Materi Dakwah dalam Kaderisasi

sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Quran, yaitu bil hikmah. Hal ini sesuai dengan bunyi Al-Quran surat Al-Nahl ayat 125 :                           Artinya : serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. Al-Nahl ayat : 125

D. Materi Dakwah dalam Kaderisasi

Materi adalah bahan yang disampaikan oleh seorang da’I dalam berdakwah. Pada dasarnya materi dakwah islamiyah tergantung pada tujuan dakwah yang hendak dicapai. Secara global, materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal yaitu masalah akidah, syariah, dan masalah akhlak. 35 Akidah dalam Islam bersifat i ’tiqadi bathiniyah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Bidang ini bukan saja pembahasannya tertuju pada hal-hal yang wajib diimani, tetapi meliputi pula masalah-masasalah yang dilarang, seperti syirik, inkar, dan lain sebagainya. 35 Barmawi Umary, Azas-Azas Dakwah, Solo : Ramadhan, 1995, Cet. Ke.3, h.77 Materi dakwah yang kedua adalah syariah. Masalah syariah berhubungan dengan amal lahir dalam rangka mentaati semua peraturan Allah guna mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan mengatur pergaulan hidup antara sesama manusia. Masalah syariah juga berhubungan dengan jual beli, rumah tangga, bertetangga, warisan, kepemimpinan dan amal shaleh lainnya. Demikian pula masalah zina, minum-minuman yang memabukan, mencuri dan lain sebagainya termasuk pada materi dakwah. Materi dakwah yang ketiga adalah adalah akhlak. Masalah akhlak ini merupakan manifestasi keimanan, dan akhlak juga sebagai penyempurna keimanan dan keislaman. 36 Materi dakwah sepenuhnya harus bertolak dan bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits serta hasil ijtihad para sarjana atau alim ulama. 37 Berdasarkan apa yang saya temukan dan amati dalam materi dakwah terhadap kaderisasi di PII. 36 Ibid, h. 60-63 37 A.H Hasanuddin, Retorika Dakwah dan Publisitas dalam Kepemimpinan, Surabaya : Usaha Nasional, 1982, h. 41 31

BAB III Propil Organisasi PII Dan Program PB PII Dalam kaderisasi

A. Sejarah PII

“PELAJAR ISLAM INDONESIA PII didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji. Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing- masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan pelajar kafir. Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan santri kolot atau santri teklekan. Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia IPI. Namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang beritikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang