6
pendekatan metode yang bervariasi agar proses pembelajaran tidak membosankan bahkan lebih menarik perhatian siswa. Dalam hal ini
dipilih pendekatan contextual teaching and learning CTL untuk kelas eksperimen dan pendekatan konvensional untuk kelas kontrol.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah siswa yang diajar dengan pendekatan contextual teaching and
learning CTL mempunyai prestasi belajar lebih baik dari siswa yang diajar
dengan pendekatan konvensional. 2. Apakah siswa yang dikategorikan disarankan mempunyai prestasi
belajar lebih baik dari pada siswa yang dikategorikan cukup disarankan, dan apakah siswa yang dikategorikan cukup disarankan mempunyai prestasi
belajar lebih baik dari pada siswa yang dikategorikan kurang disarankan. 3. Apakah perbedaan prestasi belajar dari masing-masing kategori tes bakat-
minat konsisten pada perbedaan prestasi belajar dari masing-masing pendekatan pembelajaran dan apakah perbedaan prestasi belajar dari masing-
masing pendekatan pembelajaran konsisten pada perbedaan prestasi belajar dari masing-masing kategori tes bakat-minat.
E. Tujuan Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur bagi Sekolah Menengah Kejuruan SMK dalam menerimaan siswa baru maupun dalam
pembelajaran matematika. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah:
7
1. Membandingkan hasil penggunaan metode pendekatan contextual teaching and learning CTL
dan pendekatan konvensional. 2. Membandingkan prestasi belajar matematika dengan topik pembelajaran
approksimasi kesalahan, antara siswa dengan kategori disarankan dengan
kategori cukup disarankan, dan kurang disarankan. 3. Mengetahui perbedaan prestasi dari masing-masing kategori tes bakat-minat
dan masing-masing pendekatan pembelajaran.
F. Manfaat Penelitian
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, dapat kita ambil manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan pembelajaran dan dapat menjadi salah satu rujukan bagi peneliti lain, serta memperkaya jenis penelitian yang sudah ada.
2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
siswa, guru, sekolah, peneliti yang lain, pemerintah kota Surakarta, dan Pihak yang berwenang.
a. Bagi Siswa Siswa mendapat pengajaran dengan metode yang berbeda dari
biasanya, diharapkan sangat dapat meningkatkan semangat belajar siswa sehingga prestasi belajar siswa meningkat.
8
b. Bagi Guru Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai alat evaluasi terhadap proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan dan sebagai informasi untuk peningkatan kualitas pembelajaran di waktu-waktu mendatang.
c. Bagi Sekolah Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai alat evaluasi terhadap proses
penerimaan siswa baru pada awal tahun pelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan SMK di kota Surakarta agar menghasilkan lulusan output yang
lebih baik. d. Peneliti yang lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan sebagai umpan balik dan perlu ditindaklanjuti oleh peneliti lain dengan pendekatan dan
variabel yang lebih bervariasi. e. Pemerintah Kota Surakarta
Membantu salah satu program pemerintah daerah kota Surakarta sebagai kota vokasi dengan meningkatkan sumber daya manusianya yang
nantinya akan terkait langsung di dalamnya. f. Pihak yang berwenang
Membantu pihak yang berwenang dalam menentukan kebijakan di Sekolah Menengah Kejuruan SMK.
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN
HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Teori – Teori Belajar
Dewasa ini, tinjauan mengenai teori pembelajaran terus berkembang. Berawal dari pandangan yang menganggap siswa sebagai penerima secara pasif
dari berbagai fakta dan informasi, hingga pandangan yang menganggap bahwa siswa adalah sobyek yang aktif. Tinjauan teori pembelajaran bermula dari
penelitian tentang tingkah laku behaviorisme hingga konstruktivisme. Secara garis besar ada tiga macam teori dalam psikologi belajar yang mendasari
penerapan contextual teaching and learning CTL yaitu behaviorisme, kognitivisme dan konstruktivisme:
a. Behaviorisme Tingkah Laku
Pada awalnya konsep behaviorisme dikemukakan oleh Aristoteles kurang lebih 350 SM bahwa behaviorisme bisa terjadi karena: kesamaan
similiarity , berlawanan contrast, dan berurutan dalam waktu dan tempat
terhadap tanggapan – tanggapan, serta hubungan sebab akibat cause and effect. Teori ini menekankan pada kondisi contiguity dan reinforcement.
