Faktor-faktor Psikososial Anak Dampak Ibu Bekerja Terhadap Aspek Psikologis Anak
Selain itu selama “BP” dititipkan ke kakanya “L” yang juga sebagai pengasuhnya, ternyata juga menerapkan hukuman fisik jika
“BP” melakukan kesalahan misalnya ketika sedang berkelahi dengan temannya. Berikut penuturan pengasuh “L”:
“Saya tarik aja bawa pulang, saya omelin engga dibolehin maen lagi. Dia begitu juga pengaruh dari lingkungan,
temennya dia juga kalo ngomong begitu jadi dia ngikutin. Tetangga sebelah rumah saya kalo lagi marah juga kata-
katanya kasar, kalo rumah begini otomatis kedengeran mungkin dia denger juga kali jadinya ngikutin ngomong
kasar. Saya sama emaknya kalo lagi marahin dia engga pernah ngomong kasar, paling cuma mukul.”
98
Dari data diatas terlihat bahwa pola pengasuhan otoriter memang diterapkan oleh ibu “SP” dan pengasuhnya “L” dengan memberikan
hukuman fisik jika “BP” melakukan kesalahan. Jenis pola asuh orang tua yang otoriter ini mungkin akan mendorong anak berprilaku agresif.
Ibu “SP” juga jarang terlibat dalam kehidupan anak terlihat ketika ibu “SP” yang selalu memberikan materi kepada anaknya agar menuruti
nasihatnya tanpa memperhatikan tumbuh kembang anaknya. Selain itu “BP” juga mudah sekali memukul dan marah jika sedang bermain
bersama teman-temannya,
sehingga membuatnya
mengalami penolakan oleh teman-temannya.
b Jenis Pola Asuh “AD”
Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua dari informan “BP” berbeda dengan pola asuh yang diberikan oleh orang tua dari informan
“AD”. “AD” sudah ditinggal ibunya bekerja selama 2 tahun, selama itu
98
Wawancara dengan pengasuh “L” dari informan “BP”, Cilandak, 8 Juni 2016.
pula ia dan adiknya dirawat oleh bibi dan bule nya. Dari sebelum diasuh oleh bule “AD” dan adiknya sudah tumbuh menjadi anak yang
mandiri. Berikut penuturan bule: “AD anaknya lebih mandiri. Kalo lauknya kurang saya
bilang ke dia terus dia bilang “yaudah lek biarin nanti saya aja yang goreng telor sendiri” jadi dia sama adiknya udah
bisa masak telor sendiri. AD dan adiknya juga rajin bersih- bersih rumah, pinter bagi tugasnya. Pernah AD dan AF
bikin kue bolu, pertama kali dia bisa terus yang kedua kali bantat AD buat sendiri terus kalo berantakan juga diberesin,
nanti aku yang nyuci.”
99
Selain mandiri “AD” dan adiknya juga bertanggung jawab, walaupun jarang bertemu dengan ibu “S” dan hanya berkomunikasi via
telepon. “AD” lebih sering menceritakan permasalahannya kepada ibu “S”. berikut yang diucapkan “AD”:
“Engga pernah cerita ke siapa-siapa. Ceritanya ke mamah lewat telepon, engga ke adek dia belom ngerti. Tentang
“AF” belajarnya kurang, tentang belajar sama kesehatan aja. Engga pernah cerita soal temen kan engga ada yang
tau. Kalo tentang belajar biasanya tentang nilai atau ada yang engga tau ada soal yang tidak dimengerti”.
100
Dari data di atas terlihat bagaimana ibu “S” walaupun jauh dari anaknya
tetap memberikan
perhatiannya dengan
melakukan komunikasi secara rutin dan terarah. Selain itu sikap “AD” yang
mandiri dan bertanggung jawab mencerminkan pola pengasuhan Otoritatif . Jenis pola asuh ini mendorong anak untuk mandiri selain itu
“AD” juga tidak takut terhadap orang lain.
99
Wawancara dengan pengasuh “bule” dari informan “AD”, Cilandak, 1 Juni 2016.
100
Wawancara dengan informan “AD”, Cilandak, 1 Juni 2016.
c Jenis Pola Asuh “KK”
Pola pengasuhan otoritatif ternyata juga diterapkan oleh ibu “I” kepada anak-anaknya. Kedua kakaknya dalam menjaga “KK” juga
dengan menerapkan apa yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya, di mana mendorong “KK” untuk tumbuh menjadi anak yang mandiri.
