Pemulihan Diri Korban Kekerasan Seksual pada Anak

hari, seperti menderita gangguan makan anoreksia atau bulimia, masalah seksual, penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik, kecemasan, hancurnya penghargaan diri, atau depresi berkepanjangan Knauer, 2002. Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual. Secara spesifik Faulkner 2003 menjelaskan bahwa kendala yang menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban, korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, korban cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, korban merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga Ilena S., 2011.

2.2.5 Pemulihan Diri Korban Kekerasan Seksual pada Anak

Kekerasan seksual menimbulkan dampak bagi korbannya. Pada umumnya, dampak yang muncul yaitu perasaan buruk akibat pengalaman kekerasan seksual yang mereka alami dan pendam akan menjadi lebih buruk dari hari ke hari, dan menjadikan identitas yang buruk bagi korban Lisak, 1994. Pengalaman traumatis dan perasaan buruk akan diri sendiri ini menyebabkan korban tidak dapat melupakan kekerasan seksual yang dialaminya dan dapat menjadi gangguan stress yang disebut post-traumatic stress disorder PTSD. PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, kerentanan emosional, dan kilas baik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD dapat dialami siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik, tidak peduli usia dan jenis kelamin Kaplan Saddock, 2008. Menurut Knauer 2002, ada beberapa jenis gangguan akibat PTSD yaitu gangguan disosiatif, gangguan akibat penggunaan alkohol dan obat terlarang, gangguan makan, dan perilaku kecanduan atau kompulsif. Tentunya hal ini memerlukan pemulihan diri agar korban dapat pulih dari traumanya dan fungsinya sebagai individu dapat berlangsung dengan baik. Kesedihan sebagai dampak traumatis dapat dijelaskan melalui model pemulihan diri dari Kubler-Ross 1969. Model pemulihan diri ini memiliki lima tahapan dan setiap korban tidak selalu melewati setiap tahapan. Lima tahapan tersebut adalah : 1. Tahap penyangkalan Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak percaya bahwa kekerasan seksual tersebut menimpa diri korban. Para korban selalu berkata, “Tidak, bukan saya, itu tidak benar”. Penyangkalan ini hampir selalu dilakukan oleh semua korban dan merupakan pertahanan sementara. 2. Tahap kemarahan Ketika masa penyangkalan tidak tertahankan lagi, korban akan mengalami perasaan marah, gusar, cemburu, dan benci. Pertanyaan yang sering muncul adalah, “mengapa aku?” atau “mengapa bukan orang itu saja?”. Kemarahan ini dapat terjadi kapanpun dan diproyeksikan ke lingkungan pada saat yang tidak terduga. Mereka biasanya akan memaki-maki diri sendiri, orang lain atau Tuhan atas kejadian traumatis tersebut, sering menangis, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap diri sendiri atau orang lain. 3. Tahap penawaran Ketika perasaan marah sudah agak mereda, maka korban akan memasuki tahap penawaran. Tahap ini mampu menolong korban meskipun hanya untuk beberapa saat. Karena menyadari kondisi dirinya yang sedang dalam masa krisis, maka korban berusaha melakukan berbagai hal bagi dirinya asalkan pengalaman tersebut dapat hilang. Tahap ini merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri, dimana korban berharap trauma itu akan hilang dengan sendirinya. 4. Tahap depresi Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus menerus, dan usaha-usaha untuk memperbaiki dirinya dapat membuat korban masuk ke dalam kondisi depresi. Mereka dapat kehilangan gairah hidup, merasa sangat sedih, tidak ingin merawat diri dan kehilangan nafsu makan. Mood depresif menjadi semakin buruk bila korban meyakini bahwa dirinyalah yang salah dan menyebabkan terjadinya pengalaman tersebut. 5. Tahap penerimaan Setelah korban mencapai tahap penerimaan, barulah dapat terjadi perkembangan yang positif. Penerimaan terbagi menjadi dua tipe. Pertama, penerimaan intelektual yang artinya menerima dan memahami apa yang telah terjadi. Kedua, penerimaan emosional yang artinya dapat mendiskusikan pengalaman traumatisnya tanpa reaksi-reaksi berlebihan. Proses menuju penerimaan tidak sama bagi semua orang dan rentang waktunya juga berbeda.

2.3. Kerangka Pikir