2.2 Pembangunan dan Pengembangan
Wilayah
Pembangunan dan pengembangan merupakan arti harifiah dari kata Bahasa Inggris yang sama, yaitu development. Menurut
Rustiadi et al. 2008 ,
beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daripada pembangunan untuk beberapa hal spesifik. Secara umum pembedaan istilah
pembangunan dan pengembangan di Indonesia memang secara sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan,
kedaerahan, kewilayahan, dan lokalitas. Menurut
Rustiadi et al. 2008 , ada juga yang berpendapat bahwa kata
pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam artian, pengembangan tidak membuat sesuatu dari nol dari sesuatu yang
sebelumnya tidak ada, melainkan dari sesuatu yang sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Oleh karena itu dalam konteks
kewilayahan, istilah pengembangan wilayah lebih banyak dipakai daripada pembangunan wilayah.
2.3 Perencanaan Pengembangan Wilayah
Riyadi 2002 mengemukakan bahwa pengembangan wilayah merupakan
upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga suatu kelestarian lingkungan hidup pada suatu
wilayah. Adapun perencanaan wilayah pada dasarnya merupakan upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah
memiliki tujuan pokok, yakni meminimalkan konflik kepentingan antarsektor, meningkatkan kemajuan sektoral, dan membawa kemajuan bagi masyarakat
secara keseluruhan. Menurut
Suwardji dan Tejowulan 2008 , pengembangan wilayah adalah
segala upaya perbaikan suatu atau beberapa jenis wilayah agar semua komponen yang ada di wilayah tersebut dapat berfungsi dan menjalankan kehidupan secara
normal. Pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu 1 sumberdaya alamfisik-lingkungan 2 sumberdaya buatanekonomi 3 sumberdaya manusia,
dan 4 sumberdaya sosial-kelembagaan.
Menurut Misra 1982,
pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui
pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Menurut Rustiadi et al. 2008
, perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk
memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek proses politik, manajemen, dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang
dan waktu. Menurut
Rustiadi et al. 2008 , perencanaan pengembangan wilayah
merupakan sekumpulan ilmu yang mencakup aspek:
1. Pemahaman, yakni mencakup ilmu-ilmu pengetahuan dan teori-teori
untuk memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antarwilayah. Selanjutnya, pengetahuan mengenai ilmu sistem
merupakan alat penting untuk memahami keterkaitan unsur-unsur fisik dan non-fisik wilayah guna mengenal dan mendalami permasalahan maupun
potensi pengembangan wilayah.
2. Perencanaan, yakni mencakup proses formulasi masalah, visi, misi, dan
tujuan pembangunan; teknik-teknik desain dan pemetaan; sistem pengambilan keputusan; hingga perancangan teknis dan kelembagaan
perencanaan.
3. Kebijakan, yakni mencakup pendekatan-pendekatan evaluasi serta proses
pelaksanaannya, termasuk proses politik, administrasi, dan manajerial
pembangunan.
Menurut Nugroho dan Dahuri 2004
, secara luas perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan
mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal.
Anwar dan Rustiadi. 2000 lebih menekankan konsep pengembangan
wilayah pada keterpaduan antara pembangunan secara sektoral, kewilayahan, dan institusional. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal
memandang penting keterpaduan antarsektor, antarspasial keruangan, serta antarpelaku pembangunan di dalam maupun antardaerah. Dengan demikian, setiap
program-program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah.
Menurut Anwar dan Rustiadi 2000
, terlepas dari berbagai definisi pengembangan wilayah yang ada, tujuan pengembangan wilayah seharusnya
diarahkan untuk mencapai: 1 pertumbuhan ekonomi, 2 pemerataan, 3 keberlanjutan ekosistem.
Dalam suatu negara yang sangat luas dan kondisi sosial ekonomi serta geografis wilayah yang sangat beragam seperti Indonesia, pengembangan wilayah
regional development sangat penting dalam mendampingi pembangunan nasional. Tujuan pengembangan wilayah sangat bergantung pada permasalahan
serta karakteristik spesifik wilayah yang terkait, namun pada dasarnya ditujukan pada pendayagunaan potensi serta manajemen sumber-sumber daya melalui
pembangunan perkotaan, pedesaan dan prasarana untuk peningkatan kondisi sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Pada tingkat nasional pengembangan
wilayah juga ditujukan untuk memperkuat integrasi ekonomi nasional melalui keterkaitan linkages, serta mengurangi kesenjangan antarwilayah
Firman, 2008 .
