosi)

d. Reflective regulation of emotion (mengatur emosi diri serta orang lain) 2. Bar-On, yaitu:

a. Intrapersonal skills (keahlian perseorangan) b. Interpersonal skills (keahlian antar-perseorangan) c. Adaptability skills (keahlian beradaptasi)

d. Stress-management skills (keahlian pengelolaan stress)

e. General mood (perasaan umum)

3. Goleman (2007), yaitu:

a. Knowing one’s emotions (mengenali emosi diri). Mengenali emosi diri


(53)

b. Management of emotions (mengelola emosi). Mengelola emosi (pengaturan atau penguasaan diri) merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat dan selaras, sehingga tercapai keseimbangan emosi.

c. Motivating oneself (memotivasi diri sendiri). Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan ialah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, dan untuk berkreasi. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

d. Recognizing emotions in others (mengenali emosi orang lain). Istilah

empati pada awalnya dikenalkan ke dalam bahasa Inggris dari kata Yunani

empatheia, ‘ikut merasakan’, istilah yang pada awalnya digunakan para teoritikus estetika untuk kemampuan memahami pengalaman subjektif orang lain. Menurut Segal (2000), kesadaran aktif yang senantiasa ada itu membuat kita cerdas merasa, empati membuat kita bijaksana dalam merasa. Dengan empati, kita menjadi seorang warga dunia.

e. Handling relationships (membina hubungan). Seni membina hubungan,

sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang-orang lain, membina kedekatan hubungan, menyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman.

4. Petrides (2001), ada 15 subskala yang merupakan komponen dari 6 faktor, yaitu:


(54)

a. Well-Being, yang terdiri dari:

1) Self-Esteem (harga diri), skala harga diri mengukur keseluruhan evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri. Skor tinggi dimiliki oleh orang yang berpandangan positif terhadap diri dan prestasi mereka sendiri.

2) Trait Optimism (sifat optimis), seperti kebahagiaan, skala ini dihubungkan dengan kesejahteraan, memandang ke depan sekalipun pada satu jalan.

3) Trait Happiness (sifat kebahagiaan), skala ini mengenai kondisi emosi yang menyenangkan, terutama langsung mengarah pada sesuatu yang terjadi saat ini dibandingkan dengan kepuasan hidup masa lalu atau masa depan.

b. Self-Control, yang terdiri dari:

1) Emotion Regulation (pengaturan emosi), skala ini mengukur bagaimana seseorang mengontrol perasaan dan kondisi emosinya dalam jangka yang pendek, sedang, dan jangka panjang.

2) Stress Management (stress manajemen), skor tinggi pada skala ini dapat menangani tekanan dengan santai dan efektif, karena mereka sukses mengembangkan coping mechanisms.

3) Low Impulsiveness (daya dorong yang rendah), skala ini mengukur sebagian besar ketidakberfungsian daripada keberfungsian daya dorong. Daya dorong yang rendah membutuhkan pemikiran sebelum bertindak dan membayangkan dengan cermat sebelum pengambilan keputusan. c. Emotionality, yang terdiri dari:


(55)

1) Emotion Perception (persepsi atau pemahaman emosi), skala ini mengukur pemahaman emosi dalam diri sendiri dan orang lain. Skor tinggi pada skala ini jelas mengenai apa yang mereka rasakan dan mampu memahami ekspresi emosi orang lain.

2) Emotion Expression (ekspresi emosi), skor tinggi pada skala ini dimaksudkan untuk orang-orang yang mampu mengkomunikasikan perasaan mereka dengan lancar kepada orang lain.

3) Trait Empathy (sifat empati), skala ini mengukur aspek ‘ perspective-taking’ dari empati, yaitu melihat dunia dari sudut pandang orang lain. 4) Relationships (hubungan), skala ini sebagian besar mengenai hubungan

seseorang, meliputi sahabat, teman, dan keluarga. d. Sociability, yang terdiri dari:

1) Assertiveness (ketegasan), seseorang dengan skor tinggi pada skala ini ialah yang jujur dan berterus terang. Mereka tahu bagaimana meminta untuk sesuatu, memberikan dan menerima pujian, dan menghadapi hal lain jika diperlukan.

