Kebijakan Wajib Belajar Latar Belakang Masalah

PERENCANAAN PENDIDIKAN 118 wajib belajar SD. Wajib di sini berarti mempunyai keharusan untuk melaksanakannya, akan tetapi tidak terkait langsung dengan sanksi hukum apabila tidak melaksanakannya. Orang yang tidak melaksanakan kewajiban belajar tidak sertamerta mendapat sanksi atau hukuman. Dalam jangka panjang, orang yang tidak mengikuti kewajiban belajar atau tidak tamat hingga SLTP akan menerima akibat berupa hilangnya kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi, hilangnya kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang bersyarat minimal tamatan SLTP, di mana peluang-peluang tersebut di masa yang akan datang akan lebih terbuka sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap perintisan wajib belajar telah disiapkan suatu kondisi yang memadai, berkaitan dengan kurikulum, tenaga, sarana dan prasarana, sistem pengelolaan, persepsi, serta apresiasi masyarakat terhadap penuntasan wajib belajar SLTP dan peningkatan mutu pendidikan di seluruh Indonesia. Pencanangan wajib belajar SLTP atau wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dilakukan oleh Presiden Soeharto bertepatan dengan peringatan hari pendidikan nasional pada tahun 1994 atau tepat sepuluh tahun setelah pencanangan wajib belajar enam tahun. Selama perintisan wajib belajar pendidikan telah dilakukan berbagai upaya, antara lain 1 penyediaan data yang akurat, tepat waktu, dan lengkap menyangkut siswa, tenaga, sarana, dan prasarana; 2 pembuatan peta sekolah untuk menentukan pola dan lokasi penanggulangan wajib belajar di SLTP; 3 memadukan kegiatan dari berbagai unit kerja yang terkait baik intern Depdiknas maupun antardepartemen di tingkat pusat maupun daerah; 4 menganalisis data untuk dapat menentukan dan memilih pola wajib belajar SLTP dengan tepat; 5 mempersiapkan tenaga, sarana, dan fasilitas untuk mendukung operasionalisasi wajib belajar SLTP yang akan diterapkan; dan 6 meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk menyukseskan wajib 5. KAJIAN MASALAH PENUNTASAN WAJIB BELAJAR DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN 119 belajar SLTP, baik dari segi kesediaan menyekolahkan anak, pemikiran, maupun tenaga sebagai perwujudan tanggung jawab masyarakat akan pendidikan bagi anak-anaknya. Ada beberapa pola yang dapat digunakan untuk merealisasikan program wajib belajar SLTP, antara lain 1 pembangunan unit gedung baru; 2 penambahan ruang kelas baru; 3 pendirian SLTP terbuka; 4 penyelenggaraan kelompok belajar Paket B sebagai kelanjutan dari kelompok belajar Paket A; 5 pengakuan atau akreditasi terhadap penyelenggaraan kursus-kursus dalam masyarakat; 6 pengembangan MTs yang berbasis masyarakat; dan 7 pendirian pondokan atau pondok pesantren bagi anak-anak yang berasal dari daerah terpencil. Selain pengembangan pola-pola tersebut, tidak menutup kemungkinan dikembangkannya pola baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah Depdikbud 1993; Manap 1999. Hingga penelitian ini dilaksanakan 2007, gerakan perluasan pendidikan pada semua jenjang, khususnya SLTP masih menjadi prioritas pembangunan pendidikan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan alokasi anggaran yang cukup besar untuk pembangunan unit sekolah baru, penambahan ruang kelas baru, pembangunan ruang penunjang laboratorium, perpustakaan, ruang guru atau kepala sekolah, ruang kantor, dan sebagainya, termasuk pembanguan SD-SMP satu atap, perluasan SMP terbuka, serta memperluas penyelenggaraan program Paket A, B, dan C.

