Penilaian Efektivitas Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih

Tabel 8 lanjutan Aspek Peraturan yang berlaku Realisasi Keterangan

B. Organisasi

1. Standar pelaksana sertifikasi mempunyai struktur organisasi, tugas dan fungsi berkaitan dengan perbenihan dan pembibitan; memiliki prosedur mengelola dokumen dan rekaman data; memilikisistem mutu da Perbenihan hanya aspek kecil dari ruang lingkup tugas Dinas, belum ada Dinas yang memiliki sistem pengoperasian dan pengendalian mutu sertifikasi Dinas akan mengusahakan sistem sertifikasi apabila dirasa manfaat melakukan sertifikasi cukup besar, sebab ruang lingkup tugas Dinas sendiri cukup luas 2. SDM Memiliki SDM yang bersertifikat 80 JPL diklat sertifikasi sumber benih Belum ada diklat, SDM di Dinas umumnya tidak ada yang khusus mengurus perbenihan Minimal satu SDM Dinas yang memiliki sertifikat, tim penilai bisa melibatkan BPTH dan pakar 3. Teknologi dan sarana penilaian sertifikasi Memiliki GPS, kompas, peralatan pembuat peta, altimeter, pengukur tinggi dan diameter pohon, pH meter Tidak semua Dinas memiliki peralatan tersebut secara lengkap Pengadaan sarana perbenihan harus melalui APBD

