Teori Psikososial BIOPSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL
menyenangkan. Jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat
mempercayai dan mengembangkan asa. Akan tetapi, gangguan pada tahap ini dapat membuat sang anak mengembangkan rasa
tidak percaya dan terabaikan. Anak yang memiliki ibu tidak tanggap dalam merespons tangisan kelaparannya, atau jarang
menggendongnya, biasanya mengalami perasaan tidak aman dan selalu merasa curiga terhadap lingkungan dan perasaannya bahwa
dunia tidak dapat dipercaya. Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam
membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa oranglain berusaha mengambil
keuntungan darinya, atau merasa bahwa teman-temannya tidak dapat dipercaya untuk menjaga rahasia.
2 Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan Autonomy
vs Shame Doubt
Yaitu masa kanak-kanak awal 2 hingga 3 tahun. Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas
tubuhnya. Orang
tua seharusnya
menuntun anaknya,
mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impuls- impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Resolusi
yang sukses dari tahapan ini akan menghasilkan anak yang dapat mengetahui perbedaan antara benar dan salah, dan hampir selalu
mau dan mampu untuk memilih “yang benar”. Kontrol yang
berlebih dari orang tua yang sering memberikan hukuman akan membuat anak mengembangkan perasaan “saya selalu salah...saya
selalu tidak baik... saya tidak tahu bagaimana cara menjadi sukses dan berhasil” dalam dirinya.
3 Inisiatif versus Kesalahan Initiative vs Guilt
Yaitu masa prasekolah 3 hingga 5 tahun. Anak yang berhasil melewati tahap ini akan tahu bahwa ia merupakan individu
independen dan mandiri, tetapi hanya sekedar itu. Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tindakannya. Selain itu, dalam tahap ini anak juga belajar bagaimana bersosialisasi dengan teman sebayanya. Resolusi yang
tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut untuk mengejar mimpi-mimpi dan kemungkinan-kemungkinan yang ia
bayangkan. Jika perasaan semacam ini tidak dihilangkan, sang anak tidak akan dapat mengambil inisiatif atau membuat
keputusan, memiliki rasa percaya diri rendah, dan tidak mau mengembangkan harapan-harapan ketika ia dewasa. Penelitian
mengenai hal ini menegaskan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang disfungsional mengalami gangguan nantinya akan
memiliki masalah harga diri.
4 Produktif versus Inferioritas industry vs inferiority
Yang terjadi pada usia sekolah 6 hingga 11 tahun. Pada tahap ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan
kepuasan dari menyelesaikan tugas, khususnya
tugas-tugas
akademis. Pada masa ini juga anak berkembang kamampuan berpikir deduktif, disiplin diri dan kemampuan berhungan dengan
teman sebaya serta rasa ingin tahu akan meningkat. Penyelesaian yang sukses pada tahap ini akan menciptakan anak yang dapat
memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang ia peroleh. Sebaliknya, anak mungkin akan kehilangan harapan, merasa
cukup, menarik diri dari sekolah dan teman sebaya. Anak yang tidak mampu melewati tahap ini dengan baik akan merasa inferior,
seolah-olah ia tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih oleh teman-teman
sebayanya.
5 Identitas versus Kebingungan Peran Identity vs Role
Confusion
Yaitu masa remaja 12 hingga 18 tahun. Pada tahap ini, remaja bereksperimen dengan berbagai macam peran yang berbeda, sambil
mencoba mengintegrasikannya dengan identitas yang ia dapatkan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Dalam tahap ini individu mulai
merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat yang
bersifat menyesuaikan diri. Anak mulai menyadari sifat-sifat kesukaan dan ketidaksukaannya. Jika berhasil pada tahapan ini akan
menciptakan individu yang memiliki perasaan akan diri yang jelas dan multifaset, seseorang yang telah berhasil menyatukan banyak
peran menjadi “identitas” tunggal dirinya. Erikson melihat bahwa
keadaan memalukan dari masa remaja dapat menyebabkan adanya kebingungan identitas dan ketidakpastian mengenai kemampuan,
asosiasi dan tujuan masa depan individu yang disebut sebagai krisis identitas. Kegagalan pada masa ini menyebabkan anak kebigungan
peran, sering muncul perasaan keragu-raguan dan bahkan menarik diri dari lingkungan.
6 Keintiman versus Isolasi Intimacy vs Isolation
Yaitu masa dewasa muda 19 hingga 40 tahun. Orang dewasa muda pada tahap ini, akan mempelajari cara berinteraksi
dengan orang lain secara lebih mendalam. Tujuan dalam tahap ini adalah mencari hubungan dengan sesama yang memiliki banyak
kesamaan, khususnya untuk membentuk hubungan asmara dengan pasangan. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang
kuat akan menciptakan rasa kesepian, alih-alih cinta. Beberapa orang mungkin tidak mampu membentuk hubungan yang intim
sama sekali, sehingga ia menjadi orang yang “kesepian” atau mulai membentuk banyak hubungan yang dangkal.
7 Generativitas versus Stagnasi Generativity vs Stagnation
Yaitu masa dewasa menengah 40 hingga 65 tahun. Pada tahap inilah individu mulai menyerahkan dirinya dengan orang
lain, dalam bentuk seperti membesarkan dan mengasuh anak. Namun juga dapat berbentuk beberapa kegiatan lain, seperti
kegiatan sosial. Idenya dalah memberikan sesuatu pada dunia
sebagai balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan
generasi penerus dimasa depan. Seseorang yang telah mencapai tujuan-tujuan hidupnya yang bersifat materiil akan menetapkan
tujuan-tujuan baru bagi dirinya sendiri, yaitu tujuan dalam wujud perilaku menolong sesama. Ketidakmampuan untuk memiliki
pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan. Individu seperti ini mungkin
berhasil memperoleh tujuan-tujuan duniawi, tetapi di balik kesuksesannya itu hidup terasa tidak berarti.
