Studi Kualitatif Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kabupaten Pidie Tahun tahun 2013

(1)

STUDI KUALITATIF KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI KABUPATEN PIDIE TAHUN 2013

TESIS

Oleh :

MEUTIA KURNIAWATI 117032193/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

STUDI KUALITATIF KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI KABUPATEN PIDIE TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MEUTIA KURNIAWATI 117032193/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KSEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : STUDI KUALITATIF KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI KABUPATEN PIDIE TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Meutia Kurniawati Nomor Induk Mahasiswa : 117032193

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M)

Ketua Anggota

(Asfriyati, S.K.M, M.Kes)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 31 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Asfriyati, S.K.M, M.Kes

2. Dr. Fikarwin Zuska


(5)

PERNYATAAN

STUDI KUALITATIF KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI KABUPATEN PIDIE TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013

Meutia Kurniawati 117032193 / IKM


(6)

ABSTRAK

Tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia mengalami laju pertumbuhan yang pesat khusunya kekerasan seksual. Kekerasan seksual meliputi kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan atau mengakibatkan terjadinya tindakan oleh pelaku yang tidak diinginkan. Bentuk kekerasan seksual adalah perkosaan, incest dan eksploitasi. Diantara bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut, perkosaan merupakan bentuk kekrasan seksual yang paling dideritakan perempuan. Tindak perkosaan adalah sebuah penderitaan yang jauh lebih dahsyat dari kehilangan harta benda. Perempuan korban perkosaan yang tidak terperikan dan stigma sebagai korban perkosaan dimasyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kejadian kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Pidie dengan metode kualitatif dengan rancangan studi kasus. Adapun informan dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari 2 orang anak korban perkosaan yang berbeda tempat tinggal.Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara mendalam.

Dari hasil penelitian menunjukkan penyebab terjadinya perkosaan pada anak adalah orang terdekat dan sudah kenal dekat dengan korban yang disebabkan karena kemiskinan, retardasi mental (kebodohan), takut karena ancaman, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi serta memberikan dampak bagi anak baik fisik maupun psikologis.

Kesimpulan penelitian ini adalah kekerasan seksual pada anak terjadi pada keluarga miskin yang disebabkan oleh kurangnya pengawasan orang terhadap anak. Oleh karena itu diharapkan kepada orang tua korban tindak kekerasan seksual agar korban tidak merasa disisihkan/dikucilkan dan disalahkan, serta mampu bangkit menjalani hari-hari ke depannya dengan lebih baik. Kepada dinas terkait untuk meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau lembaga pemerintah lainnya dalam mensosialisasikan program anti kekerasan pada anak termasuk kekerasan seksual.

Kata Kunci : Kekerasan Seksual, Anak, Perkosaan


(7)

ABSTRACT

Violent action toward children in Indonesia is rapidly increasing, especially sexual harassment which includes the bearing on sexual desire or undesirable actions by the doer. Some of the types of sexual harassment are rape, incest, and exploitation. Of these types, rape is the most suffered by women. It is much worse that the loss of property. Women as the raped victims have become the stigma in the society.

The objective of the research was to expose the incident of sexual harassment toward children which took place in Pidie District, using qualitative method and case study design. The informants in the research were two children as the raped victims in different places. The data were gathered by conducting observation and in-depth interviews.

The result of the research showed that the rapists were usually the close persons who had known the victims very well. Some causes which occurred in the rape incident were poverty, mental retardation (idiotic), and threat. All these things would affect the victims either physically or psychologically.

The conclusion of the research showed that sexual harassment toward children usually occurred in poor families since there was lack of control by parents. Therefore, it is recommended that the parents of the victims of sexual harassment should not cause their victimized children to feel as if they were secluded/isolated and found fault with. It is expected that they will ‘come back to life again’, do their daily activities as usual, and face their bright future. It is also recommended that the agencies concerned should increase their cooperation with non-government organizations or with other government agencies in socializing the anti-violence program, especially sexual harassment toward children.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “ Studi Kualitatif Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kabupaten Pidie Tahun tahun 2013.”

Penulis menyadari ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih yang tidak terhingga kepada Pembimbing yaitu: Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi. M.K.M, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Asfriyati ,S.K.M. Kes, selaku pembimbing kedua, yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, hingga selesainya tesis ini, kemudian penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT&H, M.Sc, (CT M), Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M. Kes, selaku Pembantu Dekan I Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

5. Dr. Fikarwin Zuska dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Tim Pembanding yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini.

6. Kepala Badan Keluarga Sejahtera Dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pidie beserta jajaranya yang telah berkenan memberikan izin melakukan penelitian sehingga tesis ini selesai.

7. Kepala Kepolisian Resort Pidie beserta jajaranya yang telah berkenan memberikan izin melakukan penelitian sehingga tesis ini selesai.

8. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

9. Teristimewa buat suami tercinta Tirmiza Usman, ST beserta anak - anakku Muhammad Haikal, (Alm) Raisha Zahruna dan Putroe Zalfa yang selalu memberi doa, kasih sayang, motivasi dan telah berkorban baik moril maupun materil kepada penulis.

10. Orang tuaku tercinta Ilyas Adiky dan Nuraini Ismail serta kakak dan adik – adikku tercinta yang selalu memberikan dukungan dan do’a pada penulis dalam penyusunan tesis ini.

11. Seluruh teman-teman satu angkatan yang telah menyumbangkan masukan dan saran serta kritikan untuk kesempurnaan tesis ini.


(10)

12. Dalam penelitian saya ini dengan pertimbangan etika maka nama, alamat dan identitas informan saya inisialkan untuk melindungi informan dari berbagai macam hal yang merugikan dan merusak nama baik informan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang mendukung sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis menyerahkan semua kepada Allah Swt untuk memohon Ridho-Nya, semoga tesis penelitian ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan kesehatan.

Medan, September 2013 Penulis

Meutia Kurniawati


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Meutia Kurniawati berumur 38 tahun dilahirkan Sigli Kabupaten Pidie Propinsi Aceh pada tanggal 27 Maret1975, beragama Islam, penulis anak kedua dari lima bersaudara dengan status menikah dan anak dari pasangan Ilyas Adiky dan Nuraini Ismail.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Teupin Pukat Meureudu tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama SMPN I Meureudu tamat tahun 1989, Sekolah Menengah Atas SMAN I Meureudu tamat tahun1992, Sekolah Akademi Keperawatan Depkes RI Banda Aceh tamat tahun1996, S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh tamat tahun 2005.

Pada tahun1996 – 2006 penulis bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Kabupaten Pidie, tahun 2006 sampai dengan sekarang bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie. tahun 2000 sampai dengan sekarang menjadi staf pengajar di Akademi Keperawatan Jabal Ghafur Sigli.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2011


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Permasalahan ……… 9

1.3Tujuan Penelitian ………. 9

1.4Manfaat Penelitian ……….. 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Konsep tentang Anak ... 11

2.2. Kekerasan Seksual pada Anak ... 19

2.2.1.Pengertian Kekerasan Seksual pada Anak ... 19

2.2.2.Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Anak ... 22

2.2.3.Faktor-faktor terjadinya Kekerasan Seksual pada anak ... 25

2.2.4.Dampak Kekerasan Seksual pada Anak ... 31

2.2.5.Pemulihan Diri Korban Kekerasan Seksual pada Anak .... 35

2.3. Kerangka Pikir ... 38

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 39

3.1. Jenis Penelitian ... 39

3.2. Lokasi Penelitian Dan Waktu ... 40

3.2.1.Lokasi Penelitian ... 40

3.2.2.Waktu Penelitian ... 40

3.3. Informan Penelitian ... 40

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 45

3.5. Metode Analisa Data ... 47

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 48


(13)

4.2. Kasus NA ... 53

3.2.1.Deskripsi Pertemuan dengan Informan NA ... 53

3.2.2.Temuan Penelitian untuk Informan NA ... 56

4.3. Kasus BD ... 62

3.2.1.Deskripsi Pertemuan dengan Informan BD ... 62

3.2.2.Temuan Penelitian untuk Informan BD ... 62

BAB 5. PEMBAHASAN ... 69

5.1 Pelaku Tindak Kekerasan Seksual pada Anak ... 69

5.2 Penyebab Tindakan Kekerasan Seksual pada Anak ... 72

5.3 Jenis Tindakan Kekerasan Seksual pada Anak ... 91

5.4 Dampak Tindakan Kekerasan seksual pada Anak ... 92

5.5 Pemulihan Korban kekerasan Seksual pada Anak ... 106

5.6 Perkosaan dengan Ketentuan Kudaya dan longgarnya Syariat Islam ... 108

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

6.1 Kesimpulan ... 111

6.2 Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 114


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 4.1 Jumlah Penduduk Akhir Tahun Kabupaten Pidie Tahun Per Kecamatan

Tahun 2009 - 20012 ... 51 4.2 Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Pidie Per Kecamatan Tahun 2009 -


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Pendekatan Holistik pada Tumbuh Kembang Anak

(Huraerah 2008) ... 18 2.2 Kerangka Pikir ... 38


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Hasil Wawancara dengan Informan ... 118

2. Surat Izin Penelitian ... 169

3. Surat Balasan Izin Penelitian ... 170

4. Peta Kabupaten Pidie ... 171


(17)

ABSTRAK

Tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia mengalami laju pertumbuhan yang pesat khusunya kekerasan seksual. Kekerasan seksual meliputi kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan atau mengakibatkan terjadinya tindakan oleh pelaku yang tidak diinginkan. Bentuk kekerasan seksual adalah perkosaan, incest dan eksploitasi. Diantara bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut, perkosaan merupakan bentuk kekrasan seksual yang paling dideritakan perempuan. Tindak perkosaan adalah sebuah penderitaan yang jauh lebih dahsyat dari kehilangan harta benda. Perempuan korban perkosaan yang tidak terperikan dan stigma sebagai korban perkosaan dimasyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kejadian kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Pidie dengan metode kualitatif dengan rancangan studi kasus. Adapun informan dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari 2 orang anak korban perkosaan yang berbeda tempat tinggal.Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara mendalam.

Dari hasil penelitian menunjukkan penyebab terjadinya perkosaan pada anak adalah orang terdekat dan sudah kenal dekat dengan korban yang disebabkan karena kemiskinan, retardasi mental (kebodohan), takut karena ancaman, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi serta memberikan dampak bagi anak baik fisik maupun psikologis.

Kesimpulan penelitian ini adalah kekerasan seksual pada anak terjadi pada keluarga miskin yang disebabkan oleh kurangnya pengawasan orang terhadap anak. Oleh karena itu diharapkan kepada orang tua korban tindak kekerasan seksual agar korban tidak merasa disisihkan/dikucilkan dan disalahkan, serta mampu bangkit menjalani hari-hari ke depannya dengan lebih baik. Kepada dinas terkait untuk meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau lembaga pemerintah lainnya dalam mensosialisasikan program anti kekerasan pada anak termasuk kekerasan seksual.

Kata Kunci : Kekerasan Seksual, Anak, Perkosaan


(18)

ABSTRACT

Violent action toward children in Indonesia is rapidly increasing, especially sexual harassment which includes the bearing on sexual desire or undesirable actions by the doer. Some of the types of sexual harassment are rape, incest, and exploitation. Of these types, rape is the most suffered by women. It is much worse that the loss of property. Women as the raped victims have become the stigma in the society.

The objective of the research was to expose the incident of sexual harassment toward children which took place in Pidie District, using qualitative method and case study design. The informants in the research were two children as the raped victims in different places. The data were gathered by conducting observation and in-depth interviews.

The result of the research showed that the rapists were usually the close persons who had known the victims very well. Some causes which occurred in the rape incident were poverty, mental retardation (idiotic), and threat. All these things would affect the victims either physically or psychologically.

The conclusion of the research showed that sexual harassment toward children usually occurred in poor families since there was lack of control by parents. Therefore, it is recommended that the parents of the victims of sexual harassment should not cause their victimized children to feel as if they were secluded/isolated and found fault with. It is expected that they will ‘come back to life again’, do their daily activities as usual, and face their bright future. It is also recommended that the agencies concerned should increase their cooperation with non-government organizations or with other government agencies in socializing the anti-violence program, especially sexual harassment toward children.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan awal mata rantai yang sangat menentukan wujud dan kehidupan suatu bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan persiapan generasi penerus bangsa dengan mempersiapkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Setiap anak berhak mendapatkan penghidupan yang layak, dapat tumbuh kembang secara optimal dan mendapatkan perlindungan yang layak.

Perlindungan dimaksudkan untuk melindungi anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan seksual, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak penyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran (IDI-Depkes-UNICEF, 2004).

Akhir-akhir ini berbagai fenomena perilaku negatif sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui surat kabar atau televisi dijumpai kasus-kasus anak usia dini seperti kekerasan baik itu kekerasan fisik, verbal, mental bahkan pelecehan atau kekerasan seksualpun sudah menimpa anak-anak. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga, pacar, guru maupun teman


(20)

sepermainannya sendiri. Berdasar data dari KPAI dalam Bagong (2006) mencatat dari 555 tindak kekerasan terhadap anak, 11,8% dilakukan oleh guru terhadap anak didiknya. Sebanyak 18% dilakukan oleh orang terdekat2007 (Bagong, 2006).

Anak-anak khususnya anak perempuan sering merupakan korban potensial terjadi kejahatan seksual. Selain karena faktor kebejatan si pelaku, secara fisik dan psikis dari si anak, juga disebabkan karena anak - anak kaum yang lemah sehingga sangat rentan dan mudah menjadi korban tindak perkosaan. Studi yang dilakukan tim penelitian dari Universitas Airlangga di Jawa Timur (1992) menemukan mayoritas terjadinya kekerasan karena adanya ancaman dan paksaan (66,3%), bujuk rayu (22,5%) dan dengan menggunakan obat bius (5,1%) (Bagong, 2006).

Wattie (2002) mengatakan kekerasan seksual meliputi kekerasan yang terjadi karena adanya unsur kehendak seksual yang dipaksakan atau mengakibatkan terjadinya tindakan oleh pelaku yang tidak diinginkan oleh dan bersifat ofensif bagi korban. Sebaliknya, kekerasan non-seksual adalah merupakan tindakan pelaku yang juga tidak dikehendaki dan bersifat ofensif bagi korban, tetapi tidak disertai oleh adanya kehendak seksual. Bentuk-bentuk dari kekerasan seksual antara lain ditatap penuh nafsu, disenyumi nakal, diajak berbicara cabul, ditelepon seks, diraba bagian tubuh, dipaksa memegang bagian tubuh pelaku, dicuri cium/dipeluk, dipertontonkan alat kelamin, dipertontonkan foto/benda porno, diserang untuk diperkosa, dan diperkosa. Diantara bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut, perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual yang paling menderitakan perempuan. Dalam perkembangannya, persoalan kekerasan seksual tidaklah bersifat personal dan berdiri


(21)

sendiri, melainkan merupakan masalah sosial yang mempunyai banyak aspek dan faktor yang melingkupinya.

Sebuah penelitian yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di 21 negara menemukan bahwa 7-36% perempuan dan 3-29% laki-laki melaporkan kekerasan seksual selama masa kanak-kanak, tingkat kekerasan (abuse) yang dialami anak perempuan 1,5-3 kali lebih tinggi daripada anak laki-laki. Sebagian besar kekerasan (abuse) terjadi dalam lingkaran keluarga. (Laporan PBB, 2012).

Tindak kekerasan seksual layaknya fenomena gunung es, kejadian yang sampai pada publik jauh lebih sedikit dibandingkan kejadian yang nyata terjadi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena banyaknya korban yang tidak melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya, karena ketakutan yang dialami korban dan banyak masyarakat yang menyalahkan korban perkosaan terjadi karena adanya rangsangan atau godaan dari pihak korban (Tipe seductive). Studi yang dilakukan oleh Suparman Marzuki (1997) dalam Bagong (2006) terhadap 63 kasus perkosaan kasus seductive terbanyak (47,6%), kemudian diikuti oleh dominan rape(30,2%) dan tipe exploitation rape (14,3%).

Tindak kekerasan yang terjadi di Indonesia belakangan ini mengalami laju pertumbuhan yang pesat, baik kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitatif ada kecenderungan terjadinya peningkatan tindak kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual. Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan tahun 2013 merupakan tahun darurat kekerasan seksual pada anak. Selama tahun 2012 lembaga ini telah menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat terhadap tindakan


(22)

kekerasan pada anak sebanyak 2.637 kasus. Sebanyak 62% atau 1.526 kasus dari jumlah kasus tersebut merupakan tindakan kekerasan seksual pada anak. Angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 2.509 kasus. Dari jumlah tersebut, 52% diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak. Dari rangkuman data tersebut, sangat jelas bahwa kasus kekerasan seksual pada anak mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai 10% sepanjang tahun 2012 dibandingkan tahun 2011 (Pitakasari, 2013).