“KK” dan kedua kakaknya juga tidak pernah mengeluh jika ibu “I” memilih untuk bekerja, berikut penuturan ibu “I”:
“Engga biasa-biasa aja sih. “kok mama kerja mulu sih, engga ngurusin anak” kalo anak-anak saya engga ada tuh
yang komplain gitu biasa-biasa aja yaa melirik ke “F”. Jadi mereka bisa sendiri-sendiri, misalnya kalo mama nya
engga bisa nyuci piring paginya yaa mereka bagi tugas kalo pagi adeknya kalo sore mbaknya “F” anak pertama jadi
ganti-gantian, mereka bisa bagi waktu dan bisa bantu mama nya juga. Waktu itu sih mereka masih SD, SMP
sekolahnya.”
101
Dalam mendidik anaknya, ibu “S” selalu mengajarkan untuk bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan menjaga
kebersihan rumahnya. Orang tua “KK” juga tidak pernah menerapkan hukuman fisik jika anaknya melakukan kesalahan. Dari data diatas
terlihat bahwa orang tua “KK” menerapkan pola pengasuhan otoritatif, dimana pengasuhan ini akan berdampak pada perilaku anak yakni anak
akan sering ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya.
101
Wawancara dengan ibu “I” dari orang tua “KK”, Cilandak, 30 Mei 2016.
d Jenis Pola Asuh “RMR”
Pola pengasuhan yang dilakukan oleh ibu “SP” ternyata juga diterapkan oleh ibu “IM”. Usia “RMR” ketika ditinggal ibunya bekerja
yakni 10 bulan, “RMR” juga mengalami speak delay sampai saat ini pun “RMR” belum bisa berbicara secara jelas. Ibu “IM” pernah
melakukan hukuman fisik berupa cubitan jika “RMR” melakukan kesalahan, berikut penuturan ibu “IM”:
“Hukuman paling cuma diteriakin aja. Pernah dulu nyubit sampe biru, terus abis saya cubit saya tuh kepikiran jadi
sedih soalnya saya inget dulu pernah dicubit sama mamah saya itu sakit banget makanya saya sekarang engga pernah
cubit dia lagi. Ada faktor capek juga sih karena saya kan kerja di Citi Bank dan capek bangget karena harus naik
turun kereta api desel-deselan pas sampe rumah dia rewel jadi saya kesel rasanya pengen meledak makanya dulu saya
suka cubit di bagian perut kebawah sama jewer kupingnya.”
102
Interaksi antara ibu “IM” dan “RMR” memang hanya dilakukan ketika sehabis ibu pulang kerja dan ketika hari libur. Ketika ibu “IM”
kelelahan tentu saja akan berdampak pada mood nya. Ibu akan mudah marah jika anaknya hanya melakukan kesalahan kecil, ketika ibu “IM”
kehilangan kendalinya bisa dilihat akan mempengaruhi interaksi anak dengan orang tua. Menerapkan hukuman jika “RMR” melakukan
kesalahan merupakan jenis pola pengasuhan otoritarian. Jenis pola asuh ini berdampak pada kemampuan komunikasi yang lemah dan
takut bila bertemu orang baru.
102
Wawancara dengan ibu “IM” dari orang tua “RMR”, Cilandak, 19 Juli 2016.
2 Status Ekonomi Orang Tua
Keadaan sosio-ekonomi keluarga dengan perekonomian yang cukup, tentu dapat menguntungkan perkembangan anak. Anak akan
memiliki kesempatan
yang luas
untuk mengembangkan
kemampuannya jika ada alat-alatnya. Sebagian besar alasan ibu bekerja dipengaruhi karena keadaan ekonomi mereka yang kurang.
Sehingga bekerja menjadi sebuah pilihan bagi ibu untuk membantu perekonomian keluarga.
a Status sosial ekonomi “BP”
“BP” merupakan anak dengan status sosial ekonomi kelas menengah ke bawah, walaupun begitu secara finansial keluarga
“BP” mencukupi karena kedua orang tuanya bekerja. Namun sampai saat ini “BP” tidak bisa membaca, ataupun menghitung,
seperti yang diucapkan ibu “SP” sebagai berikut: “Dulu pernah TK di Al-Muawanah cuma setengah
tahun, gak sampe lulus katanya bosen. Makanya saya juga bingung ini dia mau masuk SD. Belum bisa baca
dan ngitung, kalo diajarin ngeyel anaknya.”
103
Ibu “SP” pernah memasukkan “BP” ke taman kanak-kanak, namun baru satu semester “BP” sudah tidak mau sekolah karena
bosan. Sampai saat ini pun “BP” tidak bisa membaca, menghitung, ataupun menulis. “BP” lebih suka bermain dengan teman-
temannya ditambah ibu “BP” yang tidak sabar dalam mengajari
103
Wawancara dengan ibu “SP” dari orang tua “BP”, Cilandak, 8 Juni 2016.
anaknya. Ibu “BP” juga kurang memantau pertumbuhan dan perkembangan “BP”. Berikut penuturan ibu “SP”:
“Yaa pertumbuhannya begitu, saya kurang mantau sih kurang memantau pertumbuhan anak. “BP” itu
mbeling artinya nakal dalam bahasa jawa.”
