Tabel 8. Kesenjangan antara aturan yang berlaku dengan realisasi kegiatan sertifikasi sumber benih
Aspek Peraturan yang
berlaku Realisasi Keterangan
A. Aturan main
1. Kewenangan melakukan
sertifikasi • Sertifikasi
dilaksanakan Dinas, bila tidak mampu
baru dilakukan BPTH
• Pelaksana sertifikasi berhak memungut
jasa penerbitan sertifikasi
BPTH tetap menjadi
pelaksana sampai Dinas
memiliki anggaran, SDM,
dan sarana yang memadai
Merupakan amanat perundangan
desentralisasi kehutanan, BPTH
merasa alokasi kerja dan anggarannya akan
tereduksi, sementara Dinas merasa belum
mampu melaksanakan sertifikasi dan belum
tahu seberapa besar manfaat yang
diperoleh
2. Batas jurisdiksi
• BPTH hanya melaksanakan
sertifikasi apabila Dinas tidak mampu
• Tim penilai sertifikasi harus
melibatkan BPTH, Dinas dan pakar
• Pendanaan dibagi antara pelaksana
sertifikasi dan pemohon
Selama ini BPTH
Banjarbaru tidak pernah
melibatkan pakar sebagai tim
penilai di Inhutani Sebuhur
hanya meminta hasil uji
keturunan yang sudah ada
Untuk melaksanakan sertifikasi, Dinas
memerlukan anggaran khusus apalagi
melibatkan instansi lain dalam APBD
sehingga harus dapat meyakinkan Kepala
Daerah dan DPRD mengenai manfaat
melakukan sertifikasi
3. Aturan representasi
Pedoman pelaksanaan
sertifikasi ditetapkan oleh Dirjen RLPS,
BPTH dan Dinas hanya sebagai
pelaksana Pedoman
pelaksanaan belum terbit,
kegiatan sertifikasi belum
dapat terlaksana Kondisi tiap daerah
berbeda, sehingga pedoman pelaksanaan
dari pusat sering tidak bisa
diimplementasikan optimal di daerah
Tabel 8 lanjutan
Aspek Peraturan yang
berlaku Realisasi Keterangan
B. Organisasi
1. Standar pelaksana
sertifikasi mempunyai struktur
organisasi, tugas dan fungsi berkaitan
dengan perbenihan dan pembibitan;
memiliki prosedur mengelola dokumen
dan rekaman data; memilikisistem mutu da
Perbenihan hanya aspek kecil dari
ruang lingkup tugas Dinas,
belum ada Dinas yang memiliki
sistem pengoperasian
dan pengendalian mutu sertifikasi
Dinas akan mengusahakan
sistem sertifikasi apabila dirasa
manfaat melakukan sertifikasi cukup
besar, sebab ruang lingkup tugas Dinas
sendiri cukup luas
2. SDM Memiliki SDM yang
bersertifikat 80 JPL diklat sertifikasi
sumber benih Belum ada diklat,
SDM di Dinas umumnya tidak
ada yang khusus mengurus
perbenihan Minimal satu SDM
Dinas yang memiliki sertifikat, tim penilai
bisa melibatkan BPTH dan pakar
3. Teknologi dan sarana
penilaian sertifikasi
Memiliki GPS, kompas, peralatan
pembuat peta, altimeter, pengukur
tinggi dan diameter pohon, pH meter
Tidak semua Dinas memiliki
peralatan tersebut secara lengkap
Pengadaan sarana perbenihan harus
melalui APBD
4. Penilaian Efektivitas Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih
Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih
Aspek penilaian Dasar kebijakan
Penilaian Isi kebijakan
Standar khusus sumber benih
SK Dirjen RLPS No 1012002
Peraturan Dirjen RLPS No P.32007
Efektif untuk TBT, TBS, dan APB
Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP
Permenhut No P.12009 Efektif meski perlu
disempurnakan Mekanisme SK
Dirjen RLPS
No 1012002
Peraturan Dirjen RLPS No P.32007
Kurang efektif
Permenhut No P.12009 Lebih efektif
Tabel 9 lanjutan Aspek penilaian
Dasar kebijakan Penilaian
Implementasi kebijakan
Mekanisme SK Dirjen
RLPS No
1012002 Peraturan Dirjen RLPS
No P.32007 Efektif untuk TBT, TBS,
dan APB Kurang efektif untuk
TBP, KBS, KBK, dan KP Hasil penilaian SK Dirjen RLPS No
1012002 Peraturan Dirjen RLPS
No P.32007 Efektif untuk TBT, TBS,
dan APB Kurang efektif untuk
TBP, KBS, KBK, dan KP Peran pelaku
SK Dirjen RLPS No 1012002
Peraturan Dirjen RLPS No P.32007
Belum efektif
Prospek implementasi
Permenhut No P.12009
Permenhut No
P.12009 Bisa lebih menghemat waktu dan tenaga, dan
bisa efektif dengan beberapa syarat
C. Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih 1. Analisis kelayakan finansial dan biaya transaksi sertifikasi sumber benih
Komponen analisis kelayakan finansial dalam usaha pengelolaan sumber benih bersertifikat adalah sebagai berikut :
a. Pengeluaran :
1 Biaya investasi, meliputi biaya izin usaha, retribusi, sewa lahan, biaya
pembangunan sumber benih, pendirian bangunan dan gedung, pengadaan peralatan, dan biaya sertifikasi.
2 Biaya operasional :
a. Bila produk berupa benih : biaya produksi benih meliputi biaya
pengunduhan, sortasi, penjemuran, dan penyimpanan benih dan biaya pemeliharaan pohon induk.
b. Bila produk berupa bibit : biaya produksi bibit meliputi biaya
penyiapan media dan polibag, pengunduhan dan sortasi benih, biaya pembibitan dan pemeliharaan di persemaian dan biaya pemeliharaan
pohon induk.