2.4 Pendekatan Sektoral dalam Pengembangan Wilayah
Jhingan 2004 mengatakan bahwa model perencanaan pembangunan
ekonomi termasuk pengembangan ekonomi wilayah dikategorikan atas 3 yakni: 1 model agregat, yang menyajikan aspek perekonomian secara keseluruhan; 2
model antar industri, yang didasarkan pada keterkaitan seluruh sektor ekonomi yang produktif; 3 model sektoral, yang lebih menekankan pada industri yang
memberikan kontribusi paling besar pada perekonomian. Tarigan 2004
mengungkapkan bahwa pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan di wilayah tersebut.
Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang
seragam atau dianggap seragam. Sedangkan pendekatan wilayah dilakukan bertujuan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam
ruang wilayah sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya, Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi,
perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung penciptaan
pertumbuhan yang serasi dan seimbang. Pembangunan yang berbasis kepada keunggulan komparatif sektoral
wilayah merupakan suatu upaya pembangunan yang tepat sebagai batu pijakan awal untuk mendorong perkembangan perekonomian wilayah. Namun dalam
perspektif jangka panjang, kemajuan ekonomi wilayah berbasis keunggulan komparatif bukan merupakan suatu strategi pembangunan yang efektif.
Keunggulan komparatif yang dimiliki harus ditransformasikan menjadi keunggulan kompetitif wilayah. Sejarah membuktikan bahwa memasuki abad
informasi dan teknologi yang mendorong terjadinya integrasi ekonomi, perkembangan perekonomian semakin diwarnai oleh kompetisi yang semakin
meningkat, sehingga kebutuhan akan keunggulan kompetitif menjadi prasayarat untuk mencapai kemajuan. Untuk menciptakan keunggulan kompetitif, maka
harus terjadi interkoneksi diantara keunggulan-keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing wilayah
Pribadi, 2008 .
Saefulhakim 2004 mengatakan perlu untuk mencermati secara seksama
bahwa seringkali terjadi bahwa beberapa sektor yang diidentifikasikan memiliki peranan strategis karena keterkaitannya yang luas dan potensi menumbuhkan
dampak ganda bagi beberapa indikator pembangunan, ternyata secara empirik dampak yang ditimbulkannya penggandaan pendapatan, tenaga kerja, keluaran,
PAD tidak terlalu luas sebagai akibat dari fenomena-fenomena: 1 keterkaitan yang asimetrik dan 2 karakteristik sektor yang bersifat price-taker. Beberapa
sektor cenderung memiliki posisi tawar yang rendah terhadap sektor lainnya di dalam penetapan harga. Sektor-sektor primer, terutama pertanian dengan pelaku
ekonomi petani-petani tanpa organisasi penunjang cenderung akan memiliki posisi tawar yang rendah di dalam penetapan harga.
Anwar dan Rustiadi 2000 mengungkapkan bahwa perencanaan
pembangunan memerlukan skala prioritas karena: 1 setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda kepada pencapaian
sasaran-saran pembangunan penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain; 2 setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya
dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan 3 aktivitas sektoral tersebar tidak merata dan bersifat spesifik sehingga beberapa sektor cenderung terpusat dan
terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial yang ada. Oleh karena itu, di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor
yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spasialnya.
Menurut Anwar 1995
, kegiatan pembangunan seringkali bersifat eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang
memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar. Efek penggandaan yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap secara lokal dan regional
sehingga penduduk setempat seolah-olah menjadi penonton. Ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat kebocoran wilayah, antara lain:
1. Sifat Komoditas
Komoditas yang bersifat eksploitasi sumberdaya alam mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi
apabila dalam sistem produksinya membutukan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai,
kedekatan dengan pasar, maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah
dilaksanakan di wilayah lain sehingga nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lainnya.
2. Sifat Kelembagaan
Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan owners karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah
yang terjadi. Faktor pemilihan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara
nyata. Namun, sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah
misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijakan akan berbeda jika dibandingkan
dengan pemilik yang berasal dari daerah setempat. Menentukan sektor-sektor unggulan memerlukan beragam pertimbangan,
tergantung pilihan yang ditawarkan. Menurut Arief 1993
, sektor unggulan adalah sektor yang memenuhi kriteria: 1 mempunyai keterkaitan dan ke
belakang yang relatif tinggi; 2 menghasilkan output bruto yang yang relatif tinggi sehingga menghasilkan permintaan akhir yang juga relatif tinggi; 3
mampu menghasilkan penerimaan bersih devisa relatif tinggi; 4 mampu menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi.
