kekerasan seksual dan dampak yang dirasakan bagi korban baik secara fisik, psikologis dan sosial. Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian tentang kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Pidie Tahun 2013.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Pidie
Tahun 2013”.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengungkap kejadian kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Pidie Tahun 2013
1.4 Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang kesehatan reproduksi yang terkait dengan kekerasan seksual pada anak.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi responden sehingga mengetahui bagaimana mengatasi kekerasan seksual yang
pernah dialaminya.
3. Memberi sumbangan informasi bagi kepada keluarga atau lingkungan sekitar
korban agar dapat memberikan dukungan yang positif dan pemulihan hingga korban mampu mengatasi trauma akibat kekerasan seksual.
4. Memberikan informasi bagi Badan Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pidie, dalam menyusun dan membuat kebijakan
perlindungan kesehatan pada anak terutama pada anak korban kekerasan seksual. 5. Memberikan informasi kepada lembaga-lembaga non pemerintah LSM dalam
memberikan advokasi pada korban kekerasan seksual.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep tentang Anak
2.1.1 Pengertian Anak
Menurut Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan
belum menikah. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam penelitian ini, peneliti memilih batasan usia anak berdasarkan Undang-
Undang Perlindungan Anak yaitu di bawah 18 tahun. Sementara itu itu, badan kesehatan dunia PBB yang mengurusi anak United Nation International Children
Emergency Fund UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa. Mereka memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa
yang akan datang. Agar anak kelak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya,
segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi Huraerah, 2008.
2.1.2 Hak-hak Anak
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, kewajiban memberikan perlindungan anak didasarkan atas asas-asas :
non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup- kelangsungan hidup dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak.
Konvensi Hak Anak disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan telah diratifikasi dengan Keputusan
Presiden No 36 tahun 1990. Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang
yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sementara itu, KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang menjadi dewasa apabila telah pernah
menikah meskipun usianya belum cukup 18 tahun. Konvensi menghormati hak-hak anak dan perlindungan terhadap anak,
pentingnya peran keluarga, serta pengembangan sumber daya untuk kepentingan anak. Pasal 18 mengharuskan negara-negara peserta untuk melakukan upaya-upaya
yang menjamin agar kedua orang tua bertanggungjawab bersama untuk membesarkan dan mengembangkan anak dan kepentingan terbaik anak akan dijadikan perhatian
utamanya. Sementara itu pasal 19 secara khusus menyebutkan perlunya upaya untuk
melindungi anak dari kekerasan, penyalahgunaan, penelantaran dan eksploitasi, serta
menguraikan langkah-langkah dalam mencapai perlindungan tersebut. Pasal-pasal lainnya menekankan pentingnya peran komunitas pelayanan kesehatan di dalam
pemantauan dan pelaporan kekerasan terhadap anak. Untuk itu WHO telah merekomendasikan intervensi praktisnya.
Bidang lain yang berkaitan dengan anak dengan kecacatan, tanggungjawab orangtua, eksploitasi anak, anak-anak dalam daerah konflik bersenjata, rehabilitasi
anak dan lain-lain diuraikan dalam pasal yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup, tumbuh-kembang dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam membahas berbagai hak dan tanggungjawab, Konvensi menegaskan bahwa “hak-hak” tersebut merujuk kepada “child’s … social, spiritual and moral well
being and physical and mental health and to achievement of fullest possible individual development in all areas” kondisi sosial, spiritual dan moral anak serta
kondisi fisik dan mental yang baik yang memungkinkan anak mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan dengan sebaik-baiknya di segala bidang
IDI-Depkes-UNICEF, 2004.
2.1.3 Kebutuhan Anak
Setiap anak, sebagaimana halnya manusia lainnya, memiliki kebutuhan- kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang secara sehat dan wajar. Menurut Katz 1997 dalam Muhidin 2003 kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orang tua
dan anak yang sehat dimana kebutuhan anak seperti perhatian dan kasih sayang yang kontinu, perlindungan, dorongan dan pemeliharaan harus dipenuhi oleh orang tua.
Sedangkan Brown dan Swanson 1999 mengatakan bahwa kebutuhan umum anak adalah perlindungan keamanan, kasih sayang, pendekatan perhatian dan
kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat
Sementara itu, Huttman dalam Muhidin 2003, merinci kebutuhan anak adalah sebagai berikut :
1. Kasih sayang orang tua
2. Stabilitas emosional
3. Pengertian dan perhatian
4. Pertumbuhan dan kepribadian
5. Dorongan kreatif
6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar
7. Pemeliharaan kesehatan
8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan
memadai. 9.
Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif 10.
Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan. Untuk menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang
bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orang tua sebagai perantara dengan
dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan
kasih sayang, pemahaman, suasana rekreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar,
pengajaran tanggungjawab sosial, peran-peran sosial dan keterampilan dasar agar menjadi warga masyarakat yang bermanfaat Huraerah, 2008.
Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial
anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan pula mengalami hambatan mental, lemah daya
nalar, dan bahkan perilaku-perilaku maladaptif seperti autisme, nakal, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia ‘tidak normal’ dan pelaku kriminal
Suharto, 2007. Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak
akan mengalami hambatan jika anak mengalami : 1.
Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak 2.
Tanpa bimbingan dan asuhan 3.
Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat 4.
Diperlakukan salah secara fisik 5.
Diperlakukan salah dan dieksploitasi secara seksual 6.
Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat.
7. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus menerus,
perceraian dan mempunyai orang tua yang menderita gangguan penyakit atau sakit jiwa.
8. Diekpsloitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat dan
demoralisasi. Soetarso, 2003.
2.1.4 Pendekatan Holistik pada Tumbuh Kembang Anak
Hawari 1997 dalam Huraerah 2008 berpendapat bahwa tumbuh kembang anak seutuhnya dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berinteraksi satu dengan
yang lain yaitu: faktor organobiologik, psiko-edukatif, sosial-budaya, dan spiritual agama. Anak akan tumbuh dan berkembang secara sehat apabila keempat faktor
tadi terpenuhi dengan baik. 1.
Faktor organobiologik Perkembangan mental-intelektual taraf kecerdasan dan mental emosional taraf
kesehatan jiwa banyak ditentukan sejauhmana perkembangan susunan saraf pusat otak dan kondisi fisik organ tubuh lainnya. Tumbuh-kembang anak secara
fisik sehat, memerlukan gizi yang baik dan bermutu. Terlebih lagi bagi tumbuh- kembang otak, bahan baku utama adalah gizi protein. Perkembangan organ otak
sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 4-5 tahun usia balita.
2. Faktor psiko-edukatif
Tumbuh-kembang anak secara kejiwaan mental intelektual dan mental emosional yaitu IQ dan EQ, sangat dipengaruhi oleh sikap, cara, dan kepribadian orang tua
dalam mendidik anak-anaknya. Dalam tumbuh-kembang anak terjadi proses ‘imitasi’ dan ‘identifikasi’ anak terhadap kedua orang tuanya. Tumbuh kembang
anak memerlukan dua jenis ‘makanan’, yaitu makanan bergizi untuk pertumbuhan otak dan fisiknya serta makanan dalam bentuk ‘gizi mental’. Bentuk ‘makanan’
yang kedua ini berupa: kasih-sayang, perhatian, pendidikan, dan pembinaan yang bersifat kejiwaanpsikologi non fisik.
3. Faktor sosial-budaya
Faktor sosial budaya penting bagi tumbuh-kembang anak dalam proses pembentukan kepribadian kelak di kemudian hari. Perubahan-perubahan sosial
yang serba cepat sebagai konsekuensi globalisasi, modernisasi, industrialisasi, dan sains dan teknologi telah mengakibatkan perubahan-perubahan pada nilai-
nilai kehidupan sosial. Perubahan mana antara lain pada nilai moral, etik, kaidah agama dalam pendidikan anak di rumah, pergaulan, dan perkawinan. Perubahan-
perubahan nilai sosial budaya tersebut karena pada masyarakat yang sedang dan telah menjalani modernisasi, terjadi pergeseran pola hidup dari semula bercorak
sosial religius kepada pola individual materialistis dan sekuler. 4.
Faktor spiritual agama Bagaimanapun perubahan-perubahan sosial budaya tersebut terjadi, maka
pendidikan agama hendaknya tetap diutamakan. Sebab, daripadanya terkandung
nilai-nilai moral, etik, dan pedoman hidup sehat yang universal dan abadi sifatnya. Orang tua mempunyai tanggungjawab besar terhadap tumbuh-kembang
anak agar jika dewasa kelak berilmu dan beriman. Selengkapnya, interaksi antara keempat faktor yaitu faktor organobiologik,
psiko-edukatif, sosial-budaya, dan spiritual agama dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1. Pendekatan Holistik pada Tumbuh Kembang Anak Huraerah, 2008
Agama spiritualitas
Organo- biologik
Psiko- edukatif
Sosial- budaya
Anak
2.2 Kekerasan Seksual pada Anak 2.2.1 Pengertian Kekerasan Seksual
Pada awal mulanya, istilah tindak kekerasan pada anak child abuse berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran. Pada tahun 1946, Caffey, seorang
radiologist, melaporkan kasus cedera yang berupa gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk pada anak atau bayi disertai perdarahan subdural tanpa
mengetahui sebabnya Suyanto, 2010. Kekerasan terhadap anak child abuse adalah peristiwa perlukaan fisik,
mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggungjawab terhadap kesejahteraan anak Contoh paling jelas tindakan kekerasan
yang dialami anak-anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan. Namun demikian, perlu disadari bahwa child abuse
sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui misalnya pornografi dan
penyerangan seksual sexual assault, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan, dan kekerasan yang
berkaitan dengan medis medical abuse Gelles, 1985 dalam Suyanto, 2010. Kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan
cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa
pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya tersebut Huraerah, 2008.
Wahid dan Irfan 2001 memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang
menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya
kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian.
Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan.
Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain. Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi
orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan
kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan,
hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah incest, dan sodomi Depkes RI, 2007.
Pelecehan seksual dan kekerasan seksual atau perkosaan adalah sebuah peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena
dilatarbelakangi oleh nilai sosial budaya di masyarakat yang sedikit banyak bias gender. Pelecehan seksual tidak selalu berupa tindakan perkosaan atau kekerasan
seksual. Bentuk pelecehan seksual dapat bermacam-macam: mulai dari sekedar menyuiti perempuan yang sedang berjalan, memandang dengan mata seolah sedang
menyelidiki tiap-tiap lekuk tubuh, meraba-raba ke bagian tubuh yang sensitif, memperlihatkan gambar porno, dan sebagainya sampai bentuk tindak kekerasan
seksual berupa perkosaan Suyanto, 2010. Kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi
juga mencakup banyak perilaku lainnya, misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga kalau berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh
pada inti kekerasan dan pemaksaan, tidak hanya perilaku yang keras dan menekan. Kalau kekerasan seksual hanya diartikan sempit sebagai perilaku yang keras dan
menekan, jangan heran apabila banyak kejadian kekerasan seksual yang lepas dari tuntutan pengadilan. Tersangka kasus perkosaan banyak yang lolos dari tuntutan
hanya karena “korban dituduh sebagai pihak yang ikut menikmati peristiwa laknat yang menimpanya itu.”
