terhadap perbedaan dan mengutamakan transaksi sosial. Perencanaan
partisipatif diidentifikasi berkembang pada tradisi ini.
4. Perencanaan sebagai Social Transformation
Perencanaan ini merupakan kristalisasi politik yang didasarkan pada ideologi kolektivisme komunitarian. Berkembang dari kaum utopian,
anarkis dan Marxis, yang bermula dari kritikan terhadap tatanan kapitalisme industri. Perencana radikal langsung berbicara kepada kaum
buruh, wanita dan kaum tertindas lainnya, dan melupakan kewenangan negara dan pencerahan bagi kaum elit.
Tabel 1 Matriks Pembagian Aspek Formal Dalam Perencanaan
Political Ideologi Knowledge to Action
Conservative Radical Societal Guidance
Policy Analysis Social Reform
Social Transformation Social Learning
Social Mobilization Sumber: Friedman, 1987
2.8 Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya
Menelaah penelitian sebelumnya memerlukan berbagai pertimbangan khususnya menyangkut penelitian yang memuat substansi perencanaan
pengembangan wilayah di era otonomi daerah maupun penelitian yang terkait substansi penelitian di wilayah Bandung Barat dan wilayah yang
mempengaruhinya seperti Provinsi Jawa Barat. Desmawati 2008
melakukan studi tentang sektor unggulan dan arahan penerapannya di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini penting karena menyangkut
studi perekonomian Jawa Barat yang tentunya dalam skala makro akan berpengaruh terhadap orientasi pengembangan wilayah di Kabupaten Bandung
Barat. Desmawati 2008
, meyimpulkan bahwa meskipun kabupaten pertanian memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian, tetapi 6 dari 4 kabupaten
pertanian yang ada sektor pertaniaannya tidak memiliki keunggulan kompetitif. Bahkan, sektor pertanian di kabupatenkota industri dan jasa termasuk sektor yang
kompetitif. Indikasi ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian di wilayah berbasis pertanian masih belum optimal.
Pusat-pusat industri di Jawa Barat selain memiliki sumberdaya yang kuat, pertumbuhan sektornya juga mampu bersaing dengan kabupaten lainnya di Jawa
Barat. Kabupaten jasa didukung oleh sumberdaya ekonomi yang kuat dan dengan pertumbuhan sektornya yang mampu bersaing dengan kabupaten lainnya di Jawa
Barat. Dilihat dari kesenjangan pendapatan antarpenduduk maka kabupaten
dengan andalan sektor industri dan jasa di Jawa Barat berpotensi memunculkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Dilihat dari kesenjangan pemilikan lahan
maka kecenderungan fragmentasi lahan di kabupatenkota industri dan jasa lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten pertanian dan pertambangan. Hal ini
makin diperparah jika membandingakan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan dimana proses fragmentasi lahan di perkotaan dipercepat oleh aktivitas
sektor ekonomi basis wilayah dan penerapan pembangunan pusat pertumbuhan. Rata-rata tingkat pengangguran kabupaten jasa dan industri ada di atas
tingkat pengangguran Jawa Barat. Ini disebabkan karena pengembangan industri pada modal memiliki keterbatasan dalam menampung tenaga kerja. Tingkat
pengangguran terendah ada di kabupaten pertanian. Secara umum angka IKM yang relatif tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomian
pada sektor pertanian. Adapun yang memiliki nilai IKM yang relatif rendah adalah kabupatenkota industri dan jasa. Secara umum angka IPM yang relatif
tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomian pada sektor industri dan jasa. Adapun yang memiliki nilai IPM yang relatif rendah adalah
kabupaten pertanian. Dari analisis PCA yang dilakukan didapat bahwa tidak ada kaitan yang signikan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan
kesejahteraan manusia. Kontribusi ekonomi PDRB, output, nilai tambah bruto, serapan tenaga
kerja sektor industri terhadap perekonomian provinsi adalah yang paling dominan secara keseluruhan. Kontribusi sektor tertinggi per tipe ekonomi adalah
sebagai berikut: PDRB Provinsi industri 43,33 , output industri 57,2 , nilai tambah bruto industri 45,22 , penyerapan tenaga kerja pertanian 29,7 .
