Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persaingan ketat dalam berbagai bidang kehidupan di abad ke-21 menuntut peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas pendidikan yang lebih baik, lebih efektif dan relevan bagi kebutuhan masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan bertujuan untuk menyiapkan peserta didik dalam menghadapi persaingan yang kompetitif di berbagai bidang. Peningkatan kualitas pendidikan tidak terlepas dari peningkatan kualitas pembelajaran di berbagai mata pelajaran. Salah satu mata pelajaran penting yang sangat perlu ditingkatkan kualitasnya adalah fisika, karena fisika merupakan ilmu dasar yang penting untuk pengembangan teknologi. Fisika merupakan ilmu pengetahuan dasar yang berhubungan dengan struktur serta perilaku benda. Fisika terbagi menjadi beberapa bidang yaitu gerak, fluida, panas, suara, cahaya, listrik dan magnet, dan topik-topik modern seperti relativitas, struktur atom, zat padat, nuklir, partikel elementer dan astrofisika Giancoli, 2014: 2. Selain itu, seperti yang dirangkum oleh International Union of Pure and Applied Physics IUPAP 2015 mengenai pentingnya fisika bagi masyarakat menyatakan bahwa fisika menghasilkan pengetahuan dasar yang diperlukan untuk kemajuan teknologi masa depan yang akan terus mendorong mesin ekonomi dunia. 2 Fisika sudah dipelajari sejak mengenyam pendidikan sekolah menengah. Namun, pada kenyataannya prestasi belajar fisika peserta didik masih tergolong rendah. Rendahnya prestasi belajar Fisika peserta didik dapat dilihat dari hasil ujian nasional di Kalimantan Barat tahun 2015 dengan nilai rata-rata fisika sebesar 54,69, kimia 58,55 dan biologi 55,37 dengan nilai maksimum 100 Kemendikbud, 2015. Berdasarkan data hasil ujian nasional tersebut dapat dilihat bahwa nilai hasil ujian fisika paling rendah dibandingkan kimia dan biologi. Hasil penelitian Ramos, Dolipas Villamor 2013 menunjukkan adanya hubungan antara Higher Order Thinking Skills HOTS peserta didik dan prestasi akademik di bidang fisika dengan meneliti kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik yang merupakan bagian dari HOTS. Berdasarkan data dan hasil penelitian tersebut menunjukkan banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mempelajari dan memahami konsep fisika serta kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah fisika masih belum optimal yang disebabkan oleh lemahnya HOTS peserta didik. Lemahnya HOTS fisika peserta didik dapat dibuktikan berdasarkan hasil survei pendahuluan yang meneliti HOTS fisika peserta didik SMA di Kalimantan Barat. Lima sekolah yang diteliti menghasilkan persentase data HOTS peserta didik yaitu SMAN 7 Pontianak 50,7, SMAN 1 Sungai Raya 55,8, SMAN 1 Mempawah 52,3, SMAN 3 Singkawang 51,1, and SMAN 1 Pemangkat 51,4. Berdasarkan hasil survei pendahuluan, HOTS peserta didik di Kalimantan Barat tergolong rendah dengan rata-rata persentase sebesar 52,26. 3 Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dengan fokus pada peningkatan HOTS fisika peserta didik di SMAN 7 Pontianak yang termasuk dalam kategori rendah dalam HOTS fisika. Berdasarkan data-data hasil temuan tersebut diperlukan solusi nyata di bidang pendidikan untuk meningkatkan kemampuan HOTS peserta didik agar diperoleh hasil belajar fisika yang optimal. Hasil belajar fisika yang optimal selain didukung oleh aspek kognitif juga didukung oleh aspek afektif. Salah satu sikap yang harus dikembangkan pada diri peserta didik dalam pembelajaran fisika adalah sikap ilmiah scientific attitude. Scientific attitude merupakan kemampuan untuk bereaksi secara konsisten, rasional dan obyektif dalam cara tertentu dan bergantung pada prinsip-prinsip yang telah terbukti Olasehinde, 2014: 446. Scientific attitude dapat membantu peserta didik dalam mempelajari sains khususnya fisika sehingga peserta didik termotivasi untuk mempelajari fisika lebih dalam. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada guru Fisika SMAN 7 Pontianak kebanyakan peserta didik kurang antusias mempelajari materi yang diajarkan. Hal ini menunjukkan kurangnya sikap ingin tahu dan berpikir kitis peserta didik terhadap pembelajaran fisika. Selain itu rasa tanggung jawab dan kerjasama dalam diri peserta didik juga masih kurang. Hal ini terlihat ketika peserta didik diberi tugas berdiskusi, hanya beberapa orang saja yang terlibat dalam diskusi sementara peserta didik yang lain tidak berani mengemukakan pendapatnya. Karena permasalahan scientific attitude inilah maka peran guru sangat penting dalam mengembangkan scientific attitude peserta didik terhadap pembelajaran fisika. Kurang dilatihnya scientific attitude 4 peserta didik selama proses pembelajaran menyebabkan peserta didik kesulitan dalam mempelajari fisika yang mengakibatkan rendahnya hasil belajar fisika. Selain itu, bahan ajar yang digunakan oleh peserta didik belum memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan scientific attitude yang dapat membantu peserta didik mempelajari fisika. Salah satu solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah mengembangkan bahan ajar yang dapat meningkatkan HOTS dan