Banyaknya kasus tindak kekerasan secara fisik maupun seksual yang diterima anak, sehingga mengakibatkan cacat fisik, trauma maupun kematian, sering terdengar di telinga hingga membuat bulu kuduk merinding. Kondisi tersebut di atas, sedikit banyak memberikan gambaran perlakuan salah terhadap anak, juga terjadi dalam keluarga. Banyak kasus juga membuktikan bahwa anak-anak telantar cenderung rawan diperlakukan salah dan bahkan potensial menjadi objek tindak kekerasan (child abuse) termasuk kekerasan seksual (Yudiati, 2011).

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual. Secara spesifik, kendala yang menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban, korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, korban cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, korban merasa malu untuk


(23)

menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, korban merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga (Zahra, 2007).

Hasil penelitian Sakalasastra (2012), pada dampak psikososial anak jalanan korban pelecehan seksual di Surabaya mendapatkan hasil bahwa faktor psikososial anak memiliki kecenderungan emosi negatif seperti perasaan benci dan menyimpan dendam, keinginan untuk menjalani kehidupan bebas, penilaian yang cenderung negatif pada dirinya sendiri dan kehidupan yang dijalani, perilaku seksual yang tidak wajar, serta relasi yang buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya. Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual tersebut. Selain itu, ditemukan adanya pola yang sama dalam penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi minuman beralkohol pada korban pelecehan seksual

Bagi korban, tindak perkosaan adalah sebuah penderitaan yang jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan harta benda. Perempuan korban perkosaan biasanya akan mengalami trauma psikologis yang tidak terperikan dan stigma sebagai korban perkosaan dari masyarakat. Sebuah studi di Amerika Serikat yang dilakukan Linda E. Ledray terhadap korban perkosaan setelah 2-3 jam kejadian menemukan dampak dan akibat sebagai berikut: 96% mengalami gemetar dan menggigil tak henti, 68% mengalami rasa pusing, 68% mengalami kekejangan otot yang hebat, 65% mengalami sakit kepala, nyeri yang hebat. Sementara itu, untuk periode pasca


(24)

perkosaan, penderitaan yang dialami korban adalah 96% kecemasan, 96% rasa lelah secara psikologis, 88% kegelisahan tiada henti, 88% terancam, dan 80% merasa diteror oleh keadaan (Suyanto, 2010).

Dampak dari pelecehan seksual sangat bervariasi. Berdasarkan penelitian Alter-Reid dkk (1986) tentang dampak pelecehan seksual pada psikososial anak, akan mengakibatkan dampak negatif seperti perasaan bersalah, rasa takut, depresi, self-esteem yang cenderung rendah, kemampuan yang rendah dalam bersosialisasi, dan lain-lain. Psikososial yang dimaksud disini adalah suatu dampak dari hubungan yang dinamis dan saling mempengaruhi, yaitu faktor psikologis, dan faktor sosial. Kemudian Kendall-Tackett dkk (1993) juga mengemukakan bahwa anak yang mengalami pelecehan seksual cenderung memiliki masalah dengan kecemasan, stress pasca-traumatis (PTSD), depresi, self-esteem yang rendah, keluhan yang bersifat somatis, agresi, perilaku seksual, dan perilaku yang cenderung merusak diri (Sakalasastra, 2012).

Anak yang menjadi korban kekerasan seksual sering kali menunjukkan keluhan tanpa adanya dasar penyebab organic, kesulitan di sekolah atau dalam mengadakan hubungan dengan teman, gelisah, tumbuh rasa tidak percaya diri. Pada remaja sering tumbuh tingkah laku bunuh diri. Sekitar 15 sampai 24 persen wanita dan 5 % sampai 15 pria pernah mengalami kekerasan seksual ketika masih anak-anak (Bagong,2006).

Tindakan kekerasan seksual pada anak membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Secara emosional, korban perkosaan bisa mengalami stress,


(25)

depresi, goncangan jiwa, menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan intim dengan lawan jenis, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina, berisiko tertular PMS, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya (Israr, 2009).

Gangguan reproduksi pada korban kekerasan seksual seperti Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, gangguan/kerusakan organ reproduksi (vagina), aborsi (Depkes RI, 2007). Korban kekerasan seksual dapat mengalami beberapa gangguan pada alat genitalia seperti eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus, adesi labia (mungkin akibat iritasi atau rabaan), Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan), Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena infeksi ataupun trauma), kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual), fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal), Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna), pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal), kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemukan pada konstipasi), perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental, terjadi pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila


(26)

konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya) (Israr, 2009).

Data dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Bp3A) Aceh menunjukkan angka kekerasan terhadap anak di Propinsi Aceh

sepanjang tahun 2011 sebanyak 466 orang yaitu untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 196 kasus (42,06%), pelecehan seksual dan pencabulan 68 kasus (14,68%), pembunuhan 2 kasus (0,42%), penganiayaan terhadap anak 105 kasus (22,5%), pemerkosaan 45 kasus (9,65%), sisanya trafficking dan kekerasan psikis terhadap anak 56 (12,07%)

Kabupaten Pidie merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Propinsi Aceh dengan jarak ke ibu Kota Propinsi yaitu 112 Km. Berdasarkan Data BPS tahun 2012 jumlah penduduk di yang ada di Kabupaten Pidie adalah 234.698 jiwa (Dinkes Kabupaten Pidie, 2012). Laporan Badan Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pidie jumlah anak yang mengalami kekerasan dalam tahun 2012 adalah berjumlah 14 (empatbelas) anak. Kekerasan fisik 4 orang, kekerasan psikis 1 orang, kekerasan seksual sebanyak 9 orang. Dari 9 orang yang mengalami kekerasan seksual 4 orang diantaranya karena diperkosa dan hamil sedangkan 5 orang lainnya mengalami pelecehan seksual yang berdampak pada trauma psikologis berupa menarik diri dan mengisolasi diri terhadap lingkungan.

Semakin banyaknya kasus-kasus kekerasan pada anak terutama kasus kekerasan seksual (child sexual abuse) dan menjadi fenomena tersendiri pada masyarakat modern saat ini. Berbagai faktor penyebab sehingga terjadi kasus


(27)

kekerasan seksual dan dampak yang dirasakan bagi korban baik secara fisik, psikologis dan sosial. Berdasarkan uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Pidie Tahun 2013.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Pidie Tahun 2013”.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengungkap kejadian kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Pidie Tahun 2013

1.4 Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang kesehatan reproduksi yang terkait dengan kekerasan seksual pada anak.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi responden sehingga mengetahui bagaimana mengatasi kekerasan seksual yang pernah dialaminya.


(28)

3. Memberi sumbangan informasi bagi kepada keluarga atau lingkungan sekitar korban agar dapat memberikan dukungan yang positif dan pemulihan hingga korban mampu mengatasi trauma akibat kekerasan seksual.

4. Memberikan informasi bagi Badan Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pidie, dalam menyusun dan membuat kebijakan perlindungan kesehatan pada anak terutama pada anak korban kekerasan seksual. 5. Memberikan informasi kepada lembaga-lembaga non pemerintah (LSM) dalam


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep tentang Anak 2.1.1 Pengertian Anak

Menurut Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam penelitian ini, peneliti memilih batasan usia anak berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu di bawah 18 tahun. Sementara itu itu, badan kesehatan dunia PBB yang mengurusi anak United Nation International Children Emergency Fund (UNICEF) mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa. Mereka memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa yang akan datang. Agar anak kelak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya,


(30)

segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi (Huraerah, 2008).

2.1.2 Hak-hak Anak

Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, kewajiban memberikan perlindungan anak didasarkan atas asas-asas : non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup-kelangsungan hidup dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Konvensi Hak Anak disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No 36 tahun 1990. Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sementara itu, KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang menjadi dewasa apabila telah pernah menikah meskipun usianya belum cukup 18 tahun.

Konvensi menghormati hak-hak anak dan perlindungan terhadap anak, pentingnya peran keluarga, serta pengembangan sumber daya untuk kepentingan anak. Pasal 18 mengharuskan negara-negara peserta untuk melakukan upaya-upaya yang menjamin agar kedua orang tua bertanggungjawab bersama untuk membesarkan dan mengembangkan anak dan kepentingan terbaik anak akan dijadikan perhatian utamanya.

Sementara itu pasal 19 secara khusus menyebutkan perlunya upaya untuk melindungi anak dari kekerasan, penyalahgunaan, penelantaran dan eksploitasi, serta


(31)

menguraikan langkah-langkah dalam mencapai perlindungan tersebut. Pasal-pasal lainnya menekankan pentingnya peran komunitas pelayanan kesehatan di dalam pemantauan dan pelaporan kekerasan terhadap anak. Untuk itu WHO telah merekomendasikan intervensi praktisnya.

Bidang lain yang berkaitan dengan anak dengan kecacatan, tanggungjawab orangtua, eksploitasi anak, anak-anak dalam daerah konflik bersenjata, rehabilitasi anak dan lain-lain diuraikan dalam pasal yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup, tumbuh-kembang dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

Dalam membahas berbagai hak dan tanggungjawab, Konvensi menegaskan bahwa “hak-hak” tersebut merujuk kepada “child’s … social, spiritual and moral well being and physical and mental health and to achievement of fullest possible individual development in all areas” (kondisi sosial, spiritual dan moral anak serta kondisi fisik dan mental yang baik yang memungkinkan anak mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan dengan sebaik-baiknya di segala bidang) (IDI-Depkes-UNICEF, 2004).

2.1.3 Kebutuhan Anak

Setiap anak, sebagaimana halnya manusia lainnya, memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Menurut Katz (1997) dalam Muhidin (2003) kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana kebutuhan anak seperti perhatian dan kasih sayang yang kontinu, perlindungan, dorongan dan pemeliharaan harus dipenuhi oleh orang tua.


(32)

Sedangkan Brown dan Swanson (1999) mengatakan bahwa kebutuhan umum anak adalah perlindungan (keamanan), kasih sayang, pendekatan / perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat

Sementara itu, Huttman dalam Muhidin (2003), merinci kebutuhan anak adalah sebagai berikut :

1. Kasih sayang orang tua 2. Stabilitas emosional 3. Pengertian dan perhatian 4. Pertumbuhan dan kepribadian 5. Dorongan kreatif

6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar 7. Pemeliharaan kesehatan

8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai.

9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif 10.Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

Untuk menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orang tua sebagai perantara dengan dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan


(33)

kasih sayang, pemahaman, suasana rekreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran tanggungjawab sosial, peran-peran sosial dan keterampilan dasar agar menjadi warga masyarakat yang bermanfaat (Huraerah, 2008).

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan pula mengalami hambatan mental, lemah daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku maladaptif seperti autisme, nakal, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia ‘tidak normal’ dan pelaku kriminal (Suharto, 2007).

Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak akan mengalami hambatan jika anak mengalami :

1. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak 2. Tanpa bimbingan dan asuhan

3. Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat 4. Diperlakukan salah secara fisik

5. Diperlakukan salah dan dieksploitasi secara seksual

6. Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat.


(34)

7. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus menerus, perceraian dan mempunyai orang tua yang menderita gangguan penyakit atau sakit jiwa.

8. Diekpsloitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi.

(Soetarso, 2003).

2.1.4 Pendekatan Holistik pada Tumbuh Kembang Anak

Hawari (1997) dalam Huraerah (2008) berpendapat bahwa tumbuh kembang anak seutuhnya dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berinteraksi satu dengan yang lain yaitu: faktor organobiologik, psiko-edukatif, sosial-budaya, dan spiritual (agama). Anak akan tumbuh dan berkembang secara sehat apabila keempat faktor tadi terpenuhi dengan baik.

1. Faktor organobiologik

Perkembangan mental-intelektual (taraf kecerdasan) dan mental emosional (taraf kesehatan jiwa) banyak ditentukan sejauhmana perkembangan susunan saraf pusat (otak) dan kondisi fisik organ tubuh lainnya. Tumbuh-kembang anak secara fisik sehat, memerlukan gizi yang baik dan bermutu. Terlebih lagi bagi tumbuh-kembang otak, bahan baku utama adalah gizi protein. Pertumbuh-kembangan organ otak sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 4-5 tahun (usia balita).


(35)

2. Faktor psiko-edukatif

Tumbuh-kembang anak secara kejiwaan (mental intelektual dan mental emosional yaitu IQ dan EQ), sangat dipengaruhi oleh sikap, cara, dan kepribadian orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Dalam tumbuh-kembang anak terjadi proses ‘imitasi’ dan ‘identifikasi’ anak terhadap kedua orang tuanya. Tumbuh kembang anak memerlukan dua jenis ‘makanan’, yaitu makanan bergizi untuk pertumbuhan otak dan fisiknya serta makanan dalam bentuk ‘gizi mental’. Bentuk ‘makanan’ yang kedua ini berupa: kasih-sayang, perhatian, pendidikan, dan pembinaan yang bersifat kejiwaan/psikologi (non fisik).

3. Faktor sosial-budaya

Faktor sosial budaya penting bagi tumbuh-kembang anak dalam proses pembentukan kepribadian kelak di kemudian hari. Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi globalisasi, modernisasi, industrialisasi, dan sains dan teknologi telah mengakibatkan perubahan-perubahan pada nilai-nilai kehidupan sosial. Perubahan mana antara lain pada nilai-nilai moral, etik, kaidah agama dalam pendidikan anak di rumah, pergaulan, dan perkawinan. Perubahan-perubahan nilai sosial budaya tersebut karena pada masyarakat yang sedang dan telah menjalani modernisasi, terjadi pergeseran pola hidup dari semula bercorak sosial religius kepada pola individual materialistis dan sekuler.

4. Faktor spiritual (agama)

Bagaimanapun perubahan-perubahan sosial budaya tersebut terjadi, maka pendidikan agama hendaknya tetap diutamakan. Sebab, daripadanya terkandung


(36)

nilai-nilai moral, etik, dan pedoman hidup sehat yang universal dan abadi sifatnya. Orang tua mempunyai tanggungjawab besar terhadap tumbuh-kembang anak agar jika dewasa kelak berilmu dan beriman.

Selengkapnya, interaksi antara keempat faktor yaitu faktor organobiologik, psiko-edukatif, sosial-budaya, dan spiritual (agama) dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Pendekatan Holistik pada Tumbuh Kembang Anak (Huraerah, 2008)

Agama/ spiritualitas

Organo-biologik

Psiko-edukatif

Sosial-budaya


(37)

2.2 Kekerasan Seksual pada Anak 2.2.1 Pengertian Kekerasan Seksual

Pada awal mulanya, istilah tindak kekerasan pada anak (child abuse) berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran. Pada tahun 1946, Caffey, seorang radiologist, melaporkan kasus cedera yang berupa gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk pada anak atau bayi disertai perdarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (Suyanto, 2010).

Kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah peristiwa perlukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggungjawab terhadap kesejahteraan anak Contoh paling jelas tindakan kekerasan yang dialami anak-anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan. Namun demikian, perlu disadari bahwa child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui misalnya pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan, dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse) (Gelles, 1985 dalam Suyanto, 2010).

Kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya tersebut (Huraerah, 2008).


(38)

Wahid dan Irfan (2001) memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian.

Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain. Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest), dan sodomi (Depkes RI, 2007).

Pelecehan seksual dan kekerasan seksual atau perkosaan adalah sebuah peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena dilatarbelakangi oleh nilai sosial budaya di masyarakat yang sedikit banyak bias gender. Pelecehan seksual tidak selalu berupa tindakan perkosaan atau kekerasan seksual. Bentuk pelecehan seksual dapat bermacam-macam: mulai dari sekedar menyuiti perempuan yang sedang berjalan, memandang dengan mata seolah sedang


(39)

menyelidiki tiap-tiap lekuk tubuh, meraba-raba ke bagian tubuh yang sensitif, memperlihatkan gambar porno, dan sebagainya sampai bentuk tindak kekerasan seksual berupa perkosaan (Suyanto, 2010).

Kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup banyak perilaku lainnya, misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga kalau berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh pada inti kekerasan dan pemaksaan, tidak hanya perilaku yang keras dan menekan. Kalau kekerasan seksual hanya diartikan sempit sebagai perilaku yang keras dan menekan, jangan heran apabila banyak kejadian kekerasan seksual yang lepas dari tuntutan pengadilan. Tersangka kasus perkosaan banyak yang lolos dari tuntutan hanya karena “korban dituduh sebagai pihak yang ikut menikmati peristiwa laknat yang menimpanya itu.”

Selama ini, seringkali ada anggapan seseorang dengan orang lain itu berbeda dalam mengartikan suatu tindakan pelecehan seksual itu termasuk dilakukan “suka sama suka atau tidak”, ‘memaksa atau tidak”, “mengancam atau tidak”. Ironisnya dalam hal ini adalah sering kali suatu tindakan yang menurut definisi di atas termasuk ‘tindakan kekerasan’ namun masyarakat atau bahkan perempuan sendiri tidak merasa yang dirinya mengalami tindak kekerasan seksual, misalnya perkosaan dalam perkawinan (marital rape), perkosaan saat kencan (dating rape), perkosaan karena dieksploitasi (exploitation rape), dan sebagainya (Suyanto, 2010).


