Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

6. Adanya kemiskinan struktural dan disharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat menyebabkan orang tua hanya hadir secara fisik, namun tidak hadir secara emosional. Oleh karena itu anak merasa tidak kerasan di rumah, sehingga dapat menyebabkan anak mencari orang untuk berlindung yang pada gilirannya dapat mengatnarkannya masuk dalam sindikat perdagangan.

2.2.4 Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

Kekerasan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Trauma dapat membahayakan bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tidak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. Seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Akibat lebih jauh dari adanya trauma itu juga menyebabkan terhambatnya proses pembentukan bangsa yang sehat. Untuk itu penegakan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual khususnya terhadap anak perlu untuk dikaji karena menyangkut tentang kesejahteraan anak dan itu merupakan hak setiap anak. Menurut Charles Zastrow dalam Suharto 2003, ciri-ciri umum anak yang mengalami kekerasan seksual adalah sebagai berikut : 1. Tanda-tanda perilaku a. Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia. b. Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif dari teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya. c. Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk. d. Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut, seperti ngompol, mengisap jempol, dan sebagainya. e. Perilaku anti sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak. f. Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindari dari orang tertentu orang tua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh, lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah. g. Perilaku seksual yang tidak panas: masturbasi berlebihan, berbahaya atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno. h. Penyalahgunaan Narkotika dan Penyalahgunaan Zat Adiktif NAPZA, alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja. i. Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri self abuse: merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri. 2. Tanda-tanda kognisi a. Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus perhatian singkatterpecah. b. Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya. c. Responsreaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan orang lain dalam jarak dekat. 3. Tanda-tanda sosial-emosional a. Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga. b. Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan. c. Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri. d. Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan pada diri sendiri maupun kepercayaan terhadap orang lain. e. Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya. 4. Tanda-tanda fisik a. Hamil b. Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah. c. Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin. Daftar perilaku ini bukanlah “standar” yang bersifat pasti. Jadi anak yang menunjukkan satu atau dua perilaku di atas tidak dapat serta merta dianggap sebagai mengalami kekerasan secara seksual. Selanjutnya, korban perkosaan anak-anak kemungkinan dapat pulih jauh lebih lama dan sulit. Mereka cenderung akan menderita trauma akut Geiser, 1979. Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tidak kuat menanggung beban, pilihan satu- satunya ialah bunuh diri. Acap terjadi, perempuan korban perkosaan, sesudahnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita vaginismus, dimana otot dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup ketika melakukan hubungan kelamin, sehingga sulit dilakukan penetrasi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat terjadi dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang dirasakan sebagai penderitaan bila dilakukan senggama Suyanto, 2010. Kekerasan seksual yang menimpa para korban, terutama anak-anak sering menjadi stressor yang tidak dapat diatasi dan menimbulkan masalah di kemudian hari, seperti menderita gangguan makan anoreksia atau bulimia, masalah seksual, penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik, kecemasan, hancurnya penghargaan diri, atau depresi berkepanjangan Knauer, 2002. Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual. Secara spesifik Faulkner 2003 menjelaskan bahwa kendala yang menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban, korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, korban cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, korban merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga Ilena S., 2011.

2.2.5 Pemulihan Diri Korban Kekerasan Seksual pada Anak