Aturan main Sintesis Penilaian Efektivitas Dan Efisiensi Sertifikasi Sumber Benih

Tabel 8. Kesenjangan antara aturan yang berlaku dengan realisasi kegiatan sertifikasi sumber benih Aspek Peraturan yang berlaku Realisasi Keterangan

A. Aturan main

1. Kewenangan melakukan sertifikasi • Sertifikasi dilaksanakan Dinas, bila tidak mampu baru dilakukan BPTH • Pelaksana sertifikasi berhak memungut jasa penerbitan sertifikasi BPTH tetap menjadi pelaksana sampai Dinas memiliki anggaran, SDM, dan sarana yang memadai Merupakan amanat perundangan desentralisasi kehutanan, BPTH merasa alokasi kerja dan anggarannya akan tereduksi, sementara Dinas merasa belum mampu melaksanakan sertifikasi dan belum tahu seberapa besar manfaat yang diperoleh 2. Batas jurisdiksi • BPTH hanya melaksanakan sertifikasi apabila Dinas tidak mampu • Tim penilai sertifikasi harus melibatkan BPTH, Dinas dan pakar • Pendanaan dibagi antara pelaksana sertifikasi dan pemohon Selama ini BPTH Banjarbaru tidak pernah melibatkan pakar sebagai tim penilai di Inhutani Sebuhur hanya meminta hasil uji keturunan yang sudah ada Untuk melaksanakan sertifikasi, Dinas memerlukan anggaran khusus apalagi melibatkan instansi lain dalam APBD sehingga harus dapat meyakinkan Kepala Daerah dan DPRD mengenai manfaat melakukan sertifikasi 3. Aturan representasi Pedoman pelaksanaan sertifikasi ditetapkan oleh Dirjen RLPS, BPTH dan Dinas hanya sebagai pelaksana Pedoman pelaksanaan belum terbit, kegiatan sertifikasi belum dapat terlaksana Kondisi tiap daerah berbeda, sehingga pedoman pelaksanaan dari pusat sering tidak bisa diimplementasikan optimal di daerah Tabel 8 lanjutan Aspek Peraturan yang berlaku Realisasi Keterangan

B. Organisasi

1. Standar pelaksana sertifikasi mempunyai struktur organisasi, tugas dan fungsi berkaitan dengan perbenihan dan pembibitan; memiliki prosedur mengelola dokumen dan rekaman data; memilikisistem mutu da Perbenihan hanya aspek kecil dari ruang lingkup tugas Dinas, belum ada Dinas yang memiliki sistem pengoperasian dan pengendalian mutu sertifikasi Dinas akan mengusahakan sistem sertifikasi apabila dirasa manfaat melakukan sertifikasi cukup besar, sebab ruang lingkup tugas Dinas sendiri cukup luas 2. SDM Memiliki SDM yang bersertifikat 80 JPL diklat sertifikasi sumber benih Belum ada diklat, SDM di Dinas umumnya tidak ada yang khusus mengurus perbenihan Minimal satu SDM Dinas yang memiliki sertifikat, tim penilai bisa melibatkan BPTH dan pakar 3. Teknologi dan sarana penilaian sertifikasi Memiliki GPS, kompas, peralatan pembuat peta, altimeter, pengukur tinggi dan diameter pohon, pH meter Tidak semua Dinas memiliki peralatan tersebut secara lengkap Pengadaan sarana perbenihan harus melalui APBD

4. Penilaian Efektivitas Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih

Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih Aspek penilaian Dasar kebijakan Penilaian Isi kebijakan Standar khusus sumber benih SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP Permenhut No P.12009 Efektif meski perlu disempurnakan Mekanisme SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Kurang efektif Permenhut No P.12009 Lebih efektif Tabel 9 lanjutan Aspek penilaian Dasar kebijakan Penilaian Implementasi kebijakan Mekanisme SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP Hasil penilaian SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP Peran pelaku SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Belum efektif Prospek implementasi Permenhut No P.12009 Permenhut No P.12009 Bisa lebih menghemat waktu dan tenaga, dan bisa efektif dengan beberapa syarat C. Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih 1. Analisis kelayakan finansial dan biaya transaksi sertifikasi sumber benih Komponen analisis kelayakan finansial dalam usaha pengelolaan sumber benih bersertifikat adalah sebagai berikut : a. Pengeluaran : 1 Biaya investasi, meliputi biaya izin usaha, retribusi, sewa lahan, biaya pembangunan sumber benih, pendirian bangunan dan gedung, pengadaan peralatan, dan biaya sertifikasi. 2 Biaya operasional : a. Bila produk berupa benih : biaya produksi benih meliputi biaya pengunduhan, sortasi, penjemuran, dan penyimpanan benih dan biaya pemeliharaan pohon induk. b. Bila produk berupa bibit : biaya produksi bibit meliputi biaya penyiapan media dan polibag, pengunduhan dan sortasi benih, biaya pembibitan dan pemeliharaan di persemaian dan biaya pemeliharaan pohon induk. 3 Biaya pemasaran, meliputi biaya transportasi dan biaya transaksi pemasaran. Biaya transaksi pemasaran ini meliputi biaya komunikasi dan biaya negosiasi untuk mewujudkan kontrak. b. Pemasukan, meliputi pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan benih atau bibit. Pada analisis kelayakan finansial ini diasumsikan pengeluaran dan pemasukan setiap tahun selama 5 lima tahun adalah tetap. Nilai interest rate ditentukan sebesar 13.52, sesuai tingkat suku bunga rata-rata bank umum pada bulan Juni 2009 saat dilakukan pengambilan data menurut Bank Indonesia Bank Indonesia, 2009. Perlu diketahui bahwa produk dari sumber benih dapat berupa benih atau bibit. Dari 6 enam pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian, ada 5 lima pengelola sumber benih yang sekaligus berperan sebagai penangkar bibit. Dalam kasus di PT GKS, pengelola sumber benih sekaligus berperan sebagai penangkar bibit serta pengumpul. Karakteristik pengelola sumber benih disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian Nama pengelola sumber benih Jenis produk Kelas sumber benih Asal pohon induk Harga jual mempertimbangkan sertifikat atau tidak Komponen biaya investasi PT INH 3 benih TBP HT ya izin usaha, retribusi, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi LSM GP bibit TBT HA ya izin usaha, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi Kelompok Tani KT MS bibit TBT HA tidak sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan, Tabel 10 lanjutan Nama pengelola sumber benih Jenis produk Kelas sumber benih Asal pohon induk Harga jual mempertimbangkan sertifikat atau tidak Komponen biaya investasi PT IKU bibit TBT meranti, APB mahoni HA, HT Ya TBT meranti, tidak APB mahoni izin usaha, retribusi, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi PT GKS bibit TBT HA ya izin usaha, retribusi, sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi CV GL bibit TBT HA tidak izin usaha, retribusi, sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi Biaya pembangunan sumber benih pada hutan alam meliputi biaya survei, penataan area, dan inventarisasi tegakan. Sedang biaya pembangunan sumber benih pada hutan tanaman meliputi biaya pembelian materi genetik, survei area, persiapan lahan, penanaman, penataan area, dan inventarisasi tegakan. Dalam penelitian ini ada satu pengelola sumber benih yang tidak mengeluarkan biaya pembangunan sumber benih, yaitu KT MS yang biaya pembangunan sumber benihnya berasal dari Ditjen RLPS sumber benih berada di hutan lindung. Hasil analisis kelayakan finansial usaha pengelolaan sumber benih bersertifikat disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat Nama pengelola sumber benih NPV Rp BCR IRR Biaya transaksi per sertifikat Rp Rasio biaya transaks i dengan NPV Kalimantan Selatan PT INH 3 HPHTI produk : akasia 112,793,535 1.088 78.49 5,000,000 0.089 LSM GP gaharu 202,036,364 1.288 110.14 3,500,000 0.017 Kelompok Tani KT MS meranti 11,543,436 1.075 29.32 tanpa biaya sertifikasi 1 - Kalimantan Timur PT IKUHPHTI, fokus meranti dan gaharu 180,229,622 1.309 173.70 1,000,000 0.040 PT GKS meranti 107,640,702 1.144 189,82 6,000,000 0.060 CV GL gaharu 62,866,731 1.119 37.79 10,000,000 0.160 Sumber : data primer, diolah Keterangan : 1 Sumber benih SB meranti yang dikelola Kelompok Tani KT MS disertifikasi atas prakarsa BPTH Banjarbaru, bukan atas permintaaan masyarakat ataupun Dinas. Pemegang sertifikat yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Hulu Sungai Tengah karena berada di kawasan hutan lindung serta KT MS sebagai pengelola harian tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikat. