Prospek Pengusahaan Sumber benih Bersertifikat di Masa Mendatang

diberikan per kemasan benih dengan warna yang berbeda menurut kelas sumber benih. Sedangkan untuk produk berupa bibit, label diberikan per batang bibit. Adanya label akan memperkecil kemungkinan pencampuran produk dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat. Dalam Permenhut No P.12009, pelabelan bibit hanya diberikan apabila penjualan bibit dalam jumlah kecil. Sedang apabila penjualan bibit berjumlah besar hanya diberikan surat keterangan mutu bibit, yang rawan terhadap kemungkinan pencampuran bibit dari sumber benih bersertifikat dengan non sertifikat. Di Deptan, sertifikasi diberikan per batang bibit dengan memungut biaya pelabelan. Besarnya biaya pelabelan tergantung pada harga produk. 2. Adanya petugas fungsional pengawas perbenihan yang dapat mengawasi produksi dan peredaran benihbibit sehingga keaslian mutu produk sumber benih lebih terjamin. Ketentuan tertinggi mengenai pengawas perbenihan tercantum dalam PP NO 44 Tahun 1995 mengenai Perbenihan Tanaman. Dalam kebijakan tersebut, Menteri berwenang menetapkan persyaratan pengawas benih pasal 46 ayat 2. Pengawas benih berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap proses produksi, sarana, tempat penyimpanan dan cara pengemasan benih, memeriksa dokumen dan catatan produsen, pemasok, dan pengedar benih, pemeriksaan terhadap kegiatan sertifikasi serta mengambil contoh benih guna pemeriksaan mutu.

F. Prospek Pengusahaan Sumber benih Bersertifikat di Masa Mendatang

Prospek sumber benih bersertifikat dikaji berdasar faktor karakter konsumen. Pembeli produk sumber benih bersertifikat bisa digolongkan menjadi empat, yaitu : a. Pembeli untuk keperluan proyek pemerintah , baik yang bersumber dari dana pemerintah pusat seperti proyek GNRHL, One Man One Tree atau HTR, maupun yang bersumber dari dana pemerintah daerah seperti DAKDR. Pembeli untuk keperluan proyek pemerintah biasanya memesan bibit dalam jumlah yang besar dan frekuensi pembelian tinggi tiap tahun selama beberapa tahun. Meskipun proyek GNRHL sudah berakhir, namun karena RHL merupakan salah satu program prioritas Dephut, sehingga kegiatan RHL tetap dilakukan dengan nama dan tujuan lain seperti proyek pembangunan HTR maupun One Man One Tree . Anggaran Dephut untuk RHL menyusut pada tahun 2010 sehingga hanya cukup untuk membiayai RHL seluas 100,000 hektar. Namun ada harapan untuk penambahan anggaran RHL di tahun-tahun mendatang dengan adanya target Indonesia mengurangi emisi karbon sebesar 26 pada tahun 2020. Untuk memenuhi target tersebut Indonesia harus melaksanakan kegiatan RHL baik pada kawasan DAS, HTI, restorasi HPH, Hutan Kemasyarakatan HKm, HTR, Hutan Desa HD, dan HTR Kemitraan dengan target penanaman untuk tahun 2010-2020 seluas 21.150.000 hektar. Dengan demikian kegiatan RHL yang bersumber dari APBN, dan APBD tetap berprospek sebagai pasar bagi pengada bibit atau benih. Hingga tahun 2010 tidak ada ketentuan yang mewajibkan proyek pemerintah menggunakan bibit dari sumber benih bersertifikat. Penggunaan bibit bersertifikat pada proyek pemerintah tergantung pada ketersediaan anggaran instansi yang bersangkutan karena bibit bersertifikat harganya lebih mahal dan permintaan masyarakat pelaksana penanaman. Diperlukan kebijakan insentif agar proyek pemerintah cenderung memilih bibit bersertifikat. Karena proyek pemerintah dalam RHL bersumber dari dana publik public procurement, disarankan agar pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan instansi pelaksana RHL mengacu pada standar mutu bibit di Permenhut No P.12009 dalam penentuan spesifikasi bibit untuk RHL. Dengan demikian instansi yang besangkutan akan cenderung memilih bibit yang bersal dari sumber benih bersertifikat yang terjamin mutunya. Namun sebelumnya ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu sertifikasi produk sumber benih bersertifikat benar-benar menjamin kebenaran kelas dan mutu produk sumber benih. b. Pembeli untuk keperluan penanaman HTI. Pembeli yang berasal dari HTI biasanya membeli bibit dalam jumlah yang tidak terlalu besar dan frekuensi pembelian rendah. Dalam hal ini kekuatan pembeli perseorangan tidak sekuat kekuatan pembeli dari pemerintah. Namun pembeli untuk keperluan komersial seperti HTI akan cenderung memilih produk sumber benih bersertifikat. Konsumen untuk sumber benih kelas TBP, KBS, KBK, dan KP umumnya berasal dari pengusaha HTI, sehingga sertifikasi TBP, KBS, KBK, dan KP harus benar-benar efektif untuk menunjang mutu produk HTI. c. Pembeli yang memenuhi kewajiban rehabilitasi atau reklamasi lahan, berasal dari pemegang HPHA atau pengusaha tambang. Pembelian bibit untuk kategori ini jumlahnya tidak terlalu besar dan frekuensi pembelian rendah. Biasanya hanya perusahaan berskala besar yang mengutamakan produk sumber benih bersertifikat, seperti pengelola hutan alam produksi yang menerapkan sistem silvikultur intensif, atau pengusaha tambang batubara berskala besar yang periode usahanya berjangka panjang. Mereka melaksanakan rehabilitasi hutan atau reklamasi lahan dengan lebih sungguh- sungguh karena mengharapkan perpanjangan hak pengusahaan hutan atau hak pengusahaan tambang. Sementara pengusaha berskala kecil umumnya tidak memprioritaskan produk sumber benih bersertifikat, karena keterbatasan anggaran atau sekedar memenuhi kewajiban agar tidak dicabut hak pengusahaannya. Kebijakan insentif dari pemerintah dapat diterapkan misalnya perpanjangan hak pengusahaan kepada mereka yang berhasil melaksanakan rehabilitasi atau reklamasi lahan namun harus ada jaminan efektivitas sertifikasi produk sumber benih bersertifikat. d. Pembeli perorangan, biasanya membeli dalam kuantitas dan frekuensi kecil. Pembelian ini dilakukan untuk konsumsi sendiri, misalnya untuk HTR swadaya, ataupun untuk memenuhi persyaratan sebagai pengada bibit terdaftar harus ada bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengusahaan sumber benih bersertifikat masih berprospek menghasilkan keuntungan di masa mendatang, dengan syarat sistem sertifikasi tersebut disempurnakan agar efektif, dan perlu didukung kebijakan insentif dari pemerintah. Sertifikasi bertujuan memberikan perlindungan mutu produk kepada konsumen. Meskipun mekanisme penilaian sertifikasi untuk TBT, TBS, dan APB cukup efektif, namun terdapat masalah dalam sistem pengawasan dan peredarannya. Apabila sistem sertifikasi tidak disempurnakan, maka manfaat dari sertifikasi tidak dapat diwujudkan karena kurangnya jaminan mutu produk yang benar-benar dapat melindungi konsumen, sehingga posisi tawar pengelola sumber benih dalam menentukan harga produk menjadi lemah. Apabila hal itu terjadi, maka secara ekologis maupun secara finansial, sertifikasi sumber benih tidak dapat membawa manfaat bagi produsen maupun konsumen.

G. Permenhut No P.722009 sebagai revisi dari Permenhut No P.12009