Menurut Tanea 2009
, sektor unggulan pada dasarnya bisa dilihat dari 4 ragam keunggulan, yaitu: 1 keunggulan komparatif, 2 keunggulan kompetitif,
3 keunggulan pengganda, 4 keunggulan keterkaitan. Dia menjelaskan bahwa suatu sektor bisa unggul secara komparatif maupun kompetitif secara ekonomi
dalam wilayahnya, namun jika sifatnya enclave maka keunggulan ini tidak lengkap karena tidak memperhitungkan dampak penggandaan yang dihasilkan
sektor tersebut. Lebih lanjut lagi,
Tarigan 2004 mengatakan bahwa pendekatan sektoral
saja tidak akan mampu melihat adanya kemungkinan tumpang tindih dalam penggunaan lahan, perubahan struktur ruang, perubahan pergerakan arus orang
dan barang. Sedangkan pendekatan regional kewilayahan saja juga tidak cukup karena analisanya akan bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detail untuk
membahas sektor per sektor apalagi komoditi per komoditi, misalnya komoditi apa yang dikembangkan luas, pasar, input, perilaku pesaing.
Hal senada diungkapkan oleh Riyadi 2002
bahwa pengembangan wilayah berbeda dengan pembangunan sektoral karena pengembangan wilayah
sangat berorientasi pada isu permasalahan pokok secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa
memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya.
2.5 Keterkaitan dan Interaksi Wilayah serta Pembangunan yang
Berimbang
Setiap wilayah mempunyai potensi dan kekuarangannya masing-masing secara khas dalam bentuk beragam sumberdaya seperti sumberdaya manusia,
sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi, dan teknologi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, wilayah seringkali harus memenuhinya dari wilayah lainnya. Oleh
karena itu wilayah berinteraksi satu dengan yang lainnya karena adanya keterkaitan permintaan dan penawaran.
Menurut Preston 1975
, keterkaitan dicerminkan oleh perpindahan orang dan migrasi, aliran barang, aliran jasa, aliran energi, financial transfer dapat
melalui trade, taxes dan state disbursements, transfer aset property right dan state investment dan informasi. Adapun menurut
Rondinelli 1985 , keterkaitan
dapat dikelompokkan menjadi hubungan fisik, ekonomi, teknologi, population movement, sosial, service delivery dan berbagai hubungan-hubungan politik.
Bendavid-Val 1991 mengelompokkan keterkaitan antar wilayah atas keterkaitan
transportasi, komunikasi, natural resources, ekonomi, sosial, pelayanan umum, dan institusi.
Jika keterkaitan antarwilayah ini tidak berimbang maka yang terjadi adalah disparitas wilayah dimana wilayah yang satu akan mendapatkan
keuntungan rent yang lebih besar; wilayah lainnya akan terkuras habis backwash effect.
Lo 1981 menjelaskan bahwa keterkaitan wilayah yang tidak
baik akan menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan. Ada 3 hubungan dualistik dalam keterkaitan antarwilayah, yaitu:
1. Utara-selatan yang menggambarkan keterkaitan antar dua kutub utara- selatan maju-berkembang di belahan dunia
2. Perkotaan-perdesaan yang menggambarkan keterkaitan intrawilayah 3. Formal-informal yang menggambarkan keterkaitan antar- maupun
intrawilayah yang menekankan pada aktivitas ekonominya Menurut
Lo 1981 , ketiga hubungan ini tentunya dipengaruhi oleh faktor-
faktor dominan yang terdapat di setiap wilayah, yaitu: 1. Sumberdaya alam: pertanian, mineral, dan jenis sumberdaya alam lainnya
2. Karakteristik demografi: kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk, dan tingkat urbanisasi
3. Teknologi: tipe-tipe teknologi yang diadaptasi dan pembangunan sumberdaya manusia
4. Ideologi pembangunan: ideologi dalam pembangunan negara Dalam konteks interaksi wilayah yang berimbang,
Murty 2000 ,
menjelaskan bahwa pembangunan wilayah yang berimbang merupakan suatu pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan
kapabilitas dan kebutuhannya. Hal ini tidak berarti bahwa harus terjadi keseragaman pembangunan perkembangan, industrialisasi, pola ekononomi, dan
sebagainya yang sama; tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki masing-masing wilayah.
Dalam konteks pengembangan wilayah, Mariani 2005
mengungkapkan bahwa masalah pembangunan development pada dasarnya adalah sisi lain dari
masalah keterbelakangan underdevelopment yang umumnya menyebabkan ketimpangan wilayah.
2.6 Pengembangan Wilayah di Era Desentralisasi