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari hasil analisis finansial pada Tabel 11, nampak bahwa usaha pengelolaan sumber benih layak secara finansial, baik untuk yang berskala kecil, menengah, maupun besar. Besaran BCR ternyata tidak jauh berbeda untuk pengusahaan sumber benih skala besar, skala menengah, maupun kecil. Nilai BCR terbesar didapat oleh LSM GP skala kecil dan PT IKU skala besar di Kaltim. Sedang nilai BCR dan IRR terkecil didapat oleh KT MS. IRR terbesar diperoleh PT GKS dan PT IKU, yang artinya nilai tambah laba kedua perusahaan tersebut baru mencapai nol apabila tingkat suku bunga mencapai 189.82 PT GKS dan 173.70 PT IKU. Besarnya nilai BCR dan IRR ini dipengaruhi antara lain oleh : 1. Besarnya permintaan akan hasil produksi. LSM GP dan PT IKU lebih besar BCRnya dibanding PT INH 3 karena permintaan akan hasil produksinya yang lebih banyak. Sedang PT INH 3 hanya 32 hasil produksinya yang diserap pasar. 2. Kelas sumber benih yang menentukan harga produk. Kelas SB untuk LSM GP dan PT IKU adalah TB Teridentifikasi yang selisih harganya dengan bibit non sertifikat tidak besar harga non sertifikat = 0.5 s.d 0.62 dari harga bibit SB bersertifikat. Kelas sumber benih PT INH 3 adalah TB Provenans yang harga benihnya 4 empat kali harga benih non sertifikat. 3. Ketegasan pengelola sumber benih menetapkan harga produk bersertifikat lebih tinggi daripada non sertifikat, yaitu di PT INH 3, LSM GP, dan PT GKS. Sebagai contoh, di LSM GP dan PT GL yang sama-sama memproduksi bibit gaharu Aquilaria malaccensis, ternyata BCR dan IRR LSM GP lebih tinggi karena harga jual bibitnya Rp 1300,00 mempertimbangkan adanya sertifikat. Sedang di CV GL, harga jual bibit gaharu dari sumber benih bersertifikat sama dengan non sertifikat, yaitu sebesar Rp 800,00 – Rp 850,00. Demikian pula BCR dan IRR PT GKS dan PT IKU lebih tinggi daripada KT MP yang sama-sama memproduksi bibit meranti Shorea sp., sebab harga jual bibit di KT MP tidak memperhitungkan adanya sertifikat Rp 700,00 – Rp 900,00 dibanding harga jual bibit di PT GKS Rp 1200,00 dan PT IKU Rp 1600,00. Di PT IKU pertimbangan sertifikat hanya berlaku pada tanaman lokal seperti meranti dan kapur, sedang untuk tanaman mahoni, jati, dan sengon yang bersertifikat APB ternyata harga bibitnya sama dengan non sertifikat Rp 800,00. Hal ini mungkin disebabkan kondisi pasar yang kesulitan mencari sumber benih tanaman lokal bersertifikat, namun untuk tanaman mahoni, jati, dan sengon bisa didatangkan dari Jawa. IRR terbesar yang diperoleh PT GKS juga disebabkan adanya sistem penjualan dalam grup, di mana PT GKS merupakan anggota dari sebuah grup pengada bibit yang menjadi peserta tender pengadaan bibit di Kaltim. Dalam grup tersebut, sesama anggota grup menjadi pemasok bibit bagi anggota grup yang menjadi pemenang tender subsidi silang. Harga bibit yang dijual padaanggota sesama grup ini lebih tinggi dari harga bibit di pasaran, namun karena fungsinya hanya sebagai pemasokpengumpul, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya transaksi pengadaan bibit. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi besar. Nilai biaya transaksi didapatkan dari besarnya biaya yang dikeluarkan pengusaha sumber benih dalam kegiatan sertifikasi. Biaya transaksi ini merupakan biaya tidak resmi yang dikeluarkan pemohon sertifikat untuk keperluan komunikasi, biaya negosiasi yang meliputi akomodasi, konsumsi, transport lokal di lapangan, dan biaya lain-lain bagi anggota tim penilai sertifikasi. Sementara dari BPTH tidak dikeluarkan biaya untuk kunjungan monitoring karena pembinaan dan monitoring dilakukan sekaligus saat kunjungan untuk sertifikasi bibit. Dalam Tabel 11 nampak bahwa besaran biaya transaksi sertifikasi ternyata tidak signifikan dibanding besarnya keuntungan yang didapatkan pada usaha yang layak secara finansial, kecuali di CV GL. Besaran biaya transaksi yang dikeluarkan CV GL per sertifikat jauh Meski demikian akan lebih baik apabila biaya tidak resmi ini dapat diminimalkan. Dalam Permenhut P.12009, secara resmi ditetapkan bahwa biaya lapangan selama penilai sertifikasi menjadi kewajiban pemohon sertifikat, dan bahwa penerbit sertifikat berhak memungut jasa penerbitan sertifikasi, sehingga diharapkan dapat meminimalkan biaya transaksi di masa mendatang. Berdasar hasil wawancara dengan informan pengada benihbibit, ternyata mereka tidak berkeberatan bila harus menanggung biaya penilaian lapangan serta membayar jasa penerbitan sertifikat, asalkan benar- benar merupakan tarif resmi, dan besarnya pungutan proporsional dengan keuntungan yang didapat pengusaha dengan adanya sertifikat hasil wawancara dapat dibaca pada Lampiran 9. Biaya transaksi yang tidak signifikan dibanding keuntungan mendorong PT Inhutani III mengajukan perpanjangan sertifikasi pada tahun 2008. Namun tidak atau belum mendorong pengelola sumber benih lain untuk mengajukan perpanjangan. Ada 31 pengelola sumber benih lainnya di wilayah Kalimantan yang habis masa sertifikatnya pada tahun 2008 atau 2009, dan belum mengajukan perpanjangan. Enam di antaranya dikelola kelompok tani atau Dinas yang tidak berhak menjadi pengelola sumber benih bersertifikat menurut Permenhut No P.102007 maupun Permenhut No P.12009. Lainnya dikelola oleh pemegang hak pengusahaan hutan alam produksi ataupun pemegang hak pengusahaan HTI. Hal ini mengindikasikan bahwa keuntungan dari sertifikasi tidak signifikan bagi mereka, mungkin karena kesulitan pemasaran, lebih banyak dipakai untuk konsumsi sendiri, atau karena harga produk sama dengan harga produk dari sumber benih non sertifikat.