3 Biaya pemasaran, meliputi biaya transportasi dan biaya transaksi
pemasaran. Biaya transaksi pemasaran ini meliputi biaya komunikasi dan biaya negosiasi untuk mewujudkan kontrak.
b. Pemasukan, meliputi pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan benih
atau bibit. Pada analisis kelayakan finansial ini diasumsikan pengeluaran dan
pemasukan setiap tahun selama 5 lima tahun adalah tetap. Nilai interest rate ditentukan sebesar 13.52, sesuai tingkat suku bunga rata-rata bank umum pada
bulan Juni 2009 saat dilakukan pengambilan data menurut Bank Indonesia Bank Indonesia, 2009. Perlu diketahui bahwa produk dari sumber benih dapat
berupa benih atau bibit. Dari 6 enam pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian, ada 5 lima pengelola sumber benih yang sekaligus berperan
sebagai penangkar bibit. Dalam kasus di PT GKS, pengelola sumber benih sekaligus berperan sebagai penangkar bibit serta pengumpul. Karakteristik
pengelola sumber benih disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian
Nama pengelola
sumber benih
Jenis produk
Kelas sumber
benih Asal
pohon induk
Harga jual mempertimbangkan
sertifikat atau tidak Komponen biaya
investasi
PT INH 3
benih TBP HT ya izin
usaha, retribusi, sewa
lahan, pembangunan
sumber benih, bangunan dan
gedung, peralatan, dan
biaya sertifikasi
LSM GP
bibit TBT
HA ya
izin usaha, sewa lahan,
pembangunan sumber benih,
bangunan dan gedung,
peralatan, dan biaya sertifikasi
Kelompok Tani KT
MS
bibit TBT HA tidak sewa
lahan, bangunan dan
gedung, peralatan,
Tabel 10 lanjutan Nama
pengelola sumber
benih Jenis
produk Kelas
sumber benih
Asal pohon
induk Harga jual
mempertimbangkan sertifikat atau tidak
Komponen biaya investasi
PT IKU
bibit TBT meranti,
APB mahoni
HA, HT
Ya TBT meranti, tidak APB
mahoni izin usaha,
retribusi, sewa lahan,
pembangunan sumber benih,
bangunan dan gedung,
peralatan, dan biaya sertifikasi
PT GKS
bibit TBT HA ya izin
usaha, retribusi, sewa
lahan, bangunan dan gedung,
peralatan, dan biaya sertifikasi
CV GL
bibit TBT HA tidak izin
usaha, retribusi, sewa
lahan, bangunan dan gedung,
peralatan, dan biaya sertifikasi
Biaya pembangunan sumber benih pada hutan alam meliputi biaya survei, penataan area, dan inventarisasi tegakan. Sedang biaya pembangunan sumber
benih pada hutan tanaman meliputi biaya pembelian materi genetik, survei area, persiapan lahan, penanaman, penataan area, dan inventarisasi tegakan. Dalam
penelitian ini ada satu pengelola sumber benih yang tidak mengeluarkan biaya pembangunan sumber benih, yaitu KT MS yang biaya pembangunan sumber
benihnya berasal dari Ditjen RLPS sumber benih berada di hutan lindung. Hasil analisis kelayakan finansial usaha pengelolaan sumber benih
bersertifikat disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisis kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat
Nama pengelola sumber benih
NPV Rp BCR
IRR Biaya
transaksi per
sertifikat Rp
Rasio biaya
transaks i dengan
NPV
Kalimantan Selatan
PT INH 3 HPHTI produk : akasia
112,793,535 1.088
78.49 5,000,000 0.089
LSM GP gaharu 202,036,364
1.288 110.14
3,500,000 0.017
Kelompok Tani KT MS meranti
11,543,436 1.075 29.32
tanpa biaya sertifikasi
1
- Kalimantan Timur
PT IKUHPHTI, fokus meranti dan gaharu
180,229,622 1.309
173.70 1,000,000
0.040 PT GKS meranti
107,640,702 1.144
189,82 6,000,000
0.060 CV GL gaharu
62,866,731 1.119
37.79 10,000,000
0.160
Sumber : data primer, diolah Keterangan :
1
Sumber benih SB meranti yang dikelola Kelompok Tani KT MS disertifikasi atas prakarsa BPTH Banjarbaru, bukan atas permintaaan masyarakat ataupun
Dinas. Pemegang sertifikat yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Hulu Sungai Tengah karena berada di kawasan hutan lindung serta KT MS sebagai
pengelola harian tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikat.
Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari hasil analisis finansial pada Tabel 11, nampak bahwa usaha pengelolaan sumber benih
layak secara finansial, baik untuk yang berskala kecil, menengah, maupun besar. Besaran BCR ternyata tidak jauh berbeda untuk pengusahaan sumber benih skala
besar, skala menengah, maupun kecil. Nilai BCR terbesar didapat oleh LSM GP skala kecil dan PT IKU skala besar di Kaltim. Sedang nilai BCR dan IRR
terkecil didapat oleh KT MS. IRR terbesar diperoleh PT GKS dan PT IKU, yang artinya nilai tambah laba kedua perusahaan tersebut baru mencapai nol apabila
tingkat suku bunga mencapai 189.82 PT GKS dan 173.70 PT IKU. Besarnya nilai BCR dan IRR ini dipengaruhi antara lain oleh :
1. Besarnya permintaan akan hasil produksi. LSM GP dan PT IKU lebih besar
BCRnya dibanding PT INH 3 karena permintaan akan hasil produksinya yang
lebih banyak. Sedang PT INH 3 hanya 32 hasil produksinya yang diserap pasar.
2. Kelas sumber benih yang menentukan harga produk. Kelas SB untuk LSM GP
dan PT IKU adalah TB Teridentifikasi yang selisih harganya dengan bibit non sertifikat tidak besar harga non sertifikat = 0.5 s.d 0.62 dari harga bibit SB
bersertifikat. Kelas sumber benih PT INH 3 adalah TB Provenans yang harga benihnya 4 empat kali harga benih non sertifikat.