Selama ini, seringkali ada anggapan seseorang dengan orang lain itu berbeda dalam mengartikan suatu tindakan pelecehan seksual itu termasuk dilakukan “suka
sama suka atau tidak”, ‘memaksa atau tidak”, “mengancam atau tidak”. Ironisnya dalam hal ini adalah sering kali suatu tindakan yang menurut definisi di atas termasuk
‘tindakan kekerasan’ namun masyarakat atau bahkan perempuan sendiri tidak merasa yang dirinya mengalami tindak kekerasan seksual, misalnya perkosaan dalam
perkawinan marital rape, perkosaan saat kencan dating rape, perkosaan karena dieksploitasi exploitation rape, dan sebagainya Suyanto, 2010.
2.2.2 Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Anak
Menurut Resna dan Darmawan 2002, tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi. Untuk lebih jelasnya
dapat diuraikan sebagai berikut : 1.
Perkosaan Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Perkosaan biasanya terjadi pada suatu
saat dimana pelaku biasanya lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan,
maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan.
Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan pada anak, akan merupakan suatu risiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi
tidak stabil. Khusus untuk anak ini dilindungi dan tidak dikembalikan kepada situasi dimana terjadi tempat perkosaan, pemerkosa harus dijauhkan dari anak
Resna dan Darmawan, 2002. Secara garis besar, terdapat lima tipe tindakan perkosaan yaitu :
a. Sadistic rape perkosaan sadis, yang memadukan seksualitas dan agresi
dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati kesenangan erotis bukan melalui hubungan seksualnya, melainkan melalui serangan yang
mengerikan atas kelamin dan tubuh korban. b.
Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tertahan
baik pada korban maupun pada orang lain. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan,
kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya. c.
Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukkan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap
perempuan dengan tujuan utama penaklukan seksual. d.
Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan untuk
membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tertentu bersikap permissive membolehkan perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan
hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka
terjadilah perkosaan. e.
Exploitation rape yaitu perkosaan yang terjadi karena diperbolehkan keuntungan atau situasi dimana perempuan bersangkutan dalam posisi
tergantung padanya secara ekonomi dan sosial Marzuki, 2007. 2.
Incest Incest didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya
antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu
yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.
3. Eksploitasi
Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi
sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual.
Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari
situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak
untuk prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri Resna dan Darmawan,
2002 Dalam bentuk lebih ringan, Kalyanamitra 2009, memberikan beberapa
contoh tindak pelecehan seksual adalah: menyuiti perempuan di jalanan, memanggil- manggil, atau mengomentari perempuan secara tidak sopan, menceritakan lelucon
kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai merendahkan derajat, komentar terus menerus mengenai seks atau yang memiliki makna ganda, memperlihatkan
gambar seksi, kalender, majalah, atau buku-buku bergambar perempuan kepada orang yang tidak menyukainya, terus menerus bertanya kepada seseorang mengenai
kehidupan pribadi atau kegiatan seksualnya, terus menerus mengajak berkencan kepada seseorang yang jelas-jelas tidak mau, menggerakkan tangan atau tubuh secara
tidak sopan terhadap seseorang, memandang atau mengerling, menyentuh, menyubit,
menepuk, menimbang, mengamati tubuh seseorang secara berlebihan, memeluk, atau menciumi seseorang yang tidak menyukai pelukan dan ciuman itu, dan lain-lain
sebagainya.
2.2.3 Faktor-faktor terjadinya Kekerasan Seksual pada Anak
Terjadinya kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, menurut
Suharto 2007, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi
keluarga dan masyarakat, yaitu: 1.
Anak yang mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamental lemah, ketidaktahuan anak
akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa. 2.
Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.
3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah broken home, misalnya perceraian,
ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.
4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak,
harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak yang lahir di luar nikah.
5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua,
misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.
6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan
salah cenderung akan memperlakukan salah anak-anaknya. 7.
Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan
terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya paham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil.
Sementara itu, Rusmil 2004, menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor,
yaitu faktor keluargaorang tua, faktor lingkungan sosialkomunitas, dan faktor anak sendiri.
1. Faktor orang tuakeluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan seksual
pada anak diantaranya : a.
Praktik-praktik budaya yang merugikan anak seperti kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan asimetris.
b. Anak dibesarkan dalam penganiayaan
c. Gangguan mental
d. Orang tua yang belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial
terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berumur 20 tahun. e.
Orang tua yang longgar terhadap perilaku seks bebas f.
Kurangnya pendidikan seks dalam keluarga g.
Orang tua pecandu minuman keras dan obat. 2.
Faktor lingkungan sosialkomunitas Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan
seksual pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan seksual dan penelantaran pada anak yaitu :
a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materilistis
b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah
c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri
d. Status wanita yang dipandang rendah
e. Sistem keluarga patriarkal
f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis
3. Faktor anak itu sendiri
a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan
ketergantungan anak kepada lingkungannya. b.
Perilaku menyimpang pada anak. Multifaktor diyakini oleh banyak ahli dalam memandang penyebab terjadinya
kekerasan seksual pada anak. Posisi anak sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah,
kontrol dan kesadaran orangtua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak, kurangnya program edukasi dari pihak pemerintah yang bisa diakses oleh masyarakat,
dan masih banyak lagi faktor lain. Psikologi lingkungan memandang bahwa setting lingkungan suatu masyarakat
tidak hanya berpengaruh secara fisik tetapi juga secara psikologis dan sosial bagi masyarakat yang menempatinya. Setting lingkungan dapat meliputi tata ruang secara
fisik, kepadatan, ketersediaan ruang publik, ruang personal, hingga menyangkut privacy pada setiap orang. Setting lingkungan yang ideal hendaknya memperhatikan
berbagai dimensi kebutuhan masyarakat yang menempatinya. Setting lingkungan yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan masyarakat yang tinggal di
lingkungan tersebut. Sebaliknya, setting lingkungan yang kurang tepat akan mengurangi kesejahteraan masyarakatnya dan menghambat berbagai proses yang
seharusnya dialami. Anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup sosial. Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang
yang sangat pesat baik secara fisik maupun psikologis. Setting lingkungan yang tepat akan sangat mendukung proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih
begitu banyak dijumpai lingkungan yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan anak pada kondisi penuh resiko.
Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang dipadati oleh
penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah. Berbagai hasil penelitian
menyebutkan bahwa kepadatan di rumah berkaitan erat dengan berbagai patologi sosial dan gangguan mental, angka kematian, serta tingginya pembunuhan Galle
Gove, 1979; Booth Welch, 1973; dalam Hertinjung, 2010. Penelitian lain memfokuskan pada hubungan antara anak-orangtua pada
keluarga yang memiliki kepadatan tinggi. Ditemukan bahwa anak lebih sedikit menerima perhatian yang konstruktif, anak lebih sering keluar rumah tanpa
pengawasan orang tua sehingga memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menjadi nakal dan mengalami masalah perilaku dan masalah belajar Booth Edwards, 1976;
Booth Johnson, 1975; Saegert, 1980; dalam Hertinjung, 2010. Selain kepadatan secara fisik di rumah, psikologi lingkungan juga membahas
mengenai ketersediaan ruang personal yang sifatnya lebih abstrak namun sangat dibutuhkan oleh setiap individu. Ruang personal personal space mengacu pada area
dengan batas yang tidak tampak di sekitar tubuh seseorang dimana orang asingorang lain tidak dapat sembarangan masuk Sommer, 1969. Ruang personal menyangkut
komponen jarak dari suatu hubungan interpersonal, yang menjadi indikator dan bagian integral dari proses pertumbuhan, pemeliharaan, dan kemunduran dari
hubungan interpersonal Hertinjung, 2010. Tindak kekerasan seksual pada anak melalui kegiatan perdagangan anak
perempuan untuk tujuan seksual, Suyanto 2010 membaginya dalam 6 penyebab yaitu :
1. Adanya kepercayaan para konsumen laki-laki hidung belang bahwa
berhubungan seks dengan anak-anak dapat sebagai obat kuat, obat awet muda dan mendatangkan hoki keuntungan tertentu.
2. Anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belum banyak yang
“memakainya” sehingga lebih menambah selera konsumen. Faktor penyebab pertama dan kedua merupakan panda para pedofilia yang menyukai melakukan
hubungan seks dengan anak-anak. 3.
Orang tua kadangkala memandang anak perempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan besar, sehingga orang tua kandung sampai hati
menjual anak perempuannya karena harganya yang sangat tinggi, khususnya harga keperawanannya.
4. Pandangan seksualitas yang sangat menekankan arti penting keperawanan
sehingga tidak memberi kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan dirinya, sehingga kadang pacarnya yang menjual dan memaksanya
berhubungan dengan orang lain. 5.
Jeratan utang. Orang tua kadang meminjam uang kepada germo yang sekaligus rentenir dengan bunga sangat tinggi. Ketika utang jatuh tempo tidak dapat
mengembalikan, maka anak perempuan pengutang diminta bekerja kepada germo yang rentenir tersebut, namun ternyata pekerjaan yang dimaksud sebagai
melayani nafsu laki-laki hidung belang. Apabila perjalanan menuju tempat tujuan jauh, antar pulau misalnya, maka biaya perjalanan dihitung sebagai hutang dan
dilipatgandakan serta dihitung bunganya dalam perjalanan waktu belum terlunasi.
6. Adanya kemiskinan struktural dan disharmoni keluarga yang dapat memicu
depresi dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat menyebabkan orang tua hanya hadir secara fisik, namun tidak hadir secara emosional. Oleh karena itu anak
merasa tidak kerasan di rumah, sehingga dapat menyebabkan anak mencari orang untuk berlindung yang pada gilirannya dapat mengatnarkannya masuk dalam
sindikat perdagangan.
2.2.4 Dampak Kekerasan Seksual pada Anak
Kekerasan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak
mengalami trauma yang berkepanjangan. Trauma dapat membahayakan bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tidak akan dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar. Seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa Anak berhak atas
kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar. Akibat lebih jauh dari adanya trauma itu juga menyebabkan terhambatnya
proses pembentukan bangsa yang sehat. Untuk itu penegakan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual khususnya terhadap anak perlu untuk dikaji karena
menyangkut tentang kesejahteraan anak dan itu merupakan hak setiap anak. Menurut Charles Zastrow dalam Suharto 2003, ciri-ciri umum anak yang
mengalami kekerasan seksual adalah sebagai berikut :
1. Tanda-tanda perilaku
a. Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau
permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia.
b. Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif dari
teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya. c.
Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk.
d. Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut,
seperti ngompol, mengisap jempol, dan sebagainya. e.
Perilaku anti sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak.
f. Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindari dari orang tertentu orang
tua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh, lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah.
g. Perilaku seksual yang tidak panas: masturbasi berlebihan, berbahaya atau
bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno.
h. Penyalahgunaan Narkotika dan Penyalahgunaan Zat Adiktif NAPZA,
alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.
i. Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri self abuse: merusak diri
sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri.
2. Tanda-tanda kognisi
a. Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus perhatian
singkatterpecah. b.
Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya.
c. Responsreaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan orang
lain dalam jarak dekat. 3.
Tanda-tanda sosial-emosional a.
Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga. b.
Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.
c. Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan,
pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri. d.
Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan pada diri sendiri maupun kepercayaan terhadap orang lain.
e. Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya
atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya.
4. Tanda-tanda fisik
a. Hamil
b. Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut,
tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah.
c. Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina,
penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.
Daftar perilaku ini bukanlah “standar” yang bersifat pasti. Jadi anak yang menunjukkan satu atau dua perilaku di atas tidak dapat serta merta dianggap sebagai
mengalami kekerasan secara seksual. Selanjutnya, korban perkosaan anak-anak kemungkinan dapat pulih jauh lebih
lama dan sulit. Mereka cenderung akan menderita trauma akut Geiser, 1979. Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tidak kuat menanggung beban, pilihan satu-
satunya ialah bunuh diri. Acap terjadi, perempuan korban perkosaan, sesudahnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita
vaginismus, dimana otot dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup ketika melakukan hubungan kelamin, sehingga sulit dilakukan penetrasi. Bahkan dalam
beberapa kasus dapat terjadi dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang dirasakan sebagai penderitaan bila dilakukan senggama Suyanto, 2010.
Kekerasan seksual yang menimpa para korban, terutama anak-anak sering menjadi stressor yang tidak dapat diatasi dan menimbulkan masalah di kemudian
hari, seperti menderita gangguan makan anoreksia atau bulimia, masalah seksual, penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik, kecemasan, hancurnya penghargaan
diri, atau depresi berkepanjangan Knauer, 2002. Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak
maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual. Secara spesifik Faulkner
2003 menjelaskan bahwa kendala yang menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti
bahwa dirinya menjadi korban, korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, korban cenderung takut
melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan
seksualnya, korban merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa bahwa
dirinya mempermalukan nama keluarga Ilena S., 2011.
2.2.5 Pemulihan Diri Korban Kekerasan Seksual pada Anak
Kekerasan seksual menimbulkan dampak bagi korbannya. Pada umumnya, dampak yang muncul yaitu perasaan buruk akibat pengalaman kekerasan seksual
yang mereka alami dan pendam akan menjadi lebih buruk dari hari ke hari, dan menjadikan identitas yang buruk bagi korban Lisak, 1994. Pengalaman traumatis
dan perasaan buruk akan diri sendiri ini menyebabkan korban tidak dapat melupakan
kekerasan seksual yang dialaminya dan dapat menjadi gangguan stress yang disebut post-traumatic stress disorder PTSD.
PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, kerentanan emosional, dan kilas baik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stres fisik
maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD dapat dialami siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik, tidak peduli usia dan jenis
kelamin Kaplan Saddock, 2008. Menurut Knauer 2002, ada beberapa jenis gangguan akibat PTSD yaitu gangguan disosiatif, gangguan akibat penggunaan
alkohol dan obat terlarang, gangguan makan, dan perilaku kecanduan atau kompulsif. Tentunya hal ini memerlukan pemulihan diri agar korban dapat pulih dari traumanya
dan fungsinya sebagai individu dapat berlangsung dengan baik. Kesedihan sebagai dampak traumatis dapat dijelaskan melalui model
pemulihan diri dari Kubler-Ross 1969. Model pemulihan diri ini memiliki lima tahapan dan setiap korban tidak selalu melewati setiap tahapan. Lima tahapan
tersebut adalah : 1.
Tahap penyangkalan Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak percaya bahwa kekerasan seksual
tersebut menimpa diri korban. Para korban selalu berkata, “Tidak, bukan saya, itu tidak benar”. Penyangkalan ini hampir selalu dilakukan oleh semua korban dan
merupakan pertahanan sementara.
2. Tahap kemarahan
Ketika masa penyangkalan tidak tertahankan lagi, korban akan mengalami perasaan marah, gusar, cemburu, dan benci. Pertanyaan yang sering muncul
adalah, “mengapa aku?” atau “mengapa bukan orang itu saja?”. Kemarahan ini dapat terjadi kapanpun dan diproyeksikan ke lingkungan pada saat yang tidak
terduga. Mereka biasanya akan memaki-maki diri sendiri, orang lain atau Tuhan atas kejadian traumatis tersebut, sering menangis, bahkan melakukan kekerasan
fisik terhadap diri sendiri atau orang lain. 3.
Tahap penawaran Ketika perasaan marah sudah agak mereda, maka korban akan memasuki tahap
penawaran. Tahap ini mampu menolong korban meskipun hanya untuk beberapa saat. Karena menyadari kondisi dirinya yang sedang dalam masa krisis, maka
korban berusaha melakukan berbagai hal bagi dirinya asalkan pengalaman tersebut dapat hilang. Tahap ini merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri,
dimana korban berharap trauma itu akan hilang dengan sendirinya. 4.
Tahap depresi Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus menerus, dan usaha-usaha untuk
memperbaiki dirinya dapat membuat korban masuk ke dalam kondisi depresi. Mereka dapat kehilangan gairah hidup, merasa sangat sedih, tidak ingin merawat
diri dan kehilangan nafsu makan. Mood depresif menjadi semakin buruk bila korban meyakini bahwa dirinyalah yang salah dan menyebabkan terjadinya
pengalaman tersebut.
5. Tahap penerimaan
Setelah korban mencapai tahap penerimaan, barulah dapat terjadi perkembangan yang positif. Penerimaan terbagi menjadi dua tipe. Pertama, penerimaan
intelektual yang artinya menerima dan memahami apa yang telah terjadi. Kedua, penerimaan emosional yang artinya dapat mendiskusikan pengalaman
traumatisnya tanpa reaksi-reaksi berlebihan. Proses menuju penerimaan tidak sama bagi semua orang dan rentang waktunya juga berbeda.
2.3. Kerangka Pikir
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
Bagan di atas merupakan rangkaian pembahasan kekerasan seksual pada anak menurut teori Resna dan Dermawan 2002, teori dari Kalyanamitra 2009 serta
teori yang dikemukakan oleh Charles Zastrow dalam Suharto 2003. Kekerasan Seksual
Anak -
Perkosaan Kesehatan Reproduksi :
- Fisik
- Psikologis
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian studi kasus, peneliti
berusaha memperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai berbagai fakta dan dimensi dari suatu kasus. Studi kasus yang baik harus dilakukan secara
langsung dalam kehidupan sebenarnya dari kasus yang diselidiki. Dalam hal ini peneliti menggunakan studi kualitatif karena peneliti ingin
menggali secara mendalam dan sebenarnya tentang peristiwa kekerasan seksual yang dialami anak, khususnya mengenai perkosaan yang pernah terjadi di Kabupaten
Pidie. Yang diteliti adalah bagaimana kejadian kekerasan seksual yang pernah dialami anak dan upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi dampak trauma
yang ditimbulkan karena mengalami kekerasan seksual tersebut. 3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena jumlah tindak kekerasan seksual pada anak setiap
tahun mengalami peningkatan. Disisi lain, penelitian mengenai perkosaan terhadap
anak belum pernah dilakukan. Padahal dampak traumatis bagi anak korban kekerasan seksual sangatlah besar.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai dari bulan November 2012 sampai Juni 2013.
3.3. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini ada 2 dua golongan; pertama si korban dan yang kedua nonkorban. Korban adalah NA dan BD, sedangkan yang nonkorban
adalah orang tua korban, guru tempat korban bersekolah, kepala desa tempat tinggal korban, Kabid Perlindungan dan Perempuan Anak pada Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Pidie, Anggota Kepolisian Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Pidie, LSM Paska. Dokumentasi yang
digunakan bersumber dari hasil BAP Polisi terhadap korban dan hasil putusan
pengadilan terhadap pelaku perkosaan terhadap NA dan BD. 3.3.1 Informan Korban Kasus
Kasus yang dikaji dalam penelitian ini adalah kasus yang dialami oleh NA dan BD. NA berusia 15 tahun dengan berat badan 35 kg dan tinggi badan 145 cm. Ia
pernah bersekolah di SMPLB Bambi, memiliki warna kulit hitam, kuku kotor dan badan agak berbau waktu perkenalan pertama dengan informan. NA adalah anak ke
6 dari 7 bersaudara. Ia berasal dari Gampong Desa Arosan Kecamatan Kembang Tanjong yang berjarak 5 km dari kota kecamatan dan berjarak 8 km dari kota
Kabupaten Pidie
BD berumur 13 tahun, tinggi badan 135 cm, berat badan 30 kg, berkulit kuning langsat, dan memiliki rambut sebahu. BD mengalami keterbelakangan mental
dan lugu. Pendidikan tamat MIN. Orang tuanya sudah bercerai kira-kira 8 tahun yang lalu. BD adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara dan berasal dari Gampong Desa Piala
Kecamatan Padang Tiji yang berjarak 8 km dari kota kecamatan dan berjarak 13km dari kota Kabupaten Pidie.
3.3.2 Informan nonkorban
MR adalah ibu kandung NA, berumur 50 tahun, pernah bersekolah diSR sekolah rakyat, bisa membaca tetapi tidak lancar. Ia memiliki tinggi badan 145cm,
memilki kulit hitam dan keriput. Rambutnya sudah memutih dan sudah mengalami meunoupause sejak 3 tahun yang lalu. MR memiliki sifat yang berani dan agak kasar.
Suaranya agak besar apabila diajak berkomunikasi. Aktivitas MR sehari – hari adalah mencari ikan di rawa, setelah itu hasil tangkapannya dijual ke pasar. Perhasilan yang
didapat dalam sehari tidak tetap, kadang – kadang Rp 20.000 atau malah kadang – kadang tidak ada sedikitpun. MR lebih dominan dalam mencari nafkah. Hal ini
disebabkan karena suaminya Abu NA sering sakit – sakitan setelah mengalami operasi Hernia.
AY adalah Kepala Desa Pasie Ieuleubeu desa sewaktu terjadinya perkosaan, berumur 45 tahun, pekerjaan wiraswasta. Beliau telah menjadi kepala
desa sejak 5 tahun yang lalu. Tinggi badan kira – kira 170cm, memiliki postur tubuh egap dengan berwarna kulit hitam. AY memilki sifat yang keras dan tegas, walaupun
demikian AY sangat peka terhadap masalah yang dialami warga desa.
Informan pada kasus BD adalah FT, berumur 48 tahun, pekerjaannya guru SD MIN Padang Tiji Guru dan beliau juga guru BD. Ia sudah 20 tahun berprofesi sebagai
guru dan mengajar di MIN Kunyet tempat BD bersekolah. FT memilki sifat yang peramah, santun dalam bahasa dan banyak murit disekolah yang menyukainya. FT
juga bertempat tinggal didesa Baro Kunyet. Informan yang lain untuk melengkapi data pada kasus BD adalah RS. RS adalah Kepala Desa Baro Kunyet,berumur 54
tahun, jenis kelamin laki - laki, keuchik Desa Baro Kunyet.Lahir dan dibesarkan di Desa Baro Kunyet. RS berprofesi sebagai petani.
RT berumur 25 tahun, tinggi badan 170cm kulit kuning langsat, berprofesi sebagai Polwan, bertugas di unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Pidie. RT
bertugas di unit ini sejak 5 tahun yang lalu. RT memiliki sifat yang ramah, suka tersenyum dan berbicara lembut dalam berkomunikasi. Unit PPA Polres Pidie
memiliki staf polwan sebanyak 2 dua orang. Yang menangani kasus NA dan BD adalah RT. Banyak kasus yang telah ditangani oleh RT selama dia bertugas diunit
ini, baik kasus perkosaan terhadap anak maupun perempuan dewasa. Khusus pada kasus kekerasan terhadap anak, biasanya staf perempuan yang melakukan BAP.
Informan non kasus lainnya adalah ET, berumur 45tahun, jenis kelamin perempuan, memiliki tinggi badan 55cm berwarna kulit kuning langsat dan berkaca
mata. Pendidikan D3 komunikasi, sudah menjadi Kabid Perlindungan Terhadap Anak Kabupaten Pidie sejak 4 tahun yang lalu. ET memeliki sifat yang tegas dan
sangat peduli terhadap kasus kekerasan seksual yang dialami anak di Kabupaten Pidie. Banyak program - program yang diperjuangkan oleh beliau untuk keberhasilan
dalam menurunkan kekerasan yang terjadi terhadap anak dan perempuan di Kabupaten Pidie. Tidak segan – segannya ET untuk memarahi dan memukul korban
perkosaan terhadap anak, apabila kasus perkosaan tersebut terjadi dibatas kewajaran manusia. Selain itu, ET juga memilki hubungan yang baik dengan pihak lain seperti
Unit PPA Polres Pidie, Kejaksaan, Rumah Sakit dan LSM yang ada di Kabupaten Pidie. Pengiat LSM yang sering menangani kasus perkosaan terhadap anak adalah
ER, berumur 28 tahun, perempuan, bekerja di LSM Paska, pendidikan D3 keperawatan. ER sudah bekerja di LSM Paska sejak 6 tahun yang lalu.
3.3.3 Syarat Informan
Dalam menentukan atau menetapkan informan diperlukan syarat – syarat dari informan, informan adalah korban yang pernah mengalami kekerasan seksual
khususnya perkosaan, memiliki kemampuan menceritakan kembali perkosaan yang pernah dialaminya, serta masih bertempat tinggal di Kabupaten Pidie. Syarat untuk
non kasus adalah yang mereka mengetahui secara langsung atau tidak langsung tentang kekerasan seksual yang dialami anak, informan bersedia diwawancara,
memiliki kondisi emosional yang stabil, dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data pada kasus perkosaan pada anak yang ada Kabupaten Pidie.
3.3.4 Proses Penelusuran Informan
Dalam penelusuran informan dalam penelitian ini adalah anak yang sudah pernah mengalami perkosaan yang tinggal diwilayah Kabupaten Pidie yang terdata
di Badan Kesejahteraan perempuan dan Perlindungan Anak BKSPP Kabupaten Pidie Tahun 2012. Dari 4 orang anak korban perkosaan, peneliti hanya memilih 2
orang anak yang dijadikan informan dalam penelitian ini, karena dari 4 orang korban hanya mereka berdua yang dapat dijadikan informan dan memenuhi persyaratan.
Peneliti juga melihat dampak yang ditimbulkan secara langsung dari anak adalah mengalami kehamilan akibat perkosaan.
Pemilihan terhadap calon informan ini hanya terbatas pada anak korban perkosaan dan dapat berkomunikasi dengan baik. Peneliti juga mempertimbangkan
tempat tinggal informan yang mudah dijangkau, yaitu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kota Sigli. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam berkomunikasi.
Salah satu korban perkosaan sudah pindah tinggal di kecamatan lain yang jaraknya susah dijangkau oleh peneliti, sehingga anak tersebut tidak dijadikan informan dalam
penelitian ini. Korban satunya lagi mengalami tuna rugu sehingga tidak bisa dijadikan informan . Selanjutnya peneliti melakukan penyaringan informan untuk
melihat apakah ada fenomena yang menarik untuk diteliti pada anak korban perkosaan.
Penelitian dilakukan pada 2 orang anak korban perkosaan. Sebelum melakukan wawancara dengan informan, peneliti melakukan pendekatan dengan
orang yang terdekat dengan korban dan mengetahui keberadaan informan sehingga memudahkan peneliti untuk setiap hari melakukan wawancara dengan informan.
Pendekatan yang dilakukan sebelum melakukan wawancara adalah peneliti sering berkunjung ke rumah informan. Saat berkunjung, peneliti membawa makanan, makan
bersama dengan kelurga informan dan berkomunikasi dengan keluarga korban sehingga membina keakraban dengan informan sehingga timbulnya keakraban antara
informan dengan peneliti. Membina hubungan rasa percaya dengan informan sangat diperlukan karena penelitian ini sangat bersifat pribadi sehingga diperlukan
keterbukaan dalam menyampaikan informasi.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi, dokumentasi dan wawancara mendalam terhadap korban dan nonkorban serta
percakapan secara informan. Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan di rumah korban, atau di warung pada saat korban diajak jalan – jalan. Proses
wawancara ini peneliti hentikan apabila informasi yang dibutuhkan sudah memadai. Wawancara nonkorban dilakukan pada tempat kerja, dirumah. Kadang peneliti pergi
ke lokasi kasus perkosaan yang ada di Kabupaten Pidie untuk melakukan observasi terhadap kasus – kasus perkosaan yang terjadi di Kabupaten Pidie.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara mendalam dengan 9 orang
informan dan melakukan pengamatan observasi. Untuk mendapat informasi yang lengkap dan akuran terlebih dahulu peneliti melakukan pendekatan baik dengan
korban amaupun nonkorban sehingga terbina hubungan saling percaya antara informan dan peneliti. Data sekunder dikumpulkan dengan menelusuri dan
menelaan dokumen – dokumenn yang berhugungan dengan perkosaan yang dialami anak, antara lain dokumen Putusan , berita acara pemeriksaan BAP polisi dan
dokumen di kantor BKSPP yang berhubungan dengan kekerasan seksual yang dialami anak di Kabupaten Pidie.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, sehingga diperlukan kemampuan peneliti dalam menjalin hubungan yang
baik dengan semua informan sehingga dapat menimbulkan kepercayaan dari informan dalam memberikan semua data yang diperlaukan terhadap kasus perkosaan
yang dialmi anak. Agar hasil wawancara dapat terekam dengan baik, dibutuhkan alat bantu yaitu
alat tulis dan alat perekam. Hasil rekaman dari alat perekam dituliskan dalam bentuk transkrip wawancara. Data hasil pengamatan dan wawancara langsung dicatat dan
dalam tulisan-tulisan singkat di tempat penelitian agar tidak lupa maupun hilang. Tulisan ini akan dibuat rangkuman dan dilihat mana data yang penting. Peneliti harus
merangkum secara terstruktur mana yang penting dan tidak penting serta dikelompokkan pada kelompok nya. Data yang masih diragukan perlu ditanyakan
kembali kepada sumber data lama atau yang baru agar memperoleh kepastian. Pengumpulan data dengan observasi dalam penelitian ini adalah kondisi tempat
tinggal korban, lokasi terjadinya perkosaan serta bagaimana gambaran dari kondisi korban. Selain itu peneliti juga mengobservasi kebiasaan hari – hari dari informan
yang didapat selama melakukan penelitian.
3.5 Metode Analisis Data
Tahapan analisis yang peneliti lakukan pada penelitian kualitatif kekerasan seksual terhadap anak yaitu : analisis domain. Analisis ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran umum tentang anak korban kekerasan seksual dan dijabarkan
bagaimana kejadian perkosaan yang dialaminya serta dampak yang ditimbulkan pada anak akibat kekerasan seksual yang pernah terjadi padanya,. Selain itu peneliti juga
menjabarkan bagaimana pemulihan yang dijalaninya setelah korban mengalami
kekerasan khususnya perkosaan.
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian
Kabupaten Pidie berada pada jarak 112 km di sebelah timur dari kota Banda Aceh, pusat ibu kota Provinsi Aceh. Kabupaten Pidie terletak antara 4,30° - 4,60°
Lintang Utara dan 95,75°-96,20° Bujur Timur, dengan luas wilayah 3.562,14 km
2
Secara geografis Kabupaten Pidie berada pada ketinggian 125 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 217,1 mm dan suhu udara berkisar
antara 30°C sampai dengan 35°C. Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie Jaya, sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Aceh Barat sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar.
. Kabupaten Pidie memiliki kondisi geografis terdiri dari daerah pesisir, dataran rendah
dan dataran tinggi yang terbagi menjadi 23 kecamatan, 730 desa, dimana karakteristik penduduknya memiliki tingkat mobilisasi cukup tinggi.
Jumlah penduduk Kabupaten Pidie tahun 2012 berdasarkan proyeksi BPS adalah 387.787 jiwa dengan perbandingan jumlah wanita terhadap laki-laki adalah
93.26, dengan 114.803 Rumah TanggaKK atau rata-rata 3 jiwa per rumah tangga. Tingkat kepadatan penduduk mencapai 109 jiwakm
2
dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Kota Sigli sebesar 1175 jiwakm
2
sedangkan yang terendah berada di Kecamatan Geumpang sebesar 8 jiwakm
2
.
Dilihat dari sisi kebudayaan, Aceh memilki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh banyak dipengaruhi oleh budaya - budaya melayu, karena
letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah akulturasi
antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku Bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang - orang melayu dan Timur Tengah. Hal ini
menyebabkan wajah - wajah orang aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa ceh, sebagain besar mata
pencaharain masyarakatnya adalah bertani, namun tidak sedikit juga yang masyarakatnya bermata pencaharian pedagang atau nelayan. Sitem kekerabatan
masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari system kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat julukan “ Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal
gampong, mukim, nangroe dan sebagainya. Tetapi pada saat - saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar - besaran hanya sebagai simbol inti dari upacara
tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan faktor lainnya.
Sejak tahun 2001 berdasarkan Undang - Undang Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Aceh diperkenankan menerapkan syariat Islam secara
menyeluruh. Islam yang ada di Aceh semenjak adanya otonomi khusus, Aceh mulai membena diri menjalankan agama dibawah naungan konstitusi Negara Kesatuan
Replublik Indonesia dengan mengeluarkan Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang syariat bidang aqidah, ibadah dan syariat Islam. Syariat Islam adalah berisi hukum
dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun non muslim. Sumber Al-Quran sumber hukum Islam yang pertama, Hadis
seluruh perkataan, perbuatan dan persetujuan nabi Muhammaad yang kemudian dijadikan sumber hukum, Itjihat untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-
Quran dan Hadis. Oleh sebab itu segala cabang kehidupan : politik, ekonomi, sosial budaya tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam.
Dalam pendidikan Agama Islam di Aceh diperkenalkan kewajiban orang tua untuk melakukannya dan memperkenalkan pendidikan agama mulai dari usia bayi
hingga dia dewasa. Pada masa bayi anak sudah diperkenalkan dengan ilmu - ilmu agam untuk membentuk perilaku anak yang lebih Islami.
Aceh memilki kekhasan tersendiri dalam hukum adat dengan berbagai lembaga adatnya yang sudah ada semenjak kerajaan. Hukum adat tersebut telah
disesuaikan dengan filosofi hukum Islam, sehingga sukar dibedakan antara hukum dan adat istiadat itu sendiri
Asimilasi adat dan budaya itulah kemudian melahirkan budaya adat dan budaya Aceh sebagaimana yang berlaku sekarang. Adat dan kebudayaan juga
mewariskan sebuah hukum non formal dalam masyarakat, yakni hukum adat yang merupakan hukum pelengkap dari hukum yang berlaku secara umum
hukum positif. Disamping tunduk kepada hukum positif, masyarakat juga terikat dengan hukum dan ketentuan adat.
