untuk meningkatkan kesiapan guru pembimbing, diharapkan pihak sekolah dapat memagangkan guru-gurunya di industri.
Penelitian yang dilakukan oleh Sonhaji A. 1998 menyatakan bahwa kualifikasi guru pembimbing ditandai dengan tingkat dan jenis
pendidikan formal, pengalaman profesi, pengalaman pembimbingan, dan pengalaman pelatihan. Penunjukan guru pembimbing diutamakan
sarjana S1 sesuai dengan bidang studi siswa yang dibimbingnya. Sebagian besar mereka telah berpengalaman cukup lama dalam
membimbing siswa prakerin. Sementara hanya terdapat beberapa guru saja yang berpengalaman mengikuti pelatihan tentang prakerin.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sonhaji A. ini sesuai dengan hasil penelitian di SMK 3 Pacitan. Sebagian besar guru pembimbing
yang ditunjuk sudah berpengalaman cukup lama dalam membimbing siswa prakerin. Namun pengalaman dalam pelatihan masih terdapat
beberapa yang belum karena belum ada program khusus dari sekolah.
2. Fasilitas Praktik di DUDI
Fasilitas praktik di DUDI yang memadai sesuai yang dibutuhkan di DUDI akan memudahkan siswa dalam kegiatan pembelajaran
sehingga pembentukan karakter calon tenaga kerja yang profesional di bidangnya akan semakin mudah, begitu juga sebaliknya apabila fasilitas
yang terdapat dalam DUDI kurang memadai maka siswa akan terhambat dalam menguasai kompetensi yang disyaratkan. Fasilitas sarana dan
prasarana di sebuah DUDI akan mengikuti seberapa kecil atau besarnya
sebuah industri. Apabila DUDI tersebut merupakan milik perseorangan dan hanya mengerjakan servis umum saja maka peralatan yang ada juga
kurang memadai. Sedangkan apabila DUDI tersebut merupakan milik suatu Perseroan Terbatas PT, CV, milik pemerintah, atau milik dari
beberapa orang biasanya sarana dan prasarana cukup memadai bahkan sangat lengkap. Selain itu kedua bengkel tersebut juga mempunyai
perbedaan manajemen di dalamnya. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata kesiapan fasilitas praktik,
kesiapan terendah dicapai pada aspek ketersediaan sarana keselamatan kerja yang baru mencapai 50,8 kategori sedang. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar lokasi yang digunakan untuk prakerin merupakan DUDI skala kecil yang dimiliki oleh perseorangan sehingga sarana dan
prasarana yang dimiliki salah satunya ketersediaan sarana keselamatan kerja masih kurang. Sarana K3 sangat diperlukan dalam aktivitas sehari-
hari mengingat dalam setiap aktivitas selalu terjadi kontak langsung dengan bahan kimia, bahan padat dan keras, debu, dll sehingga
diperlukan sarana untuk melindungi tubuh kita dari hal itu semua. Selain itu K3 juga merupakan salah satu SOP dalam melakukan aktivitas
keahlian praktik industri. Sedangkan rata-rata kesiapan fasilitas sarana praktik di industri
mencapai 72,38 dan merupakan kategori tinggi. Namun dari hasil dokumentasi di lapangan, tidak semua bengkel mempunyai perlengkapan
yang memadai. Perlengkapan yang ada hanya disesuaikan dengan bidang
jasa bengkel tersebut. Misalkan perlengkapan bengkel yang hanya melayani servis umum kendaraan dengan bengkel yang melayani servis
umum dan pengecatan akan berbeda. Dengan demikian kelengkapan sarana dan prasarana bengkel akan disesuaikan dengan bidang
jasaproduksi suatu bengkel tersebut. Hasil yang sama juga dialami di STM Negeri 1 Surakarta dalam penelitian yang dilakukan oleh Supardi
1996 yang menyatakan bahwa latihan kerja siswa di industri didukung dengan fasilitas kerja sehari-hari yang telah ada sebelumnya, sehingga
beberapa industri terbukti memiliki tingkat kesiapan kelengkapan fasilitas sangat rendah.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 24 DUDI yang digunakan untuk melaksanakan Prakerin, 1 bengkel dengan kategori
rendah, 5 bengkel kategori sedang, 8 bengkel kategori tinggi, dan 10 bengkel kategori sangat tinggi. Meskipun cukup banyak bengkel yang
mendapatkan predikat kategori sedang, tinggi, dan sangat tinggi, namun diperlukan perbaikan dan catatan khusus tentang fasilitas praktik yang
ada.
3. Pelaksanaan Prakerin di DUDI