BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sekarang ini, makin terasa betapa penting peranan organisasi terhadap kepentingan manusia, rasanya tidak ada seorang manusia pun yang hingga pada
saat kematiannya, ia tidak terikat pada organisasi. Hal ini diakibatkan oleh ketidakmampuan manusia secara fisik dan psikis dalam mencapai berbagai tujuan, selain
itu juga akibat keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang selalu terdorong untuk bekerja sama dengan individu yang lain.
Pada hakikatnya, bentuk kerjasama antara sekelompok individu dengan berbagai macam ikatan dalam mencapai tujuan bersama itulah yang disebut sebuah organisasi.
Kata organisasi mengandung dua macam pengertian secara umum, yaitu 1 menandakan suatu institution lembaga atau kelompok fungsional, antar lain rumah sakit, sekolah,
kantor-kantor pemerintah, dan sebagainya, 2 proses pengorganisasian, dalam hal ini pekerjaan diatur dan dialokasikan di antara para anggota organisasi, sehingga tujuan
organisasi dapat dicapai secara efisien. Di dalam lingkungan organisasi, kepemimpinan ialah suatu kekuatan penting
dalam rangka pengelolaan, oleh sebab itu kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci keberhasilan organisasi. Kepemimpinan terjadi melalui 2 bentuk, yaitu
formal leadership kepemimpinan formal dan informal leadership kepemimpinan informal. Menurut Wahjosumidjo 2008, berdasarkan rumusan Schermerhorn,
pengertian orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses, berarti bahwa untuk mengisi jabatan kepemimpinan formal harus dilaksanakan melalui proses yang
didasarkan atas kriteria-kriteria tertentu yang menjadi bahan pertimbangan, seperti latar belakang pengalaman atau pendidikan, pangkat, usia, dan integritas atau harga diri.
Sekolah ialah suatu lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai suatu organisasi yang di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang
saling berkaitan dan saling menentukan antara satu dengan yang lain. Sedang sifat unik, menunjukkan bahwa sekolah merupakan organisasi yang memiliki ciri-ciri tertentu yang
tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lainnya, yaitu sekolah merupakan tempat di mana terjadinya proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan
kehidupan umat manusia. Karena sifat yang kompleks dan unik itulah, sekolah sebagai organisasi
memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Inilah pentingnya peranan seorang kepala sekolah yang akan menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah dalam mencapai
tujuan pendidikan. Saat ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dengan cara menyempurnakan sistem pendidikan, baik melalui penataan perangkat keras maupun perangkat lunak. Salah satu upaya tersebut ialah dengan adanya
kebijakan dalam rangka desentralisasi pendidikan, yaitu pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah selanjutnya disingkat MBS. Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51 Ayat 1 disebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBSmadrasah. Dan di dalam penjelasan atas undang-undang tersebut, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
MBSmadrasah ialah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan,
yang dalam hal ini kepala sekolahmadrasah dan guru dibantu oleh komite sekolahmadrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. MBS merupakan salah satu
wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya. Otonomi dalam
manajemen merupakan tugas sekolah untuk meningkatkan kinerja para tenaga kependidikan, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Dalam implementasi MBS, kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat
penting. Pelaksanaan MBS menuntut kepemimpinan kepala sekolah profesional yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas pribadi untuk mewujudkan visi menjadi
aksi, serta demokratis dan transparan dalam berbagai pengambilan keputusan. Oleh karena itu, peran kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi sekolah sangat sentral.
Kepala sekolah merupakan evaluator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator, dan motivator.