Guithrie dalam Gredler 1994:78 mendefinisikan contiguity adalah gabungan stimulus-stimulus yang disertai oleh suatu gerakan, dan pada waktu timbul
kembali, cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Sedangkan reinforcement
menurut Skinner dalam Winkel 2004 : 622 adalah penguatan atas
10
hasil yang telah dicapai. Dalam teori behaviorisme ini, belajar merupakan usaha mendapatkan tanggapan sebanyak – banyaknya dan menggabungkan tanggapan –
tanggapan, serta hubungan sebab akibat cause and affect. Menurut Suyarno dalam Krisno Anggara, belajar adalah usaha
mendapatkan tanggapan sebanyak – banyaknya dan menggabungkan tanggapan – tanggapan ini dengan jalan mengulang – ulanginya. Adapun penekanan teori
behaviorisme terletak pada: pengaruh lingkungan, bagian – bagian, peranan reaksi, mekanisme terbentuknya hasil belajar, sebab – sebab waktu yang lalu,
pembentukan kebiasaan, pemecahan problem dengan ciri trial and error. Karakteristik pembelajaran berdasarkan paradigma mengajar menurut
Yansen Marpaung 2003:2 sangat kuat dipengaruhi oleh psikologi tingkah laku: a. Guru aktif, siswa pasif.
b. Pembelajaran berpusat pada guru. c. Guru mentransfer pengetahuan ke pikiran siswa.
d. Pembelajaran bersifat mekanistik. e. Siswa diam secara fisik dan penuh konsentrasi mental memperhatikan
apa yang diajarkan oleh guru. Untuk menerapkan teori behaviorisme dalam pembelajaran, Sri Esti
Wuryani Djiwandono dalam Krisno Anggoro melakukannya dengan: 1. mendefinisikan dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang
akan diubah. 2. memperoleh suatu gambaran dari tingkah laku tingkat operant dimana
guru mempertimbangkan untuk mengubahnya.
11
3. mengatur situasi belajar atau situasi perlakuan sehingga tingkah laku yang diinginkan dapat terjadi.
4. mengidentifikasi reinforment yang terjadi. 5. membentuk dan memperkuat tingkah laku yang diinginkan, menyusun
catatan dari tingkah laku yang diperkuat untuk menentukan apakah penguatan atau frekuensi dari respon bertambah.
b. Kognitivisme
Dasar kognitivisme adalah proses pemikiran yang terjadi dibalik tingkah laku. Perubahan tingkah laku diamati dan digunakan sebagai indikator terhadap
apa yang terjadi di dalam pikiran. Menurut Piaget dalam Moh. Nur dan M. Ibrahim 2001:17,18 pedagogi
yang baik harus melibatkan pemberian anak dengan situasi-situasi di mana anak itu mandiri melakukan eksperimen, dalam arti paling luas, mencoba segala
sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya,
mencocokkan apa yang ia temukan pada saat tertentu dengan yang ia temukan pada saat yang lain, membandingkan yang ia temukan dengan temuan anak lain.
Dengan mengembangkan psikologi perkembangan yang dipelopori oleh Piaget, aliran ini percaya bahwa seseorang akan memperoleh pengetahuan, dengan
terus menerus memperbaiki skemata yang ada, ketika informasi baru tidak sesuai dengan strutur yang ada. Bila suatu informasi dapat dipahami dengan pengetahuan
yang ada maka akan menguatkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian
12
proses belajar tidak hanya dapat dilihat dari tampilan luar dalam bentuk unjuk kerja seseorang tetapi bisa dijelaskan dengan proses di dalam pikiran seseorang.