2) Social Awareness (kesadaran sosial), skor tinggi dalam skala ini ialah bagi mereka yang memiliki keterampilan sosial yang sempurna, peka, mudah menyesuaikan diri, dan lekas mengerti. Mereka bagus dalam bernegosiasi, membuat kesepakatan, dan mempengaruhi orang lain. 3) Emotion Management (manajemen emosi), skala ini mengenai

kemampuan seseorang memahami dan mengatur kondisi emosi orang lain. Skor tinggi pada skala ini ialah orang yang dapat mempengaruhi perasaan orang lain.


(56)

e. Adaptability (penyesuaian), skor tinggi ialah bagi mereka yang fleksibel pada pekerjaan dan hidup mereka. Mereka mau dan mampu beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi yang baru.

f. Self-Motivation (motivasi diri), orang-orang dengan skor tinggi pada skala ini dipandu oleh kebutuhan untuk menghasilkan pekerjaan dengan kualitas yang tinggi. Mereka cenderung tekun dan gigih.

2.2.4. Pengukuran Kecerdasan Emosional

Dalam Mubayidh (2006), ada beberapa cara untuk menguji tingkat kecerdasan emosional seseorang, di antaranya:

1. EQ-I (Emotional Quotient Inventory) yang dikembangkan oleh Dr. Reuven Baron. Alat ukur ini dikembangkan dalam rangka terapi klinis untuk mengetahui kesehatan emosi seseorang.

2. Skala EQ Multifaktor (MEIS-Multifactor Emotional Intelligence Scale). Skala ini digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi, membedakan, memahami, dan menyikapi emosinya.

3. ECI (Inventory Emotional Competence), yaitu di mana seseorang diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar orang (yang hendak dihitung EQ nya) yang telah dia kenal.

4. TEIQue (The Trait Emotional Intelligence Qustionnaire).

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan TEIQue-SF sebagai salah satu alat ukur, dengan alasan:

1. TEIQue merupakan alat ukur yang memang dikembangkan untuk mengukur


(1)

ini ialah saraf, tetapi otak bersifat plastis, sangat mudah dibentuk, dan terus menerus belajar. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan emosional dapat diperbaiki sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya di mana masing-masing unsur menampilkan bentuk kebiasaan dan respon yang, dengan upaya yang tepat, dapat dikembangkan.

Selanjutnya, hanya variabel usia yang memiliki pengaruh yang signifikan dengan kompetensi pengambilan keputusan. Sedangkan variabel well-being, self-control,

emotionality, sociability, adaptability, self-motivation, jenis kelamin, lama menjadi kepala sekolah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kompetensi pengambilan keputusan.

Beberapa hasil penelitian di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan De Bruin (2007). Hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa usia memiliki korelasi yang negatif terhadap kemampuan pengambilan keputusan bagi orang dewasa.

5.3.

Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Dikarenakan variasi dari ke-9 IV hanya menyumbang pengaruh sebesar 20,7 % dan sisanya disebabkan oleh faktor lain, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya agar mencari dan menghubungkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kompetensi dalam pengambilan keputusan. Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah gaya pengambilan keputusan, tingkat pendidikan, kemampuan kognitif, keadaan ekonomi, dsb.

2. Salah satu kekurangan dari penelitian ini adalah sedikitnya jumlah subjek penelitian. Maka dalam penelitian selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak jumlah subjek


(2)

penelitian, karena hasil penelitian ini bisa berubah jika subjek penelitiannya bertambah.

3. Hasil penelitian ini dapat juga dijadikan bahan masukan yang positif dan bahan pertimbangan kepada Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, khususnya Kotamadya Jakarta Selatan dalam rangka pelaksanaan seleksi penentuan kompetensi sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengisi jabatan kepala sekolah, terutama diperhatikan mengenai usia seseorang diangkat menjadi kepala sekolah.

4. Dapat memberikan informasi dan masukan bagi penggagas program peningkatan kompetensi kepala sekolah seluruh Indonesia yang dilaksanakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional agar menambahkan kompetensi pengambilan keputusan sebagai materi diklatnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Bruine de Bruin, W., Parker, A.M., & Fischhoff, B. (2007). Individual difference in adult decision-making competence. Journal of Personality and Social Psychology, 92

(5), 938-956.

Chaplin, J.P. (2008). Kamus lengkap psikologi, Ed-1, Cet-12. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Daftar nama dan alamat SDN dan SDS di Provinsi DKI Jakarta. Diakses dari

http://www.disdikdki.net/

Freudenthaler, H.H., Neubauer, A.C., Gabler, P., Scherl, W.G., Rindermann, H. (2008). Testing and validating the trait emotional intelligence questionnaire in a german-speaking sample. Journal of Personality and Individual Differences, 45, 673-678.

Goleman, D. (2007). Kecerdasan emosional, Cet-17, terj. T. Hermaya, judul asli,

Emotional intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hasan, I. (2004). Pokok-pokok materi teori pengambilan keputusan, Cet-2. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mikolajczak, M. (2007). Emotional intelligence, is it relevant to the study of decision making? ARC Seminar pada 5 November, 2007. Diakses pada 2 November, 2009 dari www.uclouvain.com

Mikolajczak, M., Luminet, O., Leroy, C., & Roy, E. (2006). Psychometric properties of the trait emotional intelligence questionnaire: factor structure, reliability, construct, and incremental validity in a french-speaking population. Journal of Personality Assessment, 1-54.

Mubayidh, M. (2006). Kecerdasan dan kesehatan emosional Anak, terj. M. Muchson Anasy, judul asli, Ad-dzaka’ al-athifi wa ash-shihhah al-athifiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Petrides, K.V. (2001). TEIQue interpretations. Diakses pada 2 November, 2009 dari

http://www.psychometriclab.com/

Petrides, K.V., & Furnham, A. (2003). Trait emotional intelligence questionnaire

(TEIQue). Diakses pada 2 November, 2009 dari

http://www.statisticssolutions.com/

Petrides, K.V., & Furnham, A. (2006). The role of trait emotional intelligence in a gender-specific model of organizational variables. Journal of Applied Social Psychology, 36 (2), 552-569.


(4)

Rachman, E. dan Savitri, S. (2009, 1 Agustus). Manajemen batin. Kompas, hlm.33

Salehudin, I. (2008). Pengambilan keputusan emosional Vs tanpa emosi. Diakses pada 8 Januari, 2009 dari

http://mhs.blog.ui.ac.id/imam.salehudin/2008/essay-mid-term-mata-kuliah-proses-mental/

Segal, J. (2000). Melejitkan kepekaan emosional: cara baru praktis untuk mendayagunakan potensi insting dan kekuatan emosi anda, terj. Ary Nilandari, judul asli, raising your emotional intelligence. Bandung: Kaifa.

Shapiro, L.E. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak, Cet-6, terj. Alex Tri Kantjono, judul asli, How to raise a child with a hagh EQ – a parents guide to emotional intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sheth, D. (2007). Kepemimpinan dan kecerdasan emosi, terj. Gafura, judul asli,

leadership and emotional intelligence. Diakses pada 9 Agustus, 2009 dari

http://id.shvoong.com/humanities/1676190-kepemimpinan-dan-kecerdasan-emosi/

Siagian, S.P. (1997). Teori dan praktek pengambilan keputusan, Cet-10. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.