2. Analisis sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji kepekaan suatu kegiatan terhadap berbagai faktor yang mungkin terjadi. Setiap asumsi yang diberikan bersifat ceteris paribus, yang berarti hal-hal selain yang diasumsikan tidak berubah tetap. Dalam penelitian ini, asumsi yang digunakan dalam analisis sensitivitas ini adalah apabila terjadi penurunan penjualan sebesar 20, dan adanya kenaikan harga pokok produksi HPP sebesar 10, serta apabila terjadi interaksi antara penurunan penjualan dengan kenaikan HPP. Angka penurunan penjualan diasumsikan dari menurunnya anggaran rehabilitasi hutan dan lahan tahun 2010 yang hanya cukup untuk membiayai penanaman 100,000 hektar lahan kritis, turun 20 dari target penanaman tahun 2009 sebesar 500.000 hektar Antaranews, 17 November 2009; Harian Terbit, 24 Desember 2009. Angka HPP sebesar 10 didapat dari data prediksi kenaikan harga barang kebutuhan pokok untuk tahun 2010 www.kabarbisnis.com , yang biasanya diikuti kenaikan harga barang lainya. Hasil analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis sensitivitas kelayakan finansial pengusahan sumber benih Sumber benih Penjualan HPP NPV Rp IRR BCR Keteran gan PT INH 3 Normal Normal 112,793,535 78.49 1.088 Layak -20 Normal - 133,099,145 Tidak bisa dihitung 0.893 Tidak layak Normal +10 75,284,482 53.54 1.057 Layak -20 +10 -175,383,656 Tidak bisa dihitung 0.863 Tidak layak LSM GP Normal Normal 202,036,364 110.14 1.288 Layak -20 Normal 22,516,192 21.79 1.032 Layak Normal +10 151,746,448 78.96 1.202 Layak -20 +10 -28,852,895 3.29 0.961 Tidak layak KT MS Normal Normal 11,543,436 29.32 1.075 Layak -20 Normal -21,450,638 -14.50 0.860 Tidak layak Normal +10 1,104,284 14,99 1,007 Layak -20 +10 -31,889,789 -29.37 0.805 Tidak layak Tabel 12 lanjutan Sumber benih Penjuala n HPP NPV Rp IRR BCR Ketera ngan PT IKU Normal Normal 180,229,622 173.70 1.309 Layak -20 Normal 46,607,328 40.67 1.083 Layak Normal +10 160,514,485 143.74 1.266 Layak -20 +10 27,027,208 28.78 1.046 Layak PT GKS Normal Normal 107,640,702 189,82 1.144 Layak -20 Normal -43,254,557 -28.36 0.940 Tidak layak Normal +10 63,333,133 89.17 1.080 Layak -20 +10 -88,314,913 Tidak bisa dihitung 0.886 Tidak layak CV GL Normal Normal 62,866,731 37.79 1.119 Layak -20 Normal -41,637,658 -1.45 0.919 Tidak layak Normal +10 34,665,480 26.53 1.062 Layak -20 +10 69,838,909 -11.60 0.871 Tidak layak Pada analisis sensitivitas ini, kenaikan HPP dikenakan pada biaya operasional dan biaya pemasaran per tahun selama 5 tahun. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa hanya PT IKU yang kondisi finansialnya tetap layak pada kondisi angka penjualan turun 20, kenaikan biaya produksi 10, dan kombinasi keduanya. Pengelola sumber benih berskala menengah dan besar PT INH 3, PT GKS, dan CV GL ternyata sensitif pada penurunan volume penjualan sebesar 20, namun dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi. Karena keuntungan yang didapat PT INH3 dan PT GKS terutama dari harga jual yang tinggi sementara biaya produksinya pun besar, sehingga tidak dapat bertahan bila terjadi penurunan permintaan. Pengelola sumber benih skala kecil yang harga jualnya mempertimbangkan adanya sertifikat LSM GP ternyata dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi atau penurunan volume penjualan, namun tidak bisa bertahan pada kombinasi keduanya. Sementara pengelola sumber benih skala kecil yang harga jualnya tidak mempertimbangkan adanya sertifikat KT MS, dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi, namun tidak bisa bertahan pada penurunan angka penjualan. Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar pengelola sumber benih ternyata tidak bisa bertahan apabila terjadi penurunan permintaan bibit untuk proyek rehabilitasi lahan pemerintah yang dikombinasikan dengan kenaikan biaya produksi. Khusus untuk PT INH 3 yang konsumennya adalah pengelola HTI dan tidak bergantung pada proyek pemerintah mungkin dapat bertahan, namun harus diingat bahwa frekuensi pembelian oleh HTI tidak tinggi berbeda dengan proyek pemerintah yang setiap tahun melakukan pembelian bibit, sehingga juga rentan terhadap penurunan permintaan benih.

