Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung

(1)

DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG

ALDINO AKBAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG

ALDINO AKBAR

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(3)

Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh Unggul Aktani dan Fredinan Yulianda.

Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung memiliki potensi ekosistem terumbu karang di perairannya yang belum diketahui dengan jelas. Belum tersedianya data mengenai ekosistem terumbu karang mungkin salah satu penyebab belum berkembangnya wisata bahari di Kecamatan Sijuk tersebut. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret – April 2006 tersebut bertujuan untuk mengetahui potensi ekosistem terumbu karang sebagai dasar untuk menentukan kesesuaian ketiga pulau tersebut menjadi objek wisata bahari untuk selam dan snorkeling. Pengamatan penutupan habitat dasar menggunakan metode visual transek kuadrat, jenis dan kelimpahan ikan karang menggunakan metode sensus visual dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Parameter fisika dan kimia perairan diukur secara insitu di tempat yang sama saat pengamatan karang dan ikan karang. Data hasil pengamatan di lapangan dianalisis dengan matriks kesesuaian wisata bahari menurut Bakosurtanal (1996).

Tipe terumbu karang yang terdapat di perairan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut termasuk kategori sedang. Rata - rata penutupan karang hidup dari yang tertinggi sampai terendah terdapat di Pulau Burung, P. Lutung dan P. Kera. Jumlah spesies ikan karang di P. Kera dan P. Lutung cukup beragam, namun di P. Burung ditemukan paling beragam. Daerah tujuan utama untuk dikunjungi dan dikembangkan menjadi objek wisata bahari terdapat di Utara Pulau Kera, Barat dan Selatan Pulau Lutung dan Barat dan Selatan Pulau Burung. Hasil analisis kesesuaian wisata bahari untuk P. Kera, P. Lutung dan P. Burung secara berurutan adalah 660, 660 dan 692 yang berarti ketiga pulau tersebut cukup sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari. Namun, dari 12 stasiun yang diamati hanya terdapat 2 titik yang bisa dilakukan kegiatan selam yaitu di Barat P. Lutung dan Barat P. Burung dan lainnya hanya bisa dilakukan kegiatan snorkeling karena dibatasi oleh kedalaman perairan.


(4)

Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.

Nama Mahasiswa : Aldino Akbar

NIM : C24102061

Diketahui :

Pembimbing I

Dr. Unggul Aktani NIP. 131956707

Pembimbing II

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.sc NIP. 131788596

Mengetahui :

Dekan Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK

WISATA BAHARI (

SNORKELING

DAN SELAM) DI PULAU KERA, PULAU

LUTUNG DAN PULAU BURUNG DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN

BELITUNG

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Desember 2006

ALDINO AKBAR


(6)

yang telah diberikan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung”.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Unggul Aktani dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan hingga penyelesaian skripsi.

2. Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil sebagai dosen penguji tamu atas saran serta arahannya dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai ketua Program Pendidikan S-1 dan sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, terima kasih atas bimbingan dan arahannya hingga penyelesaian skripsi. 4. Ibu Ir. Niken T.M.P M.Si, selaku pembimbing akademik atas segala nasehat

dan bimbingannya.

5. PEMKAB. Belitung atas bantuan dana untuk melaksanakan penelitian ini. 6. Dinas KESBANGLING dan PEMAS, Bang Lutfy, Bang Ramdan, Fachrizal

Setiawan dan Belly yang telah membantu pengambilan data pada saat penelitian.

7. BAPPEDA Kabupaten Belitung atas bantuan data – data sekunder untuk penyelesaian penulisan skripsi.

8. Seluruh dosen dan staf karyawan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan serta Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan.

9. Bapak, Ibu dan Adek tercinta yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis, dan

10. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Bogor, Januari 2007


(7)

vii

Halaman

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.4. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Terumbu Karang... 4

2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang ... 5

2.3. Komunitas Ikan Karang ... 10

2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang... 13

2.4.1 Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam ... 13

2.4.2 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Kegiatan Manusia ... 14

2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata ... 14

2.4.2.2. Karena kegiatan non-pariwisata... 15

2.5. Pariwisata Bahari ... 17

2.6. Aspek Sosisal Ekoturisme... 19

2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata... 21

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

3.2. Metode Pengambilan Sampel... 23

3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan... 23

3.2.2. Pengambilan Data Karang ... 23

3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang ... 26

3.2.4. Data Pendukung ... 28

3.3. Analisa Data ... 29

3.3.1. Penutupan Habitat Dasar dan Indeks Mortalitas Karang ... 29

3.3.2. Komunitas Ikan Karang ... 30

3.3.3. Analisis Data Kualitas Air ... 31

3.3.4. Matriks Kesesuaian Untuk Pariwisata Bahari ... 31

IV. PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 33


(8)

viii

4.1.4. Sungai... 35

4.1.5. Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 35

4.1.5.1. Penduduk... 35

4.1.5.2. Agama dan tempat peribadatan... 37

4.1.5.3 Sarana perhubungan dan transportasi... 38

4.2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ... 39

4.2.1. Persen Penutupan dan IMK... 39

4.2.1.1. Persen penutupan dan IMK P. Kera... 39

4.2.1.2. Persen penutupan dan IMK P. Lutung ... 43

4.2.1.3. Persen penutupan dan IMK P. Burung... 45

4.2.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang ... 49

4.2.2.1. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Kera... 49

4.2.2.2. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Lutung... 49

4.2.2.3. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Burung ... 50

4.2.3. Kondisi Komunitas Ikan Karang... 51

4.2.3.1. Kondisi komunitas ikan karang di P. Kera... 51

4.2.3.2. Kondisi komunitas ikan karang di P. Lutung... 52

4.2.3.3. Kondisi komunitas ikan karang di P. Burung ... 53

4.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan... 54

4.3.1. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Kera... 54

4.3.2. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Lutung... 55

4.3.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Burung ... 55

4.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Sebagai Objek Wisata Bahari ... 56

4.4.1. Kesesuaian P. Kera Sebagai Objek Wisata Bahari ... 56

4.4.2. Kesesuaian P. Lutung Sebagai Objek Wisata Bahari... 58

4.4.3. Kesesuaian P. Burung Sebagai Objek Wisata Bahari ... 59

4.5. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari ... 60

4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Kera ... 60

4.5.2. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Lutung ... 61

4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Burung ... 61

4.6. Persepsi Masyarakat dan Instansi-Instansi Pemerintah Terkait ... 63

4.6.1. Persepsi Masyarakat Desa Tanjung Binga... 63

4.6.2. Tanggapan Instansi-instansi Pemerintahan yang Terkait dengan Pengembangan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung .. 64

4.6.2.1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung ... 64

4.6.2.2. BAPPEDA Kabupaten Belitung ... 64

4.6.2.3. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung ... 64

4.6.2.4. Kecamatan Sijuk ... 65


(9)

ix

4.7.3. Pengelolaan P. Burung ... 69

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 72 5.2. Saran... 72

DAFTAR PUSTAKA... 73 LAMPIRAN... 77 RIWAYAT HIDUP... 99


(10)

x

Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhandan kodenya

(English et al 1994)... 25

Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang... 27

Tabel 3. Parameter kualitas perairan yang diukur... 29

Tabel 4. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasar persen penutupan karang (Gomez dan Yap 1988)... 29

Tabel 5. Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari (snorkeling dan selam) (Modifikasi dari Bakosurtanal 1996)... 32

Tabel 6. Komposisi penduduk Desa Tanjung Binga Bulan Maret 2006 ... 36

Tabel 7. Jenis pekejaan dan jumlah tenaga kerja ... 36

Tabel 8. Sarana/prasarana perhubungan... 38

Tabel 9. Sarana perhubungan... 38

Tabel 10. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Kera ... 40

Tabel 11. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Lutung ... 43

Tabel 12. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Burung... 46

Tabel 13. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Kera ... . 51

Tabel 14. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Lutung ... 52

Tabel 15. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Burung... 53

Tabel 16. Nilai kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk wisata bahari………...…….… 56


(11)

DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG

ALDINO AKBAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(12)

DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG

ALDINO AKBAR

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(13)

Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh Unggul Aktani dan Fredinan Yulianda.

Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung memiliki potensi ekosistem terumbu karang di perairannya yang belum diketahui dengan jelas. Belum tersedianya data mengenai ekosistem terumbu karang mungkin salah satu penyebab belum berkembangnya wisata bahari di Kecamatan Sijuk tersebut. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret – April 2006 tersebut bertujuan untuk mengetahui potensi ekosistem terumbu karang sebagai dasar untuk menentukan kesesuaian ketiga pulau tersebut menjadi objek wisata bahari untuk selam dan snorkeling. Pengamatan penutupan habitat dasar menggunakan metode visual transek kuadrat, jenis dan kelimpahan ikan karang menggunakan metode sensus visual dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Parameter fisika dan kimia perairan diukur secara insitu di tempat yang sama saat pengamatan karang dan ikan karang. Data hasil pengamatan di lapangan dianalisis dengan matriks kesesuaian wisata bahari menurut Bakosurtanal (1996).