scientific attitude peserta didik. Physics Comprehensive Contextual Teaching Material PhyCCTM merupakan bahan ajar yang di dalamnya terdiri atas silabus, RPP, materi ajar, LKPD dan lembar evaluasi peserta didik. PhyCCTM berisi konsep- konsep serta materi fisika yang kontekstual sehingga dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam dunia nyata. Selain itu, PhyCCTM mencakup seluruh aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Aspek kognitif pada PhyCCTM akan berkaitan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik dan aspek afektif pada PhyCCTM akan diarahkan untuk mengembangkan scientific attitude peserta didik. Bahan ajar ini cocok digunakan untuk meningkatkan HOTS peserta didik karena membantu peserta didik dalam membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan kasus-kasus kontekstual yang disajikan pada bahan ajar sehingga peserta didik dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya di dunia nyata. Hasil penelitian yang dilakukan Latifah 2015 juga menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan HOTS peserta didik. 5 PhyCCTM yang telah dikembangkan menggunakan Kurikulum 2013 yang menjadikan KKNI sebagai dasar untuk pengembangan kurikulum. KKNI merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyetarakan serta mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dengan tujuan memberikan pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Implementasi KKNI bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di segala bidang. KKNI terdiri atas sembilan jenjang kualifikasi. Jenjang kualifikasi adalah tingkat pencapaian pembelajaran yang disepakati secara nasional yang disusun berdasarkan hasil pendidikan atau pelatihan yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja Dikti, 2010: 18. Namun, belum ada bahan ajar yang mengajarkan kompetensi- kompetensi yang harus dicapai pada level 2 KKNI untuk jenjang pendidikan SMA, oleh karena itu perlu dikembangkan suatu bahan ajar yang kompetensinya sesuai dengan level 2 KKNI sebagai pedoman. Bagi peserta didik tingkat SMA, seluruh aspek yang terdapat pada PhyCCTM berbasis KKNI yang terdiri atas aspek kognitif, afektif dan psikomotor yang telah dikembangkan mengacu pada Kurikulum 2013 yang menjadikan KKNI sebagai dasar pengembangan kompetensi lulusan SMA sesuai dengan standar level 2 KKNI. Pengembangan PhyCCTM berbasis KKNI untuk meningkatkan HOTS peserta didik karena merupakan bahan ajar yang bersifat kontekstual sehingga peserta didik mendapatkan konsep-konsep fisika dan contoh-contoh kasus yang 6 berkaitan langsung dengan kehidupan nyata. Selain itu, melalui bahan ajar yang kontekstual dapat membantu peserta didik membangun pengetahuan-pengetahuan yang baru menggunakan pengetahuan yang telah didapat dari guru untuk menyelesaikan contoh masalah-masalah dalam kehidupan nyata yang tersedia pada bahan ajar. PhyCCTM dapat melatih HOTS peserta didik seperti kemampuan menganalisis, melakukan sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan serta menggunakan logika dan bukti sehingga peserta didik terbiasa dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Aspek kognitif yang terdapat pada PhyCCTM berbasis KKNI diarahkan untuk meningkatkan HOTS peserta didik sedangkan aspek afektif diarahkan untuk pengembangan scientific attitude peserta didik sehingga diharapkan dengan meningkatnya hasil belajar fisika peserta didik melalui peningkatan HOTS dan scientific attitude peserta didik, kualitas sumber daya manusia Indonesia juga meningkat untuk menghadapi persaingan di berbagai sektor yang semakin ketat. PhyCCTM berbasis KKNI yang telah dikembangkan mengambil topik materi usaha dan energi. Penyelesaian masalah-masalah fisika yang berkaitan dengan materi usaha dan energi memerlukan keterampilan analisis, penalaran, inferensi serta evaluasi Ding, et al., 2011: 1. Kemampuan tersebut merupakan bagian dari HOTS sehingga untuk mempelajari serta memecahkan masalah- masalah yang berkaitan dengan usaha dan energi diperlukan HOTS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Edi Istiyono 2014 mengenai HOTS fisika peserta didik SMA, usaha dan energi termasuk salah satu materi yang diteliti untuk 7 melihat HOTS peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa HOTS peserta didik SMA di DIY pada materi usaha dan energi masih tergolong rendah. Oleh karena itu PhyCCTM berbasis KKNI diharapkan dapat meningkatkan HOTS peserta didik sehingga peserta didik dapat mempelajari serta menyelesaikan masalah-masalah fisika yang berhubungan dengan materi usaha dan energi. Dengan demikian penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan PhyCCTM berbasis KKNI untuk meningkatkan HOTS peserta didik pada materi usaha dan energi di kelas XI SMAN 7 Pontianak dianggap layak dan rasional untuk dilakukan. Penelitian ini juga merupakan penelitian anak payung tahun pertama yang didanai oleh Dikti dari penelitian payung tahun 20152016 yang berjudul pengembangan Physics Comprehensive Contextual Teaching Material PhyCCTM berbasis KKNI untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills HOTS Peserta Didik.

B. Identifikasi Masalah