3. Jalur tataniaga benih dan distribusi manfaat

Dalam jalur tataniaga benih di Kalsel dan Kaltim, pengelola sumber benih SB bertindak sebagai produsen. Hasil produksi umumnya dalam bentuk bibit, kecuali di PT INH 3 yang produknya berupa benih. Jadi produsen di sini sekaligus berperan sebagai penangkar bibit. Dalam kasus di PT GKS, pengelola sumber benih sekaligus berperan sebagai penangkar bibit serta pengumpul. Terdapat beberapa tipe jalur tata niaga benih di Kalsel dan Kaltim :

a. Saluran langsung

Saluran langsung ini terjadi bila konsumen akhir langsung membeli benih dari pengelola sumber benih, yang terjadi di PT INH III. Pada tipe saluran langsung ini harga jual produsen sama dengan harga beli konsumen, sehingga FS = 1. Gambar 12. Jalur tataniaga tipe saluran langsung

b. Saluran satu tingkat

Dalam penelitian ini PT IKU yang menjadi contoh kasus dalam tataniaga bibit meranti dan mahoni. Untuk tataniaga gaharu tidak tersedia data karena konsumen dari LSM GP berada di propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Gambar 13. Jalur tataniaga tipe saluran satu tingkat Distribusi manfaat pada tipe saluran satu tingkat untuk bibit meranti dan mahoni disajikan dalam Tabel 13. Pengelola SB pemegang HPHTI Konsumen sesama pemegang HPHHTI Pemborong Konsumen Pengelola SB penangkar Tabel 13. Distribusi manfaat pada tipe saluran satu tingkat bibit meranti dan mahoni N o Lembaga Meranti Mahoni Distribusi manfaat Rasio π C Distribusi manfaat Rasio πC Harga Rp batang Share Harga Rp batang Share 1 Pengelola SBpenangkar Biaya-biaya C: 1102.67 55.13 503.31 0.39 • Retribusi 184 9.20 92.00 7.08 • Sewa lahan 624 31.20 12.95 1.00 • Bangunan dan peralatan 13.8 0.69 223.10 17.16 • Pembangunan SB 2.5 0.13 14.00 1.08 • Sertifikasi SB 19.98 1.00 23.58 1.08 • Penyiapan media 110.77 5.54 76.41 5.88 • Pengunduhan dan sortasi benih 10.16 0.51 7.19 0.55 • Pembibitanpemelih araan di persemaian 20.31 1.02 5.09 0.39 • Pengemasan 1.58 0.08 1.20 0.09 • Pemeliharaan pohon induk 36.75 1.84 23.53 1.81 • Biaya transportasi 18.98 0.95 24.27 1.87 • Harga jual 1600.00 80.00 800.00 61.54 Marjin keuntungan π 497.33 24.87 296.69 22.82 Rasio keuntungan dan biaya π C 0.451 0.59 2 Pemborong Biaya-biaya : 260.00 0.13 210 16.15 • Biaya transportasi 50.00 2.50 30 2.31 • Biaya negosiasi tender 210.00 10.50 200 15.38 Marjin pemasaran 400.00 20.00 500.00 38.46 Marjin keuntungan 140.00 7.00 290 22.31 Harga jual 2000.00 100.00 1300 100 Rasio keuntungan dan biaya 0.5 1.38 3 Konsumen akhir Harga beli 2000 100 Harga bibit meranti Shorea sp. dari TBT PT IKU sebesar Rp 1750,00 jauh lebih tinggi dari harga bibit meranti di pasaran sebesar Rp 900,00 – Rp 1200,00. Hal ini disebabkan pengelola sumber benih memperhitungkan adanya sertifikat sumber benih dalam penentuan harga meranti. Hal ini menyebabkan marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU dari penjualan bibit meranti lebih besar dari marjin keuntungan pemborong. Dari Tabel 13 nampak bahwa PT IKU mendapat marjin keuntungan sebsar 24,87 dari penjualan bibit meranti. Ini disebabkan harga bibit meranti PT IKU memperhitungkan adanya sertifikat. Harga bibit meranti dari TB Teridentifikasi PT IKU sebesar Rp 1600,00, lebih tinggi dari harga bibit meranti di pasaran sebesar Rp 900,00 – Rp 1200,00. Oleh sebab itu marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU dari penjualan bibit meranti lebih besar dari marjin keuntungan pemborong, sebagaimana disajikan dalam Tabel 13. Namun biaya investasi yang dikeluarkan juga cukup besar, terutama untuk sewa lahan karena luas TB Teridentifikasi meranti sebesar 100 ha. Berdasar Tabel 13, nampaknya pemborong bibit meranti mendapat marjin keuntungan yang jauh lebih kecil dari pengelola sumber benih, namun harus diingat bahwa pemborong mengumpulkan bibit dari berbagai sumber benih dan penangkar kemudian dipasarkan sebagai bibit dari sumber benih bersertifikat. PT IKU sendiri mengakui bahwa dalam penjualan bibit, jumlah bibit hanya ditulis dalam kontrak penjualan, namun tidak disertakan surat keterangan mengenai jumlah bibit yang dibeli oleh pemborong. Oleh karena itu dalam pengadaan bibit, kuantitas bibit yang benar-benar berasal dari sumber benih bersertifikat tidak diketahui, karena secara fisik sukar dibedakan antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat. Sedangkan rasio keuntungan dan biayatidak berbeda jauh antara pengelola sumber benih dengan pemborong. Satu-satunya sumber benih mahoni bersertifikat di Kalimantan terdapat di PT IKU, dengan kelas sumber benih APB. Menurut Permenhut No 83 Menhut- V2006 tentang Daftar Harga Bibit Gerhan, semestinya harga bibit mahoni dari APB lebih tinggi dari harga bibit dari SB non sertifikat Rp 2250 untuk bibit dari APB, dan Rp 1125 untuk bibit dari SB non sertifikat. Harga bibit mahoni yang ditetapkan PT IKU adalah Rp 800, sama dengan harga bibit mahoni dari sumber benih non sertifikat. Marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU sebesar 22,82, hanya berselisih sedikit dengan marjin keuntungan pemborong 22,31. Namun rasio keuntungan dan biaya pemborong πC jauh lebih besar daripada π C pengelola sumber benih mahoni. π C pemborong sebesar 1,38, yang berarti untuk setiap rupiah yang dikeluarkan, pemborong mendapat keuntungan sebesar Rp 1,38, lebih besar daripada keuntungan pengelola sumber benih Rp 0,5.

b. Saluran dua tingkat

Dalam saluran dua tingkat ini, pengelola SB sekaligus bertindak sebagai penangkar, sehingga produknya berbentuk bibit, bukan benih. Jalur tataniaga bibit untuk tipe saluran dua tingkat tersaji dalam Gambar 14. Gambar 14. Jalur tataniaga saluran dua tingkat Dalam saluran dua tingkat ini yang menjadi contoh kasus adalah tataniaga bibit gaharu dari sumber benih PT GL di Kaltim. Distribusi manfaat dalam tipe saluran dua tingkat tersaji dalam Tabel 14. Tabel 14. Distribusi manfaat dalam tipe saluran dua tingkat No Lembaga Distribusi manfaat Rasio keuntungan dan biaya πC Harga Rpbatang Share 1 Pengelola SBpenangkar Biaya-biaya C: 657.50 41.09 • Izin usaha 9.5 0.59 • Retribusi 12.00 0.75 • Sewa lahan rata-rata 80 5.00 • Bangunan dan peralatan 140 8.75 • Biaya sertifikasi sumber benih 10 0.63 • Pengunduhan benih, pembibitan, dan pengemasan 255.00 15.94 • Pemeliharaan pohon induk 150.00 9.38 • Biaya komunikasi negosiasi 1.00 0.06 Harga jual 900.00 56.25 Marjin keuntungan π 242.50 15.16 Rasio keuntungan dan biaya 0.37 2 Pengumpul Biaya biaya 11.00 0.69 • Biaya transportasi 10.00 0.63 • Biaya transaksi 1.00 0.06 Harga jual 1000.00 62.50 Marjin pemasaran 100.00 6.25 Marjin keuntungan π 89.00 5.56 Rasio keuntungan dan biaya 8.09 Pengumpul Pemborong Konsumen Pengelola SB penangkar Tabel 14 lanjutan No Lembaga Distribusi manfaat Rasio keuntungan dan biaya πC Harga Rpbatang Share 3 Pemborong Biaya-biaya 220.00 13.75 • Biaya transportasi 10.00 0.63 • Biaya transaksi 210.00 13.13 Harga jual 1600 100.00 Marjin pemasaran 600.00 37.50 Marjin keuntungan π 380.00 23.75 Rasio keuntungan dan biaya 1.72 4 Konsumen akhir Harga beli 1600 100.00 Pada tipe saluran dua tingkat ini yang mendapat rasio keuntungan dan biaya terbesar adalah pengumpul. Ini disebabkan pengumpul hannya mengeluarkan biaya transportasi dan komunikasi. Bibit dari SB ini digunakan untuk melengkapi jumlah bibit yang telah ditangkarkan oleh pengumpul, dan selanjutnya dijual kepada pemborong. Pemborong mendapatkan marjin keuntungan terbesar karena tingginya harga jual bibit, namun rasio keuntungan dan biaya pemborong lebih kecil dari pengumpul karena selain biaya transportasi, pemborong juga mengeluaakan biaya pemasaran untuk memenangkan tender pengadaan bibit, yang berupa biaya biaya komunikasi dan biaya negosiasi dengan pihak konsumen. Saluran dua tingkat ini juga memungkinkan terjadinya pencampuran antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat, karena adanya pengumpul dan pemborong yang mengumpulkan bibit dari berbagai penangkar, sehingga mutu bibit tidak terjamin.