8 Integritas versus Keputus-asaan Ego Integrity vs Despair
Yaitu masa dewasa akhir 65 tahun hingga mati. Pada tahap usia lanjut ini, individu memperoleh kebijaksanaan dari
pengalaman-pengalaman hidupnya, dan mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat makna, ketentraman, dan
integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan, dan pencarian saat ini adalah mengintegrasikan tujuan hidup yang telah
dikejar selama bertahun-tahun. Kegagalan dalam melewati tahap ini akan menyebabkan munculnya rasa putus asa: saya belum
meyelesaikan apa yang saya inginkan dalam hidup ini, dan sekarang semuanya sudah terlambat.
66
b Faktor-faktor Psikososial
66
Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, h. 157.
Faktor-faktor yang mempengaruhi psikososial yaitu pola asuh serta kasih sayang dari orang tua, status ekonomi orang tua, lingkungan
sekolah, hubungan dengan anak lain. Yang dijelaskan sebagai berikut:
1 Pola Asuh dan Kasih Sayang dari Orang Tua
Orang tua merupakan area terdekat pada anak. Anak sangat memerlukan kasih sayang, rasa aman, sikap dan perlakuan yang
adil dari orang tua. Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi anak-anak, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal. Selain kelekatan antara orang tua dan anak, pola asuh yang diterapkan orang tua ke anak akan mempengaruhi perilaku
anak di masa depan. Apakah di masa yang akan datang anak akan berprilaku positif atau negatif, itu tergantung dari pola asuh yang
diterapkan orang tua pada masa kecilnya. Terdapat 4 jenis pola pengasuhan orang tua menurut Diana
Baumrind 1971, yang dijelaskan sebagai berikut:
a Pengasuhan Otoritarian Authoritarian Parenting
Adalah pola yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua menghukum dan mendesak anak untuk mengikuti arahan
mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Anak dari orang tua yang otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder
ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang
lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berprilaku agresif Hart dkk., 2003.
b Pengasuhan Otoratif Authoritatif Parenting
Yaitu pola pengasuhan dengan mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan
mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak.
Orang tua yang otoritatif menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak. Anak dengan
orang tua yang otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi; maka cenderung untuk
mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stress
dengan baik.
c Pengasuhan Yang Mengabaikan Neglectful Parenting
Adalah pola pengasuhan di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang
mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak
memiliki kemampuan sosial. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari
keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukkan sikap suka membolos dan nakal.
d Pengasuhan Yang menuruti Indulgent Parenting
Adalah pola pengasuhan di mana orang tua terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka.
Orang tua seperti ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan.
Dampaknya, anak
tidak akan
pernah belajar
mengendalikan perilakunya
sendiri dan
selalu berharap
mendapatkan keinginannya. Anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan
mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan
kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya peer.
67
Pola asuh ini sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi anak terhadap orang tua. Bagaimana anak terbentuk tentunya
didapat dari pembiasaan-pembiasaan yang terjadi pada situasi rumah. Hal inilah yang terkadang mendasari anak untuk
mengembangkan dirinya.
68
2 Status Ekonomi Orang Tua
Keadaan sosio-ekonomi keluarga tentulah mempunyai peranan terhadap perkembangan anak-anak, bahwa dengan adanya
perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak di dalam keluarga itu lebih luas, ia mendapat kesempatan
yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat ia kembangkan apabila tidak ada alat-
alatnya. Jika status sosio ekonomi orang tua memuaskan tetapi
apabila mereka itu tidak memperhatikan didikan anaknya atau
67
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi ke tujuh, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, hal. 167.
68
John W. Santrock, Perkembangan Anak, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, h. 167.
senantiasa bercekcok, hal itu juga tidak menguntungkan perkembangan sosial anak-anaknya, bisa jadi anak berkembang
dengan tidak wajar.
69
3 Lingkungan Sekolah
Mengenai peran
sekolah dalam
mengembangkan kepribadian anak, Hurlock mengemukakan bahwa sekolah
merupakan faktor penentu bagi perkembangan anak, baik dalam cara berfikir maupun cara berprilaku. Sekolah berperan sebagai
substitusi keluarga dan guru serta substitusi orang tua. Ada beberapa alasan mengapa sekolah memainkan peranan berarti bagi
perkembangan psikososial anak, yaitu anak harus hadir di sekolah, sekolah memberikan pengaruh kepada anak sejak dini seiring
perkembangan konsep
dirinya dan
anak lebih
banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain selain
di luar rumah.
4 Hubungan dengan Anak Lain
Hubungan anak kecil dengan orang dewasa yang mengasuhnya merupakan hal yang terpenting. Namun hubungan
dengan saudara kandung dan teman sebaya lainnya menjadi penting nilainya pada usia pra sekolah. Setiap aktivitas yang
dijalani anak, perkembangan kepribadian, perkembangan jenis kelamin ke prilaku prososial atau agresif, keseluruhannya
69
Gerungan W.A, Psikologi Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2000, cet. 11, h. 182.
melibatkan anak lain. Tumbuh berdampingan dengan anak lain akan
menumbuhkan rasa
kompetisi yang
meningkatkan kemampuan anak dalam belajar mengukur kompetensi fisik, sosial
dan bahasa dan mendapatkan pemahaman diri yang lebih realistis Bandura dalam Papalia, 2008.
70