II. TINJAUAN PUSTAKA
Inventarisasi menurut P3B Depdikbud 1989 yaitu pencatatan atau pendaftaran barang-barang milik atau pengumpulan data. Potensi yaitu kekuatan,
kemampuan, kesanggupan, kekuasaan, kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan atau sesuatu yang dapat menjadi aktual.
Menurut Nybakken 1988, terumbu karang adalah endapan - endapan masif yang penting dari kalsium karbonat terutama dihasilkan oleh karang dengan sedikit
tambahan alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa inventarisasi potensi
ekosistem terumbu karang untuk wisata bahari yaitu mencatat atau mengumpulkan data berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang, jumlah
bentuk pertumbuhan, jenis dan kelimpahan ikan karang serta kondisi perairan yang terdapat di suatu ekosistem terumbu karang yang bisa menjadi dasar untuk
mengetahui seberapa besar kesesuaian dan kemungkinan suatu wilayah untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari.
2.1. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam di dunia. Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan
sumber keuntungan ekonomi yang besar dari perikanan dan pariwisata, ekosistem terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu, karang
memegang fungsi penting di negara - negara berkembang, khususnya di negara- negara kepulauan berkembang Westamacott et al. 2000. Tomascik et al. 1997
menyatakan bahwa salah satu fungsi ekosistem terumbu karang yaitu sebagai penyedia kesempatan atau peluang untuk rekreasi, dan salah satu manfaat terumbu
karang yang berkelanjutan yaitu sebagai wisata bahari yaitu wisata yang berorientasi cahaya matahari, laut dan pasir, snorkeling dan selam SCUBA
merupakan daya tarik utama di banyak pulau di daerah tropis. Ironisnya, ekosistem terumbu karang di Indonesia, walaupun sangat penting untuk makanan
dan penerimaan devisa dari pariwisata dan perikanan lepas pantai yang berasosiasi dengan karang, tidak dikelola dengan baik, sehingga hasilnya adalah terjadi
degradasi secara cepat. Dahuri et al. 2004 menyatakan bahwa daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti
misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai gua-gua, air terjun, pasir dan sebagainya, dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan,
burung dan hewan-hewan lain. Supriharyono 2000 menyatakan bahwa andalan utama kegiatan wisata bahari yang banyak diminati oleh para wisatawan adalah
aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang
sangat tinggi.
2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang
Kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisir, seperti kebersihan, keunikan dan keindahan di lingkungan pantai, baik untuk
dimanfaatkan maupun dinikmati oleh wisatawan. Andalan utama kegiatan wisata bahari yang banyak dinikmati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan
keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi Supriharyono
2000. Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik pastinya harus didukung oleh kondisi perairan yang baik pula. Adapun parameter-parameter fisika dan kimia
yang mempengaruhi kehidupan terumbu karang yaitu : ¾ Cahaya
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang
terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang, dan bersamaan
dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu CaCO
3
akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada
kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya zona kompensasi yaitu
kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15 - 20 dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air Veron 1995. Keadaan awan di suatu
tempat mempengaruhi pencahayaan pada waktu siang hari, kondisi ini
mempengaruhi pertumbuhan karang Goreau dan Goreau 1959 dalam Supriharyono 2000.
Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih
memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada kedalaman yang cukup dalam
Supriharyono 2000. Efek yang mungkin dari ketersediaan sinar pada kedalaman dan distribusi lintang dari karang sepertinya kecil dibandingkan dengan kecerahan
perairan, temperatur, pertumbuhan musiman dari makroalga, cahaya spesifik yang dibutuhkan oleh Zooxanthellae dan mekanisme dari adaptasi terhadap cahaya.
Karang umumnya terdapat pada perairan yang jernih sampai kedalaman 30 m dan kadang-kadang lebih dari 40 m dimana tersedia substrat horizontal yang cocok
Veron 1995. Menurut Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2000, secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m.
¾ Suhu Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang.