d. Saluran tiga tingkat

Jalur tataniaga saluran tiga tingkat disajikan pada gambar 15. Gambar 15. Jalur tataniaga saluran tiga tingkat Pengumpul 1 Pemborong Konsumen Pengelola SB penangkar Pengumpul 2 Distribusi manfaat dalam tipe saluran tiga tingkat tersaji dalam Tabel 15. Tabel 15. Distribusi manfaat dalam tipe saluran tiga tingkat No Lembaga Distribusi manfaat Rasio keuntungan dan biaya πC Harga Rpbatang Share 1 Pengelola SBpenangkar Biaya-biaya C: 33.36 Bangunan dan peralatan 172.69 9.59 Biaya promosi 5.44 0.30 Pengunduhan, pembibitan, dan pengemasan 415 23.06 Biaya komunikasi negosiasi 7.4 0.41 Harga jual 800.00 44.44 Marjin keuntungan π 199.47 11.08 Rasio keuntungan dan biaya 0.33 2 Pengumpul 1 Biaya- biaya 51.00 2.83 • Biaya transportasi 50.00 2.78 • Biaya transaksi 1.00 0.06 Harga jual 900.00 50.00 Marjin pemasaran 100.00 5.56 Marjin keuntungan π 49.00 2.72 Rasio keuntungan dan biaya 0.96 3 Pengumpul 2 Biaya-biaya 31.00 1.72 • Biaya transportasi 30.00 1.67 • Biaya transaksi 1.00 0.06 Harga jual 1200.00 66.67 Marjin pemasaran 300.00 16.67 Marjin keuntungan π 269.00 14.94 Rasio keuntungan dan biaya 8.68 4 Pemborong Biaya-biaya 260.00 14.44 • Biaya transportasi 50.00 2.78 • Biaya transaksi 210.00 11.67 Harga jual 1800 100.00 Marjin pemasaran 600.00 33.33 Marjin keuntungan π 340.00 18.89 Rasio keuntungan dan biaya 1.31 5 Konsumen akhir Harga beli 1800 100 Saluran tiga tingkat ini terjadi karena adanya grup dalam tataniaga bibit tanaman hutan di Kaltim. Grup tersebut terdiri dari beberapa perusahaan yang berstatus PT dan CV. Semua perusahaan anak grup tersebut dapat mengikuti tender pengadaan bibit. Anak grup pemenang tender bertindak sebagai pemborong, sementara anak grup lain menjadi pengumpul ke-2, sehingga stok bibit disubsidi silang antar perusahaan dalam grup. Pada saluran tiga tingkat, yang mendapat rasio keuntungan dan biaya terbesar adalah pengumpul 2, yaitu anak grup yang bertindak sebagai pengumpul. Sementara marjin keuntungan terbesar diperoleh oleh pemborong. Pemborong mendapatkan marjin keuntungan terbesar karena tingginya harga jual bibit, namun rasio keuntungan dan biaya pemborong lebih kecil dari pengumpul 2 karena selain biaya transportasi, pemborong juga mengeluarkan biaya transaksi untuk memenangkan tender pengadaan bibit. Saluran tiga tingkat ini juga memungkinkan terjadinya pencampuran antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat, karena adanya pengumpul dan pemborong yang mengumpulkan bibit dari berbagai penangkar, sehingga mutu bibit tidak terjamin. Dari hasil analisis distribusi manfaat diketahui bahwa makin panjang saluran, makin kecil Farmer’s Share FS yang diperoleh pengelola sumber benih. FS tersebut diperoleh dari rasio harga jual pengelola sumber benih dengan harga beli konsumen akhir. Demikian pula dengan persentase marjin keuntungan, makin panjang saluran, makin kecil marjin keuntungan yang diperoleh pengelola sumber benih. Mubyarto 1982 menyatakan bahwa efisiensi saluran pemasaran atau tataiaga terfokus pada efisiensi kerja suatu sistem pemasaran yang digunakan petani, yang menentukan bagian harga yang diterima petani Farmer’s Share dalam menerima bagian harga dari pembayaran harga terakhir. Apabila petani salah dalam memilih rantai tataniaga dalam memasarkan produknya, maka petani akan mengalami kerugian karena bagian yang diterima petani lebih rendah dari yang diharapkan. Menurut Soekartawi 1989, dalam hal ini konsumen juga akan dirugikan karena saluran pemasaran yang tidak efisien. Pada saluran satu tingkat untuk jenis meranti, marjin keuntungan pengelola sumber benih lebih besar atau seimbang dengan pemborong. Ini disebabkan pengelola sumber benih mempunyai posisi tawar dan informasi pasar yang lebih baik daripada pengelola sumber benih di saluran dua dan tiga tingkat, sehingga tidak terjadi buyer driven harga ditentukan pembeli. Berbeda dengan distribusi manfaat saluran satu tingkat untuk bibit mahoni, serta saluran dua dan tiga tingkat, di mana pengelola sumber benih menyesuaikan dengan harga pasar yang menyamakan antara bibit dari SB bersertiifikat dengan non sertifikat. Ini terjadi karena ketidakseimbangan informasi assymetric information yang dimiliki pengelola sumber benih dengan pengumpul atau pemborong. Ketidakseimbangan informasi ini meliputi jenis, harga, kuantitas, dan kualitas bibit yang dikehendaki pasar, serta waktu tender pengadaan bibit. Faktor waktu memegang peranan penting karena bibit memiliki masa kadaluarsa. Bibit yang terlalu tua biasanya tidak laku terjual sehingga penangkar bibit merugi. Aspek infomasi pasar sangat penting agar dapat mendekati kondisi pasar sempurna Kotler, 2002, yang dapat menghasilkan kepuasan bagi semua pelaku tataniaga, baik pengelola sumber benih, penangkar, pedagang pengumpul, dan pemborong.

4. Analisis distribusi informasi

Distribusi informasi memegang peranan penting dalam kegiatan sertifikasi sumber benih. Dalam penelitian ini informasi yang dikomunikasikan antar pelaku perbenihan dikategorikan menjadi tiga, yaitu : a informasi mekanisme sertifikasi yang berlaku; b informasi mengenai teknologi perbenihan; dan c informasi pemasaran benihbibit. Distribusi informasi antar pelaku perbenihan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Distribusi informasi antar pelaku dalam sertifikasi sumber benih No Tipe informasi Distribusi informasi Sumber informasi BPTH Banjarbaru Dinas Pengada benihbibit 1 Mekanisme sertifikasi Permenhut No P.12009 Tahu Belum tahu Belum tahu Ditjen RLPS 2 Teknologi : a. Pengelolaan SB b. Pembibitan persemaian Ada pengetahuan dan keterampilan Ada pengetahuan, kurang dalam praktek Ada pengetahuan dan keterampilan, merasa masih kurang BPTH, buku, pendidikan formal, pelatihan Tabel 16 lanjutan No Tipe informasi Distribusi informasi Sumber informasi BPTH Banjarbaru Dinas Pengada benihbibit 3 Informasi pasar : a. Stok dan lokasi bibit b. Waktu dan jenis bibit yang diperlukan pasar c. Harga benihbibit Ada informasi stok meskipun tidak lengkap, kurang info waktu, jenis, dan harga bibit yang diperlukan pasar Tidak ada informasi selain tender yang diadakan oleh Dinas sendiri Ada yang punya informasi, ada yang tidak BPTH, BPDAS, sesama pengada bibit Berdasarkan Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa distribusi informasi antar pelaku perbenihan masih belum merata. BPTH yang bertugas medistribusikan informasi kebijakan belum menyampaikannya kepada pihak lain. Untuk informasi teknologi BPTH telah berfungsi sebagai pemberi informasi, namun Dinas belum melakukan fungsinya sebagai pembina. Sementara untuk informasi pemasaran, tidak ada pihak tertentu yang berfungsi sebagai pengumpul datainformasi pemasaran dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak lain. Kasim 1993 menyatakan bahwa efektivitas komunikasi tukar menukar informasi dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu dari : 1 relevansi infomasi yang disampaikan; 2 efisiensi jaringan komunikasi yang dipakai; dan 3 tingkat kepuasan penerima informasi. Mengenai relevansi informasi yang disampaikan dalam bidang perbenihan, semua informan pengada benihbibit yang ditemui menyatakan masih memerlukan informasi mengenai kebijakan perbenihan, teknologi perbenihan, serta informasi pasar. Informasi pasar yang dimaksudkan di sini berupa informasi mengenai waktu tender pengadaan bibit, jenis bibit, harga, kuantitas permintaan, serta keterangan mengenai jumlah dan jenis bibit yang tersedia di pasaran. Karena semua informan menyatakan masih memerlukan informasi, bisa disimpulkan bahwa informasi yang didapat selama ini masih belum cukup atau belum memuaskan. Peran Dinas KabupatenKota dalam pembinaan dan fasilitasi belum dirasakan di daerah. Dinas sendiri masih kekurangan informasi mengenai kebijakan dan teknologi perbenihan. Dalam Permenhut No P.12009, pengelola informasi perbenihan adalah BPTH. Karena itu peran BPTH Banjarbaru sebagai pengelola informasi menjadi penting agar pihak Dinas dan swasta mengetahui mekanisme sertifikasi, perankewajiban masing-masing pihak, serta teknologi dan informasi pemasaran yang diperlukan untuk mengembangkan kegiatan perbenihan di daerah. Hal ini mengurangi kemungkinan terjadinya assymetric information seperti kasus dalam distribusi manfaat tataniaga bibit saluran dua dan tiga. Karena tugas penerbitan sertifikasi, pembinaan dan pengawasan didesentralisasikan, BPTH lebih memfokuskan diri pada pengelolaan informasi perbenihan melalui penerbitan dan distribusi berbagai media, seperti liflet, buletin, petunjuk teknis teknologi perbenihan, buku statistik perbenihan mencantumkan daftar pengada benihbibit, kuantitas produksi, kisaran harga benih dan bibit, mengaktifkan website, melakukan pameran dan sosialisasi kebijakan termasuk ketentuan mengenai harga benihbibit bersertifikat yang dtetapkan pemerintah ke daerah secara tertulis maupun dengan kunjungan, dan sebagainya. Untuk memudahkan pengelolaan perbenihan, BPTH dapat bekerja sama dengan asosiasi atau forum komunikasi perbenihan di daerah. Mengenai jaringan komunikasi, semua informan pengusaha perbenihan yang ditemui sepakat tentang perlunya dibentuk suatu forum komunikasi perbenihan. Di Kaltim dan Kalsel sebelumnya sudah ada asosiasi pengusaha benihbibit, namun tidak aktif karena berbagai sebab seperti ketidaksepakatan masalah harga dan akses pasar. Karena itu perlu dibentuk forum baru sebagai wahana pertukaran informasi teknologi perbenihan, informasi pasar dan ketersediaan bibit, penetapan etikaperaturan tata niaga bibit agar tidak terjadi monopoli, dan menetapkan harga kesepakatan. Agar kelembagaan forum komunikasi baru tersebut dapat efektif, maka perlu dirumuskan dan disepakati peraturan yang dapat melindungi kepentingan bersama, lengkap dengan sanksinya. Dengan berdirinya forum komunikasi perbenihan, informasi perbenihan dapat dipertukarkan antar pihak seperti tersaji dalam Gambar 16. Keterangan : garis pelaporan produksi dan distribusi garis pertukaran informasi kebijakan, teknologi, dan informasi pasar Pertukaran informasi penawaran dan permintaan Gambar 16. Pertukaran informasi antar pelaku perbenihan

4. Penilaian Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih

Kegiatan suatu individuinstitusi dikatakan efisien apabila sumberdaya yang dikeluarkan seimbang dengan hasil yang didapatkan. Kelembagaan pengusahaan sumber benih bersertifikat bisa dinilai efisien karena layak dari segi finansial dengan kisaran BCR antara 1.075 – 1.402, dan IRR antara 29.32 – 261.77 pada tingkat suku bunga 13.52. Biaya transaksi sertifikasi sebesar 0.017 – 0.16 dari keuntungan NPV, sehingga tidak signifikan. Meski demikian hasil analisis sensitivitas menyatakan bahwa sebagian besar 0.83 pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian ternyata akan mengalami kerugian tidak efisien lagi apabila terjadi penurunan volume penjualan sebesar 20, atau terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10, atau kombinasi keduanya. Efisiensi kelembagaan pengelola sumber benih bersertifikat akan dapat ditingkatkan apabila distribusi informasi dan distribusi manfaat antar pemangku kepentingan seimbang. Namun hasil analisis aspek informasi menyimpulkan bahwa distribusi informasi perbenihan dirasakan belum merata di daerah, terbukti para pengada dan pengedar benihbibit serta Dinas Kehutanan di daerah masih kekurangan infomasi mengenai kebijakan perbenihan, teknologi perbenihan, serta informasi pasar. Ketidakmerataan informasi pasar ini juga dirasakan oleh Pengelola SB Pengada bibit terdaftar Dinas BPTH Banjarbaru Penangkar bibit Forum komunikasi perbenihan Konsumen bibit beberapa pengusaha sumber benih yang tidak mempunyai informasi mengenai harga benih bersertifikat serta informasi proyek pengadaan bibit, stok bibit, serta keberadaan pengusaha bibit, sehingga menjual bibit dari sumber benih bersertifikat dengan harga yang sama dengan non sertifikat. Distribusi manfaat antar pelaku tataniaga ternyata belum seimbang. Farmer’s Share FS terbesar dan distribusi marjin keuntungan paling seimbang ternyata diperoleh pada saluran langsung dan saluran tingkat satu, dengan syarat harga bibit mempertimbangkan adanya sertifikasi sumber benih. Harga bibit yang tidak mempertimbangkan adanya sertifikat ternyata membuat nilai FS dan distribusi manfaat yang diperoleh pengusaha sumber benih paling kecil dibanding pelaku tataniaga lain.

D. Sintesis Penilaian Efektivitas Dan Efisiensi Sertifikasi Sumber Benih

Sintesis penilaian efektivitas dan efisiensi kelembagaan disajikan dalam Gambar 17. 81 Gambar 17. Sintesis penilaian efektivitas dan efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan Efektivitas Isi kebijakan yang berlaku Implementasi kebijakan sebelum Permenhut No P.12009 Permenhut No P.12009 efektif TBT, TBS, APB TBP, KBS, KBK, KP tidak efektif sumberdaya manusia, keuangan, Komunikasi, sumberdaya manusia, keuangan, sarana, sikap struktur birokrasi Efektif untuk TBT, TBS, APB, tidak efektif untuk TBP dan KB sebelum Permenhut No P.12009 Permenhut No P.12009 Efisiensi Bisa efektif apabila sudah diterbitkan pedoman pelaksanaan, ada diklat, dan ada dukungan Pemda lembaga pengelola sumber benih bersertifikat Relasi antar pelaku Kelayakan finansial efisien Distribusi informasi Distribusi manfaat Tidak efisien Efisien untuk saluran tingkat satu, tidak efisien untuk saluran tingkat dua dan tiga Bisa efektif apabila diterbitkan pedoman pelaksanaan

E. Pembelajaran dari Sistem Sertifikasi Sumber Benih Departemen