Menurut Wahjosumidjo 2008, yang mengaitkan jabatan kepala sekolah sebagai pejabat formal dengan teori Harry Mintzberg, diungkapkan adanya tiga macam peranan
seorang pemimpin, yaitu interpersonal, informational, dan decisional roles. Yang pertama ialah interpersonal roles peranan hubungan antarperseorangan. Peranan ini
timbul akibat otoritas formal dari seorang manajer, yang meliputi figurehead, leadership kepemimpinan, dan liasion penghubung. Yang kedua ialah informational roles
peranan informasional, kepala sekolah berperan untuk menerima dan menyebarluaskan atau meneruskan informasi kepada guru, staf, siswa, dan orang tua siswa. Dalam fungsi
informasional inilah kepala sekolah berperan sebagai nerve center urat syaraf sekolah. Peran kepala sekolah yang ketiga ialah sebagai desicional roles pengambil keputusan.
Peranan sebagai pengambil keputusan merupakan peran yang paling penting dari kedua
macam peran yang lainnya. Ada empat macam peran kepala sekolah sebagai pengambil keputusan, yaitu entrepreneur, disturbance-handler orang yang memerhatikan
gangguan, a resource allocater orang yang menyediakan segala sumber, dan negotiator roles.
Siagian 1997 mengatakan bahwa salah satu tolak ukur utama yang biasa digunakan untuk mengukur efektivitas kepemimpinan seseorang yang menduduki jabatan
pimpinan dalam suatu organisasi ialah kecekatan, kemahiran, dan kemampuannya dalam pengambilan keputusan yang rasional, logis, berdasarkan daya pikir yang kreatif dan
inovatif, digabung dengan pendekatan yang intuitif dengan memanfaatkan berbagai pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Bila diamati, kata ’kecekatan, kemahiran,
kemampuan’ merupakan variasi kata yang menggambarkan kompetensi. Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa pengambilan keputusan merupakan inti kepemimpinan,
karena pengambilan keputusan ialah kegiatan intelektual yang secara sadar dilakukan oleh seseorang sehingga lebih menjamin bahwa hal-hal yang dihadapi oleh organisasi
telah diperhitungkan sebelumnya dan dengan demikian terhindar dari berbagai jenis pendadakan.
Keputusan yang baik ialah keputusan yang memenuhi berbagai persyaratan. Dan keputusan yang diambil hanya akan ada artinya dalam usaha pencapaian tujuan, dan
berbagai sasaran apabila dilaksanakan oleh para pelaksana yang memiliki dedikasi, kesetiaan, kecakapan, dan keterampilan yang tinggi, yang kesemuanya merupakan
pencerminan dari perilaku yang positif. Oleh sebab itu, kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi sekolah yang
merupakan ujung tombak pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan dan arah tujuan pendidikan, selain harus memiliki keahlian atau kemampuan dasar, pengetahuan
dan keterampilan profesional, pelatihan dan pengalaman profesional, kompetensi kepala
sekolah, ia juga harus memiliki kualifikasi pribadi yang baik. Kualifikasi pribadi yang berupa serangkaian sifat atau watak yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin pada
umumnya, termasuk kepala sekolah, yaitu dalam segi: mental, fisik, emosi, berwatak sosial, etik, sikap, dan kepribadian.
Menurut Damasio dalam Goleman 2007, emosi berperan dalam pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan yang paling rasional. Damasio telah
melakukan studi yang saksama, hingga akhirnya ia mendapat bukti yang menuntunnya pada pendapat kontra-intuisi yang menyatakan bahwa perasaan biasanya sangat
dibutuhkan untuk keputusan rasional, perasaan menunjukkan pada kita arah yang tepat, sehingga logika mentah dapat digunakan sebaik-baiknya. Sementara dunia seringkali
menghadapkan kita kepada rentetan pilihan-pilihan yang tidak terhingga, pembelajaran emosi yang telah diberikan kehidupan kepada kita mengirimkan sinyal-sinyal yang
merampingkan keputusan tersebut dengan membuang sejumlah pilihan dan memberi penekanan pada pilihan-pilihan lain sejak awal.
Mikolajczak 2007:h.3 menyatakan bahwa “Emotion an essential ingredient: a accelerate the decision-making process reduce the amount of information to be
processed, b prevent us from hesitating endlessly between two options. Emotions can both enhance and bias decision making.”