4. Penilaian Efektivitas Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih

Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil penilaian efektivitas sertifikasi sumber benih Aspek penilaian Dasar kebijakan Penilaian Isi kebijakan Standar khusus sumber benih SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP Permenhut No P.12009 Efektif meski perlu disempurnakan Mekanisme SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Kurang efektif Permenhut No P.12009 Lebih efektif Tabel 9 lanjutan Aspek penilaian Dasar kebijakan Penilaian Implementasi kebijakan Mekanisme SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP Hasil penilaian SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Efektif untuk TBT, TBS, dan APB Kurang efektif untuk TBP, KBS, KBK, dan KP Peran pelaku SK Dirjen RLPS No 1012002 Peraturan Dirjen RLPS No P.32007 Belum efektif Prospek implementasi Permenhut No P.12009 Permenhut No P.12009 Bisa lebih menghemat waktu dan tenaga, dan bisa efektif dengan beberapa syarat C. Efisiensi Kelembagaan Sertifikasi Sumber Benih 1. Analisis kelayakan finansial dan biaya transaksi sertifikasi sumber benih Komponen analisis kelayakan finansial dalam usaha pengelolaan sumber benih bersertifikat adalah sebagai berikut : a. Pengeluaran : 1 Biaya investasi, meliputi biaya izin usaha, retribusi, sewa lahan, biaya pembangunan sumber benih, pendirian bangunan dan gedung, pengadaan peralatan, dan biaya sertifikasi. 2 Biaya operasional : a. Bila produk berupa benih : biaya produksi benih meliputi biaya pengunduhan, sortasi, penjemuran, dan penyimpanan benih dan biaya pemeliharaan pohon induk. b. Bila produk berupa bibit : biaya produksi bibit meliputi biaya penyiapan media dan polibag, pengunduhan dan sortasi benih, biaya pembibitan dan pemeliharaan di persemaian dan biaya pemeliharaan pohon induk. 3 Biaya pemasaran, meliputi biaya transportasi dan biaya transaksi pemasaran. Biaya transaksi pemasaran ini meliputi biaya komunikasi dan biaya negosiasi untuk mewujudkan kontrak. b. Pemasukan, meliputi pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan benih atau bibit. Pada analisis kelayakan finansial ini diasumsikan pengeluaran dan pemasukan setiap tahun selama 5 lima tahun adalah tetap. Nilai interest rate ditentukan sebesar 13.52, sesuai tingkat suku bunga rata-rata bank umum pada bulan Juni 2009 saat dilakukan pengambilan data menurut Bank Indonesia Bank Indonesia, 2009. Perlu diketahui bahwa produk dari sumber benih dapat berupa benih atau bibit. Dari 6 enam pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian, ada 5 lima pengelola sumber benih yang sekaligus berperan sebagai penangkar bibit. Dalam kasus di PT GKS, pengelola sumber benih sekaligus berperan sebagai penangkar bibit serta pengumpul. Karakteristik pengelola sumber benih disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik pengelola sumber benih yang menjadi informan penelitian Nama pengelola sumber benih Jenis produk Kelas sumber benih Asal pohon induk Harga jual mempertimbangkan sertifikat atau tidak Komponen biaya investasi PT INH 3 benih TBP HT ya izin usaha, retribusi, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi LSM GP bibit TBT HA ya izin usaha, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi Kelompok Tani KT MS bibit TBT HA tidak sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan, Tabel 10 lanjutan Nama pengelola sumber benih Jenis produk Kelas sumber benih Asal pohon induk Harga jual mempertimbangkan sertifikat atau tidak Komponen biaya investasi PT IKU bibit TBT meranti, APB mahoni HA, HT Ya TBT meranti, tidak APB mahoni izin usaha, retribusi, sewa lahan, pembangunan sumber benih, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi PT GKS bibit TBT HA ya izin usaha, retribusi, sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi CV GL bibit TBT HA tidak izin usaha, retribusi, sewa lahan, bangunan dan gedung, peralatan, dan biaya sertifikasi Biaya pembangunan sumber benih pada hutan alam meliputi biaya survei, penataan area, dan inventarisasi tegakan. Sedang biaya pembangunan sumber benih pada hutan tanaman meliputi biaya pembelian materi genetik, survei area, persiapan lahan, penanaman, penataan area, dan inventarisasi tegakan. Dalam penelitian ini ada satu pengelola sumber benih yang tidak mengeluarkan biaya pembangunan sumber benih, yaitu KT MS yang biaya pembangunan sumber benihnya berasal dari Ditjen RLPS sumber benih berada di hutan lindung. Hasil analisis kelayakan finansial usaha pengelolaan sumber benih bersertifikat disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat Nama pengelola sumber benih NPV Rp BCR IRR Biaya transaksi per sertifikat Rp Rasio biaya transaks i dengan NPV Kalimantan Selatan PT INH 3 HPHTI produk : akasia 112,793,535 1.088 78.49 5,000,000 0.089 LSM GP gaharu 202,036,364 1.288 110.14 3,500,000 0.017 Kelompok Tani KT MS meranti 11,543,436 1.075 29.32 tanpa biaya sertifikasi 1 - Kalimantan Timur PT IKUHPHTI, fokus meranti dan gaharu 180,229,622 1.309 173.70 1,000,000 0.040 PT GKS meranti 107,640,702 1.144 189,82 6,000,000 0.060 CV GL gaharu 62,866,731 1.119 37.79 10,000,000 0.160 Sumber : data primer, diolah Keterangan : 1 Sumber benih SB meranti yang dikelola Kelompok Tani KT MS disertifikasi atas prakarsa BPTH Banjarbaru, bukan atas permintaaan masyarakat ataupun Dinas. Pemegang sertifikat yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Hulu Sungai Tengah karena berada di kawasan hutan lindung serta KT MS sebagai pengelola harian tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikat. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari hasil analisis finansial pada Tabel 11, nampak bahwa usaha pengelolaan sumber benih layak secara finansial, baik untuk yang berskala kecil, menengah, maupun besar. Besaran BCR ternyata tidak jauh berbeda untuk pengusahaan sumber benih skala besar, skala menengah, maupun kecil. Nilai BCR terbesar didapat oleh LSM GP skala kecil dan PT IKU skala besar di Kaltim. Sedang nilai BCR dan IRR terkecil didapat oleh KT MS. IRR terbesar diperoleh PT GKS dan PT IKU, yang artinya nilai tambah laba kedua perusahaan tersebut baru mencapai nol apabila tingkat suku bunga mencapai 189.82 PT GKS dan 173.70 PT IKU. Besarnya nilai BCR dan IRR ini dipengaruhi antara lain oleh : 1. Besarnya permintaan akan hasil produksi. LSM GP dan PT IKU lebih besar BCRnya dibanding PT INH 3 karena permintaan akan hasil produksinya yang lebih banyak. Sedang PT INH 3 hanya 32 hasil produksinya yang diserap pasar. 2. Kelas sumber benih yang menentukan harga produk. Kelas SB untuk LSM GP dan PT IKU adalah TB Teridentifikasi yang selisih harganya dengan bibit non sertifikat tidak besar harga non sertifikat = 0.5 s.d 0.62 dari harga bibit SB bersertifikat. Kelas sumber benih PT INH 3 adalah TB Provenans yang harga benihnya 4 empat kali harga benih non sertifikat. 3. Ketegasan pengelola sumber benih menetapkan harga produk bersertifikat lebih tinggi daripada non sertifikat, yaitu di PT INH 3, LSM GP, dan PT GKS. Sebagai contoh, di LSM GP dan PT GL yang sama-sama memproduksi bibit gaharu Aquilaria malaccensis, ternyata BCR dan IRR LSM GP lebih tinggi karena harga jual bibitnya Rp 1300,00 mempertimbangkan adanya sertifikat. Sedang di CV GL, harga jual bibit gaharu dari sumber benih bersertifikat sama dengan non sertifikat, yaitu sebesar Rp 800,00 – Rp 850,00. Demikian pula BCR dan IRR PT GKS dan PT IKU lebih tinggi daripada KT MP yang sama-sama memproduksi bibit meranti Shorea sp., sebab harga jual bibit di KT MP tidak memperhitungkan adanya sertifikat Rp 700,00 – Rp 900,00 dibanding harga jual bibit di PT GKS Rp 1200,00 dan PT IKU Rp 1600,00. Di PT IKU pertimbangan sertifikat hanya berlaku pada tanaman lokal seperti meranti dan kapur, sedang untuk tanaman mahoni, jati, dan sengon yang bersertifikat APB ternyata harga bibitnya sama dengan non sertifikat Rp 800,00. Hal ini mungkin disebabkan kondisi pasar yang kesulitan mencari sumber benih tanaman lokal bersertifikat, namun untuk tanaman mahoni, jati, dan sengon bisa didatangkan dari Jawa. IRR terbesar yang diperoleh PT GKS juga disebabkan adanya sistem penjualan dalam grup, di mana PT GKS merupakan anggota dari sebuah grup pengada bibit yang menjadi peserta tender pengadaan bibit di Kaltim. Dalam grup tersebut, sesama anggota grup menjadi pemasok bibit bagi anggota grup yang menjadi pemenang tender subsidi silang. Harga bibit yang dijual padaanggota sesama grup ini lebih tinggi dari harga bibit di pasaran, namun karena fungsinya hanya sebagai pemasokpengumpul, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya transaksi pengadaan bibit. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi besar. Nilai biaya transaksi didapatkan dari besarnya biaya yang dikeluarkan pengusaha sumber benih dalam kegiatan sertifikasi. Biaya transaksi ini merupakan biaya tidak resmi yang dikeluarkan pemohon sertifikat untuk keperluan komunikasi, biaya negosiasi yang meliputi akomodasi, konsumsi, transport lokal di lapangan, dan biaya lain-lain bagi anggota tim penilai sertifikasi. Sementara dari BPTH tidak dikeluarkan biaya untuk kunjungan monitoring karena pembinaan dan monitoring dilakukan sekaligus saat kunjungan untuk sertifikasi bibit. Dalam Tabel 11 nampak bahwa besaran biaya transaksi sertifikasi ternyata tidak signifikan dibanding besarnya keuntungan yang didapatkan pada usaha yang layak secara finansial, kecuali di CV GL. Besaran biaya transaksi yang dikeluarkan CV GL per sertifikat jauh Meski demikian akan lebih baik apabila biaya tidak resmi ini dapat diminimalkan. Dalam Permenhut P.12009, secara resmi ditetapkan bahwa biaya lapangan selama penilai sertifikasi menjadi kewajiban pemohon sertifikat, dan bahwa penerbit sertifikat berhak memungut jasa penerbitan sertifikasi, sehingga diharapkan dapat meminimalkan biaya transaksi di masa mendatang. Berdasar hasil wawancara dengan informan pengada benihbibit, ternyata mereka tidak berkeberatan bila harus menanggung biaya penilaian lapangan serta membayar jasa penerbitan sertifikat, asalkan benar- benar merupakan tarif resmi, dan besarnya pungutan proporsional dengan keuntungan yang didapat pengusaha dengan adanya sertifikat hasil wawancara dapat dibaca pada Lampiran 9. Biaya transaksi yang tidak signifikan dibanding keuntungan mendorong PT Inhutani III mengajukan perpanjangan sertifikasi pada tahun 2008. Namun tidak atau belum mendorong pengelola sumber benih lain untuk mengajukan perpanjangan. Ada 31 pengelola sumber benih lainnya di wilayah Kalimantan yang habis masa sertifikatnya pada tahun 2008 atau 2009, dan belum mengajukan perpanjangan. Enam di antaranya dikelola kelompok tani atau Dinas yang tidak berhak menjadi pengelola sumber benih bersertifikat menurut Permenhut No P.102007 maupun Permenhut No P.12009. Lainnya dikelola oleh pemegang hak pengusahaan hutan alam produksi ataupun pemegang hak pengusahaan HTI. Hal ini mengindikasikan bahwa keuntungan dari sertifikasi tidak signifikan bagi mereka, mungkin karena kesulitan pemasaran, lebih banyak dipakai untuk konsumsi sendiri, atau karena harga produk sama dengan harga produk dari sumber benih non sertifikat.

2. Analisis sensitivitas