3. Ketegasan pengelola sumber benih menetapkan harga produk bersertifikat
lebih tinggi daripada non sertifikat, yaitu di PT INH 3, LSM GP, dan PT GKS. Sebagai contoh, di LSM GP dan PT GL yang sama-sama memproduksi bibit
gaharu Aquilaria malaccensis, ternyata BCR dan IRR LSM GP lebih tinggi karena harga jual bibitnya Rp 1300,00 mempertimbangkan adanya sertifikat.
Sedang di CV GL, harga jual bibit gaharu dari sumber benih bersertifikat sama dengan non sertifikat, yaitu sebesar Rp 800,00 – Rp 850,00. Demikian
pula BCR dan IRR PT GKS dan PT IKU lebih tinggi daripada KT MP yang sama-sama memproduksi bibit meranti Shorea sp., sebab harga jual bibit di
KT MP tidak memperhitungkan adanya sertifikat Rp 700,00 – Rp 900,00 dibanding harga jual bibit di PT GKS Rp 1200,00 dan PT IKU Rp 1600,00.
Di PT IKU pertimbangan sertifikat hanya berlaku pada tanaman lokal seperti meranti dan kapur, sedang untuk tanaman mahoni, jati, dan sengon yang
bersertifikat APB ternyata harga bibitnya sama dengan non sertifikat Rp 800,00. Hal ini mungkin disebabkan kondisi pasar yang kesulitan mencari
sumber benih tanaman lokal bersertifikat, namun untuk tanaman mahoni, jati, dan sengon bisa didatangkan dari Jawa.
IRR terbesar yang diperoleh PT GKS juga disebabkan adanya sistem penjualan dalam grup, di mana PT GKS merupakan anggota dari sebuah grup
pengada bibit yang menjadi peserta tender pengadaan bibit di Kaltim. Dalam grup tersebut, sesama anggota grup menjadi pemasok bibit bagi anggota grup yang
menjadi pemenang tender subsidi silang. Harga bibit yang dijual padaanggota sesama grup ini lebih tinggi dari harga bibit di pasaran, namun karena fungsinya
hanya sebagai pemasokpengumpul, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya transaksi pengadaan bibit. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi
besar.
Nilai biaya transaksi didapatkan dari besarnya biaya yang dikeluarkan pengusaha sumber benih dalam kegiatan sertifikasi. Biaya transaksi ini merupakan
biaya tidak resmi yang dikeluarkan pemohon sertifikat untuk keperluan komunikasi, biaya negosiasi yang meliputi akomodasi, konsumsi, transport lokal
di lapangan, dan biaya lain-lain bagi anggota tim penilai sertifikasi. Sementara dari BPTH tidak dikeluarkan biaya untuk kunjungan monitoring karena
pembinaan dan monitoring dilakukan sekaligus saat kunjungan untuk sertifikasi bibit. Dalam Tabel 11 nampak bahwa besaran biaya transaksi sertifikasi ternyata
tidak signifikan dibanding besarnya keuntungan yang didapatkan pada usaha yang layak secara finansial, kecuali di CV GL. Besaran biaya transaksi yang
dikeluarkan CV GL per sertifikat jauh Meski demikian akan lebih baik apabila biaya tidak resmi ini dapat diminimalkan. Dalam Permenhut P.12009, secara
resmi ditetapkan bahwa biaya lapangan selama penilai sertifikasi menjadi kewajiban pemohon sertifikat, dan bahwa penerbit sertifikat berhak memungut
jasa penerbitan sertifikasi, sehingga diharapkan dapat meminimalkan biaya transaksi di masa mendatang. Berdasar hasil wawancara dengan informan
pengada benihbibit, ternyata mereka tidak berkeberatan bila harus menanggung biaya penilaian lapangan serta membayar jasa penerbitan sertifikat, asalkan benar-
benar merupakan tarif resmi, dan besarnya pungutan proporsional dengan keuntungan yang didapat pengusaha dengan adanya sertifikat hasil wawancara
dapat dibaca pada Lampiran 9. Biaya transaksi yang tidak signifikan dibanding keuntungan mendorong
PT Inhutani III mengajukan perpanjangan sertifikasi pada tahun 2008. Namun tidak atau belum mendorong pengelola sumber benih lain untuk mengajukan
perpanjangan. Ada 31 pengelola sumber benih lainnya di wilayah Kalimantan yang habis masa sertifikatnya pada tahun 2008 atau 2009, dan belum mengajukan
perpanjangan. Enam di antaranya dikelola kelompok tani atau Dinas yang tidak berhak menjadi pengelola sumber benih bersertifikat menurut Permenhut No
P.102007 maupun Permenhut No P.12009. Lainnya dikelola oleh pemegang hak pengusahaan hutan alam produksi ataupun pemegang hak pengusahaan HTI. Hal
ini mengindikasikan bahwa keuntungan dari sertifikasi tidak signifikan bagi mereka, mungkin karena kesulitan pemasaran, lebih banyak dipakai untuk
konsumsi sendiri, atau karena harga produk sama dengan harga produk dari sumber benih non sertifikat.
2. Analisis sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk menguji kepekaan suatu kegiatan terhadap berbagai faktor yang mungkin terjadi. Setiap asumsi yang diberikan
bersifat ceteris paribus, yang berarti hal-hal selain yang diasumsikan tidak berubah tetap.