Menurut paham kognitivisme peserta didik harus berpartisipasi aktif bukan pasif hanya menerima informasi dari guru, sesuai dengan salah satu
karakteristik pendekatan contextual teaching and learning CTL.
c. Konstruktivisme
Teori-teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi komplek, mengecek
informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi.
Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasi suatu informasi ke suatu yang lain. Siswa harus
mengkonstruksi bukan hanya menerima pengetahuan, dan siswa merupakan pusat kegiatan.
Menurut Muhamad Nur 2001:2, hal yang terpenting dalam pendidikan konstruktivisme di sekolah adalah guru tidak dapat hanya semata-mata
memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini, dengan cara-cara mengajar
yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan
menerapkan sendiri ide-ide ataupun strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Menurut Brooks dan Brooks dalam Y. Marpaung 2003:6,
pembelajaran kontruktivis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
13
a. Kurikulum disajikan dari keseluruhan ke bagian-bagian dengan menekankan ide-ide dasar.
b. Keberanian siswa mengajukan pertanyaan–pertanyaan dinilai tinggi. c. Aktivitas kurikuler berdasarkan pada sumber-sumber data primer dan
penggunaan benda-benda manipulatif. d. Siswa dianggap pemikir dengan memunculkan teori-teori tentang dunia.
e. Guru pada umumnya bertingkah laku yang interaktif, dengan memediasi lingkungan pada siswa menggunakan lingkungan sebagai titik tolak
pembelajaran. f. Guru berusaha menyelidiki pandangan siswa untuk memahami
konsepsinya yang akan digunakan pada pelajaran berikutnya. g. Assesmen hasil belajar siswa terintergrasi dengan pembelajaran melalui
pengamatan oleh guru selama siswa belajar, melalui pameran siswa akan kemampuannya dan portofolio.
h. Mengutamakan belajar dalam kelompok. Di lain pihak, Suparno dalam Y. Marpaung 2003:6 menyebut bahwa
ciri-ciri belajar kontruktivis adalah: 1. belajar berarti membentuk makna.
2. belajar berarti mengkonstruksi terus menerus. 3. belajar adalah mengembangkan pemikiran, bukan mengumpulkan fakta-
fakta dan menghafalnya. 4. belajar berarti menimbulkan situasi ketidakseimbangan.
14
5. hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pebelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6. belajar kelompok adalah baik dan dianjurkan. 7. dalam proses pembelajaran guru berperan sebagai fasilitator dan mediator.
Dapat dikatakan bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan kontruktivisme guru tidak lagi mengajari siswa apa yang harus siswa lakukan dan
bagaimana dia melakukannya, tetapi memotivasi siswa dan memfasilitasi siswa agar mau secara aktif mengolah informasi, baik secara individu atau interaksi dan
negoisasi dalam kelompok.
2. Pembelajaran CTL Contextual Teaching and Learning Webster dalam Johnson 2007:82 menulis: “Konteks” berasal dari kata
kerja latin “contexere” yang berarti “menjalin bersama”. Kata “Konteks” merujuk
pada “keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan” yang berhubungan dengan diri dan yang terjalin dengan bersamanya.
Menurut Johnson 2002:25 Pembelajaran contextual teaching and learning CTL
dapat digambarkan sebagai berikut: “An educational process that aims to help students see meaning in the
academic material they are studying by connecting academic subyects with the context of their daily live, that is, with context of their personal,
social, and culture circumstance. To achieve this aims, the system encompasses
the following
components: making
meaningful connections,
doing significant
work, self-regulated
learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual,
reaching high standards, using authentic assessment” .
Yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: Sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong siswa melihat makna didalam materi akademik yang mereka
pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks
15
dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keaadan pribadi, sosial
dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, pembelajaran harus memenuhi
komponen-komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri,
melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk berkembang, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian autentik.
Sedangkan menurut Nurhadi 2002:6, pembelajaran konstektual CTL adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan mengaitkan
antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa .
Pembelajaran berbasis CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif, yakni:
a. Konstruktivisme Constructivism
Konstruktivisme merupakan
landasan berpikir
filosofi dari
pendekatan contextual teaching and learning CTL yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas sempit dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah sekelompok fakta-fakta, konsep-konsep atau kaidah yang siap diambil dan diingat.
b. Menemukan Inquiri
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran yang berbasis CTL. Ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tapi dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang menunjuk pada penemuan.
16
c. Bertanya Questioning
Bertanya merupakan strategi utama yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing,
dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
1. mengggali informasi, baik administrasi maupun akademis. 2. mengecek pemahaman siswa.
3.membangkitkan respon pada siswa. 4. mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa.
5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa. 6. memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru.
7. untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa. 8. untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
d. Masyarakat Belajar Learning Community
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Dalam CTL, guru disarankan selalu
melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar learning community
. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberitahu yang
belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya temannya yang lambat.
17
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajari siswanya bukan contoh masyarakat belajar karena
komunikasi hanya satu arah. Seseorang yang terlibat dalam masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan teman bicaranya dan sekaligus minta
informasi yang diperlukan dari teman bicaranya.
e. Pemodelan Modeling
Maksud dari pemodelan adalah jika dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, pasti ada model yang bisa ditiru. Model
itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu. Misalnya guru memberi contoh mengerjakan sesuatu, dengan begitu guru memberi model tentang bagaimana cara
belajar. Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberi contoh temannya dan model juga dapat didatangkan dari luar.
f. Refleksi Reflection
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa yang lalu.
Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh melalui proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang diperluas
18
sedikit demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan
pengetahuan yang baru. Kunci dari semua itu adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap
dibenak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.
g. Penilaian yang sebenarnya Authentic Assessment
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa
mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar,
maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan
disepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dilakukan diakhir periode cawusemester, pembelajaran seperti pada kegiatan Ujian Akhir
Nasional, tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang
seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari learning by doing, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin
informasi diakhir periode pembelajaran.
19
Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat
melakukan proses pembelajaran. Data yang diambil dari kegiatan siswa saat melakukan kegiatan baik di dalam kelas maupun di luar kelas itulah yang disebut
data autentik. Kemajuan belajar dilihat dari proses, bukan melulu hasil. Penilaian
autentik menilai pengetahuan dan ketrampilan performansi yang diperoleh siswa. Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain.
Karakteristik authentic assessment: 1. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
2. Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif. 3. Yang diukur ketrampilan dan performansi, bukan mengingat fakta.
4. Berkesinambungan. 5. Terintegrasi.
6. Dapat digunakan sebagai feedback. Intinya, dengan authentic assessment, pertanyaan yang ingin dijawab
adalah “apakah anak-anak belajar?” , bukan “apa yang sudah diketahui?” Jadi, siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara. Tidak melulu dari hasil
ulangan tulis. Komponen CTL yang di pilih pada penelitian ini adalah: 1 masyarakat
belajar; 2 kontruktivisme ; 3 menemukan ; dan 4 refleksi disesuaikan dengan karakter pembelajaran aproksimasi kesalahan.
20
Dalam menerapkan pembelajaran contextual teaching and learning CTL ada sejumlah strategi yang sama pentingnya, semuanya secara proporsional dan
rasional yang mesti ditempuh yaitu : 1. Pengajaran harus berbasis problem. Dengan adanya problem yang dihadapi,
siswa ditantang untuk berpikir kritis dalam memecahkannya. Problem seperti ini akan membawa makna personal dan sosial bagi siswa.
2. Menggunakan konteks yang beragam. Makna pengetahuan tersebut ada dalam konteks fisikal dan sosial sekolah, keluarga, masyarakat dan
sebagainya, sehingga makna yang diperoleh semakin berkualitas. 3. Mempertimbangkan kebhinekaan siswa. Guru harus mengayomi setiap
individu dan meyakini bahwa perbedaan individual dan sosial seyogianya dibermaknakan menjadi mesin penggerak untuk belajar saling menghormati
dan membangun toleransi demi terwujudnya ketrampilan interpersonal. 4. Memberdayakan siswa untuk belajar mandiri. Menjadikan pendidikan formal
sebagai kawah candradimuka bagi pembelajaran siswa untuk belajar mandiri di kemudian hari. Oleh karena itu perlu dilatih berpikir kritis dan kreatif
dalam mencari dan menganalisis informasi. 5. Belajar melalui kolaborasi. Siswa seyogianya dibiasakan saling belajar dari
dan dalam kelompok untuk berbagi pengetahuan dan menentukan fokus belajar.