(40)

2.2.2 Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut Resna dan Darmawan (2002), tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Perkosaan

Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Perkosaan biasanya terjadi pada suatu saat dimana pelaku (biasanya) lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan. Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan pada anak, akan merupakan suatu risiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil. Khusus untuk anak ini dilindungi dan tidak dikembalikan kepada situasi dimana terjadi tempat perkosaan, pemerkosa harus dijauhkan dari anak (Resna dan Darmawan, 2002).

Secara garis besar, terdapat lima tipe tindakan perkosaan yaitu :

a. Sadistic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati kesenangan erotis bukan melalui hubungan seksualnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban.

b. Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tertahan


(41)

baik pada korban maupun pada orang lain. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya.

c. Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukkan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama penaklukan seksual.

d. Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tertentu bersikap permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan.

e. Exploitation rape yaitu perkosaan yang terjadi karena diperbolehkan keuntungan atau situasi dimana perempuan bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial (Marzuki, 2007).

2. Incest

Incest didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.


(42)

3. Eksploitasi

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri (Resna dan Darmawan, 2002)

Dalam bentuk lebih ringan, Kalyanamitra (2009), memberikan beberapa contoh tindak pelecehan seksual adalah: menyuiti perempuan di jalanan, memanggil-manggil, atau mengomentari perempuan secara tidak sopan, menceritakan lelucon kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai merendahkan derajat, komentar terus menerus mengenai seks atau yang memiliki makna ganda, memperlihatkan gambar seksi, kalender, majalah, atau buku-buku bergambar perempuan kepada orang yang tidak menyukainya, terus menerus bertanya kepada seseorang mengenai kehidupan pribadi atau kegiatan seksualnya, terus menerus mengajak berkencan kepada seseorang yang jelas-jelas tidak mau, menggerakkan tangan atau tubuh secara tidak sopan terhadap seseorang, memandang atau mengerling, menyentuh, menyubit,


(43)

menepuk, menimbang, mengamati tubuh seseorang secara berlebihan, memeluk, atau menciumi seseorang yang tidak menyukai pelukan dan ciuman itu, dan lain-lain sebagainya.

2.2.3 Faktor-faktor terjadinya Kekerasan Seksual pada Anak

Terjadinya kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, menurut Suharto (2007), kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, yaitu:

1. Anak yang mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamental lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.

2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.

3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak yang lahir di luar nikah.


(44)

5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.

6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung akan memperlakukan salah anak-anaknya.

7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya paham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil.

Sementara itu, Rusmil (2004), menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu faktor keluarga/orang tua, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor anak sendiri.

1. Faktor orang tua/keluarga

Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan seksual pada anak diantaranya :

a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak seperti kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan asimetris.

b. Anak dibesarkan dalam penganiayaan c. Gangguan mental


(45)

d. Orang tua yang belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berumur 20 tahun.

e. Orang tua yang longgar terhadap perilaku seks bebas f. Kurangnya pendidikan seks dalam keluarga

g. Orang tua pecandu minuman keras dan obat. 2. Faktor lingkungan sosial/komunitas

Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan seksual dan penelantaran pada anak yaitu :

a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materilistis b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah

c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri d. Status wanita yang dipandang rendah

e. Sistem keluarga patriarkal

f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis 3. Faktor anak itu sendiri

a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya.

b. Perilaku menyimpang pada anak.

Multifaktor diyakini oleh banyak ahli dalam memandang penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak. Posisi anak sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah,


(46)

kontrol dan kesadaran orangtua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak, kurangnya program edukasi dari pihak pemerintah yang bisa diakses oleh masyarakat, dan masih banyak lagi faktor lain.

Psikologi lingkungan memandang bahwa setting lingkungan suatu masyarakat tidak hanya berpengaruh secara fisik tetapi juga secara psikologis dan sosial bagi masyarakat yang menempatinya. Setting lingkungan dapat meliputi tata ruang secara fisik, kepadatan, ketersediaan ruang publik, ruang personal, hingga menyangkut privacy pada setiap orang. Setting lingkungan yang ideal hendaknya memperhatikan berbagai dimensi kebutuhan masyarakat yang menempatinya. Setting lingkungan yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Sebaliknya, setting lingkungan yang kurang tepat akan mengurangi kesejahteraan masyarakatnya dan menghambat berbagai proses yang seharusnya dialami. Anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup sosial. Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat baik secara fisik maupun psikologis. Setting lingkungan yang tepat akan sangat mendukung proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan anak pada kondisi penuh resiko.

Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang dipadati oleh penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah. Berbagai hasil penelitian


(47)

menyebutkan bahwa kepadatan di rumah berkaitan erat dengan berbagai patologi sosial dan gangguan mental, angka kematian, serta tingginya pembunuhan (Galle & Gove, 1979; Booth & Welch, 1973; dalam Hertinjung, 2010).

Penelitian lain memfokuskan pada hubungan antara anak-orangtua pada keluarga yang memiliki kepadatan tinggi. Ditemukan bahwa anak lebih sedikit menerima perhatian yang konstruktif, anak lebih sering keluar rumah tanpa pengawasan orang tua sehingga memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menjadi nakal dan mengalami masalah perilaku dan masalah belajar (Booth & Edwards, 1976; Booth & Johnson, 1975; Saegert, 1980; dalam Hertinjung, 2010).

Selain kepadatan secara fisik di rumah, psikologi lingkungan juga membahas mengenai ketersediaan ruang personal yang sifatnya lebih abstrak namun sangat dibutuhkan oleh setiap individu. Ruang personal (personal space) mengacu pada area dengan batas yang tidak tampak di sekitar tubuh seseorang dimana orang asing/orang lain tidak dapat sembarangan masuk (Sommer, 1969). Ruang personal menyangkut komponen jarak dari suatu hubungan interpersonal, yang menjadi indikator dan bagian integral dari proses pertumbuhan, pemeliharaan, dan kemunduran dari hubungan interpersonal (Hertinjung, 2010).

Tindak kekerasan seksual pada anak melalui kegiatan perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual, Suyanto (2010) membaginya dalam 6 penyebab yaitu :


(48)

1. Adanya kepercayaan para konsumen (laki-laki hidung belang) bahwa berhubungan seks dengan anak-anak dapat sebagai obat kuat, obat awet muda dan mendatangkan hoki (keuntungan) tertentu.

2. Anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belum banyak yang “memakainya” sehingga lebih menambah selera konsumen. Faktor penyebab pertama dan kedua merupakan panda para pedofilia yang menyukai melakukan hubungan seks dengan anak-anak.

3. Orang tua kadangkala memandang anak perempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan besar, sehingga orang tua kandung sampai hati menjual anak perempuannya karena harganya yang sangat tinggi, khususnya harga keperawanannya.

4. Pandangan seksualitas yang sangat menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan dirinya, sehingga kadang pacarnya yang menjual dan memaksanya berhubungan dengan orang lain.

5. Jeratan utang. Orang tua kadang meminjam uang kepada germo yang sekaligus rentenir dengan bunga sangat tinggi. Ketika utang jatuh tempo tidak dapat mengembalikan, maka anak perempuan pengutang diminta bekerja kepada germo yang rentenir tersebut, namun ternyata pekerjaan yang dimaksud sebagai melayani nafsu laki-laki hidung belang. Apabila perjalanan menuju tempat tujuan jauh, antar pulau misalnya, maka biaya perjalanan dihitung sebagai hutang dan dilipatgandakan serta dihitung bunganya dalam perjalanan waktu belum terlunasi.


(49)

6. Adanya kemiskinan struktural dan disharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat menyebabkan orang tua hanya hadir secara fisik, namun tidak hadir secara emosional. Oleh karena itu anak merasa tidak kerasan di rumah, sehingga dapat menyebabkan anak mencari orang untuk berlindung yang pada gilirannya dapat mengatnarkannya masuk dalam sindikat perdagangan.

2.2.4 Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

Kekerasan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Trauma dapat membahayakan bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tidak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. Seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

Akibat lebih jauh dari adanya trauma itu juga menyebabkan terhambatnya proses pembentukan bangsa yang sehat. Untuk itu penegakan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual khususnya terhadap anak perlu untuk dikaji karena menyangkut tentang kesejahteraan anak dan itu merupakan hak setiap anak.