Salehudin 2008 menyimpulkan bahwa emosi dapat menghambat maupun membantu proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang dilakukan
secara emosional maupun tanpa emosi sama-sama dapat mengurangi kualitas pengambilan keputusan. Oleh karena itu, salah satu faktor yang dapat menentukan
apakah emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan keputusan adalah
kemampuan pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi yang ia miliki.
Rachman dan Savitri 2009 juga mengatakan bahwa tantangan terbesar pemimpin bukan ujian terhadap knowledge pengetahuan-nya, namun justru datang dari
kehebatannya dalam mengelola aspek emosi dan psikologi diri dan timnya. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya bila seseorang tiba-tiba diposisikan sebagai pemimpin,
dituntut untuk mempraktikkan pengambilan keputusan dan pemberian arah yang jelas, sementara ia tidak memiliki dan tidak mengasah kualitas-kualitas batinnya dengan
sungguh-sungguh.
Mubayidh 2006 mengungkapkan bahwa ada sejumlah penelitian yang dilakukan dengan maksud menjawab pertanyaan tentang karakter dan pengalaman pemimpin yang
sukses, serta untuk merumuskan kriteria pimpinan yang baik. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk mengetahui perbedaan antara pemimpin agung dengan pemimpin biasa.
Ternyata faktor yang membedakan keduanya ialah Emotional Intelligence atau Emotional Quotient kecerdasan emosional.
Beberapa pakar memberikan definisi beragam pada kecerdasan emosi, di antaranya ialah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam
bentuk menerima, memahami, dan mengelolanya. Salovey dalam Goleman 2007, memperluas kecerdasan emosi menjadi lima wilayah utama, yaitu mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.
Untuk memahami 5 wilayah yang disebut di atas, kita uraikan salah satunya, yaitu mengenai mengenali emosi diri. Mengenali emosi diri dapat diartikan kesadaran diri.
Sheth 2007 menjelaskan bahwa sadar diri ialah keterampilan kunci dari kecerdasan
emosi yang ada di belakang kepemimpinan yang baik. Keterampilan ini sering dipandang sebagai kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan kita sendiri, mengapa, serta
bagaimana dampak perasaan diri terhadap tingkah laku kita sendiri. Akan tetapi, kesadaran diri ini juga melibatkan kemampuan untuk memantau dan mengendalikan bias
bawah sadar yang kuat pada setiap orang, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Pada saat yang sama, perlu diwaspadai penggunaan kecerdasan emosi jika
keterampilan ini dikembangkan secara tidak proporsional, karena itu dapat mengganggu hubungan. Sebagai contoh, jika seorang pemimpin ekstrem sadar diri tapi kurang empati,
pemimpin itu mungkin menjadi orang yang terobsesi sendiri. Pemimpin yang cerdas emosi ialah pemimpin yang tahu kapan harus mengendalikannya.
Kecerdasan emosi berbeda-beda tingkatnya antara satu pemimpin dengan pemimpin yang lainnya, dan pemimpin-pemimpin itu menerapkannya dengan
keterampilan-keterampilan yang berbeda-beda pula. Jika dipergunakan dengan bijak dan simpatik, kecerdasan emosi akan memacu pemimpin, orang-orangnya, dan organisasinya
hingga mencapai kinerja yang luar biasa. Sebaliknya, jika dipergunakan secara naif dan melenceng, kecerdasan emosi dapat melumpuhkan pemimpin atau memungkinkan
mereka memanipulasi para pengikutnya untuk kepentingan pribadi. Hasil pengamatan awal penulis memperlihatkan bahwa masih banyak kepala
sekolah yang belum mengerti dan memahami cara melakukan pengambilan keputusan yang efektif sesuai dengan informasi yang tersedia dan sasaran yang hendak dicapai.