Jumlah penduduk kabupaten Pidie tahun 2009-2012 sebagai berikut:
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk Akhir Tahun Kabupaten Pidie per Kecamatan tahun 2009-2012
No. Kecamatan
Jumlah Penduduk 2009
2010 2011
2012
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9.
10. 11.
12. 13.
14. 15.
16. 17.
18. 19.
20. 21.
22. 23.
Geumpang Mane
Glumpang Tiga Glumpang Baro
Mutiara Mutiara Timur
TiroTruseb Tangse
Keumala Titeue
Sakti Mila
Padang Tiji Delima
Grong-Grong Indrajaya
Peukan Baro Kembang Tanjong
Simpang Tiga Kota Sigli
Pidie Batee
Muara Tiga 6.040
7.508 16.600
9.573 18.299
30.189 6.940
23.521 8.721
5.879 18.561
8.048 19.166
18.406 5.981
20.402 17.774
18.453 19.929
18.173 38.786
17.554 16.657
6.018 7.634
16.803 9.608
18.383 30.597
7.051 23.513
8.851 6.036
18.742 8.062
19.496 18.585
6.142 20.623
18.112 19.061
20.184 18.636
39.512 17.923
17.200 5.996
7.757 17.002
9.641 18.464
30.997 7.160
23.504 8.979
6.192 18.918
8.076 19.821
18.759 6.303
20.839 18.446
19.667 20.435
19.099 40.229
18.289 17.750
6.227 7.966
17.504 9.973
19.090 31.889
7.356 24.367
9.230 6.324
19.504 8.362
20.349 19.340
6.436 21.471
18.919 20.020
21.031 19.516
41.267 18.737
18.063
Jumlah 371.162
376.772 382.333
392.939
Sumber : BPS Kabupaten Pidie, 2012 Data di atas menunjukkan bahwa selama 3 tahun terakhir jumlah penduduk
terjadi peningkatan. Pada tahun 2009 jumlah penduduk 371.162 orang, tahun 2010 sebanyak 376.772 orang, tahun 2011 sebanyak 382.333 orang, dan tahun 2012
sebanyak 392.939 orang.
Tabel 4.2. Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Pidie per Kecamatan Tahun 2009-2011
No. Kecamatan
Pertumbuhan Penduduk 2009
2010 2011
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9.
10. 11.
12. 13.
14. 15.
16. 17.
18. 19.
20. 21.
22. 23.
Geumpang Mane
Glumpang Tiga Glumpang Baro
Mutiara Mutiara Timur
TiroTruseb Tangse
Keumala Titeue
Sakti Mila
Padang Tiji Delima
Grong-Grong Indrajaya
Peukan Baro Kembang Tanjong
Simpang Tiga Kota Sigli
Pidie Batee
Muara Tiga -0,38
1,70 1,24
0,36 0,46
1,37 1,62
-0,04 1,51
2,73 0,98
0,18 1,75
0,98 2,76
1,09 1,94
3,41 1,30
2,61 1,91
2,15 3,38
-0,38 1,67
1,23 0,36
0,46 1,35
1,60
-0,04 1,49
2,66 0,97
0,18 1,72
0,97 2,69
1,08 1,90
3,30 1,28
2,55 1,87
2,10 3,27
-0,36 1,62
1,18 0,35
0,44 1,31
1,55
-0,04 1,44
2,59 0,94
0,17 1,67
0,94 2,62
1,05 1,85
3,23 1,24
2,48 1,82
2,04 3,20
Jumlah 1,53
1,51 1,46
Sumber : BPS Kabupaten Pidie, 2012 Tabel di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di Kabupaten Pidie
selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2009-2011 mengalami penurunan. Pada tahun 2009 pertumbuhan penduduk sebesar 1,53 jiwa, tahun 2010 pertumbuhan penduduk
menurun menjadi 1,51 jiwa, dan pada tahun 2011 kembali menurun menjadi 1,46 jiwa.
Sarana kesehatan dasar Puskesmasdi Kabupaten Pidie sebanyak 26 Puskesmas yang tersebar di 23 kecamatan. Dari 26 Puskesmas tersebut sampai
dengan akhir 2012, 8 Puskesmas adalah Puskesmas rawat inap, dan 18 Puskesmas rawat jalan. Adapun jumlah Puskesmas pembantu yang mendukung pelayanan
Puskesmas induk adalah 70 buah, dan 70 pos kesehatan desa Poskesdes. Jumlah Posyandu di Kabupaten Pidie menurut hasil kompilasi data dari Puskesmas pada
tahun 2012 berjumlah 763 buah.
4.2. Kasus NA Informan 1
4.2.1 Deskripsi Pertemuan dengan Informan 1
Saat pertama kali peneliti datang ke rumah menjumpai NA dan keluarga, peneliti ditemani oleh Kabid Perlindungan Anak Kabupaten Pidie yaitu Ibu ET.
Keluarga begitu ramah dan menyambut baik kedatangan kami. Setelah 10 menit berselang kami berbincang-bincang tentang kabar NA dan bercerita seputar keluarga
korban yaitu ayahnya yang baru saja keluar dari rumah sakit karena operasi hernia, ET memperkenalkan peneliti dan menjelaskan tujuan peneliti datang ke rumah
korban. Atas inisiatif ET, beliau meminta keluarga NA dan ibunya untuk membantu
peneliti dalam memberikan informasi apa yang diperlukan selama dalam penelitian ini. Peneliti diperkenalkan kepada keluarga dan NA. Pada saat itu NA nampak malu
dan tidak mau menatap peneliti saat peneliti memperkenalkan diri.
Pada pertemuan pertama peneliti melakukan observasi terhadap kondisi keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Saat itu NA tinggal bersama dengan
orang tuanya di sebuah rumah lebih tepat disebut sebagai gubuk berukuran 4 x 5 meter, tidak memiliki kamar dan dapur di dalam rumah. Dapur terletak di luar rumah,
tepatnya di depan pintu rumah. Dinding rumah terbuat dari papan dan rumbia tanpa adanya loteng dan jendela. Kamar mandi sumur terletak 1 meter di sebelah rumah
dengan kondisi hanya berdinding plastik yang sudah koyak-koyak, kondisi air dan sumur kurang baik berwarna agak kuning. Rumah tersebut tidak memiliki WC
sendiri, karena terlihat ketika penghuni ingin buang air besar mereka pergi ke sungai yang dekat dengan rumah tersebut.
Saat ini NA telah memiliki seorang anak hasil perkosaan, dan peneliti berusaha akrab dan bermain dengan bayi NA yang berumur 12 bulan. Kondisi anak
mengalami kurang gizi, kondisi kulit keriput dan kusam, dan belum bisa berjalan. Selain itu anak belum bisa berbicara, hanya terdengar suara ‘aa’ dan ‘eee’. Anak
korban masih mendapatkan ASI, makanan tambahan lainnya berupa nasi putih dan diberi makan apa yang dimakan ibunya. Susu formula tidak diberikan ibunya, dengan
alasan karena mereka tidak memiliki uang untuk membeli susu kotak. Keesokan harinya peneliti datang ke tempat korban jam 15.00 WIB, tapi
waktu itu NA belum bisa diajak berbicara, korban masih malu-malu. Peneliti berbincang-bincang dengan NA dan orang tuanya. NA selalu didampingi oleh ibunya
sehingga peneliti sedikit kesulitan untuk melakukan wawancara mendalam dengan korban. Pada pertemuan ini korban sudah mulai mau diajak berkomunikasi walaupun
belum mengarah pada kasus perkosaan yang pernah dialaminya. Pada pertemuan ketiga korban sudah ada kontak mata dengan peneliti.
Peneliti belum mendapatkan informasi tentang perkosaan yang pernah dialami NA. Keesokan harinya peneliti kembali mendatangi rumah NA pada jam 08.30 WIB.
Alasan peneliti datang pagi hari karena pada jam tersebut ibu dan ayah NA pergi ke tambak sehingga peneliti dan NA lebih leluasa berkomunikasi. Pada saat peneliti
melakukan wawancara dengan NA anaknya dibawa bermain oleh adik NA sehingga tidak mengganggu pembicaraan kami.
Pada saat mulai wawancara NA nampak hanya menunduk ketika ditanya tentang masalah perkosaan dan seringkali terdiam selama ± 2 menit sebelum memberi
jawaban. Dengan penuh kesabaran, peneliti membujuk dan akhirnya NA baru mau menceritakan kejadian perkosaan dengan lengkap setelah peneliti berusaha
mendekatinya dengan mengatakan bahwa peneliti dapat dijadikan teman dan tempat bercerita curhat semua masalah yang dialami korban dan peneliti berjanji tidak akan
menceritakan masalah tersebut kepada siapapun. NA beberapa kali menangis pada saat peneliti menanyakan apakah bapaknya juga pernah memperkosa dia dan kadang
begitu emosional marah ketika ditanyakan apakah setelah pelaku keluar dari penjara dia bersedia dikawinkan dengan pelaku.
Dua hari setelah pertemuan keempat peneliti datang menjumpai NA. Peneliti datang sekitar jam 10.00 WIB. Pada saat itu korban sedang bersama ibunya. Waktu
itu peneliti tidak berhasil mewawancarai NA, karena ibunya sedang di rumah sehingga membuat NA tidak leluasa untuk bercerita. Jadi, hari itu peneliti
mewawancarai ibu korban. Ibunya sering terlihat emosional dan menjawab dengan nada marah dan suara keras, apalagi ketika peneliti menyinggung tentang perkosaan.
Selang 2 dua hari kemudian peneliti kembali ke rumah korban untuk melanjutkan wawancara. Ketika itu ibunya sedang tidak ada di rumah, sehingga
peneliti dapat mewawancarai NA dengan mudah dan dalam suasana yang tenang. Korban sudah menerima dan akrab dengan peneliti, NA sudah menceritakan kejadian
perkosaan yang dialaminya dengan lebih terbuka kepada peneliti seperti bercerita
kepada teman sendiri. Selang satu minggu peneliti kembali ke rumah NA untuk
melanjutkan wawancara. Pada saat itu peneliti dapat mewawancarai NA dengan mudah. Korban sudah menerima peneliti dengan baik dan sudah bersedia
menceritakan kejadian perkosaan yang dialaminya dengan lebih terbuka. Untuk pertemuan ketujuh ini, peneliti sudah merasa cukup dengan informasi yang
diperlukan. Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada NA dan keluarganya.
4.2.2 Temuan Penelitian untuk Informan NA
Informan pertama yang dijadikan subjek penelitian ini bernama NA, berusia 15 tahun, eks pelajar dengan berat badan 35 kg dan tinggi badan kurang lebih 145 cm.
Memiliki warna kulit hitam, kuku kotor dan badan agak berbau waktu perkenalan pertama dengan informan. NA adalah anak ke 6 dari 7 bersaudara berasal dari
Gampong desa Arosan Kecamatan Kembang Tanjong yang berjarak 5 km dari kota kecamatan dan berjarak 8 kilo dari kota Kabupaten Pidie.