Adapun dari perspektif keterkaitan, keterkaitan ke belakang langsung tertinggi adalah industri 0,53, bangunan 0,53. Keterkaitan ke belakang total
tertinggi adalah bangunan 1,932, industri 1,888. Namun keterkaiatan sektor industri hanya dengan sektor industri itu sendiri dimana 63,7 input sektor
industri berasal dari sektor industri sendiri dan keterkaiatan ke depan, 80,6 output menjadi input bagi sektor industri. Tidak ada satu sektor ekonomi pun yang
benar-benar memanfaatkan produk pertanian domestik. Adapun 72,02 dari total industri di Jawa Barat adalah non-pertanian. Sebenarnya pertanian mempunyai
potensi untuk mendorong sektor industri terutama industri pertanian. Dari sisi pengganda sektor tertinggi per tipe adalah: pendapatan industri
1,95, tenaga kerja industri 3,79, PAD ligas 6,43; jasa-jasa 2,86, PDRB bangunan 2,36; industri 2,15. Sektor pertanian selalu berada terbawah kecuali
untuk penggandaan PAD. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan besar pada teknologi dan manajemen sektor pertanian. Jika tidak, sektor pertanian bisa
semakin tertinggal. Dari analisis IO 86 sektor ditemukan bahwa tidak semua industri memiliki
indikasi negatif dalam keterkaitan antarindustri sendiri. Industri pertanian agroindustri ternyata memiliki keterkaitan sektoral yang kompleks dan kuat
termasuk keterkaitan dengan sektor pertanian primer. Namun hasil positif agroindustri tidak muncul dalam penelitian
Dermoredjo 2001 . Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun sektor
agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang paling tinggi namun kebijakan pengembangannya masih sulit. Tingkat kebocoran sektor ini masih tinggi, yaitu
66,18 ; sebagai perbandingan tingkat kebocoran sektor pertanian sebesar 31,27 . Sama seperti penelitian Desamawati, penelitian
Dermoredjo 2001 menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terkait dengan pembangunan
manusia. Penelitian
Simanungkalit 2003 menyebutkan bahwa daya saing
Kabupaten Bandung dalam perspektif Provinsi Jawa Barat baik. Penelitian ini pada prinsipnya digunakan untuk melihat pertimbangan akademis mengenai
pemekaran Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini membuat penilaian tingkat daya saing tinggi, sedang, rendah per tipologi untuk setiap kabupaten dan kota di
Provinsi Jawa Barat. Sedangkan nilai untuk Kabupaten Bandung, yaitu:
1. Daya saing tinggi: ekonomi dan fiskal, peternakan, pemerintahan dan rentang kendali
2. Daya saing sedang: aktivitas ekonomi penduduk, ketenagakerjaan, kependudukan, transportasi dan komunikasi, perumahan dan lingkungan,
pertanian, perikanan 3. Daya saing rendah: kesenjangan daerah, sosial
Secara agregat, Kabupaten Bandung Barat mempunyai tipologi berdaya saing tinggi di Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, dalam perspektif Provinsi
Jawa Barat, alasan pemekaran Kabupaten Bandung Barat kurang bisa diterima terlebih melihat beberapa indikator yang pada umumnya dipakai untuk pemekaran
seperti ekonomi dan fiskal, pemerintahan dan rentang kendali, serta kesenjangan daerah.
Penelitian Ilyas 2002
tentang Analisis Kesiapan Potensi Ekonomi Wilayah di Sulawesi Utara terhadap Kemandirian Pembangunan dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah mengungkapkan bahwa orientasi pembangunan di era otonomi daerah seharusnya terkait dengan: 1 tuntutan dan kebutuhan
masyarakat lokal, 2 sumber daya ekonomi yang terbatas, 3 perlunya skala prioritas. Struktur perekonomian di Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh
sektor pertanian dengan kontribusi PDRB sebesar 45,80 . Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor kedua yang signifikan dengan kontrbusi
PDRB sebesar 14,23 . Dengan menggunakan Principal Component Analysis PCA didapatkan bahwa tidak ada keterkaitan antara sektor hulu dengan hilir.
Selain itu, sektor industri cenderung mengambil bahan impor dan kurang menyerap tenaga kerja.