Tipe terumbu karang yang terdapat di perairan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut termasuk kategori sedang. Rata - rata penutupan karang hidup dari yang tertinggi sampai terendah terdapat di Pulau Burung, P. Lutung dan P. Kera. Jumlah spesies ikan karang di P. Kera dan P. Lutung cukup beragam, namun di P. Burung ditemukan paling beragam. Daerah tujuan utama untuk dikunjungi dan dikembangkan menjadi objek wisata bahari terdapat di Utara Pulau Kera, Barat dan Selatan Pulau Lutung dan Barat dan Selatan Pulau Burung. Hasil analisis kesesuaian wisata bahari untuk P. Kera, P. Lutung dan P. Burung secara berurutan adalah 660, 660 dan 692 yang berarti ketiga pulau tersebut cukup sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari. Namun, dari 12 stasiun yang diamati hanya terdapat 2 titik yang bisa dilakukan kegiatan selam yaitu di Barat P. Lutung dan Barat P. Burung dan lainnya hanya bisa dilakukan kegiatan snorkeling karena dibatasi oleh kedalaman perairan.


(14)

Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.

Nama Mahasiswa : Aldino Akbar

NIM : C24102061

Diketahui :

Pembimbing I

Dr. Unggul Aktani NIP. 131956707

Pembimbing II

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.sc NIP. 131788596

Mengetahui :

Dekan Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031


(15)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK

WISATA BAHARI (

SNORKELING

DAN SELAM) DI PULAU KERA, PULAU

LUTUNG DAN PULAU BURUNG DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN

BELITUNG

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Desember 2006

ALDINO AKBAR


(16)

yang telah diberikan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung”.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Unggul Aktani dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan hingga penyelesaian skripsi.

2. Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil sebagai dosen penguji tamu atas saran serta arahannya dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai ketua Program Pendidikan S-1 dan sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, terima kasih atas bimbingan dan arahannya hingga penyelesaian skripsi. 4. Ibu Ir. Niken T.M.P M.Si, selaku pembimbing akademik atas segala nasehat

dan bimbingannya.

5. PEMKAB. Belitung atas bantuan dana untuk melaksanakan penelitian ini. 6. Dinas KESBANGLING dan PEMAS, Bang Lutfy, Bang Ramdan, Fachrizal

Setiawan dan Belly yang telah membantu pengambilan data pada saat penelitian.

7. BAPPEDA Kabupaten Belitung atas bantuan data – data sekunder untuk penyelesaian penulisan skripsi.

8. Seluruh dosen dan staf karyawan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan serta Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan.

9. Bapak, Ibu dan Adek tercinta yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis, dan

10. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Bogor, Januari 2007


(17)

vii

Halaman

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 3

1.4. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Terumbu Karang... 4

2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang ... 5

2.3. Komunitas Ikan Karang ... 10

2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang... 13

2.4.1 Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam ... 13

2.4.2 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Kegiatan Manusia ... 14

2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata ... 14

2.4.2.2. Karena kegiatan non-pariwisata... 15

2.5. Pariwisata Bahari ... 17

2.6. Aspek Sosisal Ekoturisme... 19

2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata... 21

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

3.2. Metode Pengambilan Sampel... 23

3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan... 23

3.2.2. Pengambilan Data Karang ... 23

3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang ... 26

3.2.4. Data Pendukung ... 28

3.3. Analisa Data ... 29

3.3.1. Penutupan Habitat Dasar dan Indeks Mortalitas Karang ... 29

3.3.2. Komunitas Ikan Karang ... 30

3.3.3. Analisis Data Kualitas Air ... 31

3.3.4. Matriks Kesesuaian Untuk Pariwisata Bahari ... 31

IV. PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 33


(18)

viii

4.1.4. Sungai... 35

4.1.5. Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 35

4.1.5.1. Penduduk... 35

4.1.5.2. Agama dan tempat peribadatan... 37

4.1.5.3 Sarana perhubungan dan transportasi... 38

4.2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ... 39

4.2.1. Persen Penutupan dan IMK... 39

4.2.1.1. Persen penutupan dan IMK P. Kera... 39

4.2.1.2. Persen penutupan dan IMK P. Lutung ... 43

4.2.1.3. Persen penutupan dan IMK P. Burung... 45

4.2.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang ... 49

4.2.2.1. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Kera... 49

4.2.2.2. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Lutung... 49

4.2.2.3. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Burung ... 50

4.2.3. Kondisi Komunitas Ikan Karang... 51

4.2.3.1. Kondisi komunitas ikan karang di P. Kera... 51

4.2.3.2. Kondisi komunitas ikan karang di P. Lutung... 52

4.2.3.3. Kondisi komunitas ikan karang di P. Burung ... 53

4.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan... 54

4.3.1. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Kera... 54

4.3.2. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Lutung... 55

4.3.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Burung ... 55

4.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Sebagai Objek Wisata Bahari ... 56

4.4.1. Kesesuaian P. Kera Sebagai Objek Wisata Bahari ... 56

4.4.2. Kesesuaian P. Lutung Sebagai Objek Wisata Bahari... 58

4.4.3. Kesesuaian P. Burung Sebagai Objek Wisata Bahari ... 59

4.5. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari ... 60

4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Kera ... 60

4.5.2. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Lutung ... 61

4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Burung ... 61

4.6. Persepsi Masyarakat dan Instansi-Instansi Pemerintah Terkait ... 63

4.6.1. Persepsi Masyarakat Desa Tanjung Binga... 63

4.6.2. Tanggapan Instansi-instansi Pemerintahan yang Terkait dengan Pengembangan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung .. 64

4.6.2.1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung ... 64

4.6.2.2. BAPPEDA Kabupaten Belitung ... 64

4.6.2.3. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung ... 64

4.6.2.4. Kecamatan Sijuk ... 65


(19)

ix

4.7.3. Pengelolaan P. Burung ... 69

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 72 5.2. Saran... 72

DAFTAR PUSTAKA... 73 LAMPIRAN... 77 RIWAYAT HIDUP... 99


(20)

x

Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhandan kodenya

(English et al 1994)... 25

Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang... 27

Tabel 3. Parameter kualitas perairan yang diukur... 29

Tabel 4. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasar persen penutupan karang (Gomez dan Yap 1988)... 29

Tabel 5. Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari (snorkeling dan selam) (Modifikasi dari Bakosurtanal 1996)... 32

Tabel 6. Komposisi penduduk Desa Tanjung Binga Bulan Maret 2006 ... 36

Tabel 7. Jenis pekejaan dan jumlah tenaga kerja ... 36

Tabel 8. Sarana/prasarana perhubungan... 38

Tabel 9. Sarana perhubungan... 38

Tabel 10. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Kera ... 40

Tabel 11. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Lutung ... 43

Tabel 12. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Burung... 46

Tabel 13. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Kera ... . 51

Tabel 14. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Lutung ... 52

Tabel 15. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Burung... 53

Tabel 16. Nilai kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk wisata bahari………...…….… 56


(21)

xi

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian (Sumber : BAPPEDA Kab.

Belitung 2005)... 24

Gambar 2. Pengambilan data ikan karang dengan metode pencacahan langsung (Sumber : English et al 1994) ... 27

Gambar 3. Piramida Penduduk Desa Tanjung Binga (Sumber: Monografi Desa Tanjung Binga 2005 Diolah)... 35

Gambar 4. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P. Kera ... 41

Gambar 5. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P.Lutung ... 44

Gambar 6. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P. Burung ... 47

Gambar 7. Peta titik-titik aktivitas wisata bahari di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung ... 62


(22)

xii

Lampiran 1. Peta Sebaran Potensi Perikanan dan Kelautan

(Sumber : BAPPEDA Kab. Belitung 2005)... 77 Lampiran 2. Kuisioner Untuk Masyarakat Sekitar ... 78 Lampiran 3. Kuisioner Untuk Instansi Pemerintahan Terkait ... 79 Lampiran 4. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

No. 51 Tahun 2004... 80 Lampiran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Wisata Bahari... 80 Lampiran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut ... 81 Lampiran 5. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang... 84 Lampiran 5.1. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang

di P. Kera... 84 Lampiran 5.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang

di P. Lutung... 84 Lampiran 5.1 Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang

di P. Burung ... 85 Lampiran 6. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang... 86 Lampiran 6.1. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang

di P. Kera... 86 Lampiran 6.2. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang

di P. Lutung... 87 Lampiran 6.3. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang

di P. Burung ... 88 Lampiran 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 91 Lampiran 7.1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan

P. Kera... 91 Lampiran 7.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan

P. Lutung ... 91 Lampiran 7.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan

P. Burung ... 92 Lampiran 8. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari... 93 Lampiran 8.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Kera... 93 Lampiran 8.1.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari

P. Kera Secara Umum ... 93 Lampiran 8.1.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat

Kera ... 93 Lampiran 8.1.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur

P. Kera... 93


(23)

xiii

P. Kera... 94 Lampiran 8.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Lutung ... 94 Lampiran 8.2.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari

P. Lutung Secara Umum ... 94 Lampiran 8.2.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat

P. Lutung ... 94 Lampiran 8.2.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur

P. Lutung ... 94 Lampiran 8.2.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara

P. Lutung ... 95 Lampiran 8.2.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan

P. Lutung ... 95 Lampiran 8.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Burung... 95 Lampiran 8.3.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari

P. Burung Secara Umum... 95 Lampiran 8.3.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat

P. Burung ... 95 Lampiran 8.3.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur

P. Burung ... 96 Lampiran 8.3.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara

P. Burung ... 96 Lampiran 8.3.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan

P. Burung ... 96 Lampiran 9. Foto Pulau-pulau... 97 Lampiran 9.1. Foto P. Kera... 97 Lampiran 9.2. Foto P. Lutung ... 97 Lampiran 9.3. Foto Pantai di Selatan P. Burung... 98


(24)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Belitung merupakan bagian dari wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung yang juga merupakan wilayah kepulauan yang memiliki luas wilayah daratan 4.800 km2, luas laut 29.606 km2, luas wilayah pesisir 1.900 km2, panjang garis pantai 195 km dan jumlah pulau kecil sebanyak 189 buah (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). Setelah mengalami pemekaran, Pulau Belitung dibagi menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Kabupaten Belitung secara administratif memiliki luas wilayah 2.293,69 km2 yang terdiri dari 98 buah pulau dan terbagi menjadi 5 kecamatan yang memiliki wilayah daratan utama dan pulau-pulau kecil di wilayah lautnya.