Orang tua NA NA biasa memanggilnya dengan sebutan abu untuk bapak dan mak untuk ibu. Ayahnya bekerja serabutan dengan mencari ikan di rawa-rawa,
kadang menjala ikan di laut dengan penghasilan rata-rata perhari ± Rp. 20.000. Ibunya juga berprofesi sama dengan ayahnya.
Selain rumah yang ditempati sekarang di Pasie Ieleubeu, keluarga NA juga memiliki gubuk rumah di desa lain, letaknya di pinggir rawa dan dekat dengan laut.
Rumah itu dibangun untuk memudahkan orang tuanya mencari nafkah karena dekat dengan rawa dan laut. Orangtua NA lebih banyak tinggal di gubuk dari pada di rumah
di Pasie Ieleubeu. NA Sekarang sudah tidak bersekolah sejak kasus perkosaan mencuat. Pada
saat terjadi perkosaan NA bersekolah di SMPLB kelas 2. NA memiliki anak yang berumur 12 bulan hasil dari perkosaan, walaupun usianya sudah menginjak usia 12
bulan tapi pertumbuhannya lambat, belum berjalan dan berbicara. Kondisinya nampak kotor dan tidak terjaga kebersihannya.
Aktifitas NA sehari-hari kebanyakan di rumah sambil menjaga anak dan membantu orangtuanya memasak. Kadang-kadang NA juga membantu mencari ikan
di rawa sambil menggendong anaknya. NA tidak berani keluar rumah dan bersekolah lagi karena merasa malu dengan kejadian perkosaan. Warga sering mengejeknya
karena memiliki anak haram. Sebelum terjadinya perkosaan, NA dan orang tuanya tinggal di Desa Pasie
Ieleubeu Kecamatan Kembang Tanjong. NA memepunyai dua orang abang dan dua orang kakak.Kedua kakak NA sudah berkeluarga dan sudah tidak tinggal serumah
lagi dengan mereka. Rumah mereka berdekatan dengan rumah kakaknya. Rumah tersebut merupakan bantuan yang diberikan pemerintah pascatsunami. Rumah
kakaknya itu terdiri dari 1 kamar tidur, dapur dan ruang keluarga. Karena salah satu kakaknya memiliki anak yang kecil, NA sering diminta tolong kakaknya untuk
menjaga anaknya. Tetapi nasib membawanya kepada kejadian yang tidak diinginkan karena suami kakaknya abang iparnya, ZF memperkosanya berkali-kali.
Kakak NA yang meminta bantuan NA menjaga anaknya bernama DR. DR memiliki tiga orang anak. Dua orang anaknya adalah hasil perkawinan dengan
suaminya yang pertama dan satu orang lagi hasil perkawinan dengan suaminya yang sekarang yaitu ZF. ZF berumur 30 tahun, tidak mempunyai pekerjaan tetap, memiliki
sifat pemarah, suka mengisap ganja,dan bekas napi. Pada tahun 2010, ZF pernah tersangkut kasus hukum dan masuk penjara selama 6 bulan. Perkawinan DR dengan
ZF tidak mendapat restu dari orang tua DR. Hal itu disebabkan karena sifat ZF yang tidak mempunyai tanggung jawab dan suka mabuk-mabukan. Hubungan DR dan
orang tuanya tidak harmonis. Hal itu disebabkan karena ZF memaksa orang tua NA untuk menyerahkan akte rumah untuk dijadikan jaminan di bank. Tetapi orang tuanya
tidak menyetujuinya sehingga terjadilah pertengkaran. Saat terjadi pertengkaran ZF mengancam akan membuat malu seluruh keluarganya.
Kasus perkosaan bermula ketika NA sedang menjaga anak kakaknya. Pada suatu malam NA tidur di ruang tamu bersama dengan kedua anak kakaknya, karena
rumah tersebut hanya memiliki satu kamar yang ditempati oleh kakak dan suaminya beserta anaknya yang masih kecil. Pada saat NA tidur, ZF tidak ada di rumah, pergi
ke warung. Tiba-tiba NA terbangun dan tersentak karena mulutnya sudah disumpal dengan kain dan tangannya diikat, NA berusaha melawan tapi tidak mampu karena
tangannya sudah diikat. Kemudian ZF langsung menurunkan celana dalam NA tapi tidak membuka semuanya. Kemudian secara kasar, ZF menindih badan NA dan
terjadilah perkosaan. NA berurai air mata, menangis dan kesakitan, tetapi ZF tidak menghiraukannya bagai kesetanan. Pada saat peneliti bertanya apa yang kamu
rasakan pada saat itu? NA mengatakan sangat takut. Hal itu disebabkan karena ancaman dari ZF yang akan membuat keluarganya malu dan NA takut kalau
diketahui orang karena ZF akan melaporkan kejadian tersebut kepada orang lain dengan membuat cerita fiktif.
Berdasarkan hasil putusan Pengadilan saudara ZF didapatkan sebelum ZF memperkosa NA, ZF pergi ke warung dan mengisap ganja disana. Sepulang dari
warung kopi ZF menonton televisi diruang tamu. Pada saat itu ZF sedang menonton film barat. Pada saat itu NA sedang tertidur bersama anaknya. Akibat menonton film
tersebut membuat gairah seksual ZF meningkat, sehingga ZF memperkosa NA. Informasi yang didapat dari AY selaku kepala desa, bahwa ZF pernah dipenjara
karena kasus narkoba. ZF yang sehari-hari hanya dirumah dan tidak memiliki pekerjaan tetap dan suka mengisap ganja membuat ZF tidak bisa berfikir secara
rasional. Kejadian perkosaan terjadi 2 kali di rumah ZF. Ketakutan NA akan terulang
lagi perkosaan terhadap dirinya membuat NA tidak mau lagi menginap di rumah kakaknya. Tetapi hal itu tidak membuat ZF hilang akal. Dia tetap berusaha
mendapatkan kepuasan seksual tersebut dengan mendatangi rumah NA pada pagi dan siang hari, di saat DR sedang tidak di rumah. Menurut pengakuan NA, ZF pernah
memperkosa dirinya pada saat NA sedang mengalami Haid. NA bertanya kepada peneliti apakah itu tidak berbahaya. Kemudian peneliti menjelaskan kalau hal tersebut
tidak baik untuk kesehatan. Pengakuan NA pada kejadian pemerkosaan pertama sampai ketiga dilakukan
ZF dengan sangat kasar karena NA tetap berusaha melawan, tetapi setelah 4 sampai 6 kali perkosaan NA sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Pada saat peneliti
bertanya apakah NA merasakan kenikmatan akibat melakukan hubungan seks ini? Kelihatan NA malu dan menunduk, dia menjawab tidak tahu apakah menikmati
hubungan perkosaan tersebut. NA menceritakan bahwa sebelum terjadi perkosaan, ZF terlebih dahulu mengisap payudara NA dan menyuruh NA untuk memegang
kemaluan ZF. Kejadian perkosaan yang berulang-ulang tersebut tidak pernah dilaporkan NA
kepada orang tuanya, Hal ini disebabkan rasa takut dengan ancaman ZF. Pada suatu hari NA mencoba mengadu kepada DR kalau suaminya telah memperkosa dirinya,
tetapi DR tidak mempercayai apa yang dikatakan NA, malah DR menyalahkan dan memarahi NA atas kejadian perkosaan tersebut.
Setelah 3 bulan perkosaan NA baru menyadari kalau perutnya membesar. NA tidak berfikir bahwa akibat perkosaan tersebut dapat mengakibatkan kehamilan.
Selama masa kehamilan tersebut, NA tidak mengalami gangguan berat hanya
mengalami mual dan muntah, dan pernah mengalami pingsan di sekolah karena tidak makan dan stress memikirkan keadaannya.
Kehamilan NA tersebut juga tidak disadari oleh orang tuanya. Orangtuanya sibuk mencari nafkah. Sampai akhirnya kehamilan NA diketahui warga desa pada
saat usia kehamilan NA memasuki usia 5 bulan. Hal ini membuat NA malu dan dimarahi oleh orangtuanya. Selain itu, hasil pemeriksaan oleh polisi membuat NA
sangat takut dan stress. Beberapa hari setelah kejadian tersebut, keluarga NA diusir dari Kampong Pasie Iuleubeu. Pengusiran tersebut dirasakan tidak adil oleh keluarga
NA sebab mereka orang miskin, karena di desa ada yang hamil di luar nikah tapi tidak diusir dari desa.
Berdasarkan informasi dari AY sebagai kepala Desa Pasie Ieleubeu pengusiran dilakukan warga menganggap perkosaan yang terjadi terhadap NA karena
ada pembiaran dari orang tua NA. Selain itu orang NA tidak memenuhi kebutuhan anak-anaknya terutama dalam pendidikan baik pendidikan agama maupun pendidikan
moral. Saat ini NA dan keluarganya tinggal di desa Arosan. tempat tinggal mereka sekarang
Pada saat peneliti bertanya apakah ada keinginan dari NA untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain, NA tidak bisa menjelaskannya bahkan NA
mengaku tidak tahu. Hal ini mungkin disebabkan karena NA tidak mengerti maksud dari peneliti atau NA merasa malu mengungkapkannya. Hanya NA merasa bahwa
tidak ada laki – laki yang mau sama dia.
Selain mengalami kehamilan, NA juga mengalami masalah pada kesehatan reproduksi, seperti keluar lendir pada malam hari terutama ketika dirinya tidak bisa
tidur, kadang-kadang keluar cairan kuning kadang putih, kemaluan terasa gatal, dan kadang-kadang berbau.
Berdasarkan informasi RT sebagai penyidik di unit Perlindungan Anak Polres Pidie hasil BAP di kantor polisi, NA sebelumnya juga pernah diperkosa ayahnya
pada saat dia berumur 9 tahun karena mereka tidur bersama dalam satu ruangan yang sempit. Namun NA membantahnya bahwa dirinya tidak pernah melakukan hubungan
seks dengan abunya. NA menangis sewaktu peneliti menanyakan hal tersebut dan meminta untuk tidak menanyakan hal itu lagi, sebab kalau ibunya tahu NA bisa
dimarahi telah menceritakan hal tersebut pada orang lain. Ketika disinggung masalah menikah, NA mengatakan tidak ada keinginan untuk menikah walaupun sama ZF.
Dia sangat membenci dan dendam terhadap ZF, walaupun dia ayah dari anaknya.
4.3 Kasus BD Informan 2
4.3.1 Deskripsi Pertemuan dengan BD
Untuk dapat mewawancarai kasus yang kedua, peneliti menghubungi Kepala Puskesmas Padang Tiji yaitu tempat wilayah domisili BD. Kebetulan peneliti
memiliki hubungan pertemanan dengan kepala Puskesmas. Kepala Puskesmas kemudian menunjuk salah seorang petugas yang juga bertempat tinggal dekat dengan
rumah BD. Bersama petugas Puskesmas, kemudian peneliti mendatangi rumah BD. Pada saat itu peneliti mendampingi petugas Puskesmas dalam melaksanakan
kunjungan ke rumah warga untuk pemberian makanan tambahan pada anak yang mengalami gizi buruk, yang rumah anak tersebut bersebelahan dengan rumah BD.