104
Dari data di atas dapat diketahui bahwa ibu “SP” jarang memantau perkembangan anaknya. Ketika ibu “BP” memasukkan
“BP” ke taman kanak-kanak ia merasa sudah memberikan yang terbaik bagi anaknya. Faktor lelah juga membuat ibu “SP” kurang
memperhatikan anaknya dalam pelajaran, padahal seharusnya orang tua juga ikut berperan dalam mendidik anak-anak mereka.
b Status sosial ekonomi “AD”
Keluarga “AD” tergolong dalam ekonomi kelas menengah kebawah. Ayah “AD” bekerja sebagai supir dan ibunya bekerja
sebagai ART di Singapura. Terdapat nilai positif saat ibu memutuskan untuk bekerja, salah satunya dapat memberikan
fasilitas yang lebih untuk anak mereka misalnya “AD” selepas pulang sekolah ia bersama adiknya mengikuti kegiatan mengaji
dan les privat di dekat rumahnya, berikut penuturan “AD”: “Ikut kegiatan mengaji terus Ikut les juga di mba Indah
dari senin-jumat kalo mau dari jam 3 sore, yang dulu mba Indah tinggal disini sekarang udah pindah tapi
pindahnya juga engga jauh kok.”
105
104
Wawancara dengan ibu “SP” dari orang tua “BP”, Cilandak, 8 Juni 2016.
105
Wawancara dengan informan “AD” Cilandak, 1 Juni 2016.
Dari data diatas dapat diketahui bahwa pemberian fasilitas penting untuk menunjang perkembangan anak. Seperti “AD”
mengikuti les privat untuk membantunya dalam menyelesaikan PR yang tidak bisa ia jawab karena kedua orang tuanya sibuk bekerja.
c Status sosial ekonomi “KK”
“KK” merupakan anak terakhir dari 3 bersaudara. Keluarga “KK” tergolong dengan status ekonomi kelas menengah ke bawah.
Faktor ekonomi merupakan alasan utama ibu memilih untuk bekerja. Berikut penuturan ibu “I”:
“yaa kita kan kekurangan ekonomi, kalau seandainya tidak kerja terus gimana? Kan supaya bantu suami
karena gaji suami tidak mencukupi. Lagian saya engga bisa diem dirumah sudah dari kecil saya udah
bekerja.”
106
Membantu meningkatkan perekonomian keluarga untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga merupakan hal yang ibu “I”
prioritaskan. Baik ibu “I” ataupun suaminya jarang mendampingi anak-anak mereka ketika belajar, oleh karena itu jika ada tugas
akademis biasanya “KK” meminta diajarkan oleh kakaknya “F”.
d Status sosial ekonomi “RMR”
Orang tua “RMR” tergolong sebagai keluarga dengan status ekonomi kelas menengah atas. Ibu “IM” bahkan meyewa
pengasuh dan memasukkan “RMR” ke TK di dekat apartemen tempat tinggalnya. Ayah “RMR” bekerja sebagai karyawan swasta
106
Wawancara dengan ibu “I” dari orang tua “KK”, Cilandak, 30 Mei 2016.
sedangkan ibu “IM” bekerja sebagai marketing asuransi di salah satu perusahaan di Jakarta. Akan tetapi ibu “IM” mengatakan
sendiri kalau dirinya kurang membimbing anaknya ketika ia bekerja, seperti yang diucapkan oleh ibu “IM”.
“Iya, sebenernya salah dari awal saya tidak membimbing anak saya di saat masa gold nya dia. Jadi
dia dirawat sama mbak nya yang pendiem, yaa tugasnya dia hanya cuma ngasih makan aja dan jagain, jadi engga
ada komunikasi apa-apa. Untuk saat ini anak saya masalahnya speak delay yaitu terlambat bicara.”
107
Kurangnya keterlibatan orang tua dalam mendidik anaknya, bisa berdampak pada perkembangannya yang tidak wajar. Memang
ketika ibu bekerja mereka bisa memberikan fasilitas-fasilitas yang lebih untuk anak, apalagi “RMR” memiliki masalah pada
kesehatan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun ternyata ibu yang bekerja dengan tidak memperhatikan anak
mereka justru akan berdampak pada perkembangannya. Bahkan ibu “IM” sampai membawanya ke tempat terapis karena selain
terlambat bicara “RMR” memiliki gangguan pada motoriknya. Kurangnya interaksi dan komunikasi antara kedua orang tua
dengan anak juga menjadi salah satu penyebab anak mengalami speak delay.