Dalam penelitian ini, asumsi yang digunakan dalam analisis sensitivitas ini
adalah apabila terjadi penurunan penjualan sebesar 20, dan adanya kenaikan
harga pokok produksi HPP sebesar 10, serta apabila terjadi interaksi antara penurunan penjualan dengan kenaikan HPP. Angka penurunan penjualan
diasumsikan dari menurunnya anggaran rehabilitasi hutan dan lahan tahun 2010 yang hanya cukup untuk membiayai penanaman 100,000 hektar lahan kritis, turun
20 dari target penanaman tahun 2009 sebesar 500.000 hektar Antaranews, 17 November 2009; Harian Terbit, 24 Desember 2009. Angka HPP sebesar 10
didapat dari data prediksi kenaikan harga barang kebutuhan pokok untuk tahun 2010
www.kabarbisnis.com , yang biasanya diikuti kenaikan harga barang
lainya. Hasil analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil analisis sensitivitas kelayakan finansial pengusahan sumber benih
Sumber benih
Penjualan HPP NPV Rp IRR
BCR Keteran gan
PT INH 3 Normal
Normal 112,793,535
78.49 1.088
Layak -20 Normal
- 133,099,145
Tidak bisa dihitung
0.893 Tidak layak
Normal +10 75,284,482 53.54 1.057
Layak -20 +10
-175,383,656 Tidak
bisa dihitung
0.863 Tidak layak
LSM GP Normal
Normal 202,036,364
110.14 1.288
Layak -20 Normal
22,516,192 21.79
1.032 Layak
Normal +10 151,746,448 78.96
1.202 Layak
-20 +10 -28,852,895
3.29 0.961
Tidak layak
KT MS Normal
Normal 11,543,436
29.32 1.075
Layak -20 Normal
-21,450,638 -14.50
0.860 Tidak
layak Normal +10 1,104,284
14,99 1,007
Layak -20 +10
-31,889,789 -29.37
0.805 Tidak
layak
Tabel 12 lanjutan
Sumber benih
Penjuala n
HPP NPV Rp
IRR BCR
Ketera ngan
PT IKU Normal
Normal 180,229,622
173.70 1.309
Layak -20 Normal
46,607,328 40.67
1.083 Layak
Normal +10 160,514,485 143.74
1.266 Layak
-20 +10 27,027,208
28.78 1.046
Layak PT GKS
Normal Normal
107,640,702 189,82
1.144 Layak
-20 Normal -43,254,557 -28.36
0.940 Tidak
layak Normal +10
63,333,133 89.17
1.080 Layak
-20 +10 -88,314,913 Tidak
bisa dihitung
0.886 Tidak layak
CV GL Normal
Normal 62,866,731
37.79 1.119
Layak -20 Normal -41,637,658
-1.45 0.919
Tidak layak
Normal +10 34,665,480
26.53 1.062
Layak -20 +10 69,838,909
-11.60 0.871
Tidak layak
Pada analisis sensitivitas ini, kenaikan HPP dikenakan pada biaya operasional dan biaya pemasaran per tahun selama 5 tahun. Hasil analisis
sensitivitas menunjukkan bahwa hanya PT IKU yang kondisi finansialnya tetap layak pada kondisi angka penjualan turun 20, kenaikan biaya produksi 10, dan
kombinasi keduanya. Pengelola sumber benih berskala menengah dan besar PT INH 3, PT GKS, dan CV GL ternyata sensitif pada penurunan volume penjualan
sebesar 20, namun dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi. Karena keuntungan yang didapat PT INH3 dan PT GKS terutama dari harga jual yang
tinggi sementara biaya produksinya pun besar, sehingga tidak dapat bertahan bila terjadi penurunan permintaan. Pengelola sumber benih skala kecil yang harga
jualnya mempertimbangkan adanya sertifikat LSM GP ternyata dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi atau penurunan volume penjualan, namun tidak bisa
bertahan pada kombinasi keduanya. Sementara pengelola sumber benih skala kecil yang harga jualnya tidak mempertimbangkan adanya sertifikat KT MS,
dapat bertahan pada kenaikan biaya produksi, namun tidak bisa bertahan pada penurunan angka penjualan.
Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar pengelola sumber benih ternyata tidak bisa bertahan apabila terjadi penurunan permintaan
bibit untuk proyek rehabilitasi lahan pemerintah yang dikombinasikan dengan
kenaikan biaya produksi. Khusus untuk PT INH 3 yang konsumennya adalah pengelola HTI dan tidak bergantung pada proyek pemerintah mungkin dapat
bertahan, namun harus diingat bahwa frekuensi pembelian oleh HTI tidak tinggi berbeda dengan proyek pemerintah yang setiap tahun melakukan pembelian
bibit, sehingga juga rentan terhadap penurunan permintaan benih.
3. Jalur tataniaga benih dan distribusi manfaat
Dalam jalur tataniaga benih di Kalsel dan Kaltim, pengelola sumber benih SB bertindak sebagai produsen. Hasil produksi umumnya dalam bentuk bibit,
kecuali di PT INH 3 yang produknya berupa benih. Jadi produsen di sini sekaligus berperan sebagai penangkar bibit. Dalam kasus di PT GKS, pengelola sumber
benih sekaligus berperan sebagai penangkar bibit serta pengumpul. Terdapat beberapa tipe jalur tata niaga benih di Kalsel dan Kaltim :
a. Saluran langsung
Saluran langsung ini terjadi bila konsumen akhir langsung membeli benih dari pengelola sumber benih, yang terjadi di PT INH III. Pada tipe saluran
langsung ini harga jual produsen sama dengan harga beli konsumen, sehingga FS = 1.