Pada saat itu BD sedang bermain di rumah tersebut. Di situlah awal mula perkenalan peneliti dengan BD. Peneliti memperkenalkan diri dan mulai membina hubungan
saling percaya dengan BD. Peneliti menjelaskan kalau peneliti ingin ke rumah untuk berkenalan dengan orang tuanya dan membuat kontrak waktu untuk kembali esok
hari pada pukul 10.00 Wib. Pada pertemuan kedua, peneliti datang tepat pukul 10.00 Wib pagi sesuai
dengan kontrak dengan BD. BD menyambut dengan sangat senang apalagi peneliti datang membawa oleh-oleh. Pada pertemuan kedua ini peneliti memperkenalkan diri
kembali dengan BD dan orang tua BD. Orang tua BD sudah bercerai sekitar 8 tahun lalu, ibunya menderita stroke sehingga mengalami gangguan dalam berkomunikasi.
Peneliti meminta izin kepada ibunya untuk mengajak BD ke Padang Tiji untuk jalan- jalan dan menanyakan kesediaan BD. Dengan semangat dan senang, BD memenuhi
permintaan peneliti untuk diajak jalan-jalan. Peneliti berjanji bahwa dua hari lagi akan datang menjemput BD sekitar pada pukul 11.00 WIB.
Selang dua hari,kembali peneliti mendatangi rumah BD jam 11.00 wib Alasan peneliti datang pada hari itu, karena di kota tersebut merupakan hari pasar
sehingga bisa membawa BD jalan-jalan dengan peneliti untuk membeli kebutuhan BD. Selama ini BD tidak diberi izin oleh orang tuanya untuk bepergian jauh, selain
itu juga BD merasa malu bertemu dengan teman-temannya karena mereka sering mengejek dan merendahkan BD.
Sesampainya di pasar, peneliti menawarkan makanan yang paling disukainya. Di saat itulah peneliti menjelaskan keinginannya untuk mewawancarai BD tentang
peristiwa perkosaan yang pernah dialaminya. BD sering menunduk dan ekspresi wajah mulai murung, sehingga pada hari itu peneliti tidak melanjutkan wawancara,
karena dapat membuat suasana jalan-jalan tidak menyenangkan. Sebelum pulang, peneliti menanyakan kapan BD bisa diwawancara tentang perkosaan yang pernah
dialaminya. BD mengatakan bahwa peneliti datang saja atau kembali ke rumahnya esok hari dan peneliti membuat kontrak pertemuan lanjutan pada pukul 09.00 WIB.
Pada saat itu peneliti datang, BD sudah menunggu dengan wajah berseri dan sudah mandi. Pagi itu BD kelihatan begitu cerah dan siap bercerita. Ibunya sudah
pergi ke Puskesmas bersama kakaknya untuk berobat sehingga kami lebih mudah berkomunikasi. Pada saat datang, peneliti membawa mie, sebelum melakukan
wawancara kami makan mie dulu agar terbentuk keakraban antara peneliti dan BD. Di sela-sela makan mie tersebut, BD menceritakan bagaimana peristiwa perkosaan
yang dialaminya. Selama wawancara kadang-kadang BD nampak sedih, menunduk, menerawang ke langit, kadang tersenyum tidak jelas.
4.3.3 Temuan Penelitian untuk Informan BD
Informan dalam penelitian ini bernama BD, berusia 13 tahun, memiliki tinggi badan lebih kurang135 cm dan berat badan 30 kg, berkulit kuning langsat, manis dan
memiliki rambut sebahu. BD mengalami keterbelakangan mental dan lugu. Pendidikan tamat MIN. BD anak bungsu dari dua bersaudara. Orang tuanya sudah
bercerai kira-kira 8 tahun yang lalu. Semua kebutuhan mereka dipenuhi oleh
kakaknya. Ibunya sudah tidak lagi bisa bekerja karena menderita stoke sekitar 1 tahun yang lalu. Kakaknya bekerja di pasar berjualan sayur. Kehidupan keluarga ini sangat
sederhana. Sebelum kejadian perkosaan BD masih bersekolah di MIN yang tidak jauh
dari rumahnya. Dia bersekolah dengan berjalan kaki. Sepulang sekolah aktifitas BD BD membantu kakaknya mencuci piring, menjaga anak kakaknya serta bermain
bersama teman seusianya. Lingkungan rumah yang tidak terlalu padat dan luas memudahkan BD lebih leluasa bermain-main dengan kawan-kawannya.
Sebelum kejadian perkosaan yang dialaminya, BD tinggal di rumah kakaknya. Rumah kakak BD dikelilingi oleh 3 rumah tetangga berjarak 20 meter sampai 30
meter. Salah satu rumah tetangga adalah rumah kek AL berumur 80 tahun. Rumah tersebut memiliki halaman yang luas sehingga membuat anak-anak suka bermain di
situ. Selain itu di rumah kek AL juga terdapat pohon jambu sehingga membuat anak menyukainya. Kek AL tinggal di sebuah rumah semi permanen bersama dengan
istrinya. Ketiga anaknya sudah berumah tangga dan ketiganya tinggal di luar kota. Kek AL hidup berkecukupan, semua fasilitas tersedia di rumahnya dan anak-anak
tetangga sering ke rumahnya untuk menonton televisi,. Karena seringnya BD dan kawan-kawannya ke situ membuat kek AL tertarik kepada BD. Sifat BD yang lugu
dan agak keterbelakangan mental serta memiliki kulit yang putih menambah daya tarik kek AL. Sebelumnya, kek AL juga pernah mempunyai masalah, karena dituduh
ikut serta memperkosa seorang anak yang cacat fisik. Tapi karena pelakunya banyak
dan tidak ada bukti yang kuat mengarah kepada kakek AL, makanya kakek AL tidak dipenjara.
Berdasarkan informasi RS, Kek AL memang memiliki perilaku yang aneh. Masyarakat banyak mengetahui kebiasaan kek AL yang suka menggoda anak - anak
perempuan yang masih muda. Kek AL juga mempunyai kebiasan menonton film porno, malah sering mengajak anak – anak untuk menontot film porno tersebut.
Sekarang, keluarga BD sudah pindah ke rumah mereka sendiri di Desa Piala yang berseberangan dengan desa kakaknya tinggal dan mereka tidak merasa nyaman
bertetangga dengan rumah kek AL. Keseharian BD membantu ibunya memasak dan mencuci piring serta membantu semua kebutuhan ibunya yang sering sakit-sakitan.
Selain itu, BD sering juga diminta tolong oleh tetangga untuk menjaga anaknya, dan diberi upah sekitar Rp 5.000.-
Awal kejadian perkosaan terjadi pada tahun 2012 di rumah kek AL. Jarak rumah kakaknya dengan rumah kek AL kira-kira berjarak 20 meter. Pada saat BD
sedang memetik jambu di halaman rumah kek AL bersama teman-temannya,.Kek AL memanggil BD masuk ke dalam rumah dan menyuruh teman-temannya pulang.
Sebelum kek AL memperkosa BD dimulai dengan melakukan bujuk rayu dengan mengiming-imingi akan memberi uang. BD yang sehari-hari jarang menerima uang
jajan dari kakaknya mudah terbujuk rayu kek AL. Saat kejadian perkosaan tersebut, tidak terjadi penetrasi yang dalam. Hal ini
mungkin disebabkan karena BD masih terlalu anak-anak dan waktunya terlalu singkat dan cepat. Kejadian perkosaan tersebut berulang sebanyak 3 kali. Pada perkosaan
ketiga baru terjadi penetrasi yang dalam, sehingga BD merasakan sakit di vaginanya dan mengeluarkan darah di celananya.
Pada saat kek AL memperkosa BD tanpa ada paksaan. Dua hari setelah kejadian pertama dan kedua BD masih mau datang ke rumah kek AL, karena
dijanjikan akan diberi uang. Iming-iming uang tersebut membuat BD merasa bahwa apa yang dilakukan kek AL adalah sebuah bentuk kasih saying dan BD merasa bahwa
sangat perhatian terhadap dirinya.. Pada saat peneliti bertanya apakah BD tahu kalau itu perkosaan? Sambil
menunduk BD menggeleng. BD yang lugu membuatnya tidak bisa menangkap apa yang peneliti tanyakan. Kejadian perkosaan yang dialaminya tidak pernah dilaporkan
kepada orang tuanya. Hal ini disebabkan karena ketakutan BD atas ancaman kek AL akan dipukul apabila orang lain tahu. Ancaman tersebut sampai sekarang masih
dirasakan oleh BD dan menyebabkan BD takut bertemu kek AL. Pernah peneliti sambil bercanda mengajak BD ketemu kek AL dipenjara, tetapi BD menolak sambil
menangis karena takut sama kek AL, hal ini disebabkan karena kejadian perkosaan sudah diketahui warga dan teman-teman sekolahnya serta gurunya.
Ketika peneliti menanyakan pada FT selaku guru BD mengapa kasus tersebut terbongkar. Informasi FT bahwa dirinya mengetahui kasus perkosaan dari siswa yang
juga teman kelas BD. Mereka sering mengejek BD sebagai cewek kek AL. Pada awalnya sang guru tidak curiga tapi karena sering mendengar anak-anak mengejek
BD, makanya dia memanggil salah satu murid yang sering mengejek BD. Awalnya teman BD tersebut tidak mau menjawab, tapi setelah saya bujuk kemudian
mengatakan bahwa mereka pernah melihat BD sering kerumah kek AL dan menreka mengintip dan melihat kek AL menciumi BD dan membuka celananya. Ibu guru
tersebut lalu melapor kepada kepala sekolah., Kemudian dewan guru mengadakan rapat sesama dewan guru, BD dipanggil ke kantor beserta dengan kakanya BD.
Selanjutnya kami ceritakan kejadian tersebut kepada kakak BD. Kemudian BD dan kakaknya melapor ke kantor polisi.
Sekarang BD sudah tidak bersekolah lagi. Banyak teman sekolah BD yang sudah mengetahui kejadian perkosaan tersebut. Bukannya menunjukkan rasa simpati,
malah banyak siswa yang suka mengejek, menghina, dan merendahkan BD dengan menyebutnya wanita gatal dan genit, tidak tahu malu, bahkan banyak ibu-ibu yang
mengejek bahwa BD adalah istrinya kakek AL. Rasa malu tersebut membuat BD pindah sekolah di SMP Grong-Grong sekitar 6 bulan yang lalu. Pada saat itu BD
tinggal bersama ayahnya di Grong-Grong. Tetapi selang 3 bulan, BD dibawa kembali pulang ke rumahnya di Desa Piala Hal ini dilakakukan karena ibunya sakit dan tidak
ada yang menjaganya Sejak saat itu, BD sudah tidak bersekolah. Pada saat peneliti bertanya apakah ada keinginan BD utnuk melakukan
hubungan kembali dengan yang lain. BD menjawab tidak mau kerna dapat menyebabakan kehamilan. Informasi BD setlama ini BD juga mengeluh. Akibat
perkosaan tersebut, BD masih sering merasa sakit pada daerah kemaluan atau vaginannya, terutama pada saat untuk berjalan. Kadang-kadang timbul rasa gatal dan
keluar lendir agak banyak, dan sedikit berbau. BD juga jarang mengganti celana dalam.
