KERANGKA PEMIKIRAN Analisis internalisasi biaya pengolahan limbah (Studi kasus sentra industri tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Industri tempe menghasilkan tempe sebagai produk utama, ampas kedelai sebagai produk sampingan dan limbah. Tempe langsung dijual kepada konsumen dan ampas kedelai digunakan sebagai bahan baku industri makanan lain serta limbah. Limbah dapat dijadikan Nata de Soya atau langsung dibuang ke sungai. Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton tempe yang diproduksi. 8 Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair yang mengandung padatan tersuspensi dan terlarut yang tinggi kadar BOD dan CODnya. Limbah cair tempe berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seperti mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan tercemarnya sungai tersebut. Para pengrajin tempe umumnya membuang limbah cair langsung ke sungai karena lokasi industri tempe di Desa Citeureup berada di sekitar sungai. Hal ini menyebabkan kualitas lingkungan di sekitar sungai menurun dan dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar sehingga menghambat aktivitas ekonomi mereka. Belum adanya kesadaran pengrajin tempe di Desa Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah. Padahal untuk menjaga sustainability lingkungan sungai pengrajin harus melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai. Salah satu pengolahan limbah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembangunan IPAL. Menurut Sugiharto 1987 IPAL juga merupakan bangunan air limbah yang dipergunakan untuk mengolahmemproses air limbah menjadi bahan-bahan yang berguna lainnya serta tidak berbahaya bagi sekelilingnya. Bangunan ini dibuat untuk melayani wilayah tertentu sesuai dengan 8 Dirjen IKM. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Dalam http:www.depperin.go.idasppelatihan_ikmcleanerprodcleaner-production . Diakses Tanggal 20 Februari 2008. kapasitas bangunan tersebut. Tujuan pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah adalah untuk mengendalikan mutu air nasional dan mutu buangan limbah dapat dicapai Linsley dan Franzini, 1986. Tetapi pengrajin tempe di Desa Citeureup belum membangun IPAL tersebut karena beberapa faktor yaitu 1 Pengrajin umumnya tidak memiliki dana untuk melakukan pengelolaan limbah karena modal yang dimiliki terbatas, 2 Keterbatasan pengetahuan mengenai teknologi pengolahan limbah dan standar baku buangan limbah dan 3 Mereka mempunyai anggapan bahwa limbah yang dihasilkan tidak berbahaya dan umumnya langsung dibuang ke badan air terdekat. Pengrajin harus melakukan pengolahan limbah dengan membangun IPAL untuk meminimalkan dampak negatif dari limbah cair tempe. Untuk membangun IPAL diperlukan biaya-biaya seperti biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi berupa biaya peralatan sedangkan biaya operasional terdiri dari biaya bahan baku, upah tenaga kerja, listrik, biaya pemeliharaan dan penyusutan. Biaya pengolahan limbah dengan membangun IPAL merupakan biaya eksternal yang harus ditanggung oleh pencemar yaitu pengrajin tempe. Sehingga pengrajin tempe harus menginternalisasi biaya eksternal ke dalam struktur biaya usahanya agar pengelolaan limbah dapat dilakukan. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah menghitung biaya eksternal yang harus ditanggung oleh industri tempe di Citeureup untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL. Perhitungan biaya tersebut dengan menggunakan pendekatan preventive expenditure. Setelah biaya eksternal diperoleh, maka biaya tersebut diinternalisasikan ke dalam struktur biaya dan melakukan analisis finansial untuk mengetahui kelayakan usaha tersebut. Kemudian menganalisis perubahan kelayakan akibat internalisasi biaya eksternal menggunakan analisis manfaat dan biaya Benefit Cost Analysis. Kelayakan usaha setelah internalisasi biaya eksternal akan mempengaruhi penelitian lain yang bertujuan untuk mengukur tingkat kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL dan faktor- faktor yang mempengaruhinya. Penelitian tersebut menggunakan analisis deskriptif untuk tingkat kesediaan pengrajin dan analisis regresi logit untuk faktor-faktor yang mempengaruhi pengrajin melakukan pengolahan limbah. Diduga kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pendapatan, lama usaha, luas tempat usaha, jarak ke sungai dan jumlah tanggungan, sehingga perlu dilakukan penelitian yang mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup dan mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tempe. Kajian dan identifikasi yang akan dilakukan menggunakan analisis deskriptif. Setelah diketahui kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah maka dapat dilakukan pengelolaan limbah cair industri tempe. Agar limbah cair tidak membahayakan masyarakat dan pengrajin tempe dapat melakukan pengolahan limbah. -------- = tidak diteliti Ampas kedelai Limbah cair Tempe Dibuang ke sungai Bahan baku industri makanan lain Dijual ke konsumen Pencemaran sungai Pengolahan limbah dengan IPAL Menganalisis kelayakan usaha sebelum ada IPAL analisis kelayakaan finansial Usaha layaktidak Menganalisis perubahan kelayakan setelah internalisasi biaya eksternal analisis manfaat dan biaya Menghitung biaya eksternal preventive expenditure Internalisasi Biaya Eksternal Proses Produksi Tempe Mengkaji karakteristik pengrajin tempe dan dampak limbah cair analisis deskriptif Kesediaan pengrajin tempe untuk melakukan pengolahan limbah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya analisis deskriptif dan regresi logit Belum adanya kesadaran menjaga lingkungan dan pembangunan IPAL Rekomendasi pengelolaan limbah industri tempe di Desa Citeureup Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran

IV. METODE PENELITIAN 4.1