Ilyas 2002 melakukan prioritas pembangunan untuk
setiap kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara dengan menggunakan Location Quotient LQ sektor ekonomi. Dari penelitian ini juga didapat bahwa
indeks kemampuan rutin IKR Provinsi Sulawesi Utara masih rendah. Penelitian
Rozi 2007 tentang Dampak Otonomi Daerah terhadap
Pengurangan Kemsikinan dengan Studi Kasus Provinsi Riau menyebutkan bahwa otonomi daerah pada intinya adalah desentralisasi fiskal. Untuk itu, dalam
otonomi daerah, yang diperlukan adalah meningkatkan kinerja fiskal dan
perekonomian daerah untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Mekanisme yang dilakukan adalah dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi penerimaan
adalah bagaimana memperbesar Dana Alokasi Umum DAU yang berorientasi penurunan kemiskinan dengan mengalokasikannya untuk program yang
bersentuhan dengan masyarakat. Dari sisi pengeluaran yang perlu dilakukan adalah peningkatan alokasi anggaran infrastruktur dan pertanian yang langsung
berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan serta alokasi anggaran pendidikan, kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang mempengaruhi peningkatan IPM yang
kemudian akan menurunkan tingkat kemiskinan. Penelitian
Suryadi 2002 , lebih spesifik mengembangkan ekoturisme
dalam rangka pengembangan wilayah di era otonomi daerah. Penelitian ini menyebutkan bahwa ekoturisme merupakan sektor ekonomi unggulan yang
mempunyai keterkaitan dengan ekonomi rakyat. Penelitian ini lebih banyak menggunakan metode eksploratif.
Suryadi 2002 memaparkan bahwa seharusnya
pengembangan otonomi daerah itu berbasis lokal dan pro pada ekonomi rakyat. Penelitian
Kurniawati 2005 dan
Yuliati 2008 menyoroti pertanian di
Kecamatan Lembang dan Parongpong yang selama ini dikenal sebagai daerah pertanian unggulan. Ada beberapa ancaman yang coba dimunculkan dari
penelitian ini, yaitu konversi lahan sawah dan perekonomian petani marjinal. Konversi lahan sawah banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan permukiman.
Sedangkan petani marjinal yang selama ini turut serta meyumbangkan komoditas unggulan semakin mempunyai nasib yang tidak menentu karena tidak mempunyai
lahan sendiri, berasal dari keluarga miskin, minim modal, serta tidak ada bantuan kelembagaan.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Pertimbangan pemilihan daerah ini sebagai studi kasus adalah karena
Kabupaten Bandung Barat merupakan daerah otonom baru yang baru terbentuk tahun 2007 dimana dituntut untuk dapat menangkap orientasi pengembangan
wilayah berbasis kewilayahan. Penelitian ini dilakukan secara makro pada 15 kecamatan Kabupaten Bandung Barat.
3.2 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini relatif banyak yang bersifat sekunder yang terdiri dari data Tabel Input-Output Provinsi Jawa Barat 2003
publikasi tahun 2005 yang kemudian akan dijadikan Tabel Input-Output Kabupaten Bandung Barat 2006, data PDRB per kecamatan, data tenaga kerja 9
sektor ekonomi, data tabular luas guna lahan, data statistik dalam angka lainnya yang terkait dengan sektorkomoditas ekonomi Kabupaten Bandung Barat.
Selain itu, dibutuhkan data spasial seperti peta administrasi Kabupaten Bandung Barat serta peta-peta tematik yang terkait. Jenis data ketiga yang
dibutuhkan adalah data kelembagaan Kabupaten Bandung Barat yang diperoleh secara sekunder dan primer.
Data-data yang disebutkan di atas akan diperoleh dari Bappeda Provinsi Jawa Barat, Bapeda Kabupaten Bandung, Bappeda Kabupatan Bandung Barat,
Badan Pusat Statistik Pusat, Badan Pusat Statistik Jawa Barat, dan instansi terkait lainnya.
3.3 Kerangka Analisis Penelitian
Substansi penelitian ini bertujuan untuk menjawab 6 enam pertanyaan penelitian dengan konsep perencanaan wilayah yang terdiri dari keterpaduan
sektor, spasial, dan kelembagaan. Penggerak utama dari empat komponen dasar analisis adalah dengan mengidentifikasi sektor-sektor unggulan sector-based