Gambar 12. Jalur tataniaga tipe saluran langsung
b. Saluran satu tingkat
Dalam penelitian ini PT IKU yang menjadi contoh kasus dalam tataniaga bibit meranti dan mahoni. Untuk tataniaga gaharu tidak tersedia data karena
konsumen dari LSM GP berada di propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Gambar 13. Jalur tataniaga tipe saluran satu tingkat
Distribusi manfaat pada tipe saluran satu tingkat untuk bibit meranti dan
mahoni disajikan dalam Tabel 13. Pengelola SB pemegang HPHTI
Konsumen sesama pemegang HPHHTI
Pemborong Konsumen
Pengelola SB penangkar
Tabel 13. Distribusi manfaat pada tipe saluran satu tingkat bibit meranti dan
mahoni
N o
Lembaga Meranti Mahoni
Distribusi manfaat
Rasio π C
Distribusi manfaat Rasio
πC Harga
Rp batang
Share
Harga Rp
batang
Share
1 Pengelola
SBpenangkar Biaya-biaya
C: 1102.67
55.13 503.31
0.39 • Retribusi
184 9.20
92.00 7.08
• Sewa lahan 624
31.20 12.95
1.00 • Bangunan dan
peralatan 13.8 0.69
223.10 17.16
• Pembangunan SB 2.5
0.13 14.00
1.08 • Sertifikasi SB
19.98 1.00
23.58 1.08
• Penyiapan media 110.77
5.54 76.41
5.88 • Pengunduhan dan
sortasi benih 10.16
0.51 7.19
0.55 • Pembibitanpemelih
araan di persemaian 20.31
1.02 5.09
0.39 • Pengemasan 1.58
0.08 1.20
0.09 • Pemeliharaan
pohon induk 36.75
1.84 23.53
1.81 • Biaya transportasi
18.98 0.95
24.27 1.87
• Harga jual 1600.00
80.00 800.00
61.54 Marjin
keuntungan π
497.33 24.87
296.69 22.82
Rasio keuntungan dan biaya
π C 0.451
0.59
2 Pemborong
Biaya-biaya :
260.00 0.13
210 16.15 • Biaya transportasi
50.00 2.50
30 2.31
• Biaya negosiasi tender 210.00
10.50 200
15.38 Marjin pemasaran
400.00 20.00
500.00 38.46
Marjin keuntungan
140.00 7.00
290 22.31 Harga
jual 2000.00
100.00 1300 100
Rasio keuntungan dan biaya
0.5 1.38
3 Konsumen akhir
Harga beli
2000 100
Harga bibit meranti Shorea sp. dari TBT PT IKU sebesar Rp 1750,00
jauh lebih tinggi dari harga bibit meranti di pasaran sebesar Rp 900,00 – Rp 1200,00. Hal ini disebabkan pengelola sumber benih memperhitungkan adanya
sertifikat sumber benih dalam penentuan harga meranti. Hal ini menyebabkan marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU dari penjualan bibit meranti lebih
besar dari marjin keuntungan pemborong. Dari Tabel 13 nampak bahwa PT IKU mendapat marjin keuntungan sebsar 24,87 dari penjualan bibit meranti. Ini
disebabkan harga bibit meranti PT IKU memperhitungkan adanya sertifikat. Harga bibit meranti dari TB Teridentifikasi PT IKU sebesar Rp 1600,00, lebih
tinggi dari harga bibit meranti di pasaran sebesar Rp 900,00 – Rp 1200,00. Oleh sebab itu marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU dari penjualan bibit meranti
lebih besar dari marjin keuntungan pemborong, sebagaimana disajikan dalam Tabel 13. Namun biaya investasi yang dikeluarkan juga cukup besar, terutama
untuk sewa lahan karena luas TB Teridentifikasi meranti sebesar 100 ha. Berdasar Tabel 13, nampaknya pemborong bibit meranti mendapat marjin
keuntungan yang jauh lebih kecil dari pengelola sumber benih, namun harus diingat bahwa pemborong mengumpulkan bibit dari berbagai sumber benih dan
penangkar kemudian dipasarkan sebagai bibit dari sumber benih bersertifikat. PT IKU sendiri mengakui bahwa dalam penjualan bibit, jumlah bibit hanya ditulis
dalam kontrak penjualan, namun tidak disertakan surat keterangan mengenai jumlah bibit yang dibeli oleh pemborong. Oleh karena itu dalam pengadaan bibit,
kuantitas bibit yang benar-benar berasal dari sumber benih bersertifikat tidak diketahui, karena secara fisik sukar dibedakan antara bibit dari sumber benih
bersertifikat dengan non sertifikat. Sedangkan rasio keuntungan dan biayatidak berbeda jauh antara pengelola sumber benih dengan pemborong.
Satu-satunya sumber benih mahoni bersertifikat di Kalimantan terdapat di PT IKU, dengan kelas sumber benih APB. Menurut Permenhut No 83 Menhut-
V2006 tentang Daftar Harga Bibit Gerhan, semestinya harga bibit mahoni dari APB lebih tinggi dari harga bibit dari SB non sertifikat Rp 2250 untuk bibit dari
APB, dan Rp 1125 untuk bibit dari SB non sertifikat. Harga bibit mahoni yang ditetapkan PT IKU adalah Rp 800, sama dengan harga bibit mahoni dari sumber
benih non sertifikat. Marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU sebesar 22,82, hanya berselisih sedikit dengan marjin keuntungan pemborong 22,31. Namun
rasio keuntungan dan biaya pemborong πC jauh lebih besar daripada π C
pengelola sumber benih mahoni. π C pemborong sebesar 1,38, yang berarti untuk
setiap rupiah yang dikeluarkan, pemborong mendapat keuntungan sebesar Rp 1,38, lebih besar daripada keuntungan pengelola sumber benih Rp 0,5.
b. Saluran dua tingkat
Dalam saluran dua tingkat ini, pengelola SB sekaligus bertindak sebagai penangkar, sehingga produknya berbentuk bibit, bukan benih. Jalur tataniaga bibit
untuk tipe saluran dua tingkat tersaji dalam Gambar 14.
Gambar 14. Jalur tataniaga saluran dua tingkat Dalam saluran dua tingkat ini yang menjadi contoh kasus adalah tataniaga
bibit gaharu dari sumber benih PT GL di Kaltim. Distribusi manfaat dalam tipe saluran dua tingkat tersaji dalam Tabel 14.