Suharnan M.S. (2005). Psikologi kognitif, ed-revisi. Surabaya: Srikandi. Supranto, J. (1998). Teknik pengambilan keputusan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Umar, J. (2008). Pengukuran dan analisis statistika dalam psikologi. Diakses pada 23 Januari, 2010 dari www.assessment-iai.com

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diakses dari

http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf

Van Heck, G.L., & Den Oudsten, B.L. (2008). Chapter seven: Emotional intelligence: relationships to stress, health, and well-being. Dalam A. Vingerhoets (ed). Emotion Regulation (97-121).

Wahjosumidjo. (2008). Kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


(5)

Lampiran 1:

Hasil hitungan proporsi varian DV yang terkait dengan IV menggunakan program SPSS:

a) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap emotionality

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .285(a) .081 .062 8.52655

a Predictors: (Constant), EMOSI

b) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap sociability Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .311(a) .097 .059 8.54208

a Predictors: (Constant), SOSIABIL, EMOSI

c) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap well-being Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .318(a) .101 .043 8.61451

a Predictors: (Constant), WELLB, SOSIABIL, EMOSI

d) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap self-control

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .331(a) .110 .030 8.66899

a Predictors: (Constant), SELFCTRL, SOSIABIL, WELLB, EMOSI

e) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap self-motivation

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .335(a) .112 .011 8.75430


(6)

f) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap adaptability

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .335(a) .112 -.011 8.85377

a Predictors: (Constant), ADABTABI, SOSIABIL, SELFCTRL, WELLB, SELFMOTI, EMOSI

g) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap usia Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .446(a) .199 .065 8.51149

a Predictors: (Constant), AGE, SOSIABIL, SELFCTRL, ADABTABI, WELLB, SELFMOTI, EMOSI

h) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap lama menjadi kepala sekolah

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .455(a) .207 .052 8.57030

a Predictors: (Constant), EXPKPLA, SOSIABIL, SELFCTRL, AGE, ADABTABI, WELLB, SELFMOTI, EMOSI

i) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap jenis kelamin

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .455(a) .207 .029 8.67665

a Predictors: (Constant), SEX, SELFCTRL, AGE, SOSIABIL, EXPKPLA, ADABTABI, EMOSI, SELFMOTI, WELLB


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Sikap Siswa dalam Pembelajaran Bermuatan Multikultural di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM)

0 47 150

Pengaruh Kecerdasan Intelektual Dan Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Pelajaran Akuntansi Dengan Minat Sebagai Variabel Moderating (Studi Pada Siswa Smk Bisnis Dan Manajemen Di Kota Sibolga Kelas XII Jurusan Akuntansi)

4 120 134

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN TENTANG PELANGGARAN TATA TERTIB Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Pengambilan Keputusan Tentang Pelanggaran Tata Tertib Di SD Negeri 1 Kedungjati.

0 3 19

DUKUNGAN KREATIFITAS KEPALA SEKOLAH, KECERDASAN EMOSIONAL GURU, DAN KOMPENSASI TERHADAP KINERJA Dukungan Kreatifitas Kepala Sekolah, Kecerdasan Emosional Guru, dan Kompetensi terhadap Kinerja Guru SD Negeri di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal.

0 0 16

PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH (STUDI KASUS : SD MUHAMMADIYAH 2 SURAKARTA).

0 1 16

PENGARUH KOMPETENSI, KECERDASAN EMOSIONAL, KEPEMIMPINAN ENTREPRENEUR DAN BUDAYA SEKOLAH TERHADAP MUTU KINERJA KEPALA SEKOLAH PADA SMA DI KABUPATEN BOGOR.

0 0 98

Hubungan antara kecerdasan emosional dan pengambilan keputusan pada penerbang TNI AU.

0 0 139

View of HUBUNGAN KEPEMIMPINAN VISIONER DAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH

0 0 17

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PEGAWAI

0 0 8

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL KEPALA SEKOLAH DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI SD SE KECAMATAN KOTA SELATAN - Tugas Akhir

0 0 10