Menurut Wells 1954 dalam Supriharyono 2000, suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 22 - 29
o
C. Batas maksimum dan minimum suhu berkisar antara 16 - 17
o
C dan sekitar 36
o
C Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2000. Veron 1995 menyatakan bahwa temperatur minimal untuk
karang adalah 18
o
C, terus-menerus dalam periode waktu yang berlarut - larut telah diketahui sebagai temperatur minimum permukaan laut dimana fungsional
karang-karang secara normal terekspos. Sangat sedikit karang berZooxanthellae yang diketahui dapat mentoleransi suhu di bawah 11
o
C. Jokiel dan Coles 1977, Glynn 1984, Hoegh-Guldberg dan Smith dalam Veron 1995 menyatakan
bahwa nilai pembatas dari temperatur tinggi dari pentingnya ekologi adalah mencapai maksimal 30 - 34
o
C. Nilai maksimun ini bervariasi secara geografi dan waktu penyinaran, dimana toleransi lebih dari 2
o
C lebih tinggi di daerah-daerah tropis dari pada di daerah temperate Coles et al. 1976, Coles dan Jokiel 1977
dalam Veron 1995. Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap binatang karang lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang
bukan suhu yang ekstrem, yaitu suhu maksimum atau minimum saja, namun lebih
karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami ambient level
. Menurut Coles dan Jokiel 1978 dan Neudecker 1981 dalam Supriharyono 2000, perubahan suhu secara mendadak sekitar 4 – 6
o
C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan
mematikan. Suhu di perairan Kabupaten Belitung, pada bulan oktober 2005 secara
keseluruhan berkisar antara 28,93 – 29,37
o
C dengan rata-rata 29,12
o
C. Nilai suhu pada lapisan permukaan 0 m, 5 m, dan 10 m masing-masing berkisar antara
28,97 – 29,37
o
C dengan rata-rata 29,15 ºC; 28,97 - 29,25 ºC dengan rata-rata 29,13 ºC dan 28,93 - 29,18 ºC dengan rata-rata 29,06 ºC. Nilai rata-rata suhu di
perairan Kabupaten Belitung yaitu 29,12 ºC BAPPEDA Provinsi Bangka- Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005.
¾ Salinitas Binatang karang hidup pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36 ‰ Kinsman
1964 dalam Supriharyono 2000. Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat
danatau pengaruh alam seperti run-off, badai dan hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,5 - 52,5 ‰ Vaughan 1919, Wells 1932 dalam
Supriharyono 2000. Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan diatas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai
Bandengan, Jepara, Jawa Tengah salinitas nol permil 0 ‰ untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air tawar sungai Supriharyono
2000. Salinitas di perairan Belitung Barat pada Oktober 2005 berkisar antara 32,62
– 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,04 ‰. Nilai salinitas yang terendah 32,62 ‰ diperoleh di Stasiun 1 pada lapisan permukaan 0 m dan tertinggi 33,32 ‰ di
Stasiun 4 pada kedalaman 10 m. Nilai salinitas di perairan Belitung Barat pada lapisan permukaan 0 m, 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 32,62 –
33,26 ‰ dengan rata-rata 33,01 ‰; 32,62 – 33,29 ‰ dengan rata-rata 33,02 ‰ dan 33,00 – 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,11 ‰. Nilai rata-rata salinitas yaitu
33,04 ‰ lebih tinggi bila dibandingkan dengan di perairan Belitung Barat bulan Juni 2005 31,37 ‰ BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI
Tanjungpandan 2005. Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2000 mengatakan bahwa daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai
contoh, Acropora dapat bertahan pada salinitas 40 ‰ hanya bertahan beberpa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan sampai salinitas 48 ‰.
¾ Sedimentasi Hubbard dan Pocock 1972, Bak dan Elgershuizen 1976, Bak 1978
dalam Supriharyono 2000 menyatakan bahwa sedimen dapat langsung mematikan binatang karang, yaitu apabila sediment tersebut ukurannya cukup
besar atau banyak sehingga menutupi polip. Pengaruh tidak langsung dari sedimentasi adalah menurunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk
fotosintesis Zooxanthellae dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang untuk untuk menghalau sediment tersebut, yang berakibat turunnya laju
pertumbuhan karang Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 1986 dalam Supriharyono 2000. Perairan yang sedimentasinya tinggi atau keruh memiliki
keanekaragaman karang dan tutupan karang hidup cenderung rendah. Loya 1976a dalam Supriharyono 2000 menyatakan pada perairan Puerto Rico yang
sedimentasinya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3,0 - 15,0 mgcm
2
hari, keanekaragaman dan tutupan karang hidupnya relatif rendah dibandingkan dengan
di daerah yang lebih jernih. Supriharyono 2000 menyatakan bahwa sedimentasi dapat disebabkan oleh pembangunan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas
manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktivitas pertanian dapat membebaskan sediment ke
perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Laju sedimentasi biasanya bervariasi dari rendah ke tinggi, tergantung besar kecilnya dan kontinuitas
aktivitas diatas serta musim. Suatu daerah yang tidak banyak menerima limpahan sediment dari sungai, seperti di daerah kepulauan, laju sedimentasinya cenderung
rendah. Terkecuali ada aktivitas yang merangsang terbentuknya sediment, seperti pengerukan, pengeboman, badai dan sebagainya. Namun apabila perairan karang
tersebut lokasinya berdekatan dengan muara sungai, yang pengelolaan lahan di atasnya buruk biasanya laju sedimentasinya tinggi, terutama di musim penghujan.