Lebih jauh lagi, para kepala sekolah cenderung menuruti perasaan dan emosi dalam memecahkan permasalahan, sehingga keputusan yang diambil terkadang berkualitas
rendah dan tidak tepat sasaran. Telah diuraikan sebelumnya bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan secara emosional maupun tanpa emosi sama-sama dapat
mengurangi kualitas pengambilan keputusan. Dan salah satu faktor yang dapat
menentukan apakah emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan keputusan adalah kemampuan pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan
mengendalikan emosi yang ia miliki, dengan kata lain ialah bagaimana kecenderungan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh para pengambil keputusan itu sendiri.
Beberapa fenomena menunjukkan di antaranya masih banyak kepala sekolah yang selalu meminta petunjuk dari atasan, yaitu pihak Dinas Pendidikan dalam rangka
merumuskan kebijakan, namun di pihak lain ada kepala sekolah yang telah berani pengambilan keputusan atas inisiatif sendiri bersama dengan guru dan komite sekolah.
Kondisi pertama yang telah dikemukakan di atas bisa disebabkan karena kepala sekolah belum mengetahui atau belum menguasai pendekatan, metode, dan teknik yang
dapat dipakai untuk meningkatkan kompetensi dalam pengambilan keputusan. Hal ini juga disebabkan oleh belum berjalannya penyelenggaraan otonomi sekolah. Salah satunya
dapat terlihat pada birokrasi pendidikan, terutama dinas tingkat kecamatan yang masih memegang kendali atas kepala sekolah yang dengan sendirinya telah menguasai kendali
sekolah. Hal tersebut dapat dikarenakan pemberian otonomi yang hanya sampai pada tingkat kepala sekolah. Kondisi ini memungkinkan bagi birokrasi pendidikan untuk
melakukan kontrol, karena melalui Kepmen Nomor 162U2003, pemberhentian dan pengangkatan kepala sekolah masih menjadi kewenangan mereka. Walau kepala sekolah
adalah guru yang mendapat tugas tambahan, secara struktural posisinya berada di atas komponen sekolah lainnya, seperti guru. Pelimpahan otonomi membuat kewenangan
yang dimiliki kepala sekolah sangat besar. Apalagi belum ada mekanisme yang bisa memaksa kepala sekolah melibatkan orang tua murid dan guru dalam pembuatan
kebijakan akademis apalagi finansial. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, ada indikasi bahwa kecerdasan
emosional memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan yang dibuat seorang
pemimpin, dalam hal ini ialah kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi sekolah yang dihadapkan pada berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya ialah mengenai
pendekatan MBS. Kecerdasan emosional yang dimaksud di sini ialah trait Emotional Intelligence selanjutnya disebut trait EI.
Mikolajczak 2007 mengatakan bahwa ada 3 level kecerdasan emosional, yaitu: 1 knowledge, 2 abilities, 3 traits = dispositions. Trait EI merupakan level yang
paling relevan dengan pengambilan keputusan. Salah satu alat ukur yang digunakan untuk mengukur trait EI ialah Trait Emotional Intelligence Questionnaire selanjutnya disebut
TEIQue yang mencakup 6 faktor, yaitu Well-Being selanjutnya disebut WB, Self- Control selanjutnya disebut SC, Emotionality selanjutnya disebut Em, Sociability
selanjutnya disebut So, Adaptability selanjutnya disebut Ad, dan Self-Motivation selanjutnya disebut SM. Maka dari itu, penulis ingin mengkaji secara ilmiah apakah ada
pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional, yang mencakup WB, SC, Em, So, Ad, dan SM terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan
kepala sekolah. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan di awal, bahwa ada beberapa
kriteria yang menjadi bahan pertimbangan untuk mengisi jabatan formal, di antaranya ialah usia dan latar belakang pengalaman. Mikolajczak 2006 juga membuktikan adanya
pengaruh jenis kelamin dan usia terhadap trait EI. Oleh karena itu, maka penulis juga menjadikan jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah sebagai variabel
tambahan dalam penelitian ini.
1.2. Permasalahan