Menurut Charles Zastrow dalam Suharto (2003), ciri-ciri umum anak yang mengalami kekerasan seksual adalah sebagai berikut :


(50)

1. Tanda-tanda perilaku

a. Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia.

b. Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif dari teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya.

c. Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk.

d. Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut, seperti ngompol, mengisap jempol, dan sebagainya.

e. Perilaku anti sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak.

f. Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindari dari orang tertentu (orang tua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah.

g. Perilaku seksual yang tidak panas: masturbasi berlebihan, berbahaya atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno.

h. Penyalahgunaan Narkotika dan Penyalahgunaan Zat Adiktif (NAPZA), alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.


(51)

i. Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri.

2. Tanda-tanda kognisi

a. Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus perhatian singkat/terpecah.

b. Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya.

c. Respons/reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan orang lain dalam jarak dekat.

3. Tanda-tanda sosial-emosional

a. Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga.

b. Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.

c. Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri.

d. Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan pada diri sendiri maupun kepercayaan terhadap orang lain.

e. Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya.


(52)

4. Tanda-tanda fisik a. Hamil

b. Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah.

c. Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.

Daftar perilaku ini bukanlah “standar” yang bersifat pasti. Jadi anak yang menunjukkan satu atau dua perilaku di atas tidak dapat serta merta dianggap sebagai mengalami kekerasan secara seksual.

Selanjutnya, korban perkosaan anak-anak kemungkinan dapat pulih jauh lebih lama dan sulit. Mereka cenderung akan menderita trauma akut (Geiser, 1979). Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tidak kuat menanggung beban, pilihan satu-satunya ialah bunuh diri. Acap terjadi, perempuan korban perkosaan, sesudahnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita vaginismus, dimana otot dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup ketika melakukan hubungan kelamin, sehingga sulit dilakukan penetrasi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat terjadi dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang dirasakan sebagai penderitaan bila dilakukan senggama (Suyanto, 2010).

Kekerasan seksual yang menimpa para korban, terutama anak-anak sering menjadi stressor yang tidak dapat diatasi dan menimbulkan masalah di kemudian


(53)

hari, seperti menderita gangguan makan (anoreksia atau bulimia), masalah seksual, penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik, kecemasan, hancurnya penghargaan diri, atau depresi berkepanjangan (Knauer, 2002).

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual. Secara spesifik Faulkner (2003) menjelaskan bahwa kendala yang menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban, korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, korban cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, korban merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga (Ilena S., 2011).

2.2.5 Pemulihan Diri Korban Kekerasan Seksual pada Anak

Kekerasan seksual menimbulkan dampak bagi korbannya. Pada umumnya, dampak yang muncul yaitu perasaan buruk akibat pengalaman kekerasan seksual yang mereka alami dan pendam akan menjadi lebih buruk dari hari ke hari, dan menjadikan identitas yang buruk bagi korban (Lisak, 1994). Pengalaman traumatis dan perasaan buruk akan diri sendiri ini menyebabkan korban tidak dapat melupakan


(54)

kekerasan seksual yang dialaminya dan dapat menjadi gangguan stress yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD).

PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, kerentanan emosional, dan kilas baik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD dapat dialami siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik, tidak peduli usia dan jenis kelamin (Kaplan & Saddock, 2008). Menurut Knauer (2002), ada beberapa jenis gangguan akibat PTSD yaitu gangguan disosiatif, gangguan akibat penggunaan alkohol dan obat terlarang, gangguan makan, dan perilaku kecanduan atau kompulsif. Tentunya hal ini memerlukan pemulihan diri agar korban dapat pulih dari traumanya dan fungsinya sebagai individu dapat berlangsung dengan baik.

Kesedihan sebagai dampak traumatis dapat dijelaskan melalui model pemulihan diri dari Kubler-Ross (1969). Model pemulihan diri ini memiliki lima tahapan dan setiap korban tidak selalu melewati setiap tahapan. Lima tahapan tersebut adalah :

1. Tahap penyangkalan

Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak percaya bahwa kekerasan seksual tersebut menimpa diri korban. Para korban selalu berkata, “Tidak, bukan saya, itu tidak benar”. Penyangkalan ini hampir selalu dilakukan oleh semua korban dan merupakan pertahanan sementara.


(55)

2. Tahap kemarahan

Ketika masa penyangkalan tidak tertahankan lagi, korban akan mengalami perasaan marah, gusar, cemburu, dan benci. Pertanyaan yang sering muncul adalah, “mengapa aku?” atau “mengapa bukan orang itu saja?”. Kemarahan ini dapat terjadi kapanpun dan diproyeksikan ke lingkungan pada saat yang tidak terduga. Mereka biasanya akan memaki-maki diri sendiri, orang lain atau Tuhan atas kejadian traumatis tersebut, sering menangis, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap diri sendiri atau orang lain.

3. Tahap penawaran

Ketika perasaan marah sudah agak mereda, maka korban akan memasuki tahap penawaran. Tahap ini mampu menolong korban meskipun hanya untuk beberapa saat. Karena menyadari kondisi dirinya yang sedang dalam masa krisis, maka korban berusaha melakukan berbagai hal bagi dirinya asalkan pengalaman tersebut dapat hilang. Tahap ini merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri, dimana korban berharap trauma itu akan hilang dengan sendirinya.

4. Tahap depresi

Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus menerus, dan usaha-usaha untuk memperbaiki dirinya dapat membuat korban masuk ke dalam kondisi depresi. Mereka dapat kehilangan gairah hidup, merasa sangat sedih, tidak ingin merawat diri dan kehilangan nafsu makan. Mood depresif menjadi semakin buruk bila korban meyakini bahwa dirinyalah yang salah dan menyebabkan terjadinya pengalaman tersebut.


(56)

5. Tahap penerimaan

Setelah korban mencapai tahap penerimaan, barulah dapat terjadi perkembangan yang positif. Penerimaan terbagi menjadi dua tipe. Pertama, penerimaan intelektual yang artinya menerima dan memahami apa yang telah terjadi. Kedua, penerimaan emosional yang artinya dapat mendiskusikan pengalaman traumatisnya tanpa reaksi-reaksi berlebihan. Proses menuju penerimaan tidak sama bagi semua orang dan rentang waktunya juga berbeda.

2.3. Kerangka Pikir

Gambar 2.1. Kerangka Pikir

Bagan di atas merupakan rangkaian pembahasan kekerasan seksual pada anak menurut teori Resna dan Dermawan (2002), teori dari Kalyanamitra (2009) serta teori yang dikemukakan oleh Charles Zastrow dalam Suharto (2003).

Kekerasan Seksual Anak

-Perkosaan

Kesehatan Reproduksi : -Fisik


(57)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian studi kasus, peneliti berusaha memperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai berbagai fakta dan dimensi dari suatu kasus. Studi kasus yang baik harus dilakukan secara langsung dalam kehidupan sebenarnya dari kasus yang diselidiki.

Dalam hal ini peneliti menggunakan studi kualitatif karena peneliti ingin menggali secara mendalam dan sebenarnya tentang peristiwa kekerasan seksual yang dialami anak, khususnya mengenai perkosaan yang pernah terjadi di Kabupaten Pidie. Yang diteliti adalah bagaimana kejadian kekerasan seksual yang pernah dialami anak dan upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi dampak trauma yang ditimbulkan karena mengalami kekerasan seksual tersebut.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena jumlah tindak kekerasan seksual pada anak setiap tahun mengalami peningkatan. Disisi lain, penelitian mengenai perkosaan terhadap


(58)

anak belum pernah dilakukan. Padahal dampak traumatis bagi anak korban kekerasan seksual sangatlah besar.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan November 2012 sampai Juni 2013.

3.3. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini ada 2 (dua) golongan; pertama si korban dan yang kedua nonkorban. Korban adalah NA dan BD, sedangkan yang nonkorban adalah orang tua korban, guru tempat korban bersekolah, kepala desa tempat tinggal korban, Kabid Perlindungan dan Perempuan Anak pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Pidie, Anggota Kepolisian Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Pidie, LSM Paska. Dokumentasi yang digunakan bersumber dari hasil BAP Polisi terhadap korban dan hasil putusan pengadilan terhadap pelaku perkosaan terhadap NA dan BD.

3.3.1 Informan Korban (Kasus)

Kasus yang dikaji dalam penelitian ini adalah kasus yang dialami oleh NA dan BD. NA berusia 15 tahun dengan berat badan 35 kg dan tinggi badan 145 cm. Ia pernah bersekolah di SMPLB Bambi, memiliki warna kulit hitam, kuku kotor dan badan agak berbau (waktu perkenalan pertama dengan informan). NA adalah anak ke 6 dari 7 bersaudara. Ia berasal dari Gampong (Desa) Arosan Kecamatan Kembang Tanjong yang berjarak 5 km dari kota kecamatan dan berjarak 8 km dari kota Kabupaten Pidie


(59)

BD berumur 13 tahun, tinggi badan 135 cm, berat badan 30 kg, berkulit kuning langsat, dan memiliki rambut sebahu. BD mengalami keterbelakangan mental dan lugu. Pendidikan tamat MIN. Orang tuanya sudah bercerai kira-kira 8 tahun yang lalu. BD adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara dan berasal dari Gampong (Desa) Piala Kecamatan Padang Tiji yang berjarak 8 km dari kota kecamatan dan berjarak 13km dari kota Kabupaten Pidie.

3.3.2 Informan nonkorban

MR adalah ibu kandung NA, berumur 50 tahun, pernah bersekolah diSR (sekolah rakyat), bisa membaca tetapi tidak lancar. Ia memiliki tinggi badan 145cm, memilki kulit hitam dan keriput. Rambutnya sudah memutih dan sudah mengalami meunoupause sejak 3 tahun yang lalu. MR memiliki sifat yang berani dan agak kasar. Suaranya agak besar apabila diajak berkomunikasi. Aktivitas MR sehari – hari adalah mencari ikan di rawa, setelah itu hasil tangkapannya dijual ke pasar. Perhasilan yang didapat dalam sehari tidak tetap, kadang – kadang Rp 20.000 atau malah kadang – kadang tidak ada sedikitpun. MR lebih dominan dalam mencari nafkah. Hal ini disebabkan karena suaminya (Abu NA) sering sakit – sakitan setelah mengalami operasi Hernia.

AY adalah Kepala Desa Pasie Ieuleubeu ( desa sewaktu terjadinya perkosaan), berumur 45 tahun, pekerjaan wiraswasta. Beliau telah menjadi kepala desa sejak 5 tahun yang lalu. Tinggi badan kira – kira 170cm, memiliki postur tubuh egap dengan berwarna kulit hitam. AY memilki sifat yang keras dan tegas, walaupun demikian AY sangat peka terhadap masalah yang dialami warga desa.


(60)

Informan pada kasus BD adalah FT, berumur 48 tahun, pekerjaannya guru SD MIN Padang Tiji Guru dan beliau juga guru BD. Ia sudah 20 tahun berprofesi sebagai guru dan mengajar di MIN Kunyet tempat BD bersekolah. FT memilki sifat yang peramah, santun dalam bahasa dan banyak murit disekolah yang menyukainya. FT juga bertempat tinggal didesa Baro Kunyet. Informan yang lain untuk melengkapi data pada kasus BD adalah RS. RS adalah Kepala Desa Baro Kunyet,berumur 54 tahun, jenis kelamin laki - laki, keuchik Desa Baro Kunyet.Lahir dan dibesarkan di Desa Baro Kunyet. RS berprofesi sebagai petani.

RT berumur 25 tahun, tinggi badan 170cm kulit kuning langsat, berprofesi sebagai Polwan, bertugas di unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Pidie. RT bertugas di unit ini sejak 5 tahun yang lalu. RT memiliki sifat yang ramah, suka tersenyum dan berbicara lembut dalam berkomunikasi. Unit PPA Polres Pidie memiliki staf polwan sebanyak 2 (dua ) orang. Yang menangani kasus NA dan BD adalah RT. Banyak kasus yang telah ditangani oleh RT selama dia bertugas diunit ini, baik kasus perkosaan terhadap anak maupun perempuan dewasa. Khusus pada kasus kekerasan terhadap anak, biasanya staf perempuan yang melakukan BAP.

Informan non kasus lainnya adalah ET, berumur 45tahun, jenis kelamin perempuan, memiliki tinggi badan 55cm berwarna kulit kuning langsat dan berkaca mata. Pendidikan D3 komunikasi, sudah menjadi Kabid Perlindungan Terhadap Anak Kabupaten Pidie sejak 4 tahun yang lalu. ET memeliki sifat yang tegas dan sangat peduli terhadap kasus kekerasan seksual yang dialami anak di Kabupaten Pidie. Banyak program - program yang diperjuangkan oleh beliau untuk keberhasilan


(61)

dalam menurunkan kekerasan yang terjadi terhadap anak dan perempuan di Kabupaten Pidie. Tidak segan – segannya ET untuk memarahi dan memukul korban perkosaan terhadap anak, apabila kasus perkosaan tersebut terjadi dibatas kewajaran manusia. Selain itu, ET juga memilki hubungan yang baik dengan pihak lain seperti Unit PPA Polres Pidie, Kejaksaan, Rumah Sakit dan LSM yang ada di Kabupaten Pidie. Pengiat LSM yang sering menangani kasus perkosaan terhadap anak adalah ER, berumur 28 tahun, perempuan, bekerja di LSM Paska, pendidikan D3 keperawatan. ER sudah bekerja di LSM Paska sejak 6 tahun yang lalu.

3.3.3 Syarat Informan

Dalam menentukan atau menetapkan informan diperlukan syarat – syarat dari informan, informan adalah korban yang pernah mengalami kekerasan seksual khususnya perkosaan, memiliki kemampuan menceritakan kembali perkosaan yang pernah dialaminya, serta masih bertempat tinggal di Kabupaten Pidie. Syarat untuk non kasus adalah yang mereka mengetahui secara langsung atau tidak langsung tentang kekerasan seksual yang dialami anak, informan bersedia diwawancara, memiliki kondisi emosional yang stabil, dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data pada kasus perkosaan pada anak yang ada Kabupaten Pidie.

3.3.4 Proses Penelusuran Informan

Dalam penelusuran informan dalam penelitian ini adalah anak yang sudah pernah mengalami perkosaan yang tinggal diwilayah Kabupaten Pidie yang terdata di Badan Kesejahteraan perempuan dan Perlindungan Anak ( BKSPP ) Kabupaten Pidie Tahun 2012. Dari 4 orang anak korban perkosaan, peneliti hanya memilih 2


(62)

orang anak yang dijadikan informan dalam penelitian ini, karena dari 4 orang korban hanya mereka berdua yang dapat dijadikan informan dan memenuhi persyaratan. Peneliti juga melihat dampak yang ditimbulkan secara langsung dari anak adalah mengalami kehamilan akibat perkosaan.

Pemilihan terhadap calon informan ini hanya terbatas pada anak korban perkosaan dan dapat berkomunikasi dengan baik. Peneliti juga mempertimbangkan tempat tinggal informan yang mudah dijangkau, yaitu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kota Sigli. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam berkomunikasi. Salah satu korban perkosaan sudah pindah tinggal di kecamatan lain yang jaraknya susah dijangkau oleh peneliti, sehingga anak tersebut tidak dijadikan informan dalam penelitian ini. Korban satunya lagi mengalami tuna rugu sehingga tidak bisa dijadikan informan . Selanjutnya peneliti melakukan penyaringan informan untuk melihat apakah ada fenomena yang menarik untuk diteliti pada anak korban perkosaan.

Penelitian dilakukan pada 2 orang anak korban perkosaan. Sebelum melakukan wawancara dengan informan, peneliti melakukan pendekatan dengan orang yang terdekat dengan korban dan mengetahui keberadaan informan sehingga memudahkan peneliti untuk setiap hari melakukan wawancara dengan informan. Pendekatan yang dilakukan sebelum melakukan wawancara adalah peneliti sering berkunjung ke rumah informan. Saat berkunjung, peneliti membawa makanan, makan bersama dengan kelurga informan dan berkomunikasi dengan keluarga korban sehingga membina keakraban dengan informan sehingga timbulnya keakraban antara


(63)

informan dengan peneliti. Membina hubungan rasa percaya dengan informan sangat diperlukan karena penelitian ini sangat bersifat pribadi sehingga diperlukan keterbukaan dalam menyampaikan informasi.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi, dokumentasi dan wawancara mendalam terhadap korban dan nonkorban serta percakapan secara informan. Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan di rumah korban, atau di warung pada saat korban diajak jalan – jalan. Proses wawancara ini peneliti hentikan apabila informasi yang dibutuhkan sudah memadai. Wawancara nonkorban dilakukan pada tempat kerja, dirumah. Kadang peneliti pergi ke lokasi kasus perkosaan yang ada di Kabupaten Pidie untuk melakukan observasi terhadap kasus – kasus perkosaan yang terjadi di Kabupaten Pidie.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara mendalam dengan 9 orang informan dan melakukan pengamatan ( observasi). Untuk mendapat informasi yang lengkap dan akuran terlebih dahulu peneliti melakukan pendekatan baik dengan korban amaupun nonkorban sehingga terbina hubungan saling percaya antara informan dan peneliti. Data sekunder dikumpulkan dengan menelusuri dan menelaan dokumen – dokumenn yang berhugungan dengan perkosaan yang dialami anak, antara lain dokumen Putusan , berita acara pemeriksaan (BAP) polisi dan dokumen di kantor BKSPP yang berhubungan dengan kekerasan seksual yang dialami anak di Kabupaten Pidie.