Tabel 14. Distribusi manfaat dalam tipe saluran dua tingkat
No Lembaga Distribusi
manfaat Rasio
keuntungan dan biaya
πC Harga
Rpbatang Share
1 Pengelola SBpenangkar
Biaya-biaya C: 657.50
41.09 • Izin usaha
9.5 0.59
• Retribusi 12.00
0.75 • Sewa lahan rata-rata
80 5.00
• Bangunan dan peralatan 140
8.75 • Biaya sertifikasi sumber benih
10 0.63
• Pengunduhan benih, pembibitan, dan pengemasan
255.00 15.94
• Pemeliharaan pohon induk 150.00
9.38 • Biaya komunikasi negosiasi
1.00 0.06
Harga jual 900.00
56.25 Marjin keuntungan
π 242.50
15.16 Rasio keuntungan dan biaya
0.37
2 Pengumpul
Biaya biaya 11.00
0.69 • Biaya transportasi
10.00 0.63
• Biaya transaksi 1.00
0.06 Harga jual
1000.00 62.50
Marjin pemasaran 100.00
6.25 Marjin keuntungan
π 89.00 5.56
Rasio keuntungan dan biaya 8.09
Pengumpul Pemborong
Konsumen Pengelola SB penangkar
Tabel 14 lanjutan
No Lembaga Distribusi
manfaat Rasio
keuntungan dan biaya
πC Harga
Rpbatang Share
3 Pemborong
Biaya-biaya 220.00
13.75 • Biaya transportasi
10.00 0.63
• Biaya transaksi 210.00
13.13 Harga jual
1600 100.00
Marjin pemasaran 600.00
37.50 Marjin keuntungan
π 380.00 23.75
Rasio keuntungan dan biaya 1.72
4 Konsumen akhir
Harga beli 1600
100.00
Pada tipe saluran dua tingkat ini yang mendapat rasio keuntungan dan biaya terbesar adalah pengumpul. Ini disebabkan pengumpul hannya
mengeluarkan biaya transportasi dan komunikasi. Bibit dari SB ini digunakan untuk melengkapi jumlah bibit yang telah ditangkarkan oleh pengumpul, dan
selanjutnya dijual kepada pemborong. Pemborong mendapatkan marjin keuntungan terbesar karena tingginya harga jual bibit, namun rasio keuntungan
dan biaya pemborong lebih kecil dari pengumpul karena selain biaya transportasi, pemborong juga mengeluaakan biaya pemasaran untuk memenangkan tender
pengadaan bibit, yang berupa biaya biaya komunikasi dan biaya negosiasi dengan pihak konsumen.
Saluran dua tingkat ini juga memungkinkan terjadinya pencampuran antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat, karena adanya
pengumpul dan pemborong yang mengumpulkan bibit dari berbagai penangkar, sehingga mutu bibit tidak terjamin.
d. Saluran tiga tingkat
Jalur tataniaga saluran tiga tingkat disajikan pada gambar 15.
Gambar 15. Jalur tataniaga saluran tiga tingkat
Pengumpul 1
Pemborong Konsumen
Pengelola SB
penangkar Pengumpul
2
Distribusi manfaat dalam tipe saluran tiga tingkat tersaji dalam Tabel 15. Tabel 15. Distribusi manfaat dalam tipe saluran tiga tingkat
No Lembaga Distribusi manfaat
Rasio keuntungan
dan biaya πC
Harga Rpbatang
Share
1 Pengelola SBpenangkar
Biaya-biaya C: 33.36
Bangunan dan peralatan 172.69
9.59 Biaya promosi
5.44 0.30
Pengunduhan, pembibitan,
dan pengemasan
415 23.06
Biaya komunikasi negosiasi 7.4
0.41 Harga jual
800.00 44.44
Marjin keuntungan π 199.47
11.08 Rasio keuntungan dan biaya
0.33
2 Pengumpul 1
Biaya- biaya 51.00
2.83 • Biaya transportasi
50.00 2.78
• Biaya transaksi 1.00
0.06 Harga jual
900.00 50.00
Marjin pemasaran 100.00
5.56 Marjin keuntungan
π 49.00 2.72
Rasio keuntungan dan biaya 0.96
3 Pengumpul 2
Biaya-biaya 31.00
1.72 • Biaya transportasi
30.00 1.67
• Biaya transaksi 1.00
0.06 Harga jual
1200.00 66.67
Marjin pemasaran 300.00
16.67 Marjin keuntungan
π 269.00 14.94
Rasio keuntungan dan biaya 8.68
4 Pemborong
Biaya-biaya 260.00
14.44 • Biaya transportasi
50.00 2.78
• Biaya transaksi 210.00
11.67 Harga jual
1800 100.00
Marjin pemasaran 600.00
33.33 Marjin keuntungan
π 340.00
18.89 Rasio keuntungan dan biaya
1.31
5 Konsumen akhir
Harga beli 1800
100
Saluran tiga tingkat ini terjadi karena adanya grup dalam tataniaga bibit tanaman hutan di Kaltim. Grup tersebut terdiri dari beberapa perusahaan yang
berstatus PT dan CV. Semua perusahaan anak grup tersebut dapat mengikuti tender pengadaan bibit. Anak grup pemenang tender bertindak sebagai
pemborong, sementara anak grup lain menjadi pengumpul ke-2, sehingga stok bibit disubsidi silang antar perusahaan dalam grup. Pada saluran tiga tingkat, yang
mendapat rasio keuntungan dan biaya terbesar adalah pengumpul 2, yaitu anak grup yang bertindak sebagai pengumpul. Sementara marjin keuntungan terbesar
diperoleh oleh pemborong. Pemborong mendapatkan marjin keuntungan terbesar karena tingginya harga jual bibit, namun rasio keuntungan dan biaya pemborong
lebih kecil dari pengumpul 2 karena selain biaya transportasi, pemborong juga mengeluarkan biaya transaksi untuk memenangkan tender pengadaan bibit.
Saluran tiga tingkat ini juga memungkinkan terjadinya pencampuran antara bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat, karena adanya pengumpul
dan pemborong yang mengumpulkan bibit dari berbagai penangkar, sehingga mutu bibit tidak terjamin.
Dari hasil analisis distribusi manfaat diketahui bahwa makin panjang saluran, makin kecil Farmer’s Share FS yang diperoleh pengelola sumber benih.