6. Menggunakan penilaian autentik, yaitu mengakui adanya kekhasan sekaligus keleluasaan dalam pembelajaran, materi ajar dan prestasi yang dicapai siswa.
21
7. Mengejar standar tinggi. Siswa perlu diberi pengertian untuk terus menjadi manusia kompetitif pada era seperti sekarang ini, sehingga standar tinggi
merupakan hal yang penting. Menurut Y. Marpaung 2006:8 pada pembelajaran kontektual, siswa:
1. harus aktif mengolah informasi untuk memperoleh pengetahuan. 2. materi selalu dikaitkan dengan masalah-masalah kontektual. Dengan demikian
siswa secara perlahan-lahan melihat makna pengetahuan dalam hubungannya dengan kebutuhan mereka.
3. berinteraksi dengan sesama siswa. Belajar dengan bekerja sama lebih efektif dari pada belajar dengan kompetisi individu.
4. dibimbing oleh guru menuju pencapaian pengetahuan yang diharapkan. Pembelajaran kontekstual CTL adalah konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari – hari. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika ia belajar. Dalam kelas kontektual, menurut Nurhadi 2002:2 tugas guru adalah
membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai
sebuah team yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.
22
Pembelajaran kontekstual merupakan bagian dari kerangka pendidikan yang dapat digunakan untuk membantu siswa membuat pembelajaran menjadi
lebih bermakna bagi siswa. Guru memiliki konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan
lingkungan dimana anak itu hidup serta budaya yang berlaku dalam masyarakat. Jadi penyajian pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap yang ada
dalam silabus dilakukan dalam keterkaitan apa yang dipelajari dalam kelas dengan kehidupan sehari – hari siswa.
Dengan memilih konteks secara hati – hati siswa secara perlahan – lahan digerakkan pemikirannya agar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di
lingkungan kelas saja, tetapi mengkaitkan aspek – aspek pembelajaran itu dengan kehidupan mereka sehari – hari, masa depan mereka dan lingkungan masyarakat
yang lebih luas. Pengalaman belajar siswa tidak dikotak – kotakkan dalam silabus yang
terpisah – pisah. Karenanya, guru memilih konteks dan merancang pembelajaran yang kondusif untuk belajar, yaitu yang terintegrasi saling berkaitan,
interdisipliner dipandang dari berbagai bidang ilmu, dan mencerminkan situasi kehidupan nyata.
Di era informasi saat ini sangat diperlukan kemampuan berpikir kristis dan imajinatif, kemampuan menganalisis fakta, menilai logika, dan melahirkan
kemungkinan – kemungkinan imajinatif atas ide – ide tradisional. Untuk itu, siswa perlu dilatih agar dapat berpikir demikian.
23
Berpikir kritis dan kreatif memungkinkan siswa mengkaji masalah – masalah secara sistematis, ditantang untuk mencari cara – cara yang terorganisasi
dengan baik dalam memecahkan suatu masalah, dapat merumuskan pertanyaan – pertanyaan yang inovatif dan dapat merancang pemecahan masalah secara tepat..
Berpikir kritis bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang paling lengkap. Berpikir kritis membantu siswa memahami bagaimana mereka melihat diri
mereka sendiri, bagaimana mereka melihat dunia yang seluas ini, dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain. Berpikir kritis membantu siswa menguji
sikap mereka sendiri dan menghargai nilai – nilai yang harus mereka pelajari. Itu sebabnya, berpikir kritis menjadi salah satu prinsip yang mendasar dalam
pembelajaran kontekstual.
3. Pembelajaran Konvensional