Kabupaten Belitung merupakan wilayah kepulauan yang secara geografis dikelilingi oleh laut dan selat dengan kondisi daerah pesisir berupa hamparan pasir putih, bebatuan granit dengan mozaik nan indah dan deburan air laut yang jernih dengan terumbu karang dan pulau-pulau kecil. Maka dari itu, objek wisata yang telah ada dan dikembangkan lebih mengarah ke objek wisata pantai seperti pantai Tanjung Tinggi, pantai Tanjung Kelayang, Tanjung Pendam dan sebagainya. Batuan granit dapat ditemukan di perairan dangkal dan di pematang pantai yang tersusun secara alami. Pematang pantai lama dan sekarang dengan lebar 100 – 300 meter dapat dimanfaatkan untuk pembangunan hotel dan pondok peristirahatan serta restoran. Di perairan laut Kabupaten Belitung ditemukan 76 jenis ikan hias yang mewakili 18 suku. Bagi turis yang menyenangi olahraga selam, disarankan untuk melihat taman laut di Pulau Lengkuas, Pulau Kepayang dan Pulau Kembung. Kedua hal diatas merupakan potensi yang sangat menarik bagi turis yang senang menikmati pemandangan bawah laut(PPRTKIM 1995).

Kecamatan Sijuk merupakan salah satu bagian yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Belitung yang memiliki 23 pulau yang dipisahkan oleh wilayah lautnya dari daratan utama. Kondisi pesisir Kecamatan Sijuk berupa hamparan pasir putih di sepanjang pantai diselingi bebatuan granit yang tersusun indah dan pemandangan matahari terbenam (sunset) di sore hari.


(25)

Pantai-pantai di Kecamatan Sijuk sudah sejak lama menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan domestik yang berasal dari berbagai daerah di Pulau Belitung. Jarak antara pulau-pulau yang terdapat di perairan Kecamatan Sijuk tersebut tidaklah berjauhan dari tempat wisata lainnya yang sudah umum seperti Tanjung Kelayang, Tanjung Tinggi dan Bukit Berahu, tetapi pulau-pulau tersebut dan perairannya belum dikembangkan menjadi objek wisata secara serius. Sampai saat ini objek wisata yang dikembangkan di Kecamatan Sijuk hanya sebatas wisata pantai saja dan belum ada pihak baik swasta maupun pemerintah yang tertarik untuk mengembangkan objek wisata bahari. Belum dikembangkannya objek wisata bahari di Kecamatan Sijuk antara lain disebabkan belum tersedianya data mengenai potensi terumbu karang dan ikan karang serta kondisi perairan di suatu wilayah yang spesifik untuk menjadi dasar penentuan bentuk wisata bahari yang akan dikembangkan. Peta master plan tentang etalase perikanan dan kelautan dalam BAPPEDA Kabupaten Belitung (2005) (Lampiran 1) memuat bahwa terdapat potensi terumbu karang di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk tersebut. Namun, belum diketahui jelas potensi terumbu karang yang dimaksud.

Pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang terdapat di ketiga pulau tersebut saat ini hanya sebatas tempat untuk mencari ikan bagi nelayan setempat. Potensi tersebut mungkin bisa lebih dimanfatkan semisal menjadi objek wisata bahari khususnya untuk aktivitas snorkeling dan selam. Sehingga dirasakan perlu adanya suatu penelitian untuk mengungkap potensi bahari di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung tersebut khususnya yang terdapat di ekosistem terumbu karang, sehingga bisa diketahui kondisi ekosistem terumbu karang berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang, jenis dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di ketiga pulau tersebut untuk kemudian dianalisis keseuaiannya untuk dijadikan suatu objek wisata bahari khususnya untuk aktivitas snorkeling dan selam. Dengan adanya data tentang kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di ketiga pulau tersebut, maka diharapkan akan dapat memberikan informasi dan masukan sebagai pertimbangan untuk membuat perencanaan pengembangan dan pengelolaan kawasan tersebut.


(26)

1.2. Rumusan Masalah

Ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung, yaitu :

1. Belum diketahui potensi dan kondisi ekosistem terumbu karang yang berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang dan bentuk pertumbuhannya, serta jenis ikan karang dan kelimpahannya yang terdapat di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung.

2. Belum diketahui seberapa besar kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari (snorkeling dan selam).

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui potensi di ekosistem terumbu karang yang berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang dan bentuk pertumbuhannya, serta jenis dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di perairan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung.

2. Menganalisis kesesuaian potensi ekosistem terumbu karang P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk pemanfaatan wisata bahari khususnya untuk snorkeling

dan selam.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini yaitu dapat diketahui persen penutupan terumbu karang, jenis terumbu karang dan bentuk pertumbuhannya serta jenis dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung di Kecamatan Sijuk sehingga diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk pembuatan perencanaan pengembangan wilayah tersebut khususnya untuk pengembangan wisata bahari untuk snorkeling dan selam.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Inventarisasi menurut P3B Depdikbud (1989) yaitu pencatatan atau pendaftaran barang-barang milik atau pengumpulan data. Potensi yaitu kekuatan, kemampuan, kesanggupan, kekuasaan, kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan atau sesuatu yang dapat menjadi aktual. Menurut Nybakken (1988), terumbu karang adalah endapan - endapan masif yang penting dari kalsium karbonat terutama dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa inventarisasi potensi ekosistem terumbu karang untuk wisata bahari yaitu mencatat atau mengumpulkan data berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang, jumlah bentuk pertumbuhan, jenis dan kelimpahan ikan karang serta kondisi perairan yang terdapat di suatu ekosistem terumbu karang yang bisa menjadi dasar untuk mengetahui seberapa besar kesesuaian dan kemungkinan suatu wilayah untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari.

2.1. Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam di dunia. Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan sumber keuntungan ekonomi yang besar dari perikanan dan pariwisata, ekosistem terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu, karang memegang fungsi penting di negara - negara berkembang, khususnya di negara-negara kepulauan berkembang (Westamacott et al. 2000). Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa salah satu fungsi ekosistem terumbu karang yaitu sebagai penyedia kesempatan atau peluang untuk rekreasi, dan salah satu manfaat terumbu karang yang berkelanjutan yaitu sebagai wisata bahari yaitu wisata yang berorientasi cahaya matahari, laut dan pasir, snorkeling dan selam SCUBA merupakan daya tarik utama di banyak pulau di daerah tropis. Ironisnya, ekosistem terumbu karang di Indonesia, walaupun sangat penting untuk makanan dan penerimaan devisa dari pariwisata dan perikanan lepas pantai yang berasosiasi dengan karang, tidak dikelola dengan baik, sehingga hasilnya adalah terjadi


(28)

degradasi secara cepat. Dahuri et al. (2004) menyatakan bahwa daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir dan sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan, burung dan hewan-hewan lain. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa andalan utama kegiatan wisata bahari yang banyak diminati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi.

2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang

Kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisir, seperti kebersihan, keunikan dan keindahan di lingkungan pantai, baik untuk dimanfaatkan maupun dinikmati oleh wisatawan. Andalan utama kegiatan wisata bahari yang banyak dinikmati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi (Supriharyono 2000). Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik pastinya harus didukung oleh kondisi perairan yang baik pula. Adapun parameter-parameter fisika dan kimia yang mempengaruhi kehidupan terumbu karang yaitu :

¾ Cahaya

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang, dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan

berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15 - 20 % dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air (Veron 1995). Keadaan awan di suatu tempat mempengaruhi pencahayaan pada waktu siang hari, kondisi ini


(29)

mempengaruhi pertumbuhan karang (Goreau dan Goreau 1959 dalam Supriharyono 2000).

Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada kedalaman yang cukup dalam (Supriharyono 2000). Efek yang mungkin dari ketersediaan sinar pada kedalaman dan distribusi lintang dari karang sepertinya kecil dibandingkan dengan kecerahan perairan, temperatur, pertumbuhan musiman dari makroalga, cahaya spesifik yang dibutuhkan oleh Zooxanthellae dan mekanisme dari adaptasi terhadap cahaya. Karang umumnya terdapat pada perairan yang jernih sampai kedalaman 30 m dan kadang-kadang lebih dari 40 m dimana tersedia substrat horizontal yang cocok (Veron 1995). Menurut Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000), secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m.

¾ Suhu

Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang. Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 22 - 29 oC. Batas maksimum dan minimum suhu berkisar antara 16 - 17 oC dan sekitar 36 oC (Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2000). Veron 1995 menyatakan bahwa temperatur minimal untuk karang adalah 18 oC, terus-menerus dalam periode waktu yang berlarut - larut telah diketahui sebagai temperatur minimum permukaan laut dimana fungsional karang-karang secara normal terekspos. Sangat sedikit karang berZooxanthellae

yang diketahui dapat mentoleransi suhu di bawah 11 oC. Jokiel dan Coles (1977), Glynn (1984), Hoegh-Guldberg dan Smith dalam Veron (1995) menyatakan bahwa nilai pembatas dari temperatur tinggi dari pentingnya ekologi adalah mencapai maksimal 30 - 34 oC. Nilai maksimun ini bervariasi secara geografi dan waktu penyinaran, dimana toleransi lebih dari 2 oC lebih tinggi di daerah-daerah tropis dari pada di daerah temperate (Coles et al. 1976, Coles dan Jokiel 1977 dalam Veron 1995). Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap binatang karang lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrem, yaitu suhu maksimum atau minimum saja, namun lebih


(30)

karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level). Menurut Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) dalam Supriharyono (2000), perubahan suhu secara mendadak sekitar 4 – 6 oC di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikan.

Suhu di perairan Kabupaten Belitung, pada bulan oktober 2005 secara keseluruhan berkisar antara 28,93 – 29,37 oC dengan rata-rata 29,12 oC. Nilai suhu pada lapisan permukaan (0 m), 5 m, dan 10 m masing-masing berkisar antara 28,97 – 29,37 oC dengan rata-rata 29,15 ºC; 28,97 - 29,25 ºC dengan rata-rata 29,13 ºC dan 28,93 - 29,18 ºC dengan rata-rata 29,06 ºC. Nilai rata-rata suhu di perairan Kabupaten Belitung yaitu 29,12 ºC (BAPPEDA Provinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).

¾ Salinitas

Binatang karang hidup pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36 ‰ (Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2000). Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam seperti run-off, badai dan hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,5 - 52,5 ‰ (Vaughan 1919, Wells 1932 dalam Supriharyono 2000). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan diatas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara, Jawa Tengah salinitas nol permil (0 ‰) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air tawar sungai (Supriharyono 2000).

Salinitas di perairan Belitung Barat pada Oktober 2005 berkisar antara 32,62 – 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,04 ‰. Nilai salinitas yang terendah (32,62 ‰) diperoleh di Stasiun 1 pada lapisan permukaan (0 m) dan tertinggi (33,32 ‰) di Stasiun 4 pada kedalaman 10 m. Nilai salinitas di perairan Belitung Barat pada lapisan permukaan (0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 32,62 – 33,26 ‰ dengan rata-rata 33,01 ‰; 32,62 – 33,29 ‰ dengan rata-rata 33,02 ‰ dan 33,00 – 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,11 ‰. Nilai rata-rata salinitas yaitu 33,04 ‰ lebih tinggi bila dibandingkan dengan di perairan Belitung Barat bulan Juni 2005 (31,37 ‰) (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI


(31)

Tanjungpandan 2005). Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000) mengatakan bahwa daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai contoh, Acropora dapat bertahan pada salinitas 40 ‰ hanya bertahan beberpa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan sampai salinitas 48 ‰.

¾ Sedimentasi

Hubbard dan Pocock (1972), Bak dan Elgershuizen (1976), Bak (1978) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimen dapat langsung mematikan binatang karang, yaitu apabila sediment tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip. Pengaruh tidak langsung dari sedimentasi adalah menurunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk fotosintesis Zooxanthellae dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang untuk untuk menghalau sediment tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 1986 dalam Supriharyono 2000). Perairan yang sedimentasinya tinggi atau keruh memiliki keanekaragaman karang dan tutupan karang hidup cenderung rendah. Loya (1976a) dalam Supriharyono (2000) menyatakan pada perairan Puerto Rico yang sedimentasinya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3,0 - 15,0 mg/cm2/hari, keanekaragaman dan tutupan karang hidupnya relatif rendah dibandingkan dengan di daerah yang lebih jernih. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimentasi dapat disebabkan oleh pembangunan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktivitas pertanian dapat membebaskan sediment ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Laju sedimentasi biasanya bervariasi dari rendah ke tinggi, tergantung besar kecilnya dan kontinuitas aktivitas diatas serta musim. Suatu daerah yang tidak banyak menerima limpahan sediment dari sungai, seperti di daerah kepulauan, laju sedimentasinya cenderung rendah. Terkecuali ada aktivitas yang merangsang terbentuknya sediment, seperti pengerukan, pengeboman, badai dan sebagainya. Namun apabila perairan karang tersebut lokasinya berdekatan dengan muara sungai, yang pengelolaan lahan di atasnya buruk biasanya laju sedimentasinya tinggi, terutama di musim penghujan. Pomeroy et al. (1965) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa di daerah tropis ada kecenderungan bahwa sediment mengadopsi unsur-unsur hara


(32)

tanah. Hal ini menyebabkan perairan yang keruh oleh sediment menjadi subur, dan kondisi ini sering menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang. Walker dan Ormond (1982) dalam Supriharyono (2000) melaporkan bahwa adanya unsur-unsur hara yang terkontaminasi pada sediment di perairan karang Aqaba, Red Sea, menyebabkan pertumbuhan makro alga, terutama Ulva lactuca

dan Enteromorpha clathrata. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman karang di perairan tersebut turun. Menurut Supriharyono (2000) unsur hara yang terikat pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga Ulva reticulata

seperti yang terjadi di Pantai Bandengan Jepara. Makro alga tersebut mulai tumbuh pesat pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sediment yang cukup tinggi dari perairan sungai di sekitarnya. Makro alga ini umumnya menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat seperti

Acropora sp dan Montipora digitata.

Kadar zat hara (fosfat, nitrat, nitrit, ammonia dan silikat) di perairan Belitung secara umum relatif tinggi, hal ini sangat dipengaruhi sumbangan limbah organik dari daratan serta proses pasang surut dengan terjadinya pengadukan masa air laut yang mengakibatkan naiknya zat-zat hara dari dasar perairan ke permukaan. Bila ditinjau dari kadar fosfat dan nitrat yang merupakan salah satu indikator kesuburan, maka perairan kabupaten Belitung masih baik untuk budidaya perikanan (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).

¾ pH

Nilai pH suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor, seperti aktivitas fotosintetis, terdapatnya anion dan kation serta suhu. Batas toleransi organisme akuatik terhadap nilai pH bervariasi tergantung pada suhu air laut, konsentrasi oksigen terlarut dan adanya anion dan kation (PESCOD 1978 dalam BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). pH dalam air laut relatif stabil dan biasanya berada dalam kisaran 7,5 – 8,4. Perairan yang produktif dan ideal bagi kehidupan biota akuatik adalah yang pH-nya berkisar antara 6,5 – 8,5. Batasan nilai pH yang diizinkan berkisar antara 7 – 8,5 (KLH 2004). Secara keseluruhan nilai pH di perairan Belitung, Oktober 2005 berkisar antara 8,02 – 8,24 dengan rata-rata 8,11. Nilai pH di perairan Belitung pada lapisan permukaan


(33)

(0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 8,02 – 8,17 dengan rata-rata 8,08; 8,04 – 8,21 dengan rata-rata 8,11 dan 8,08 – 8,24 dengan rata-rata 8,15. Nilai rata-rata pH tersebut (8,11 ‰) lebih rendah bila dibandingkan dengan di perairan Belitung Barat bulan Juni 2005 (8,17) (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).

¾ Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan berperan penting dalam pernafasan biota laut. Permasalahan akan timbul bilamana konsentrasi okaigen tersebut berubah sampai batas di luar batas angka normal dalam suatu perairan. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air laut bervariasi, di laut lepas bisa mencapai 7 ml/l sedangkan di wilayah pesisir konsentrasinya akan semakin berkurang. Dalam air laut permukaan konsentrasinya dipengaruhi oleh temperatur, semakin tinggi temperatur maka kelarutan gas akan semakin rendah. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut ini biasanya disebabkan oleh terjadinya perubahan kualitas perairan sebagai akibat banyaknya limbah yang kaya akan karbon organik mengalir ke dalam perairan. Besarnya konsentrasi oksigen terlarut di air laut yang memenuhi syarat untuk wisata bahari menurut KLH no. 51 tahun 2004 adalah sebesar >5 mg/l. Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di perairan Belitung, bulan Oktober 2005 berkisar antara 3,91 – 4,65 ml/l dengan rata-rata 4,18 ml/l. Kadar oksigen terlarut di perairan Belitung pada lapisan permukaan (0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 4,01 – 4,65 ml/l dengan rata-rata 4,33 ml/l; 4,06 – 4,48 ml/l dengan rata-rata 4,19 ml/l dan 3,91 – 4,19 ml/l dengan rata-rata 4,02 ml/l (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).

