yang berdasarkan manfaat Benefit Based Valuation. Sehingga mengukur kerusakan lingkungan dengan berdasarkan pada manfaat dari kualitas lingkungan
yang baik.
2.6.4 Studi Mengenai Biaya Eksternal
Nasrullah 2003 melakukan penelitian mengenai estimasi biaya eksternalitas dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap PLTU di Tambak Lorok-
Semarang. Semakin besar kapasitas pembangkit listrik dan semakin baru operasi pembangkit listrik maka akan semakin kecil biaya eksternalitasnya. Hasil
perhitungan biaya eksternalitas studi kasus kesehatan yang diteliti menunjukkan nilainya berkisar antara 0,00425 centskWh sampai 0,10481 centskWh, nilai
ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan studi ExternE yang menunjukkan nilai sebesar 0,124 centskWh sampai 0,843 centskWh. Kelebihan penelitian
ini adalah menghitung dampak pencemaran udara dari PLTU. Tetapi belum menginternalisasikan biaya eksternalitas tersebut ke dalam struktur biaya PLTU.
2.6.5 Studi Mengenai Kelayakan Usaha
Gumelar 2002 menganalisis kelayakan usaha proyek pengelolaan sampah kota dengan pendekatan Nir Limbah zero waste di Kelurahan
Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penelitiannya menyimpulkan bahwa proyek pengelolaan sampah kota dengan pendekatan Nir
Limbah tetap layak diusahakan pada peningkatan kapasitas produksi batako dan serpihan plastik secara optimal, pada penurunan penjualan sebesar 26,3 persen
dan kenaikan biaya upah tenaga kerja sebesar 28,6 persen. Namun pada kombinasi antara penjualan sebesar 26,3 persen dan kenaikan biaya upah tenaga kerja
sebesar 28,6 persen, proyek ini sudah tidak layak untuk dilaksanakan. Penelitian ini belum memasukkan biaya eksternal ke dalam analisis kelayakan usahanya.
Berdasarkan studi penelitian terdahulu, ternyata penelitian yang menghitung biaya eksternal dan menginternalisasikan biaya tersebut ke dalam
struktur biaya serta menganalisis perubahan kelayakan usaha industri kecil tempe masih jarang dilakukan. Sehingga Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan
Limbah Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup sangat penting untuk dilakukan.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Industri tempe menghasilkan tempe sebagai produk utama, ampas kedelai sebagai produk sampingan dan limbah. Tempe langsung dijual kepada konsumen
dan ampas kedelai digunakan sebagai bahan baku industri makanan lain serta limbah. Limbah dapat dijadikan Nata de Soya atau langsung dibuang ke sungai.
Limbah yang dihasilkan cukup banyak yaitu sebesar 3000-5000 liter setiap 1 ton tempe yang diproduksi.
8
Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair yang mengandung padatan tersuspensi dan terlarut yang tinggi kadar BOD dan
CODnya. Limbah cair tempe berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seperti mengakibatkan bau busuk dan bila dibuang langsung ke sungai
akan menyebabkan tercemarnya sungai tersebut. Para pengrajin tempe umumnya membuang limbah cair langsung ke
sungai karena lokasi industri tempe di Desa Citeureup berada di sekitar sungai. Hal ini menyebabkan kualitas lingkungan di sekitar sungai menurun dan dapat
menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitar sehingga menghambat aktivitas ekonomi mereka. Belum adanya kesadaran pengrajin tempe di Desa Citeureup
untuk melakukan pengolahan limbah. Padahal untuk menjaga sustainability lingkungan sungai pengrajin harus melakukan pengolahan limbah sebelum
dibuang ke sungai. Salah satu pengolahan limbah yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembangunan IPAL. Menurut Sugiharto 1987 IPAL juga
merupakan bangunan air limbah yang dipergunakan untuk mengolahmemproses air limbah menjadi bahan-bahan yang berguna lainnya serta tidak berbahaya bagi
sekelilingnya. Bangunan ini dibuat untuk melayani wilayah tertentu sesuai dengan
8
Dirjen IKM. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan. Dalam
http:www.depperin.go.idasppelatihan_ikmcleanerprodcleaner-production . Diakses Tanggal
20 Februari 2008.