4. Tantangan Penuntasan Wajib Belajar dan Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar

Menjelang abad ke21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta percaturan ekonomi global semakin menguasai perkembangan dan perubahan dunia. Dalam situasi demikian, kualitas manusia merupakan faktor yang dominan bagi pembangunan. Kebutuhan akan sumber PERENCANAAN PENDIDIKAN 120 daya manusia yang berkualitas bagi percepatan laju pembangunan semakin memperkuat aspirasi masyarakat terhadap pendidikan. Di tengah meningkatnya tuntutan tersebut, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata masih banyak orang yang buta huruf dan tidak memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan. Keadaan ini tentu kurang menguntungkan, mengingat bahwa keniraksaraan buta huruf pada umumnya “setali tiga uang” dengan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Kondisi masyarakat tersebut akan menjadi kendala bagi peran sertanya dalam proses pembangunan, bahkan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri. Padahal kita berharap agar manusia dapat menjadi salah satu modal dalam melaksanakan pembangunan. ISPI mensinyalir bahwa dalam skala nasional bangsa Indonesia dihadapkan pada kenyataan akan tingkat pendidikan penduduk yang masih rendah, angka putus sekolah yang masih tinggi, angka transisi, dan angka partisipasi pendidikan pada jenjang SLTP hingga perguruan tinggi masih rendah, serta kualitas dan produktivitas pendidikan yang “belum baik” ISPI 1993. Salah satu tantangan berat dalam pelaksanaan wajib belajar pendidikan adalah rendahnya jumlah lulusan SD yang melanjutkan pendidikan ke SLTP. Masalah tersebut merupakan bagian yang tidak terlepas dari beberapa persoalan pokok pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan Fakry Gaffar 1987:5 bahwa persoalan pokok yang dihadapi pendidikan, antara lain 1 jumlah populasi anak usia sekolah yang cukup besar dan jumlah populasi angkatan kerja yang memerlukan pembinaan lebih lanjut untuk meningkatkan produktivitasnya; 2 keterbatasan ekonomi untuk memperluas kesempatan pendidikan dan meningkatkan jenjang pendidikan angkatan kerja yang memerlukan; 3 relevansi program pendidikan yang sesuai dengan tuntutan pembangunan, baik ditinjau dari segi jenjang maupun jenisnya; dan 4 keseimbangan 5. KAJIAN MASALAH PENUNTASAN WAJIB BELAJAR DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN 121 antara tuntutan kualitas dengan kuantitas, terutama jika dikaitkan dengan nilai ekonomis hasil pendidikan. Beberapa pakar pendidikan menduga bahwa kemungkinan penyebab rendahnya angka melanjutkan antara lain: Toenlie mengemukakan paling sedikit ada dua 1 hal penyebab rendahnya jumlah lulusan SD yang melanjutkan ke SMP. Kedua hal tersebut adalah rendahnya kemampuan ekonomi orang tua dan rendahnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan tingkat SLTP bagi anaknya. Pendapat senada juga dikemukakan Abdul Kodir, yang 2 menyatakan bahwa rendahnya minat masyarakat untuk menyekolahkan nampak pada banyak masyarakat yang lebih senang melihat anaknya cepat bekerja daripada meneruskan pendidikan formal di sekolah, di samping memang masih ada beberapa daerah yang menghadapi masalah daya tampung sekolah. Fuad Hasan 1992 mengemukakan bahwa banyak 3 kemungkinan para lulusan SDMI melanjutkan ke lembaga pendidikan luar sekolah, seperti kursus atau bentuk keterampilan kerja lainya. Upaya untuk mengakomodasikan tekanan global dan demokratisasi pendidikan menjadi semakin berat manakala kita memerhatikan kenyataan berikut. Tingkat 1 drop out yang tinggi, terutama di kelas IV dan V, tingkat partisipasi sekolah lanjutan dan angka melanjutkan dari SD ke SLTP masih relatif rendah, jumlah sekolah lanjutan yang belum seimbang dengan jumlah lulusan sekolah di bawahnya, penempatan sekolah yang kurang tepat, dan kurangnya tenaga guru terutama di daerah-daerah terpencil Beeby 1981; Manap dkk. 1995. PERENCANAAN PENDIDIKAN 122 Kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah dapat 2 mengurangi hasrat orang tua dan semangat anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Orang tua lebih merasa tertolong jika anaknya dapat membantu pekerjaannya atau cepat bekerja untuk menunjang pendapatan keluarganya Santoso 1969; Bruner 1970; Beeby 1979; Manap dkk. 1995. Sebagai akibat kemampuan ekonomi masyarakat yang 3 rendah, maka biaya pendidikan terasa mahal dan ada di luar jangkauan kemampuan masyarakat, sebagian besar masyarakat memandang bahwa pendidikan belum menjadi kebutuhan yang mendesak. Mereka menganggap bahwa sekolah hanyalah pemborosan semata Manap 1993. Pertumbuhan industri di pinggiran kota telah banyak 4 menyedot tenaga kerja muda, dengan persyaratan dan pemberian upah yang tidak didasarkan atas pendidikan ijazah yang dimilikinya serta banyaknya lulusan sekolah menengah yang “menganggur” telah mengikis keyakinan masyarakat akan pentingnya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi Manap 1993. Nilai ekonomis hasil pendidikan yang belum seimbang 5 dengan biaya pendidikan yang dikeluarkan Engkoswara 1991. Faktor geograis, di mana masih banyak daerah 6 yang jauh dari sekolah, dengan sarana transportasi yang belum memadai atau belum ada Beeby 1981. Tantangan kuantitatif dan geograik saja sudah luar biasa dibandingkan dengan kemampuan pemerintah dan masyarakat yang terbatas dalam menyediakan sumber daya yang diperlukan. Oleh karena itu, perbaikan mutu, relevansi, dan eisiensi sekaligus merupakan barang langka Sanusi 1998:77. Terdapat kecenderungan melemahnya semangat siswa 7 dan orang tua murid untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dari SD, yang mungkin disebabkan