kenaikan biaya produksi. Khusus untuk PT INH 3 yang konsumennya adalah pengelola HTI dan tidak bergantung pada proyek pemerintah mungkin dapat
bertahan, namun harus diingat bahwa frekuensi pembelian oleh HTI tidak tinggi berbeda dengan proyek pemerintah yang setiap tahun melakukan pembelian
bibit, sehingga juga rentan terhadap penurunan permintaan benih.
3. Jalur tataniaga benih dan distribusi manfaat
Dalam jalur tataniaga benih di Kalsel dan Kaltim, pengelola sumber benih SB bertindak sebagai produsen. Hasil produksi umumnya dalam bentuk bibit,
kecuali di PT INH 3 yang produknya berupa benih. Jadi produsen di sini sekaligus berperan sebagai penangkar bibit. Dalam kasus di PT GKS, pengelola sumber
benih sekaligus berperan sebagai penangkar bibit serta pengumpul. Terdapat beberapa tipe jalur tata niaga benih di Kalsel dan Kaltim :
a. Saluran langsung
Saluran langsung ini terjadi bila konsumen akhir langsung membeli benih dari pengelola sumber benih, yang terjadi di PT INH III. Pada tipe saluran
langsung ini harga jual produsen sama dengan harga beli konsumen, sehingga FS = 1.
Gambar 12. Jalur tataniaga tipe saluran langsung
b. Saluran satu tingkat
Dalam penelitian ini PT IKU yang menjadi contoh kasus dalam tataniaga bibit meranti dan mahoni. Untuk tataniaga gaharu tidak tersedia data karena
konsumen dari LSM GP berada di propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Gambar 13. Jalur tataniaga tipe saluran satu tingkat
Distribusi manfaat pada tipe saluran satu tingkat untuk bibit meranti dan
mahoni disajikan dalam Tabel 13. Pengelola SB pemegang HPHTI
Konsumen sesama pemegang HPHHTI
Pemborong Konsumen
Pengelola SB penangkar
Tabel 13. Distribusi manfaat pada tipe saluran satu tingkat bibit meranti dan
mahoni
N o
Lembaga Meranti Mahoni
Distribusi manfaat
Rasio π C
Distribusi manfaat Rasio
πC Harga
Rp batang
Share
Harga Rp
batang
Share
1 Pengelola
SBpenangkar Biaya-biaya
C: 1102.67
55.13 503.31
0.39 • Retribusi
184 9.20
92.00 7.08
• Sewa lahan 624
31.20 12.95
1.00 • Bangunan dan
peralatan 13.8 0.69
223.10 17.16
• Pembangunan SB 2.5
0.13 14.00
1.08 • Sertifikasi SB
19.98 1.00
23.58 1.08
• Penyiapan media 110.77
5.54 76.41
5.88 • Pengunduhan dan
sortasi benih 10.16
0.51 7.19
0.55 • Pembibitanpemelih
araan di persemaian 20.31
1.02 5.09
0.39 • Pengemasan 1.58
0.08 1.20
0.09 • Pemeliharaan
pohon induk 36.75
1.84 23.53
1.81 • Biaya transportasi
18.98 0.95
24.27 1.87
• Harga jual 1600.00
80.00 800.00
61.54 Marjin
keuntungan π
497.33 24.87
296.69 22.82
Rasio keuntungan dan biaya
π C 0.451
0.59
2 Pemborong
Biaya-biaya :
260.00 0.13
210 16.15 • Biaya transportasi
50.00 2.50
30 2.31
• Biaya negosiasi tender 210.00
10.50 200
15.38 Marjin pemasaran
400.00 20.00
500.00 38.46
Marjin keuntungan
140.00 7.00
290 22.31 Harga
jual 2000.00
100.00 1300 100
Rasio keuntungan dan biaya
0.5 1.38
3 Konsumen akhir
Harga beli
2000 100
Harga bibit meranti Shorea sp. dari TBT PT IKU sebesar Rp 1750,00
jauh lebih tinggi dari harga bibit meranti di pasaran sebesar Rp 900,00 – Rp 1200,00. Hal ini disebabkan pengelola sumber benih memperhitungkan adanya
sertifikat sumber benih dalam penentuan harga meranti. Hal ini menyebabkan marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU dari penjualan bibit meranti lebih
besar dari marjin keuntungan pemborong. Dari Tabel 13 nampak bahwa PT IKU mendapat marjin keuntungan sebsar 24,87 dari penjualan bibit meranti. Ini
disebabkan harga bibit meranti PT IKU memperhitungkan adanya sertifikat. Harga bibit meranti dari TB Teridentifikasi PT IKU sebesar Rp 1600,00, lebih
tinggi dari harga bibit meranti di pasaran sebesar Rp 900,00 – Rp 1200,00. Oleh sebab itu marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU dari penjualan bibit meranti
lebih besar dari marjin keuntungan pemborong, sebagaimana disajikan dalam Tabel 13. Namun biaya investasi yang dikeluarkan juga cukup besar, terutama
untuk sewa lahan karena luas TB Teridentifikasi meranti sebesar 100 ha. Berdasar Tabel 13, nampaknya pemborong bibit meranti mendapat marjin
keuntungan yang jauh lebih kecil dari pengelola sumber benih, namun harus diingat bahwa pemborong mengumpulkan bibit dari berbagai sumber benih dan
penangkar kemudian dipasarkan sebagai bibit dari sumber benih bersertifikat. PT IKU sendiri mengakui bahwa dalam penjualan bibit, jumlah bibit hanya ditulis
dalam kontrak penjualan, namun tidak disertakan surat keterangan mengenai jumlah bibit yang dibeli oleh pemborong. Oleh karena itu dalam pengadaan bibit,
kuantitas bibit yang benar-benar berasal dari sumber benih bersertifikat tidak diketahui, karena secara fisik sukar dibedakan antara bibit dari sumber benih
bersertifikat dengan non sertifikat. Sedangkan rasio keuntungan dan biayatidak berbeda jauh antara pengelola sumber benih dengan pemborong.
Satu-satunya sumber benih mahoni bersertifikat di Kalimantan terdapat di PT IKU, dengan kelas sumber benih APB. Menurut Permenhut No 83 Menhut-
V2006 tentang Daftar Harga Bibit Gerhan, semestinya harga bibit mahoni dari APB lebih tinggi dari harga bibit dari SB non sertifikat Rp 2250 untuk bibit dari
APB, dan Rp 1125 untuk bibit dari SB non sertifikat. Harga bibit mahoni yang ditetapkan PT IKU adalah Rp 800, sama dengan harga bibit mahoni dari sumber
benih non sertifikat. Marjin keuntungan yang diperoleh PT IKU sebesar 22,82, hanya berselisih sedikit dengan marjin keuntungan pemborong 22,31. Namun
rasio keuntungan dan biaya pemborong πC jauh lebih besar daripada π C
pengelola sumber benih mahoni. π C pemborong sebesar 1,38, yang berarti untuk
setiap rupiah yang dikeluarkan, pemborong mendapat keuntungan sebesar Rp 1,38, lebih besar daripada keuntungan pengelola sumber benih Rp 0,5.
b. Saluran dua tingkat