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Pelaku Tindakan Kekerasan pada Anak
Dewasa ini banyak ditemui kasus kekerasan seksual yang dialami remaja dan anak-anak terutama anak perempuan. Setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan
tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Pelaku pelecehan seksual dan korban perkosaan lebih banyak dilakukan oleh orang yang dikenal baik
oleh korban. Fenomena perilaku kekerasan pada anak baik itu kekerasan fisik, mental dan seksual, biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga
anak, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Hasil wawancara dengan informan kunci korban dan informan pokok
kepala desa, penyidik, Kabid PPA, dan guru. Kasus 1
“.. yang melakukan perkosaan pada saya adalah abang ipar saya”
NA “ ...waktu di meunasah didepan warga dia mengaku kalau yang dia
Diperkosa oleh ZF sebanyak 5 kali “ “ menurut informasi bapaknya juga pernah melakukan perkosaan
terhadap anaknya.”
AY Kasus
“ ..yang memperkosa saya kakek AL , dia tetangga kakak saya, saya Sering bermain dan menonton TV dirumah kakek AL”
BD “ ..waktu saya nanyak apakah kakek AL pernah memberikan uang?
Dia jawab iya, baru kemudian dia cerita kalau dia pernah Diperkosa sama kakek AL “
FT
69
“ ...Menurut NA yang pertama kali memperkosa dirinya adalah Ayahnya, sekitar tahun 2009, waktu masih SD “
“ Pada Kasus BD yang memperkosa adalah tetangga kakaknya”
RT “ ...yang sering adalah orang terdekat dengan korban, ayah
kandung, ayah tirinya, abang ipar, tetangga dekat, guru disekolah pasantren’
ET Sejalan dengan penelitian Hertinjung 2010, ditinjau dari hubungan pelaku
dengan korban, diketahui bahwa di wilayah eks karesidenan Surakarta sedikit sekali terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang asing. Banyak diantara korban
kekerasan yang telah mengenal pelakunya antara lain teman korban, pacar, tetangga bahkan ada pelaku yang merupakan keluarga dekat korban seperti ayah, menantu,
saudara sepupu, dan sebagainya yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kehidupan dan masa depan korban.
Terkadang pelaku perkosaan adalah orang dekat yang tidak kita sangka- sangka seperti teman sepermainan, teman satu sekolah, tetangga, ayah, saudara
kandung, saudara tiri, paman, sepupu, dan lain sebagainya. Tidak menutup kemungkinan pula seorang wanita dewasa dan remaja mengajak berhubungan seks
dengan paksaan pada anak laki-laki dan perempuan. Semua patut diwaspadai namun tetap dalam batasan yang wajar agar tidak menimbulkan prasangka buruk yang
merusak hubungan harmonis antar individu Gumelar, 2013. Pelaku tindakan pelecehan seksual dan perkosaan pada anak yaitu paman,
ayah kandung, anak kandung, ayah tiri, kakak tiri, kakek tiri, dan kakek kandung sebanyak 37 kasus. Orang-orang yang dikenal korban seperti tetangga, guru, ustad,
teman, pacar, dukun, dokter, tukang ojek langganan, tukang bakso langganan sebanyak 106 kasus. Latar belakang kecenderungan kasus ini karena pelaku biasanya
memanfaatkan rasa percaya yang ada pada korban bahwa pelaku tidak mungkin melakukan hal seperti itu Anggreini, 2009.
Komnas Perempuan mencatat bahwa antara tahun 2010-2011, ditemukan sebanyak 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 3.753 kasus di antaranya
adalah kekerasan seksual, seperti perkosaan, eksploitasi seksual, pelecehan seksual, kontrol seksual. Ironisnya, pelaku kejahatan adalah orang yang memiliki hubungan
darah dengan korban seperti ayah, kakak, adik, paman, kakek, atau hubungan kekerabatan, suami maupun pacar korban. Kejahatan terhadap perempuan juga
dilakukan oleh majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
Dari hasil penelitian ini pada kasus NA, diketahui bahwa pelaku tindakan kekerasan seksual adalah abang ipar korban sebanyak ± 5 kali, dan dari
pengakuannya di BAP Polres bahwa yang telah memperkosanya pertama kali adalah abu ayah kandung korban sebanyak 3 kali, tetapi dalam BAP tersebut dicabut,
sehingga yang diakui dalam pemeriksaan bahwa yang memperkosa korban adalah abang iparnya ZF. Korban diperkosa ketika korban tinggal di rumah kakakabang
iparnya tersebut untuk membantu menjaga anak pelaku. Pada kasus BD, pelaku tindakan kekerasan pada anak yaitu kakek AL, tetangga kakaknya korban tinggal
bersama kakaknya yang melakukan bujuk rayu dengan memberikan uang jajan yang jarang diterima dari kakaknya atau keluarga korban. Pelaku memanfaatkan situasi
dengan memberi iming-iming akan diberi uang yang banyak jika mau melayani nafsu bejatnya.
5.2. Penyebab Tindakan Kekerasan Seksual pada Anak
Akhir-akhir ini berbagai fenomena perilaku negatif sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui media massa seperti surat kabar atau
televisi dijumpai kasus-kasus yang dialami oleh anak seperti kasus kekerasan baik itu kekerasan fisik, verbal, mental bahkan pelecehan seksualpun sering dialami oleh
anak-anak. Kasus tindakan kekerasan seksual pada anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara signifikan, baik secara kuantitatif maupun secara
kualitatif. Dari waktu ke waktu kekerasan terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan penyebab atau modus operandinya pun semakin beragam. Berdasarkan hasil
penelitian yang didapat dari informan kunci dan informan pokok, bahwa kasus kekerasan seksual pada anak yang dialami oleh informan 1 dan informan 2,
disebabkan oleh banyak faktor seperti yang terungkap pada hasil wawancara.
1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab tingginya kasus kekerasan pada anak baik kekerasan fisik, mental, maupun seksual. Seperti terlihat dari hasil
wawancara dengan para informan. Kasus 1.
“....rumah kakak saya hanya memiliki satu kamar..” “Abu tidak ada duit untuk memberi kami makan. Abu sering sakit-
sakitan..”
NA
“Keluarga bapak NA itu memang kehidupannya sangat miskin, termasuk miskin harta dan miskin pendidikan.”
AY “Mereka adalah keluarga sangat miskin.....”
RT Kasus 2.
“Saya jarang dikasih uang jajan sama kakak, kakak tidak punya duit.”
BD “Lagian BD termasuk keluarga miskin, sering tidak diberi uang
jajan sama kakaknya sehingga pada saat dibujuk dan dikasih uang sama kakek AL dia langsung mau.”
“Menurut yang kami tahu keluarganya miskin. Sehari-hari yang menghidupi ibu dan dia adalah kakaknya.”
FT Faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak antara lain:
kemiskinan keluarga, banyak anak, kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan. Namun, di luar faktor-faktor tersebut, sebenarnya kekerasan
struktural menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia, karena sifatnya struktural, terutama akibat kemiskinan. Faktor-faktor lain seperti rendahnya tingkat
pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, termasuk lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan lemahnya penegak hukum memperkuat tingkat kekerasan seksual
terhadap anak. Kerapuhan ekonomi dan kehidupan yang serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, dan kemudian memunculkan rasa frustasi Liunir, 2008.
Suyanto 2010 menempatkan faktor ekonomi atau kemiskinan sebagai faktor penyebab pertama timbulnya kekerasan pada anak. Kemiskinan yang dihadapi sebuah
keluarga seringkali membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan termasuk kekerasan seksual. Hal ini biasanya
terjadi pada keluarga dengan anggota yang besar. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan
berbagai macam masalah baik dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari, maupun dalam pendidikan, kesehatan, pembelian pakaian, dan lain-lain. Kesemuanya secara
relatif dapat memengaruhi jiwa dan tekanan yang seringkali akhirnya dilampiaskan pada anak-anak.
Meskipun perkosaan dapat terjadi dalam segala lapisan ekonomi, secara khusus kondisi kemiskinan merupakan suatu rantai situasi yang sangat potensial
menimbulkan perkosaan. Sejak krisis 1998, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin tinggi. Banyak keluarga miskin hanya memiliki satu petak rumah. Dimana tidak
dapat membedakan mana kamar tidur, kamar tamu, atau kamar makan. Rumah yang ada merupakan satu atau dua kamar dengan multi fungsi. Sehingga kegiatan seksual
terpaksa dilakukan di tempat yang dapat terlihat oleh anggota keluarga lain. Tempat tidur anak dan orangtuanya sering tidak ada batasnya lagi. Ayah atau saudara laki-
laki yang tak mampu menahan nafsu birahinya mudah terangsang melihat saudara atau anak perempuannya tidur. Situasi semacam ini memungkinkan untuk terjadinya
perkosaan kala ada kesempatan Huraerah, 2008. Setting lingkungan yang tepat akan sangat mendukung proses tersebut.
Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan anak
pada kondisi penuh resiko. Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang
dipadati oleh penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah.
Observasi peneliti terhadap kondisi rumah korban NA memang menunjukkan bahwa keluarga korban termasuk dalam kategori keluarga miskin.
Mereka tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari papan sebagian dan sebagian lagi dari bambu. Rumah hanya memiliki satu ruangan yang luasnya 4 x 3 meter, tanpa
pintu, hanya memakai kain sebagai pintu. Tempat memasak dan istirahat di teras di luar. Korban merupakan anak ke 6 dari 7 bersaudara.
Demikian juga kondisi tempat kejadian kasus perkosaan yang dialami korban yaitu di rumah kakakabang iparnya. Rumah tersebut hanya memiliki satu
kamar, kamar itu di tempati oleh kakak dan suaminya beserta anaknya yang masih kecil. Sedangkan korban tidur bersama kedua anaknya yang lain di ruang tamu,
keadaan pintu kamar hanya dibatasi oleh penutup kain atau dengan bambu yang jarang-jarang. Kondisi kemiskinan yang terlihat dari kondisi rumahnya tersebut
sangat mendukung untuk perilaku kekerasan seksual. Dengan ketiadaan kamar tersebut maka seseorang pelaku bisa melihat korban dalam kondisi tidur kadang
bisa saja pakaian korban tersingkap tanpa disadarinya. Selain itu, kemiskinan sering membuat orang keluarga tidak berdaya sehingga keluarga sering tidak
mampu melindungi anaknya terhadap perkosaan. Orang tua sibuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga sedangkan anak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri.
Pada kasus BD, faktor kemiskinan bisa dilihat dari keadaan ekonomi keluarga BD yang telah ditinggal cerai oleh ayahnya sejak 8 tahun yang lalu, saat ini ibunya
mengalami stroke sehingga menambah beban hidup mereka. Selain itu, kakak korban yang ditinggali BD jarang memberi uang jajan kepada BD sehingga ketika ada
seorang kakek yang berkecukupan dengan bujuk rayu memberi uang jajan, maka BD dengan mudahnya menuruti semua ajakan pelaku. Kemudahan mendapatkan uang
dari sang kakek dengan balasan menyerahkan barang yang paling berharga milik perempuan membuat BD gampang saja diiming-imingi dirayu untuk melakukan
hubungan seks.
2. Retardasi Mental