(1)

6.2. Saran

Dari hasil penelitian ini, perlu disampaikan saran-saran kepada beberapa pihak, sebagai berikut:

1. Instansi Terkait

a. Kepada pihak kepolisian segera menangani kasus-kasus tindak kekerasan seksual terutama pada anak setelah mendapatkan laporan dari masyarakat. Menghukum pelaku tindak kekerasan seksual pada anak dengan hukuman yang seberat-beratnya karena telah merusak masa depan anak. Melakukan sosialisasi tentang tindak kekerasan seksual pada anak dan pencegahannya agar pengetahuan masyarakat meningkat dan segera melaporkan jika ada kejadian tindak kekerasan seksual pada anak.

b. Kepada lembaga pemerintah terkait untuk meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau lembaga pemerintah lainnya dalam mensosialisasikan program anti kekerasan pada anak termasuk kekerasan seksual. Mendirikan badan atau lembaga yang dapat bekerja cepat dalam menangani kasus kekerasan pada anak sehingga ketika ada kasus kekerasan pada anak dapat menjadi tempat pelaporan dari warga masyarakat. c. Kepada lembaga syariat Islam akan meningkatkan penanaman agama dan

pemahanan ajaran agama yang mendalam agar terhindar untuk meningkatnya kejahatan. Selain itu juga pemberlakuan syariat Islam perlu diterapkan secara tegas seperti penyebaran film – film porno dan hukuman khususnya terhadap pelaku perkosaan sehingga terjadi pembelajaran terhadap masyarakat.


(2)

d. Diharapkan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) cepat tanggap untuk membantu korban tindak kekerasan seksual terutama anak-anak dengan memberikan bimbingan dan konseling. Membantu korban sampai pulih dan membangkitkan motivasinya agar lebih kuat menghadapi permasalahan pada kehidupan selanjutnya. Bekerjasama dengan seluruh sekolah yang ada di Kabupaten Pidie untuk mensosialisasikan tentang kekerasan pada anak.

2. Orangtua

a. Bagi orangtua diharapkan untuk berhati-hati, mengawasi dan memantau perkembangan anaknya. Hal terbaik yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman pada anak jangan mudah percaya kepada orang lain maupun orang-orang terdekat dengan maksud-maksud tersembunyi serta memberi iming-iming uang atau hadiah.

b. Memberikan penanaman nilai-nilai agama dan adat istiadat untuk memberi batasan kepada anak, mana yang baik dilakukan dan mana yang kurang baik (buruk) dilakukan.

c. Memberikan dukungan bagi korban tindak kekerasan seksual agar korban tidak merasa disisihkan/dikucilkan, ia tidak akan disalahkan, dianggap sebagai aib, terbebani oleh stigma sebagai “barang rusak” serta mampu bangkit menjalani hari-hari ke depannya dengan lebih baik.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, T.R. 2001. Perlakuan Salah Terhadap Anak (Child Abuse) Ditinjau dari Nilai Anak dan Tingkat Pendidikan Orang Tua. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Anggreini, D. 2009. Pelecehan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Awa, B.A.P.B. 2012. Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Di Polres Tabanan). Bali: Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Badan Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan di Kabupaten Pidie. 2012. Laporan Data Kekerasan Anak Per Desember 2012

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Propinsi Aceh 2012. Laporan Data Kekerasan Seksual Pada Anak Per Desember 2011.

Depkes RI, 2007. Pedoman rujukan kasus kekerasan terhadap Anak Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dinkes Kabupaten Pidie, 2012. Profil Kesehatan Kabupaten Pidie Tahun 2011. Pidie: Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie.

Ervika, E. 2005. Kelekatan (Attachment) Pada Anak. Program Studi Psikologi- Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Fuadi, M.A. 2011. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi Psikoislamika, Jurnal Psikologi Islam (JPI). Lembaga Penelitian Pengembangan Psikologi dan Keislaman (LP3K). Vol 8 No. 2, Januari 2011 191-208

Hertinjung, W.S. 2010. The Dynamic Of Causes Of Child Sexual Abuse Based On Availability Of Personal Space And Privacy. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.


(4)

Huraerah, A. 2008. Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Kritis di Indonesia. Cetakan I, Jakarta: Nuansa.

IDI-Depkes-UNICEF, 2004. Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, Departemen Kesehatan, dan UNICEF.

Illena S. P dan Handadari W. 2011. Pemulihan Diri Pada Korban Kekerasan Seksual. INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011.

Israr, Y.A. 2009. Peranan Forensik Klinik Dalam Kasus Kekerasan Terhadap Anak Dan Perempuan. Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

Kalyanamitra, 2009. Menghadapi Pelecehan Seksual. Jakarta: Kalyanamitra Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan.

Kaplan, H.I & Saddock, B.J. 2008. Sinopsis Psikiatri. 8th ed. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Kembaren, L. 2012. Menjadi Korban Pemerkosaan Bukanlah Akhir Segalanya. www.kesehatan.us/2012/04/menjadi-korban-pemerkosaan-bukanlah-akhir-segalanya, diakses tanggal 12 Maret 2013.

Knauer, S. 2002. Recovering From Sexual Abuse, Addicting, and Compulsive Behaviours “Numb” Survivors. New York: The Haworth Press, Inc.

Kordi, M.G.H. 2010. Kekerasan Seksual terhadap Anak. http://ekspresi.fajar. co.id/read/97243/19/iklan/index.php. diakses tanggal 12 Maret 2013.

Laporan PBB. 2012. Laporan Pakar Independen Untuk Studi Mengenai Kekerasan Terhadap Anak PBB.

Legesan, A. 2012. Korban Kejahatan Sebagai Salah Satu Faktor Terjadinya Tindak Pidana Pemerkosaan. Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012.

Liunir, Z. 2008. Kekerasan terhadap Anak; Permasalahan dan Pemecahannya.

Marzuki, S. 2007. Perempuan dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta: PKBI Yogyakarta.


(5)

Muhidin, S. 2003. Kesejahteraan Anak. Makalah disampaikan pada Seminar Internasional Penanggulangan Masalah Anak, “Eradication Child Problems; Policy, Program, dan Strategy, 5 Juli 2993 di Wisma Buana Kampus UNLA Bandung.

Mulyadi, M. 2008. Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press.

Nainggolan,L.H. 2008. Bentuk - Bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur, Jurnal Equility, Vol. 13 No.1 Februari 2008

Pitakasari, A.R. 2013. 2013, Kekerasan Seksual pada Anak Dinilai Memburuk. Dari: www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/09/mjdxor-2013-kekerasan-seksual-pada-anak-dinilai-memburuk, Sabtu, 09 Maret 2013, 15:46 WIB. Resna, L. dan Wawan Darmawan. 2002. Kasus Anak Perempuan Sebagai Korban

Penganiayaan Seksual, dalam Pikiran Rakyat, 08 Januari 2002.

Rusmil, Kusnandi. 2004. Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak. Disampaikan pada seminar “Penanganan Korban Kekerasan pada Wanita dana Anak, d RS Hasan Sadikin Bandung.

Sadli, Saparinah, ninuk Widiantoro & Rita Serena Kalibonso (2008), Ringkasan Studi Pemantauan Kesehatan Seksual dan Kesehatan reproduksi di 6 Daerah di Indonesia, Jakarta, Yayasan Kesehatan perempuan

Sakalasasatra, P.P. dan Ike Herdiana. 2012. Dampak Psikososial Pada Anak Jalanan Korban Pelecehan Seksual yang Tinggal id Liponsos Anak Surabaya. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial. Vol. 1 No. 02, Juni 2012.

Soetarso, 2003. Masalah Kenakalan Anak dan Remaja. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.

Sugioyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sugioyono, 2009. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.


(6)

Suharto, E. 2007. Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial. Bandung Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah tinggi Kesejahteraan Sosial.

Suyanto, B. 2000. Krisis Ekonomi dan Dampaknya terhadap Anak-Anak. Hakiki Vol. II No. 3 Pebruari 2000.

________. 2010. Masalah Sosial Anak. Edisi Pertama. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group

Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi perempuan. Cetakan Pertama. Bandung: Refika Aditama.

Wangi, P.M.A.C. 2012. Pengecualian Larangan Aborsi Bagi Korban Perkosaan Sebagai Jaminan Hak-Hak Reproduksi. Bali: Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Wattie, Anna Marie. 2002. Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik; Fakta, Penanganan dan Rekomendasi. Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation.