Studi Mengenai Pengolahan Limbah Cair Studi Mengenai Valuasi Ekonomi

limbah yang telah diolah dengan proses anaerobik memiliki kandungan bahan organik yang masih diatas batas standar baku mutu limbah cair dan belum meneliti mengenai persoalan ekonomi dari limbah cair tersebut.

2.6.2 Studi Mengenai Pengolahan Limbah Cair

Dari hasil analisis Purnamasari 2001 diketahui bahwa perubahan jumlah limbah dipengaruhi secara nyata dengan arah positif oleh produksi tekstil, penggunaan air untuk produksi dan pemakaian bahan baku polyester. Penggunaan serat kapas mempengaruhi secara negatif karena perusahaan semakin mengurangi pemakaian serat kapas, sedangkan perubahan debit limbah nyata dipengaruhi secara positif oleh pemakaian air dan serat polyester serta secara negatif oleh produksi tekstil dan pemakaian serat kapas. Pemakaian bahan kimia, baik untuk persamaan jumlah maupun debit limbah tidak berpengaruh secara nyata. Biaya pengolahan limbah terdiri dari biaya investasi dan operasional. Pendirian dan pengembangan IPAL dari tahun 1994-1998 menghabiskan dana Rp 5.302,95 juta. Nilai manfaat bersih tambahan sejak tahun pertama pendirian IPAL berturut-turut adalah Rp 2.086,53, Rp- 5.526,88, Rp- 12.946,06, Rp- 3.754,10 dan Rp 15.386,28. Nilai proporsi biaya pengolahan limbah yang ditanggung konsumen adalah 102,49 persen. Penelitian ini memiliki kelebihan yaitu menganalisis manfaat dan biaya pengolahan limbah dengan IPAL, proporsi biaya pengolahan limbah yang harus ditanggung konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan pengolahan limbah. Tetapi belum menghitung kelayakan usaha dari perusahaan setelah dilakukan pengolahan limbah.

2.6.3 Studi Mengenai Valuasi Ekonomi

Hasil penelitian Santoso 2005 mengenai valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove di Kawasan Pondok Bali, Desa Legonwetan yaitu kondisi ekosistem hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan sudah tidak sesuai dengan rencana strategis Perum Perhutani. Hal ini disebabkan 30 persen dari area hutan mangrove yang dijadikan area pertambakan 64,65 Ha sudah dipergunakan untuk tambak pola tradisional dan menebang habis kawasan hutan yang ada di tengah-tengah area tambak. Pada hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan, bentuk pengelolaan yang diperbolehkan oleh Perum Perhutani adalah dengan menjadikan wilayah hutan mangrove sebagai area pertambakan dengan proporsi tiap hektarnya harus memenuhi 80 persen untuk hutan dan 20 persen untuk kolam perairan. Berdasarkan hasil perhitungan nilai manfaat total dari ekosistem hutan mangrove yang ada di Desa Legonwetan, diperoleh nilai manfaat total sebesar Rp 3.700.228.818,74 per tahun atau Rp 17.088.518,76 per Ha per tahun. Nilai tersebut didominasi oleh nilai manfaat langsung sebesar Rp 2.258.268.032,74 dan nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp 424.464.130,00. Nilai manfaat pilihan sebesar Rp 36.789.156,00 dan nilai manfaat keberadaan sebesar Rp 980.707.500,00. Alternatif skenario pengelolaan dan pemanfaatan yang terbaik untuk pengelolaan hutan mangrove adalah skenario pemanfaatan dengan mengembalikan luasan hutan mangrove seperti pada kondisi awal 290,01 ha. Berdasarkan perhitungan, skenario tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang paling efisien dengan nilai rasio manfaat dan biaya sebesar 3,69. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan valuasi yang berdasarkan manfaat Benefit Based Valuation. Sehingga mengukur kerusakan lingkungan dengan berdasarkan pada manfaat dari kualitas lingkungan yang baik.

2.6.4 Studi Mengenai Biaya Eksternal