2.3. Komunitas Ikan Karang

Laut di daerah ekuatorial memiliki kondisi fisika-kimia yang sangat konstan sepanjang waktu di daerah karang. Peningkatan daerah permukaan dari dasar dan celah-celah dan gua-gua yang tak terhingga jumlahnya menyediakan tempat untuk bersembunyi untuk bermacam-macam invertebrata yang merupakan makanan dari ikan-ikan. Keberagaman, kelimpahan dan biomasa ikan meningkat dengan semakin kompleksnya habitat (Lowe-McConnel 1987). Warna ikan adalah yang


(34)

dilihat pertama dan yang paling diingat oleh penyelam-penyelam baru. Jika ikan-ikan karang tidak memiliki tanda corak dan pola yang sangat luar biasa cemerlang dan variasinya, hal tersebut tidak mungkin terjadi bahwa perjalanan pertama dengan masker dan snorkel di atas karang akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan, satu ingatan yang menarik kita lagi dan lagi ke perairan tropis. menyaksikan warna-warna indah dari mahluk yang bergerak cepat dengan tiba-tiba dan bercahaya cukup dapat dikatakan sebagai aktivitas yang sangat menarik (Wilson dan James 1985). Supriharyono (2000) menambahkan bahwa ikan-ikan karang biasanya mempunyai warna yang sangat indah, selain itu bentuknya sering unik, memberikan kesan tersendiri kepada wisatawan.

Komunitas ikan di P. Burung dan P. Kelayang dalam kondisi baik, terlihat dati tingginya nilai E (indeks keseragaman) dan rendahnya C (indeks dominansi). Ditemukan 11 genus ikan di pulau Kelayang, nilai H’ (indeks keanekaragaman) untuk masing-masing pulau tergolong sedang. Diperkirakan bahwa lebih banyaknya genus ikan yang ditemukan di Pulau Kelayang disebabkan oleh kondisi habitat dasar atau penutupan karang yang lebih luas, karena meliputi 2 strata kedalaman (3 dan 6 m). Genus ikan yang paling umum dijumpai di setiap perairan Kecamatan Sijuk adalah Amblyglyphidodon, Amphiprion dan Pomacentrus. Ketiga genus tersebut merupakan kelompok ikan mayor utama yang berasal dari satu famili yaitu Pomacentridae (betok laut). Hanya tiga genus ikan yang termasuk kelompok target, satu genus (Chaetodon) termasuk kelompok ikan indikator dan sisanya adalah ikan mayor utama (Tim Expedisi Zooxanthellae VII FDC-IPB 2002).

Nybakken (1988) menyatakan bahwa ikan karang merupakan organisme yang sering dijumpai di ekosistem terumbu karang. Keberadaan mereka telah menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem yang paling banyak dihuni biota air. Ikan-ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu pada habitat yang disukai yaitu daerah yang banyak menyediakan makanan. Ikan-ikan karang ini memanfaatkan bentuk-bentuk terumbu karang untuk mempertahankan diri. Keberadaan ikan karang di perairan sangat tergantung pada kesehatan terumbu yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Hal ini dimungkinkan karena ikan karang hidup berasosiasi dengan bentuk dan jenis terumbu sebagai


(35)

tempat tinggal, perlindungan dan tempat mencari makan. Ikan karang secara relatif menetap hampir di seluruh hidup mereka. Sale (1978b) dalam Sale (1991) menyatakan bahwa ikan karang kecil (panjang kurang dari 30 cm) berbeda-beda dalam tingkat pergerakan, merupakan hal yang benar bahwa ikan-ikan karang lebih menetap dibandingkan dengan vertebrata lain yang seukuran. Alasan yang mendukung hal tersebut adalah ikan karang hidup di lingkungan yang sangat berstruktur yang dibuat oleh arsitektur yang kompleks dari karang-karang, dan lingkungan yang berbeda-beda dalam struktur dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam skala meter.

Sale (1991) menyatakan bahwa Struktur karang yang kompleks menyediakan habitat fisik dan tempat berlindung yang mengakomodasi banyak ukuran kelas dan khususnya individu yang kecil dari invertebrata. Banyak spesies ikan yang mengambil hewan invertebrata yang khas di koloni karang, tumpukan patahan karang dan turf alga. Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas ikan karang. Faktor yang pertama yaitu keberadaan karang hidup. Karang mati menyebabkan penurunan secara nyata jumlah spesies ikan dan individu-individu yang berasosiasi dengan terumbu. Terdapat tiga bentuk interaksi antara ikan dan karang, yaitu: Pertama, ada interaksi langsung antara struktur karang dan tempat berlindung, yang paling nyata pada ikan-ikan kecil. Kedua, adanya interaksi memakan yang layak melibatkan ikan-ikan karang dan biota-biota sesil, termasuk alga. Ketiga, adanya peranan dari struktur karang dan pola memakan dari pemakan plankton dan karnivor yang berasosisasi dengan karang.

Goldman dan Talbot (1976) dalam Wilson dan James (1985) menyatakan bahwa secara keseluruhan di perairan karang di Pulau One Tree (Great Barrier Reef) biomasa ikan karnivor menguasai 3,4 kali ikan grazer, tetapi ikan karnivor tersebut juga biasa memakan invertebrate pada tingkat tropik ke-2 dan ke-3. biomasa di bagian leeward slope terdiri dari 4 kategori tropik kira-kira dalam jumlah yang sama, di laguna karang biomasa utama adalah pemakan invertebrata dasar dan grazer, dan di windward slope dan transisi ke dasar yang tidak berkarang biomasa yang utama adalah piscivores. Picivores ini akan tetapi, termasuk banyak spesies karnivor yang beristirahat di sana siang hari tetapi pergi


(36)

mencari makan pada malam hari, sehingga tidak ada contoh yang akurat dari jumlah ikan yang tersedia disokong oleh zona-zona tersebut.

2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang

2.4.1. Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam

Diantara pergantian abad dan tahun 1962, 200 angin topan dan lebih dari 200 bencana besar badai tropis melanda Carribean, atau sekitar enam setengah badai setahun. Kenyataannya, habitat yang lebih dangkal yang paling terkena dampak, kemiringan yang dalam, terutama sekali sekitar dibawah 16 kaki adalah lingkungan yang paling stabil. Meskipun tidak ada badai yang memukul setiap karang, aksi gelombang yang keras merobohkan karang dan melukai ikan-ikan. Mungkin dampak merusak yang lebih serius daripada kerasnya badai secara langsung adalah perubahan yang lama dari suhu perairan dan tingkat salinitas. Suhu perairan di beberapa wilayah karang di Pasifik meningkat menjadi setinggi 31 oC, diatas tingkat toleransi karang, menjadikan penurunan yang cepat dari beberapa karang selama musim panas tahun 1983 (Wilson dan James 1985). Peledakan populasi dari bintang laut mahkota duri pemakan karang yang tidak dapat dijelaskan, setiapnya mampu melahap sekitar 2 kaki2 karang per hari berbaris sepanjang hamparan karang, memperingatkan peneliti laut di mana-mana. Tidak seperti badai, yang hanya merusak daerah yang lebih dangkal, bintang laut mahkota duri bisa mencapai area yang dalam dan merusak pada banyak kedalaman. Para peneliti tidak yakin mengapa penjangkitan bermula atau mengapa itu berakhir, tetapi banyak yang berpikir bahwa itu bukan merupakan penyakit yang parah yang paling ditakuti (Wilson dan James 1985). Memperparah dampak badai, karang di beberapa tempat kadang-kadang rusak karena surut yang tidak biasa yang mengekspos karang ke udara dan mengeringkan mereka. Di Teluk Elat, Laut Merah, surut yang tidak diharapkan pada tahun 1970 membunuh sekitar 80 sampai 90 persen terumbu karang di daerah yang datar.


(37)

2.4.2. Kerusakan Terumbu Karang Akibat Aktivitas Manusia 2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata

Ancaman terhadap terumbu karang dari wisata bahari tidak hanya berhubungan dengan campur tangan manusia dengan biota yang sensitif, tetapi termasuk aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan konstruksi-konstruksi dan pembangunan di daratan. Wisata telah melibatkan degradasi dari banyak daerah terumbu karang, terutama di Asia Tenggara. Pengembangan pariwisata pada coral cays dan dampaknya terhadap terumbu karang sekitar menjadi masalah yang serius. Hal tersebut perlu diketahui bahwa coral cays yang terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari karang itu sendiri adalah fitur morfologi yang sangat dinamis yang berubah setiap pasang surut. Untuk mencegah proses erosi, pengembang membuat pelindung garis pantai dengan cara menghancurkan memindahkan terumbu karang yang mengelilingi pulau. Kegiatan ini tidak hanya menghancurkan terumbu karang itu sendiri, yang merupakan daya tarik wisatawan, tetapi juga mempercepat proses erosi pantai (Tomascik et al. 1997).

Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata terhadap ekosistem terumbu karang menurut (Tomascik et al. 1997) yaitu :

• Kerusakan fisik secara langsung terhadap terumbu karang dan perbatasan garis pantai karena kegiatan konstruksi dan pengumpulan karang untuk konstruksi tersebut.

• Peningkatan pemasukkan sedimen-sedimen dari kegiatan di daratan.

• Peningkatan pemasukkan sedimen-sedimen dari kegiatan-kegiatan di laut.

• Peningkatan pemasukkan aliran permukaan air tawar, nutrien-nutrien dan polutan-polutan yang lain dari pembersihan daratan, lapangan parkir, lapangan golf, jalan-jalan, bandara, dll.

• Pemasukan bahan kimia beracun.

• Peningkatan masukan nutrien dari pembuangan limbah cair.

• Pemasukan polutan-polutan seperti gas, minyak, knalpot perahu, bahan-bahan

antifouling, pestisida, dll.

• Pemasukan minyak-minyak dan minyak dari aktivitas mandi (minyak untuk berjemur dan losion pelembab) di daerah yang memiliki pola sirkulasi terbatas.


(38)

• Perubahan pola sirkulasi karena pekerjaan pembangunan pantai (penghancuran karang, pengeboran, tempat berlabuh kapal/dok, pemecah gelombang, dll)

• Pengambilan karang dan kerang untuk souvenir.

• Perusakan fisik secara langsung karena aktivitas rekreasi seperti berjalan di atas karang dan pembangunan galangan kapal.

2.4.2.2 Karena kegiatan non-pariwisata

Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa aktivitas manusia yang berdampak negatif terhadap kondisi terumbu karang yaitu:

• Polusi minyak karena penambangan lepas pantai dan kapal minyak, menyebabkan degradasi terhadap karang dan organisme yang hidup di terumbu karang. Selain itu, petroleum hydrocarbon (PHC) mengganggu pertumbuhan karang, reproduksi, kemampuan mengkolonisasi, makan dan respon tingkah laku.

• Sedimentasi dari penggalian, penambalan dan kegiatan konstruksi di pantai. Sediment yang terlalu banyak mungkin berdampak merugikan fungsi dan struktur komunitas terumbu karang melalui perubahan proses fisika, kimia dan biologi. Sediment meningkatkan kekeruhan pada kolom perairan yang mengurangi penetrasi cahaya dan fotosintesis Zooxanthellae, hal tersebut secara langsung berdampak pada produktivitas bersih dari karang. Sedimentasi juga menyebabkan penutupan terhadap karang dan organisme bentik lainnya. Sedimentasi yang tinggi berhubungan dengan penutupan karang hidup yang rendah, mengurangi recruitment karang baru dan pertumbuhan karang yang rendah. Sedimentasi juga mengurangi pertumbuhan dan reproduksi karang.

• Sedimentasi yang dihasilkan oleh tambang (tailing) dari kegiatan penambangan di pantai memproduksi efek toksik secara langsung, menyebabkan peningkatan kekeruhan dan mengurangi fotosintesisi

Zooxanthellae dan penutupan biota-biota bentik secara langsung.

• Erosi tanah dari daratan seperti perkebunan, penebangan hutan, jalan-jalan, pembangunan industri dan pemukiman menghasilkan peningkatan kekeruhan


(39)

dan sedimentasi, pemasukkan pestisida dan biosida yang lain, pemasukkan nutrien-nutiren.

• Pembuangan dari limbah industri, termasuk bahan-bahan dari desalinasi tanaman menyebabkan degradasi biologi secara umum melalui pemasukan biosida dan zat beracun yang lain serta perubahan kondisi alami lingkungan.

• Pembuangan limbah cair menyebabkan eutropikasi melalui kelebihan pemasukan nutrien. Interfensi dan perubahan proses ekologi alam pada terumbu karang. Limbah cair yang mengandung klorin mungkin menyebabkan biota laut terekspos ringan sampai bahkan kronis akut. Klorin dalam limbah cair mungkin memproduksi keracunan kronis dan akut.

• Pembuangan dari proses perikanan dan pertanian meningkatkan eutropikasi, pemasukan sediment dan biosida, pemasukan hama dan organisme penyebab penyakit.

• Kegiatan perikanan yang merusak seperti menggunakan dinamit, trawl di atas karang, muroami, penggunaan bahan kimia/racun dan over-fishing

menyebabkan perusakan habitat secara umum, deplesi stok dan spesies.

• pengumpulan ikan-ikan untuk akuarium menggunakan racun dan teknik lain yang tidak sesuai menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan dalam keseimbangan ekosistem.

• Kegiatan konstruksi di karang menyebabkan kerusakan habitat.

• Pelepasan bahan kimia beracun dari daratan dan kapal menyebabkan kerusakan habitat.

• Resuspensi sedimen laut oleh kendaraan laut dengan daya muat yang dalam menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologi.

• Pembuangan sampah padat (becak, tas plastik dll) menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologis.

• Penambangan karang dan pengumpulan pasir menyebabkan perusakan habitat, perubahan keseimbangan ekologi, deplesi stok dan spesies.

• Pembuangan air tawar menyebabkan perusakan habitat dan kematian organisme karang atau tekanan fisiologi yang berat.

• Pembuangan air ballast menyebabkan efek toksik secara langsung dan pemasukan organisme hama.


(40)

Yosephine dan Suharsono (1995) dalam Tomascik dkk. (1997), menyatakan bahwa keragaman karang dan penutupan karang di Pulau Kotok Besar telah menurun secara drastis sejak tahun 1985, sementara bahan-bahan dari pantai yang terapung-apung dan sampah dari daratan utama Jawa juga masyarakat setempat telah meningkat 10 kali.

2.5. Pariwisata Bahari

Agenda 21 (1992) dalam Aryanto (2003) mengartikan pariwisata sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain. Pariwisata di Indonesia menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya. Dalam usaha pengembangannya, Indonesia wajib memperhatikan dampak-dampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah sektor ekowisata dan pariwisata alternatif yang oleh Eadington dan Smith (1995) dalam Aryanto (2003) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya. Lindberg dan Hawkins (1993) menyatakan bahwa ekowisata adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial yang menggabungkan suatu komitmen yang kuat terhadap alam dan suatu rasa tanggungjawab sosial untuk menciptakan dan memuaskan keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan. Nugroho (2004) mendefinisikan ekoturisme adalah kegiatan perjalan wisata yang dikemas secara professional, terlatih dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor/usaha ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Aryanto (2003) mengemukakan wisata pesisir dan bahari adalah bagian dari wisata lingkungan (ekoturisme). Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Negara Lingkungan hidup dan mantan Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan dalam


(41)

Aryanto (2003) berpendapat; selain sebagai bagian dari ekowisata, wisata pesisir dan bahari merupakan industri yang menjanjikan. Lebih lanjut wisata bahari ini merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan dan terjadi di lokasi atau kawasan yang didominasi perairan dan kelautan. Daya tarik itu mencakup perjalanan dengan moda laut; kekayaan alam bahari serta peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan di laut dan di pantai, seperti misalnya lomba memancing, selancar, menyelam, lomba layar, olah raga pantai, dayung, upacara adat yang dilakukan di laut. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir dan bahari. Wisata bahari dalam PPRTKIM (1995) merupakan kumpulan dari segala bentuk wisata yang berhubungan dengan laut, mulai dari wisata di pesisir pantai, wisata di permukaan laut (berenang, snorkeling, berlayar, berselancar dan sebagainya) bahkan sampai wisata di dasar laut (selam, selam SCUBA). Agar dapat dinikmati, wisata bahari ini harus mempunyai tiga unsur pendukung, yaitu: objek, paket dan sarana wisata. Objek adalah tempat atau lokasi dimana keindahan alam dapat dinikmati. Paket wisata yaitu aktivitas-aktivitas seperti memancing, snorkeling, selam, parasailing. Sedangkan sarana yaitu kapal dll. Dibandingkan dengan wisata lain, wisata bahari mempunyai sifat spesifik, karena untuk dapat menikmatinya para wisatawan harus mempunyai persiapan khusus sebelumnya. Persiapan tersebut misalnya, untuk dapat melakukan selam SCUBA maka wisatawan harus mengikuti kursus atau pelatihan terlebih dahulu

Menurut Spriharyono (2000), Daerah pantai yang mempunyai ekosistem terumbu karang, hewan-hewan laut yang beraneka ragam dan pantai pasir putih secara alamiah akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Namun pengembangan pariwisata bahari di suatu tempat apabila aktivitas wisatawannya tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah bagi daerah tersebut, seperti turunnya keanekaragaman hayati. Pemanfaatan suatu daerah konservasi untuk tujuan wisata yang dikelola oleh agen-agen pariwisata biasanya terlalu mementingkan keuntungandaripada harapan konservasi, yaitu pelestarian sumberdaya alam. Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka pelestarian sumberdaya alam laut, maka saat ini banyak dikembangkan konsep “Jumlah rendah tapi nilai tinggi”. Jumlah kunjungan wisata dibatasi, tidak perlu banyak akan tetapi kualitas wisatawan yang berkunjung diharapkan tinggi baik dari segi


(42)

keuangan maupun kepedulian terhadap lingkungan. Dengan kata lain konsep kunjungan wisata tersebut lebih diarahkan ke ekowisata laut daripada wisata massa. Walaupun konsep tersebut cenderung deskriminatif, hanya untuk orang kaya dan pendidikan tinggi saja yang menikmati kawasan konservasi, sedangkan masyarakat biasa cukup di lokasi wisata di luar kawasan konservasi, tetapi pelestarian alam diharapkan menjadi lebih terjaga.

Agenda 21 (1992) dalam Nugroho (2004) menyatakan pengembangan program-program wisata di masa yang akan datang dipandu oleh prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Alam, sejarah, budaya dan sumberdaya lain untuk wisata dilestarikan untuk penggunaan yang berkelanjutan di masa yang akan datang, walaupun masih mendatangkan keuntungan untuk komunitas sekarang ini.

b. Pengembangan wisata direncanakan dan diatur sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah lingkungan dan sosial budaya yang serius di daerah wisata. c. Kualitas lingkungan di daerah wisata dijaga dan diperbaiki sesuai kebutuhan. d. Kepuasan turis pada tingkatan yang tinggi dijaga sehingga tempat tujuan

wisata dapat mempertahankan kemampuan pasar dan kepopuleran. e. Keuntungan dari wisata disebar luaskan kepada masyarakat.

2.6. Aspek Sosial Ekoturisme

Nugroho (2004) menjelaskan bahwa aspek sosial menyajikan peran yang penting dalam mendukung kinerja sektor ekoturisme. Aspek sosial bukan hanya mengidentifikasikan pemangku kepentingan tetapi juga mengorganisasikannya sehingga menghasilkan manfaat (dan insentif ekonomi) yang optimal bagi masing-masing pemangku kepentingan. Stakeholder dalam ekoturisme meliputi siapapun yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sektor ekoturisme. Mereka adalah penduduk lokal, pemerintah, kelompok masyarakat nirlaba (LSM atau yang sejenis), sektor swasta dan wisatawan. Sektor ekoturisme mempertemukan dua atau lebih kultur yang berbeda. Wisatawan memperoleh pengalaman berharga dari kultur lokal, sementara penduduk lokal memainkan proses edukasi perihal lingkungan spesifik lokal dan mendapatkan penghasilan. Sinergi tersebut harus dapat dipelihara dengan dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi


(43)

beroperasinya sektor swasta dan bantuan dari kelompok nirlaba. Dalam jangka panjang, pariwisata bergantung pada kualitas dari lingkungan. Tentu saja, kualitas dari lingkungan tersebut atau beberapa bagian dari lingkungan adalah seringkali merupakan daya tarik utama dari wisatawan. Sekarang ini, semua jenis wisatawan menjadi lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan yang terpolusi atau terdegradasi pada tujuan perjalanan mereka. Hal tersebut terjadi di beberapa tempat, jumlah wisatawan menurun karena masalah lingkungan. Penurunan dalam pariwisata tidaklah selalu disebabkan oleh wisata itu sendiri. Agaknya, itu adalah pola dari pertumbuhan industri, eksploitasi sumberdaya alam dan konsumsi, secara singkat, pembangunan yang tidak berkelanjutan yang mencirikan masyarakat zaman sekarang yang harus disalahkan (Ceballos-Lascurian 1996).

Masyarakat yang tinggal sekitar atau di dekat daerah perlindungan seringkali dilupakan dalam pariwisata, pembangunan dan manajemen. Kadang-kadang hal ini karena mereka tersebar dan terisolasi membuat komunikasi menjadi sulit. Dalam waktu yang lain pengembang yang menghindari meluangkan waktu dan usaha untuk menginformasikan kepada masyarakat lokal akan rencana pengembangan pariwisata tertentu, atau mencoba untuk mengesampingkan mereka untuk menghilangkan mereka dari keuntungan ekonomi yang diharapkan. Akan tetapi, kebutuhan akan masyarakat lokal harus diperhitungkan secra penuh, terutama sekali sejak mereka sering tergantung pada sumberdaya alam yang menarik perhatian turis pada daerah tersebut. Proses perencanaan harus memprakarsai pembangunan dari mekanisme yang menjamin bahwa masyarakat lokal harus menerima pembagian keuntungan dari pengembangan pariwisata. Tetapi yang paling utama, masyarakat lokal dirundingkan dalam hal tingkat dari pengembangan pariwisata yang mereka pikirkan adalah tepat dalam lingkungan mereka sekarang ini dan di daerah tersebut secara keseluruhan. Jika keterlibatan mereka tidak diminta, tentu saja ekoturisme akan mustahil (Ceballos-Lascurian 1996).

Nugroho (2004) menguraikan peran masing-masing pemangku kepentingan di dalam ekoturisme sebagai berikut :

1. Pemerintah. Pemerintah memiliki peran strategis mengembangkan kebijakan sektor ekoturisme dan penunjangnya. Output dapat berupa kebijakan fiskal


(44)

meliputi perpajakan (dan tarif), infestasi dalam prasarana infrastruktur, dukungan aspek keamanan atau peningkatan profesional aparat pemerintah. 2. Sektor swasta. Sektor swasta adalah pemangku kepentingan yang

mengoperasikan usaha ekoturisme. Sektor swasta menyediakan berbagai fasilitas dan akomodasi, informasi, produk wisata, tujuan wisata dan kualitas pelayanan, dengan tujuan agar menarik wisatawan dan memberikan kepuasan dan pengalaman yang berharga.

3. Pengunjung atau wisatawan. Pengunjung merupakan indikator terpenting keberhasilan pembangunan ekoturisme. Pengunjung dari luar daerah dapat menginjeksi aliran ekonomi lokal dan diharapkan dapat memberikan insentif bagi pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

4. Penduduk lokal. Penduduk lokal berperan sebagai subjek dan objek dalam pengembangan ekoturisme. Mereka perlu diberikan kesempatan aktif mengolah dan menjual produk wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan. Juga tidak ada salahnya, kerangka berfikir penduduk lokal digunakan untuk saran kebijakan.

5. Lembaga masyarakat. Lembaga domestik maupun internasional khususnya yang profesional, sama-sama berfungsi dalam memfasilitasi semua kepentingan pemangku kepentingan seperti memberikan fungsi politis untuk mengangkat isyu-isyu kemiskinan, ketidakadilan dan dampak kerusakan lingkungan agar diperbaiki keadannya.

2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata

Wisatawan mungkin bereaksi dengan banyak cara terhadap pemutihan dan terumbu karang yang rusak. Jika mereka menyadari pemutihan (dari media, mulut ke mulut, atau sumber informasi lain), mereka mungkin memilih untuk tidak mengunjungi daerah yang terpengaruh, hal mana yang menyebabkan penderitaan industri pariwisata di semua tingkat. Beberapa akan mengunjungi sekali dan tidak akan pernah datang lagi seperti yang sebelumnya. Mereka yang awam dengan olaraga selam dan snorkeling mungkin tidak menyadari permasalahan tersebut. Orang-orang ini dan yang tidak tertarik pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan terumbu karang, mungkin tetap mengunjungi daerah yang rusak tersebut.


(45)

Kemungkinan lainnya adalah wisatawan tetap mengunjungi daerah tersebut tetapi mereka tidak mengunjungi terumbu karang, sehingga dalam kasus ini industri selam dan snorkeling akan menderita. Kurang dari 5 % dari penyelam dan

snorkeller di Zanzibar dan Mombasa yang diwawancarai berkata bahwa mereka tidak mau menyelam ataupun snorkeling karena pemutihan. Di Maldiva, 48 % turis yang diwawancarai berkata bahwa hal yang paling mengecewakan dari liburan mereka adalah karang yang mati. Akan tetapi, kedatangan turis naik berkesinambungan sebesar 8 % selama 1998 dan 1999, dengan 7 % selama 1996 dan 1997. kedatangan wisatawan yang terus meningkat ini sebagiannya adalah jenis wisatawan lain pengganti penyelam (Westamacott et al. 2000).


(46)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka-Belitung. Wilayah yang diteliti mencakup P. Lutung, P. Kera dan P. Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga (Gambar 1). Pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan, pengambilan data primer dan sekunder serta analisa data. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Maret 2006 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan data. Pengambilan data ke lapangan dilaksanakan pada bulan April 2006.

3.2. Metode Pengambilan Sampel 3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan

Terdapat empat lokasi pengambilan data (stasiun) pada setiap pulau yang ditentukan berdasarkan empat arah mata angin (utara, selatan, barat dan timur) dengan bantuan GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui arah dan memplotkan masing-masing titik stasiun pengamatan. Maka, akan terdapat 12 stasiun pengamatan dari ketiga pulau yang diteliti dan diharapkan dapat mewakili kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut.

3.2.2. Pengambilan Data Karang

Data karang diamati pada kedalaman 10 dan 3 meter atau sesuai dengan kondisi perairan di lapangan, kedalaman 10 m dianggap mewakili daerah yang dalam dan kedalaman 3 m dapat mewakili daerah yang dangkal. Pengambilan data dengan menggunakan alat SCUBA dengan menggunakan metode visual transek kuadrat, yaitu transek garis dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar garis pantai pada kedalaman 10 dan 3 m, kemudian diletakkan transek kuadrat berukuran 1 x 1 m diatas koloni-koloni karang yang dilewati oleh meteran tersebut dari titik 0 (nol) dengan interval 5 m sehingga didapatkan 9 transek kuadrat di setiap titik pengamatan. Kemudian persen penutupan karang berdasarkan bentuk pertumbuhannya (lifeform) diestimasi tiap transek serta dicatat jenis-


(47)

(48)

karang yang termasuk ke dalam transek tersebut. Pengamatan biota pengisi habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (Tabel 1) untuk mengetahui jenis dan jumlah bentuk pertumbuhan karang di daerah tersebut sesuai dengan parameter yang dibutuhkan pada matriks analisis kesesuaian untuk wisata bahari (snorkeling

dan selam). Selain dari pada itu, pengamatan juga dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah genus yang terdapat di perairan ketiga pulau tersebut. Pencatatan jenis dan jumlah genus ini untuk mengetahui jenis-jenis dan jumlah genus karang yang terdapat di perairan ketiga pulau tersebut agar bisa memberikan informasi yang lebih banyak tentang daerah penelitian.

Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhan dan kodenya (English et al. 1994)

Kategori Kode Keterangan

Karang Batu:

Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih sampai putih kotor

Dead Coral with Algae DCA Karang mati yang masih tampak bentuknya tapi

sudah ditumbuhi alga

Acropora Branching ACB Sedikitnya 2 cabang. Cth: Acropora palmata,

A. formosa

Encrusting ACE

Biasanya berupa pelat dasar dari bentuk Acropora

yang belum dewasa

Submassive ACS Kokoh berbentuk bonggol/baji

Digitate ACD Percabangan tidak sampai 20. Cth: A. humilis,

A. digitifera, A. gemmifera

Tabular ACT Pelat datar seperti meja

Non-Acropora Branching CB Percabangan ± 20

Encrusting CE

Sebagian besar menempel pada substrat sebagai

pelat laminar

Foliose CF Karang menempel pada satu atau lebih titik,

bentuk menyerupai daun

Massive CM Berbentuk bola atau batu besar/tanggul

Submassive CS Membentuk kolom kecil, baji atau bonggol

Mushroom CMR Soliter

Millepora CME Karang api

Heliopora CHL Karang biru, soliter

Tubipora CTU

Fauna lain

Soft Coral SC Karang lunak

Sponges SP

Zoanthids ZO

Others OT Ascidians, anemon, gorgonia, kima raksasa,

timun laut, bulu babi, dll

Algae:


(49)

Tabel 1. Lanjutan

Kategori Kode Keterangan

Algae Algal

Assemblage AA Terdiri lebih dari satu spesies

Coraline

Algae CA

Halimeda HA

Macroalgae MA Warna merah, coklat, dll

Turf Algae TA Algae filamen yang lembut, sering ditemukan

dalam wilayah damselfish

Abiotik:

Sand S Pasir

Rubble R Pecahan karang tak beraturan

Silt SI Lumpur

Water WA Celah lebih dari 50 cm

Rock RCK Tapakan karang termasuk kapur, batuan

3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang

Pengamatan ikan karang menggunakan metode pencacahan langsung (visual census) pada transek garis yang sama untuk peletakan transek kuadrat pada pengamatan biota karang, yaitu transek garis yang dibentangkan sepanjang 50 m sejajar garis pantai dan menggunakan peralatan SCUBA. Setelah transek garis dibentangkan, stasiun pengamatan dibiarkan kembali sampai kondisi perairan menjadi seperti semula dan semua ikan-ikan karang yang lari dan bersembunyi pada saat pemasangan transek keluar dari tempat persembunyiannya. Pencatat data ikan karang berenang di atas transek garis sepanjang 50 m sambil mencatat seluruh spesies ikan dan kelimpahannya yang ditemukan sejauh 2,5 m ke kiri dan kanan transek (Gambar 2). Sensus dilakukan pada interval waktu antara jam 08:30 dampai 17:00 agar data ikan yang diambil merupakan ikan karang yang bersifat diurnal, karena waktu pelaksanaan sensus sangat berpengaruh terhadap jenis ikan. Identifikasi ikan karang berdasarkan Allen (1999), Lieske dan Myers (2001) dan Kuiter (1992).


(50)

Gambar 2. Pengambilan data ikan karang dengan metode pencacahan langsung (English et al. 1994)

Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang

Pengambilan data Alat Metode

Karang - Satu set alat scuba - Roll meter

- Transek kuadrat 1 x 1 m - Sabak + Pensil

- GPS

Visual transek kuadrat

Ikan karang - Satu set alat scuba - Roll meter

- Sabak + Pensil - GPS


(1)

Lampiran 8.1.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Kera

(S: 02

0

35’375”; E: 107

0

37’04”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 23,42 N 4 32 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 6 S3 12 96 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 30 N 4 32 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 2 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,05 S1 14 84

Jumlah 516

Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Lutung

Lampiran 8.2.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Lutung Secara Umum

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas TK (%) 8 49,17 S3 12 96 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 9 S2 14 112 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 69 S3 12 96 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 2 - 5 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,10 S1 14 84

Jumlah 660

Kelas Kesesuaian S2

Lampiran 8.2.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Lutung

(S: 02

0

35’283”; E: 107

0

37’54”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 44,18 S3 12 96 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 8 S2 14 112 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 45 S3 12 96 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 4 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,15 S1 14 84

Jumlah 660

Kelas Kesesuaian S2

Lampiran 8.2.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Lutung

(S: 02

0

35’279”; E: 107

0

37’63”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 69,73 S2 14 112

3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 3 N 4 32 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 15 N 4 32

5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,03 S1 14 84

Jumlah 532


(2)

Lampiran 8.2.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Lutung

(S: 02

0

35’283”; E: 107

0

37’36”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 35,24 S3 12 96 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 9 S2 14 112 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 33 N 4 32 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,15 S1 14 84

Jumlah 596

Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.2.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Lutung

(S:02

0

35’481”; E:107

0

37’39”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 52,89 S2 14 112 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 9 S2 14 112 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 40 N 4 32 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 2 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,08 S1 14 84

Jumlah 612

Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Burung

Lampiran 8.3.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Burung Secara Umum

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 93,89 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas TK (%) 8 49,43 S3 12 96

3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 11 S1 16 128 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 85 S2 14 112 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 5 - 10 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,10 S1 14 84

Jumlah 692

Kelas Kesesuaian S2

Lampiran 8.3.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Burung

(S: 02

0

34’315”; E: 107

0

37’45”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 78,57 S2 18 180 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 51,16 S2 14 112 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 9 S2 14 112 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 51 S3 12 96 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 7 S2 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,08 S1 14 84

Jumlah 656


(3)

Lampiran 8.3.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Burung

(S: 02

0

34’197”; E: 107

0

37’10”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 48,53 S3 12 96 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 7 S3 12 96 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 26 N 4 32 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,07 S1 14 84

Jumlah 580

Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.3.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Burung

(S: 02

0

33’861”; E: 107

0

37’50”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 43,99 S3 12 96 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 7 S3 12 96 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 40 N 4 32 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,13 S1 14 84

Jumlah 580

Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.3.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Burung

(S: 02

0

34’016”; E: 107

0

37’80”)

No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai

1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200 2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 52,32 S2 14 112 3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 8 S2 14 112 4 Jumlah Ikan (spesies) 8 42 S3 12 96 5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72 6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,13 S1 14 84

Jumlah 676


(4)

Lampiran 9. Foto Pulau-pulau

Lampiran 9.1. Foto P. Kera


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mengkubang, Belitung pada

tanggal 05 April 1985 sebagai anak pertama dari dua

bersaudara pasangan Bapak Sahani Saleh dan Ibu

Asmara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 1

Tanjungpandan. dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan

Manajemen Sumberdya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

(FPIK) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif sebagai kepanitiaan lepas

dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di fakultas maupun jurusan. Selain itu,

penulis aktif pada salah satu organisasi kemahasiswaan yang bersifat semi otonom di

lingkungan FPIK yaitu Fisheries Diving Club (FDC) sejak tahun 2003 dan dipercaya

untuk menjabat sebagai koordinator bidang publikasi dan dokumentasi pada tahun

2005 dan ketua panitia kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) untuk

beberapa SMU yang ada di Kabupaten Bogor. Di bidang akademik, penulis juga

dipercaya untuk menjadi asisten pada mata kuliah Ikhtiologi (2004), Biologi Laut

(2004), Ekologi Laut Tropis (2005) dan koordinator asisten Ikhtiologi (2006).

Pada tahun 2006 penulis melaksanakan penelitian dengan judul

“Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari

(

Snorkeling

dan Selam) di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung di Kecamatan

Sijuk, Kabupaten Belitung”

sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studinya

di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan dinyatakan lulus pada tanggal 12

Desember 2006.