Pomeroy et al.
1965 dalam Supriharyono 2000 menyatakan bahwa di daerah tropis ada kecenderungan bahwa sediment mengadopsi unsur-unsur hara
tanah. Hal ini menyebabkan perairan yang keruh oleh sediment menjadi subur, dan kondisi ini sering menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang.
Walker dan Ormond 1982 dalam Supriharyono 2000 melaporkan bahwa adanya unsur-unsur hara yang terkontaminasi pada sediment di perairan karang
Aqaba, Red Sea, menyebabkan pertumbuhan makro alga, terutama Ulva lactuca dan Enteromorpha clathrata. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman karang
di perairan tersebut turun. Menurut Supriharyono 2000 unsur hara yang terikat pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga Ulva reticulata
seperti yang terjadi di Pantai Bandengan Jepara. Makro alga tersebut mulai tumbuh pesat pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima
sediment yang cukup tinggi dari perairan sungai di sekitarnya. Makro alga ini umumnya menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat seperti
Acropora sp dan Montipora digitata.
Kadar zat hara fosfat, nitrat, nitrit, ammonia dan silikat di perairan Belitung secara umum relatif tinggi, hal ini sangat dipengaruhi sumbangan limbah
organik dari daratan serta proses pasang surut dengan terjadinya pengadukan masa air laut yang mengakibatkan naiknya zat-zat hara dari dasar perairan ke
permukaan. Bila ditinjau dari kadar fosfat dan nitrat yang merupakan salah satu indikator kesuburan, maka perairan kabupaten Belitung masih baik untuk
budidaya perikanan BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005.
¾ pH Nilai pH suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor, seperti aktivitas
fotosintetis, terdapatnya anion dan kation serta suhu. Batas toleransi organisme akuatik terhadap nilai pH bervariasi tergantung pada suhu air laut, konsentrasi
oksigen terlarut dan adanya anion dan kation PESCOD 1978 dalam BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005. pH dalam air laut
relatif stabil dan biasanya berada dalam kisaran 7,5 – 8,4. Perairan yang produktif dan ideal bagi kehidupan biota akuatik adalah yang pH-nya berkisar antara 6,5 –
8,5. Batasan nilai pH yang diizinkan berkisar antara 7 – 8,5 KLH 2004. Secara keseluruhan nilai pH di perairan Belitung, Oktober 2005 berkisar antara 8,02 –
8,24 dengan rata-rata 8,11. Nilai pH di perairan Belitung pada lapisan permukaan
0 m, 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 8,02 – 8,17 dengan rata-rata 8,08; 8,04 – 8,21 dengan rata-rata 8,11 dan 8,08 – 8,24 dengan rata-rata 8,15.
Nilai rata-rata pH tersebut 8,11 ‰ lebih rendah bila dibandingkan dengan di perairan Belitung Barat bulan Juni 2005 8,17 BAPPEDA Propinsi Bangka-
Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005. ¾ Oksigen terlarut DO
Oksigen terlarut merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan berperan penting dalam pernafasan biota laut. Permasalahan akan timbul bilamana
konsentrasi okaigen tersebut berubah sampai batas di luar batas angka normal dalam suatu perairan. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air laut bervariasi, di laut
lepas bisa mencapai 7 mll sedangkan di wilayah pesisir konsentrasinya akan semakin berkurang. Dalam air laut permukaan konsentrasinya dipengaruhi oleh
temperatur, semakin tinggi temperatur maka kelarutan gas akan semakin rendah. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut ini biasanya disebabkan oleh terjadinya
perubahan kualitas perairan sebagai akibat banyaknya limbah yang kaya akan karbon organik mengalir ke dalam perairan. Besarnya konsentrasi oksigen terlarut
di air laut yang memenuhi syarat untuk wisata bahari menurut KLH no. 51 tahun 2004 adalah sebesar 5 mgl. Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di
perairan Belitung, bulan Oktober 2005 berkisar antara 3,91 – 4,65 mll dengan rata-rata 4,18 mll. Kadar oksigen terlarut di perairan Belitung pada lapisan
permukaan 0 m, 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 4,01 – 4,65 mll dengan rata-rata 4,33 mll; 4,06 – 4,48 mll dengan rata-rata 4,19 mll dan 3,91 –
4,19 mll dengan rata-rata 4,02 mll BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005.
2.3. Komunitas Ikan Karang