FS tersebut diperoleh dari rasio harga jual pengelola sumber benih dengan harga beli konsumen akhir. Demikian pula dengan persentase marjin keuntungan, makin
panjang saluran, makin kecil marjin keuntungan yang diperoleh pengelola sumber benih. Mubyarto 1982 menyatakan bahwa efisiensi saluran pemasaran atau
tataiaga terfokus pada efisiensi kerja suatu sistem pemasaran yang digunakan petani, yang menentukan bagian harga yang diterima petani Farmer’s Share
dalam menerima bagian harga dari pembayaran harga terakhir. Apabila petani salah dalam memilih rantai tataniaga dalam memasarkan produknya, maka petani
akan mengalami kerugian karena bagian yang diterima petani lebih rendah dari yang diharapkan. Menurut Soekartawi 1989, dalam hal ini konsumen juga akan
dirugikan karena saluran pemasaran yang tidak efisien. Pada saluran satu tingkat untuk jenis meranti, marjin keuntungan
pengelola sumber benih lebih besar atau seimbang dengan pemborong. Ini disebabkan pengelola sumber benih mempunyai posisi tawar dan informasi pasar
yang lebih baik daripada pengelola sumber benih di saluran dua dan tiga tingkat,
sehingga tidak terjadi buyer driven harga ditentukan pembeli. Berbeda dengan distribusi manfaat saluran satu tingkat untuk bibit mahoni, serta saluran dua dan
tiga tingkat, di mana pengelola sumber benih menyesuaikan dengan harga pasar yang menyamakan antara bibit dari SB bersertiifikat dengan non sertifikat. Ini
terjadi karena ketidakseimbangan informasi assymetric information yang dimiliki pengelola sumber benih dengan pengumpul atau pemborong.
Ketidakseimbangan informasi ini meliputi jenis, harga, kuantitas, dan kualitas bibit yang dikehendaki pasar, serta waktu tender pengadaan bibit. Faktor waktu
memegang peranan penting karena bibit memiliki masa kadaluarsa. Bibit yang terlalu tua biasanya tidak laku terjual sehingga penangkar bibit merugi. Aspek
infomasi pasar sangat penting agar dapat mendekati kondisi pasar sempurna Kotler, 2002, yang dapat menghasilkan kepuasan bagi semua pelaku tataniaga,
baik pengelola sumber benih, penangkar, pedagang pengumpul, dan pemborong.
4. Analisis distribusi informasi
Distribusi informasi memegang peranan penting dalam kegiatan sertifikasi sumber benih. Dalam penelitian ini informasi yang dikomunikasikan antar pelaku
perbenihan dikategorikan menjadi tiga, yaitu : a informasi mekanisme sertifikasi yang berlaku; b informasi mengenai teknologi perbenihan; dan c informasi
pemasaran benihbibit. Distribusi informasi antar pelaku perbenihan disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Distribusi informasi antar pelaku dalam sertifikasi sumber benih No Tipe
informasi Distribusi
informasi Sumber
informasi BPTH
Banjarbaru Dinas Pengada
benihbibit
1 Mekanisme sertifikasi
Permenhut No P.12009
Tahu Belum tahu
Belum tahu Ditjen RLPS
2 Teknologi :
a. Pengelolaan SB
b. Pembibitan persemaian
Ada pengetahuan
dan keterampilan
Ada pengetahuan,
kurang dalam praktek
Ada pengetahuan
dan keterampilan,
merasa masih kurang
BPTH, buku, pendidikan
formal, pelatihan
Tabel 16 lanjutan No Tipe
informasi Distribusi
informasi Sumber
informasi BPTH
Banjarbaru Dinas Pengada
benihbibit
3 Informasi pasar
: a. Stok dan lokasi
bibit b. Waktu dan
jenis bibit yang
diperlukan pasar
c. Harga benihbibit
Ada informasi stok meskipun
tidak lengkap, kurang info
waktu, jenis, dan harga bibit
yang diperlukan pasar
Tidak ada informasi
selain tender yang
diadakan oleh Dinas
sendiri Ada yang
punya informasi,
ada yang tidak
BPTH, BPDAS,
sesama pengada bibit
Berdasarkan Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa distribusi informasi antar pelaku perbenihan masih belum merata. BPTH yang bertugas medistribusikan
informasi kebijakan belum menyampaikannya kepada pihak lain. Untuk informasi teknologi BPTH telah berfungsi sebagai pemberi informasi, namun Dinas belum
melakukan fungsinya sebagai pembina. Sementara untuk informasi pemasaran, tidak ada pihak tertentu yang berfungsi sebagai pengumpul datainformasi
pemasaran dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak lain. Kasim 1993 menyatakan bahwa efektivitas komunikasi tukar menukar
informasi dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu dari : 1 relevansi infomasi yang disampaikan; 2 efisiensi jaringan komunikasi yang dipakai; dan 3 tingkat
kepuasan penerima informasi. Mengenai relevansi informasi yang disampaikan
dalam bidang perbenihan, semua informan pengada benihbibit yang ditemui menyatakan masih memerlukan informasi mengenai kebijakan perbenihan,
teknologi perbenihan, serta informasi pasar. Informasi pasar yang dimaksudkan di sini berupa informasi mengenai waktu tender pengadaan bibit, jenis bibit, harga,
kuantitas permintaan, serta keterangan mengenai jumlah dan jenis bibit yang tersedia di pasaran. Karena semua informan menyatakan masih memerlukan
informasi, bisa disimpulkan bahwa informasi yang didapat selama ini masih belum cukup atau belum memuaskan.
Peran Dinas KabupatenKota dalam pembinaan dan fasilitasi belum dirasakan di daerah. Dinas sendiri masih kekurangan informasi mengenai
kebijakan dan teknologi perbenihan. Dalam Permenhut No P.12009, pengelola
informasi perbenihan adalah BPTH. Karena itu peran BPTH Banjarbaru sebagai pengelola informasi menjadi penting agar pihak Dinas dan swasta mengetahui
mekanisme sertifikasi, perankewajiban masing-masing pihak, serta teknologi dan informasi pemasaran yang diperlukan untuk mengembangkan kegiatan perbenihan
di daerah. Hal ini mengurangi kemungkinan terjadinya assymetric information seperti kasus dalam distribusi manfaat tataniaga bibit saluran dua dan tiga. Karena
tugas penerbitan sertifikasi, pembinaan dan pengawasan didesentralisasikan, BPTH lebih memfokuskan diri pada pengelolaan informasi perbenihan melalui
penerbitan dan distribusi berbagai media, seperti liflet, buletin, petunjuk teknis teknologi perbenihan, buku statistik perbenihan mencantumkan daftar pengada
benihbibit, kuantitas produksi, kisaran harga benih dan bibit, mengaktifkan website, melakukan pameran dan sosialisasi kebijakan termasuk ketentuan
mengenai harga benihbibit bersertifikat yang dtetapkan pemerintah ke daerah secara tertulis maupun dengan kunjungan, dan sebagainya.
Untuk memudahkan pengelolaan perbenihan, BPTH dapat bekerja sama dengan asosiasi atau forum komunikasi perbenihan di daerah. Mengenai jaringan
komunikasi, semua informan pengusaha perbenihan yang ditemui sepakat tentang perlunya dibentuk suatu forum komunikasi perbenihan. Di Kaltim dan Kalsel
sebelumnya sudah ada asosiasi pengusaha benihbibit, namun tidak aktif karena berbagai sebab seperti ketidaksepakatan masalah harga dan akses pasar. Karena
itu perlu dibentuk forum baru sebagai wahana pertukaran informasi teknologi perbenihan, informasi pasar dan ketersediaan bibit, penetapan etikaperaturan tata
niaga bibit agar tidak terjadi monopoli, dan menetapkan harga kesepakatan. Agar kelembagaan forum komunikasi baru tersebut dapat efektif, maka perlu
dirumuskan dan disepakati peraturan yang dapat melindungi kepentingan bersama, lengkap dengan sanksinya.
Dengan berdirinya forum komunikasi perbenihan, informasi perbenihan dapat dipertukarkan antar pihak seperti tersaji dalam Gambar 16.
Keterangan : garis pelaporan produksi dan distribusi
garis pertukaran informasi kebijakan, teknologi, dan informasi pasar Pertukaran informasi penawaran dan permintaan
Gambar 16. Pertukaran informasi antar pelaku perbenihan
4. Penilaian Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih
Kegiatan suatu individuinstitusi dikatakan efisien apabila sumberdaya yang dikeluarkan seimbang dengan hasil yang didapatkan. Kelembagaan
pengusahaan sumber benih bersertifikat bisa dinilai efisien karena layak dari segi finansial dengan kisaran BCR antara 1.075 – 1.402, dan IRR antara 29.32 –
261.77 pada tingkat suku bunga 13.52. Biaya transaksi sertifikasi sebesar 0.017 – 0.16 dari keuntungan NPV, sehingga tidak signifikan. Meski demikian
hasil analisis sensitivitas menyatakan bahwa sebagian besar 0.83 pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian ternyata akan mengalami
kerugian tidak efisien lagi apabila terjadi penurunan volume penjualan sebesar 20, atau terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10, atau kombinasi keduanya.
Efisiensi kelembagaan pengelola sumber benih bersertifikat akan dapat ditingkatkan apabila distribusi informasi dan distribusi manfaat antar pemangku
kepentingan seimbang. Namun hasil analisis aspek informasi menyimpulkan bahwa distribusi informasi perbenihan dirasakan belum merata di daerah, terbukti
para pengada dan pengedar benihbibit serta Dinas Kehutanan di daerah masih kekurangan infomasi mengenai kebijakan perbenihan, teknologi perbenihan, serta
informasi pasar. Ketidakmerataan informasi pasar ini juga dirasakan oleh
Pengelola SB Pengada bibit
terdaftar Dinas
BPTH Banjarbaru
Penangkar bibit Forum
komunikasi perbenihan
Konsumen bibit
beberapa pengusaha sumber benih yang tidak mempunyai informasi mengenai harga benih bersertifikat serta informasi proyek pengadaan bibit, stok bibit, serta
keberadaan pengusaha bibit, sehingga menjual bibit dari sumber benih bersertifikat dengan harga yang sama dengan non sertifikat.
Distribusi manfaat antar pelaku tataniaga ternyata belum seimbang. Farmer’s Share FS terbesar dan distribusi marjin keuntungan paling seimbang
ternyata diperoleh pada saluran langsung dan saluran tingkat satu, dengan syarat harga bibit mempertimbangkan adanya sertifikasi sumber benih. Harga bibit yang
tidak mempertimbangkan adanya sertifikat ternyata membuat nilai FS dan distribusi manfaat yang diperoleh pengusaha sumber benih paling kecil dibanding
pelaku tataniaga lain.
D. Sintesis Penilaian Efektivitas Dan Efisiensi Sertifikasi Sumber Benih
Sintesis penilaian efektivitas dan efisiensi kelembagaan disajikan dalam Gambar 17.
81
Gambar 17. Sintesis penilaian efektivitas dan efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan
Efektivitas Isi kebijakan yang
berlaku
Implementasi kebijakan
sebelum Permenhut
No P.12009
Permenhut No P.12009
efektif TBT, TBS, APB
TBP, KBS, KBK, KP tidak
efektif
sumberdaya manusia,
keuangan,
Komunikasi, sumberdaya manusia, keuangan, sarana,
sikap struktur birokrasi Efektif untuk TBT, TBS, APB,
tidak efektif untuk TBP dan KB sebelum
Permenhut No P.12009
Permenhut No P.12009
Efisiensi Bisa efektif apabila
sudah diterbitkan pedoman
pelaksanaan, ada diklat, dan ada
dukungan Pemda
lembaga pengelola
sumber benih bersertifikat
Relasi antar pelaku
Kelayakan finansial
efisien
Distribusi informasi Distribusi
manfaat Tidak efisien
Efisien untuk saluran tingkat satu, tidak efisien untuk saluran tingkat dua dan tiga
Bisa efektif apabila diterbitkan pedoman pelaksanaan
E. Pembelajaran dari Sistem Sertifikasi Sumber Benih Departemen